Tuesday, June 23, 2015

Dari Hass Dellal ke Bilal Cleland (6)

Foto bersama Dr. Hass Dellal


Bertemu Hass Dellal

Sepotong roti belum habis kumakan. Sejak di Citadines hingga Melbourne, tiap paginya saya makan roti. Kali ini belum habis. Roti dengan selai itu tergeletak di atas meja. Roti adalah salah satu makanan pokok orang Australia. Di film-film juga kita bisa lihat kalau mereka suka makan roti, sementara perut kita orang Indonesia umumnya harus nasi dulu. Untuk hidup di negeri Kangguru ini mau nggak mau kita harus suka makan roti; nggak boleh bosen dengan roti, dan jangan terlalu berharap dapat nasi atau makanan Indonesia tiap lapar.

Pagi 20 Maret ini kami ditemani guide Natalia Gould, adiknya Rowan Gould. Menyusuri jalan-jalan Melbourne, kami tiba di sebuah kantor bermarmer abu-abu dengan sebuah pintu diapit oleh dua dinding kaca kiri-kanan. Terletak di lantai 1 185 Faraday Street, Carlton, di situlah berkantor Dr. B. (Hass) Dellal OAM, Ketua Australian Multicultural Foundation (AMF). Lebih jauh tentang AMF, dapat ditelusuri di website-nya www.amf.net.au. Kantornya bersebelahan dengan Italian Chamber of Commerce and Industry. AMF adalah organisasi multikultural yang terjadi dari berbagai suku dan agama di Australia.

“Organisasi yang terdiri dari banyak etnik menandakan bahwa organisasi itu sukses dalam diversity,” kata Dellal.

Dellal adalah kawan dekat KH. Abdurahman Wahid alias Gus Dur, almarhum mantan presiden. Aktivitas Gus Dur sebelum jadi presiden, terutama dalam interfaith dialogue, bisa jadi merupakan irisan paling kuat antara keduanya. Dalam dunia dialog antar agama, nama Gus Dur memang kerap disebut-sebut.

Tentang Dellal, waktu briefing di Kedutaan Australia, ada sebuah buku terbitan Departemen Imigrasi dan Kewarganegaraan berjudul Perjalanan Australia-Masyarakat Muslim (2009) yang diberikan kepada kami. Di halaman 33 ada profil Hass Dellal yang secara singkat dijelaskan bahwa beliau menyelenggarakan program-program kemasyarakatan dan memberikan masukan kepada pemerintah tentang bagaimana mendukung masyarakat yang majemuk. Juga, pandangannya tentang warga muslim Australia dikutip sebagai berikut, “Warga Muslim Australia telah memberi sumbangsih besar terhadap pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya dan kesejahteran Australia dalam beberapa dasawarsa. Mereka berkomitmen terhadap pertumbuhan Australia dan terlibat dengan seluruh penduduk Australia, memajukan keselarasan dan pengertian.”  

Dalam pemaparannya, Dr. Dellal menjelaskan program AMF yang saya ringkas sebagai berikut:
Multicultural program à People/Citizen à Contribution/Participation.

Target dari program multikultural ini adalah agar masyarakat dapat berkontribusi dalam kehidupan multikultural masyarakat Australia. Selain itu, kegiatan-kegiatannya juga dimaksudkan agar masyarakat taat pada rule of law yang ada di Australia. Lembaga AMF ini bekerja untuk bagaimana mengelola keragaman masyarakat Australia. Jadi, keragaman masyarakat tidaklah dianggap sebagai hambatan, sebaliknya sebagai kekuatan untuk menciptakan sinergi, saling memahami, dan sikap taat pada hukum yang berlaku.

Ia juga menjelaskan adanya propaganda anti-Islam di media internet lewat game online. Sikap anti-Muslim ini tidak banyak di masyarakat, akan tetapi cukup memberikan pengaruh pada gambaran tentang Islam bagi masyarakat. Tidak hanya dalam game online, tapi video dokumenter, karikatur, dan lain sebagainya, turut berkontribusi dalam demonologi ajaran Islam. Menurut Dellal, sikap-sikap seperti itu adalah kriminalitas, dan untuk itu maka diperlukan berbagai program kepada berbagai kalangan (termasuk anak muda) untuk menjelaskan yang sebenarnya. Ketika ada warga yang tertarik untuk ikut berjihad di Suriah misalnya, kata Dellal sebaiknya perlu mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi konflik di sana yang tidak murni karena faktor agama, tapi politis.

