SESEORANG berkata
kepada saya bahwa ada kawannya yang baru berkata kepadanya bahwa yang ada dalam
kepala si kawan itu hanya satu: CERAI. Seseorang ini pun bertanya lebih lanjut,
kenapa dia berpikir begitu. Di kawan yang di sana berkata, bahwa dia merasa
laki-laki yang dekat dengannya itu (suaminya, maksud saya), sepertinya tidak
perhatian lagi padanya. Mereka telah dikurniai dua orang anak, mereka punya
usaha, bahkan di kawannya seseorang itu punya mobil pemberian dari orang
tuanya. Tapi, dalam kondisi ekonomi yang relatif mapan itu, si kawannya
seseorang itu malah ingin cerai.
Belum juga seminggu kawan saya
kawin, dia kirim pesan singkat kepada saya yang intinya adalah, "saya
merasa tidak puas dengan istri saya, bukan ini yang saya harapkan sebenarnya,
saya juga menikah karena pilihan orang tua." Akhirnya, dengan
tergesa-gesa, padahal baru menikah beberapa hari, dia bilang, "saya ingin
cerai!"
Kepada kawan saya itu, saya
hanya katakan seperti ini, "Perkawinan itu proses penyatuan dua hati. Tiap
orang, apapun dan bagaimanapun kondisi dirinya, tetap kita punya sisi yang bisa
menyatukan antara satu dan lainnya. Kalau kamu menikah dengan orang kurang
menurutmu, maka pasti ada sisi tertentu dimana kamu bisa sepakat bersama
dia."
Beberapa waktu sebelum saya
kawin, juga kawan saya yang sampai saat ini belum kawin-kawin, bilang kepada
saya perkataan di atas. Dia menyatakan kepadaku, bahwa tiap kita pasti punya
kesamaan. Tinggal kita cari saja dimana persamaan itu, dan bekerjasama dalam
hal itu. Perkataan kawan saya yang bijak itu masih teringat di benak saya,
suatu sore ketika kami hendak memasak di kamar kost kami.
Perkawinan memang berat, siapa bilang gampang. Berat! Olehnya itu, makanya banyak yang
stress berat karena kawin. Tapi, di sisi lain, ternyata ada juga orang yang berhasil
meringankan beban berat pernikahan itu. Kita berada dimana? Itu sangat
bergantung dari stabilitas emosi dan kebijaksanaan kita.
Banyak yang kawin, cerai.
Seorang kawan yang lain, dia sejak awal nggak mau banget menikah. Tapi, dipaksa
juga oleh orang tuanya. Akhirnya, dia ngambek. