TIAP orang memiliki pandangan yang berbeda tentang kecantikan. Tiap orang juga punya paradigma
masing-masing tentang itu. Miss Universe menurut
orang Barat itu cantik. Tapi menurut orang Timur, belum tentu itu cantik.
Seorang sunda berkulit putih datang ke tanah Afrika, belum tentu dia menjadi
cantik di sana. Yang ada malah dia dijauhi, karena ada suku tertentu di Afrika
yang menganggap bahwa orang kulit putih itu penyakitan dan tid
ak layak disebut
cantik. Kecantikan, menurut
salah satu suku di Afrika sana, adalah perempuan yang berkulit hitam dan memiliki
postur yang relatif gemuk.
Tiap orang, juga budaya dalam
skala lebih luas memiliki pandangan yang berbeda mengenai ukuran cantik. Hidung
mancung belum tentu cantik, tapi di kalangan tertentu itu menjadi idola. Tubuh
langsing, belum tentu menarik, sebaliknya yang gemuk juga belum tentu tidak
menarik. Berfoto menggunakan kacamata hitam yang besar itu tidak juga cantik
menurut sebagian orang. Tapi, sebagian orang yang tergila-gila oleh mode merasa
tidak lengkap rasanya kalau belum berfoto dengan kacamata hitam dan tebal itu
untuk kemudian diposting di jejaring
sosial atau untuk koleksi
pribadinya.
Yang kita anggap cantik belum
tentu menarik. Orang Barat memang sudah biasa berpakaian ketat, tapi
akhir-akhir ini banyak negara dunia ketiga yang tergila-gila dengan pakaian ala
Barat. Kalau dulu ada
perempuan pakai baju ketat, orang tua kita akan marahnya minta ampun. Hari ini,
saat kita keluar rumah, di angkot kita langsung dihadapkan oleh pameran bentuk
fisik sang perempuan. Di kalangan lain, kaum lelaki juga ada yang merasa tidak
ganteng, gagah atau macho kalau tidak mengenakan pakaian ketat.
Bagi orang Barat, membuka
aurat itu sudah budaya. Tapi, kalau mereka mau lebih konsisten, mereka juga
perlu menggunakan penutup aurat yang baik. Di Gereja para biarawati pakaiannya
menutupi tubuhnya dalam porsi yang banyak, namun para jama'ah gerejanya banyak
yang auratnya terbuka dimana-mana. Dalam banyak poster tentang Bunda Maria (itu
pun kalau bisa disebut poster itu benar) Bunda Maria digambarkan dengan pakaian
yang mentupi tubuhnya dengan baik. Artinya, kalau orang Kristen ingin mengikuti
agamanya, maka mereka harus menutup auratnya juga.
Di dunia Islam juga seperti
itu. Masuk dalam masjid orang-orang begitu khusyuk mendengarkan ceramah,
ataukah untuk beribadah. Namun,
selesai shalat, pakaian shalatnya itu pun dilepas, tas dibuka, pun beraksilah.
Buka kaca, gincu dioleskan, dan bedah merayap di pipi. Jika sebelumnya dari
atas sampai bawah pakaiannya lengkap saat shalat, kini banyak bagian yang sudah
open begitu saja. Kalau ini dilakoni oleh kalangan yang tidak beragama, itu
diwajarkan saja. Namun, jika ini dilakukan oleh orang Islam yang dalam Islam
diwajibkan menutup auratnya, betapa ini adalah kesalahan yang memang salah.
Apakah cantik itu disimbolkan dengan bedak, gincu, dan
pakaian yang terbuka? Belum tentu.
Kecantikan yang sesungguhnya adalah berada dalam ranah hati nurani atau
"hanura". Semanis-manisnya
fisik seseorang kalau hatinya busuk, maka busuklah dia akan terasa.
Sebetah-betahnya kita bergaul dengan orang yang disebut cantik oleh media massa
atau oleh masyarakat secara umum, kalau hatinya tidak baik, maka kita tetap
tidak akan nyaman.
Inti kecantikan berada di
hati, bukan di bentuk fisik. Kita semua diciptakan Allah dengan bentuk fisik
yang berbeda. Yang putih ada, yang gelap juga ada. Itu adalah keragaman
tersendiri, yang dalam al-Qur'an dimaksudkan agar kita ta'aarafuu (saling mengenal), juga bekerjasama dalam hal-hal yang
konstruktif.