Kepada Dellal, saya bertanya pendapatnya tentang penyanderaan yang dilakukan Haron Monis di Kafe Lindt, Martin Palace, Sydney. Kata Dellal, ini murni kriminalitas.

“Jika ada yang berbuat kejahatan, maka kejahatan itu murni kriminal individual, bukan karena pengaruh agama,” kata Dellal.

Ada dua orang warga yang tewas dalam insiden penyanderaan tersebut. Waktu berkunjung ke Sydney, kami sempat melihat-lihat Kafe Lindt.

Terletak di pusat kota, tak seberapa jauh dari Opera House, Kafe Lindt ramai dikunjungi orang. Memang, amat disayangkan sikap Haron Monis tersebut. Setelah diteliti latar belakangnya, Monis memang punya banyak raport merah selama di Australia.

“Paling tidak ada 18 laporan yang masuk ke Polisi terkait sikap Haron Monis,” kata Dellal lagi.
Description: C:\Users\user\Desktop\MEP 2015\Foto MEP\20 March 2015 Meeting with Hass Dellal, Islamic Council of Victoria, IMA, & Dinner with Muslim Artists\P_20150320_101006.jpg
Foto bersama Dr. Hass Dellal
Sedikit Tentang Haron Monis

Saya ingin membahas sedikit tentang Haron Monis. Waktu hangat berita tentang penyanderaan yang dilakukan Monis di Sydney, saya buat tulisan berjudul Setelah Teror Haron Monis untuk laman ISMES. Berikut saya kutip sebagai pelengkap bahasan tentang Haron Monis.


Setelah Teror Haron Monis
Oleh Yanuardi Syukur

Man Haron Monis, warga keturunan Iran yang pada 1996 menjadi pengungsi di Australia menghebohkan dunia. Monis menyandera 30 warga Sydney di Lindt Chocolat Café, Martin Place, Sydney dan dalam aksi itu menewaskan dua orang: Tori Johnson (34) dan Katrina Dawson (38). Aksi itu menimbulkan tanda tanya, kenapa bisa terjadi dan apa sebenarnya yang diperjuangkan oleh Man Haron Monis.

Kedencerungannya

Keysar Trad, juru bicara Asosiasi Persahabatan Islam (IFA) mengatakan kepada ABC News bahwa Monis termasuk orang yang terkucilkan dari masyarakat. Menurut Trad, Monis telah ditolak oleh komunitas Islam di Australia. Beberapa tahun lalu saat nama Monis sering disebutkan, Trad mengaku bahwa dirinya dan komunitas Islam lainnya mengutuk keras berbagai tindak kriminal yang dilakukan Monis (Kompas, 16/12/2014). Trad juga mengatakan, pengacara Monis sendiri mengatakan bahwa Monis memiliki gangguan mental yang serius. Dalam versi pemerintah, Tony Abbot mengatakan bahwa Monis adalah orang yang sangat terganggu jiwanya, dan lelaki itu berkali-kali dijerat hukum Australia. Menurut Keysar Trad, apa yang dilakukan Monis dengan menyandera warga Australia adalah sikap yang tidak normal sebagaimana kehidupan bermasyarakat di Australia.

Dalam tulisannya di Sydney Morning Herald, David Wroe, James Massola dan Heath Aston menulis, bahwa Man Haron Monis telah lama memiliki kebencian kepada politisi senior Australia, seperti Kevin Rudd dan Tony Abbot, dan ditumpahkannya di sosial media. Ia juga pernah mengirimkan surat-surat kaleng yang berisi hinaan (abusive letters) kepada keluarga tentara Australia yang tewas di Afghanistan. Di akun Facebooknya, sebanyak 14ribu akun yang menyukai (likes) akunnya. Di dalam akunnya, ia juga mengkritik pemerintah Australia yang menurutnya rasis dan teroris karena mendukung pemerintah Amerika dalam perang di Afghanistan.

Pada 1 November 2013, Monis pernah mengirimkan surat kepada PM Tony Abbot. Menurut Monis, kebijakan Australia di Afghanistan, “has as significant role in jeopardizing security and peace in the world” (Sydney Morning Herald, 16 Desember 2014). Masih di akunnya juga, Monis mendoakan kelompok Islamic State (IS, atau ISIS) karena pelayanan mereka yang baik di Syria dan Irak, meskipun banyak berita dan pakar mengatakan bahwa pelayanan IS di dua negara tersebut adalah propaganda belaka dari fakta terorisme terhadap warga lokal di sana.
Keterlibatan Australia dalam memerangi ISIS di Irak misalnya tidak didukung oleh komunitas Muslim Australia. Juru Bicara Dewan Imam Nasional Australia, Sheikh Mohamadu Saleem mengatakan, mayoritas umat Islam di Australia mendukung bantuan kemanusiaan di Irak, tetapi mereka tidak setuju jika Australia ikut mengerahkan pasukan militernya untuk berperang di kawasan tersebut.” Mohamadu khawatir jika hal itu terjadi, akan menambah kekerasan di kawasan tersebut, dan akan mendorong banyak pemuda bergabung dengan ISIS.

Dua Hal Penting
Sejak perlawanan mujahidin Afghanistan mengusir tentara “beruang merah” Rusia, gerakan perlawanan Palestina, gerakan Al Qaeda, hingga muncul gerakan baru dari kelompok ISIS, isu terorisme pun tak luput disematkan pada gerakan tersebut. Beberapa waktu lalu ketika kelompok ISIS—terlepas dari pro kontra kelahirannya—dengan menggunakan simbol-simbol Islam menguasai beberapa daerah di Irak dan Syiria, seakan “menjaga” agar label terorisme tetap dilekatkan pada gerakan Islam yang sekilas terlihat keras dan bersenjata. 
Ketika sebuah lambang bertuliskan kalimat syahadat muncul dalam penyanderaan Monis di Sydney itu, sontak ada yang menyangka bahwa ini memang gerakan ISIS, padahal belum tentu. Kalaupun Monis seorang pengikut ISIS, tentu sangat tindakannya itu merupakan bunuh diri karena tidak memiliki efek apa-apa kecuali menambah antipati terhadap Islam. Artinya, pesan keislaman yang hendak disampaikan oleh Monis juga tidak terlihat dengan baik dalam drama penyanderaan itu.
Melihat aksi itu, setidaknya ada dua makna yang bisa kita berikan.
Pertama, seorang yang berpotensi melakukan tindakan gegabah seperti Monis perlu mendapatkan perhatian lebih. Bukan hanya tugas pemerintah, tapi ini juga tugas masyarakat sipil untuk membina, menasehati, atau melaporkannya pada pihak berwajib. Ketika melihat ada individu yang hendak melakukan tindak kekerasan, perlu berkoordinasi dengan lembaga terkait untuk mencegahnya, baik itu di dunia maya atau di dunia nyata. Tapi di saat yang bersamaan, kita tidak boleh langsung antipati dan curiga kepada individu atau kelompok yang terlihat keras. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah meminta konfirmasi.
Saya kira pendapat Deputy Prime Minister Teo Chee Hean—sebagaimana ditulis Aw Cheng Wei menarik untuk dikutip. Kata Hean, “Everyone can play a part in preventing terrorist attacks by staying sharp and reporting any suspicious activities to the authorities immediately” (Straits Times, 16 Desember 2014). Mencegah terorisme menurut Hean adalah dengan senantiasa waspada dan melaporkan setiap aktivitas mencurigakan kepada pejabat atau instansi terkait sesegera mungkin.

Kedua, sikap seseorang atau sekelompok tidak berarti sikap keseluruhan. Seorang Muslim yang melakukan tindak kekerasan dan terror tidak bisa digeneralisir bahwa semua muslim suka kekerasan dan teror. Sikap ini perlu diambil tidak hanya di level pemerintah akan tetapi juga pada masyarakat sipil. Ketika menara kembar WTC dihantam pesawat komersil, antipati terhadap Islam juga terjadi. Padahal tidak semua muslim suka pada cara-cara kekerasan seperti Al Qaeda dan jaringannya. Maka jika terjadi tindakan teror yang dilakukan seorang atau sekelompok orang yang kebetulan beragama Islam, maka sikap adil tentu harus tetap dijaga dengan cara tidak menyamaratakan semua muslim suka kekerasan.

Dengan demikian maka sesama warga akan tercipta rasa keadilan, bahwa yang dihukum adalah mereka yang bersalah melanggar aturan dan pranata yang ada (apapun agama, ras, atau golongannya), bukan karena ia beragama sama dengan yang dilakukan oleh pelaku teror tersebut. Setidaknya sampai saat ini tidak ada kekerasan berarti terhadap kaum muslim yang tinggal di Australia akibat teror Monis, bahkan kaum muslim turut berduka cita atas kejadian tersebut. Ini berarti bahwa ketaatan kepada hukum dan keadilan dalam masyarakat plural harus menjadi prioritas semua warga.