Kecantikan fisik yang kita
banggakan, juga sifatnya tidak lama. Satu goresan saja merusak tubuh kita akan
mengurangi kecantikan itu. Atau, ketika orang sudah tidak bernyawa, apakah dia
masih bisa dikatakan cantik? Misalkan, dia seorang artis atau perempuan yang
banyak dikagumi sampai laki-laki rela mengorbankan apa yang dia punya untuk
mendapatkan cinta sang perempuan. Kemudian, tak disangka perempuan itu
meninggal. Nah, 100 lelaki yang sebelumnya masih mengagumi si perempuan
dulunya, apakah ketika melihat si artis yang "tertidur" itu akan
terbangkitkan nafsunya untuk memilikinya?
Boro-boro akan mendekat,
membacakan do'a saja untuk si perempuan belum tentu si lelaki bisa. Makanya
pernah saya mendengar betapa sedihnya seorang ayah ketika tahu anaknya tidak
bisa membaca Al-Qur'an, dan tidak bisa berdo'a. Yang ada di pikiran sang ayah,
"Kalau nanti saya mati trus anak saya tidak bisa berdoa untuk saya,
rasanya sia-sia saja hidup saya." Dari pemikiran ini kemudian ada saja
orang tua yang tersentuh hatinya untuk mengajarkan anaknya mengaji sejak dini.
Kalau anak kita (pada akhirnya)
tidak bisa Bahasa Inggris (paling bagus lagi kalau bisa), itu tidak mengapa.
Tapi, kalau tidak bisa mengaji, itu kesalahan. Tidak bisa Bahasa Inggris tidak
akan membuat sang anak sengsara (kecuali kalau tinggal di daerah yang berbahasa
Inggris). Kalau tidak bisa mengaji, tidak tahu shalat, tidak tahu hukum agama,
maka do'a apa yang mau dia berikan kepada orang tuanya kalau mereka sudah tidak
ada? Masyarakat kini lebih bangga anaknya bisa bahasa Inggris, bisa main gitar,
piano, jadi penari, atau bisa berakting (apalagi kalau masuk tv). Sedangkan
kalau anaknya tidak bisa membaca al-Qur'an dengan baik dan benar, atau anaknya
tidak tahu agama, dibiarkan saja. "Agama itu kan tugasnya orang-orang dari
sekolah agama!" mungkin itu yang keluar. Ini terjadi karena dunia kita
yang sekuler, yang memisahkan antara urusan agama dan dunia, antara yang profan
dan yang sakral.
Kita kembali ke masalah
cantik. Sebuah pepatah mengatakan begini, "Bukanlah kecantikan dengan
pakaian yang membaluti tubuh kita, tapi kecantikan itu adalah kecantikan ilmu
dan budi pekerti." Dua hal di sini: ILMU dan BUDI PEKERTI. Seorang yang
berilmu, dia akan berguna bagi masyarakat. Dengan budi pekerti dia akan sadar
bahwa tidak boleh seorang anak berkata kasar sama orang tuanya seperti yang
diajarkan di sinema-sinema kita. Bayangkanlah saudara, kalau suatu saat kamu
memiliki anak dan dia berkata kasar kepadamu? Kamu akan berpikir pastinya,
kenapa anak saya jadi begini. Saya sudah berjuang mati-matian untuk dia, saya
sekolahkan dia tinggi-tinggi, tapi kenapa kelakuannya kayak begitu. Siapapun
orang tua, pasti sedih kalau anaknya begitu.
Jadi, cantik itu relatif.
Rajin merias diri itu bagus. Namun jangan sampai lupa pada riasan hati.
Secantik-cantiknya permaisuri kalau hatinya gundah gulana, tidak ada ketenangan
dalam istana, maka sungguh itu sangat menyiksa. Tapi, walau berada di gubung
bambu, suka duka dilalui dengan hati yang tulus ikhlas, maka itu sudah lebih
dari indahnya istana-istana para raja.
Kecantikan itu ada di dalam
hati kita. Maka janganlah kita silau dengan dunia. Jangan juga kita iri melihat
mereka yang kelihatan lebih cantik atau lebih gagah bagi lelaki. Mereka juga
tidak pernah meminta kepada Tuhan untuk diciptakan secantik itu, begitu juga
kita. Cantik yang paling baik adalah cantiknya hati dengan balutan akhlak
mulia, sopan santun kepada orang tua, tidak berkata kasar. Olehnya itu, menarik
juga berita beberapa waktu lalu ketika diadakan semacam kontes kecantikan di
sebuah negara, tapi yang dilihat bukanlah seberapa mantab sang kontestan
berlenggak lenggok di atas catwalk dengan baju yang sekenanya, akan tetapi
seberapa baik dia dalam berbakti kepada kedua orang tuanya. Lebih cantik dari
sekedar di panggung, bukan? []
No comments:
Post a Comment