Motivasi Bilal Cleland

Selasai diskusi dengan Hass Dellal, kami lanjut jalan kaki dengan tujuan ke Islamic Center of Victoria. Teman-teman berjalan di depan, saya di belakang. Saya pikir, jalan sambil lihat dan foto-foto—sebagai data—itu penting. Di sebuah jalan, saya lihat sebuah toko khusus menjual minuman beralkohol. Premium Gigars, nama tokonya. Botol-botol tersusun rapih di situ. Kami berhenti di sebuah toko coklat bernama Chocolateria San Churro. Di situ masing-masing kita pesan coklat hangat, karena udara agak dingin.

Tiba di sebuah halte, kami naik trem menuju Islamic Council. Sebelum tiba, kami melihat sebuah rumah tahanan berbatu-bata coklat. Kami pun tiba di masjid. Beberapa menit pertama kami berdiskusi dengan Nail Aykan, General Manager Islamic Council of Victoria. Ia mengatakan bahwa Islamic Council of Victoria ini adalah masjid yang heterogen. Artinya, muslim dari berbagai suku-bangsa bisa aktif di sini. Berbeda dengan beberapa masjid di Sydney dan Brisbane yang terkhusus untuk komunitas tertentu.

Di Sydney, corak keislamannya lebih dominan bernuansa Lebanon, sedangkan di Melbourne kata Aykan, “No one group dominate.”  

Di masjid ini, pengurus mengadakan salat Jum’at dua kali, karena banyaknya jama’ah. Jika lantai gedungnya ditambah menjadi 4 atau 5, maka itu akan menyulitkan parkir, dan mengganggu pengguna jalan lainnya. Pengurus akhirnya berinisiatif untuk mengadakan Jum’at dua kloter.

Aykan juga aktif dalam merehabilitasi mental warga muslim yang mendekam di penjara. Mereka masuk penjara karena berbagai sebab seperti overdosis narkoba, kekerasan di rumah tangga, membunuh, dan seterusnya. Rehab kepada penghuni ‘hotel prodeo’ ini penting karena ada kekhawatiran anak muda muslim yang bermasalah—broken home dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang--tersebut bergabung dengan kelompok ISIS. Untuk mengatasi masalah sosial ini, kata Nail Aykan, semua harus dimulai dari keluarga. Pondasi keluarga haruslah diperkuat. Jika keislaman seorang anak kuat sejak di rumah, maka ia paling minimal akan terjaga dari kemungkinan bertindak buruk, termasuk menjadi teroris karena pengaruh berbagai artikel di ‘Syekh Google.’

Untuk itu, maka para imam diminta untuk dekat kepada anak muda. Masalah lain kemudian muncul, yaitu tidak sinkronnya bahasa para imam dengan bahasa anak muda. Para imam umumnya bukan berasal dari Australia asli, akan tetapi pendatang yang walau bagaimanapun punya pengaruh dalam mendekati anak muda. Akhirnya, para imam tidak dihormati. Ketidakhormatan kepada imam, membuat anak muda belajar Islam dari Google. Jika yang dipelajari di Google adalah Islam garis keras, maka bisa jadi ia akan menjadi radikal atau dalam konteks sekarang: pro-ISIS.

Di sela-sela diskusi bersama Nail Aykan, datang Bilal Cleland, seorang lelaki bertubuh tinggi, berwibawa, dan memiliki semangat berbagi yang kuat terkait Islam. Rupanya, Mr. Bilal adalah penulis buku The Muslims in Australia: A Brief History (2002). Beliau juga kolumnis di media-media Australia. Ketika menulis tentang kontak pertama orang Australia dengan pelaut muslim asal Makassar, Prof Abdullah Saeed mengitup bukunya Mr. Bilal. Secara sederhana, ini berarti bahwa tulisan-tulisan Bilal memang layak dibaca, dan dikutip. Hingga kami kembali ke Indonesia, Bilal masih rutin mengirim artikel dan link tentang Islam baik yang dikirim langsung atau cc dari beberapa email yang ditujukannya kepada beberapa senator dan komunitas Islam di Australia.
Kepada kami, Bilal menceritakan tentang kedatangan Inggris yang membangun camp, dan membunuh orang Aborigin. Dalam bahasa Bilal, kejadian ini adalah shocking background of genocide. Ini merupakan fakta yang mengejutkan dari aktivitas buruk kolonialis Inggris kepada orang Aborigin, penduduk asli Australia. Orang Aborigin adalah penerima Islam pertama di negeri ini. Mereka mulanya tahu Islam dari pelaut-pelaut Makassar yang membeli teripang di utara Australia, kemudian terjadi kawin-mawin, seperti di Alice Springs ada 300-an muslim Afghanistan yang menikah dengan keluarga Aborigin. Setelah menikah, nama-nama mereka kemudian berganti dengan Abdullah, atau Muhammad. Bahkan, ada salah satu jalan yang diambil dari nama Nabi, yaitu Mohamed Street. Penyebaran Islam—atau ‘berbagi kehidupan’ dalam bahasa Departemen Imigrasi dan Kewarganegaraan Australia—tidak hanya melalu perniagaan, tapi juga lewat upacara, dan perkawinan.

Bilal juga menyampaikan fakta bahwa King Charles VII, salah satu Raja Inggris pernah menulis buku konstitusi dan sistem monarki adalah berasal dari Islam. Akan tetapi fakta ini tidak banyak terungkap ke publik. Jika bercerita tentang sejarah dan motivasi Islam, Bilal sangat bersemangat. Ia pun memberikan motivasi kepada kami berlima untuk menjadi ilmuwan-ilmuwan Islam yang unggul dan berpengaruh. Tentang fakta-fakta sejarah, ia mengatakan, “We need Islamic Scholars to speak up!”
Kami diminta agar tidak merasa rendah diri (inferiority complex) kepada siapapun, termasuk kepada Belanda yang pernah menjajah atau kepada negara-negara Arab.
Ilmuwan muslim harus lahir dari Indonesia! katanya bersemangat.

Yang mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa, dan itu tidak dilihat berdasarkan dimana ia hidup atau berasal dari suku mana ia berasal. Sejarah Islam begitu panjang mencatat banyaknya para ilmuwan muslim yang tidak hanya berasal dari satu suku, atau teritori. Ilmuwan muslim bisa lahir dari rahim Timur Tengah, Indonesia, atau Australia. Bilal punya keyakinan bahwa selanjutnya akan lahir ilmuwan-ilmuwan Islam dari Indonesia.

“True Islamic scholars is the best. Insha Allah, Indonesia will be the next!”  harap Bilal.

Museum dan Para Seniman

Kami juga mengunjungi Islamic Museum of Australia (IMA) hari ini, dan dinner bersama beberapa seniman muslim. Di museum kami melihat pajangan tentang sejarah Islam secara umum dan Australia. Juga, karya-karya lukisan dan fotografi. Salah satu foto yang dipajang adalah hasil jepretan Natalia Gould berjudul My Village Mosque di Sumatera Barat. Natalia adalah keturunan campuran Indonesia-Australia. Keluarganya berasal dari Padang.

Di sini juga ada dua buah patung laki-laki kembar berjudul Big Jihad. “Jihad terbesar adalah melawan diri kita sendiri yang disimbolkan dalam dua patung kembar tengah mengepalkan tangan satu sama lain,” kata Nur Shkembi, Direktur Seni IMA, yang juga alumni MEP 2014.
Description: C:\Users\user\Desktop\MEP 2015\Foto MEP\20 March 2015 Meeting with Hass Dellal, Islamic Council of Victoria, IMA, & Dinner with Muslim Artists\P_20150320_163750 - Copy.jpg
Jihad terbesar

Akhirnya, kunjungan hari ini kami tutup dengan dinner bersama beberapa seniman. Ada pelukis, pembuat film dokumenter, dan sebagainya. Kami berdiskusi di sebuah meja panjang tentang proses kreatif masing-masing orang di restoran Maroko, Maroccan Soup Bar yang beralamat di 183 St. Georges Rd, North Fitzroy. Saya duduk sampingan dengan Nazid Kimmie, salah seorang pembuat film. Salah seorang pelukis memperlihatkan beberapa foto lukisannya di ponsel. Katanya, ia kalau melukis harus benar-benar konsen, dan tidak langsung jadi, karena ia harus mengeksplorasi ide-ide kemudian menuangkannya dalam kanvas. *

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...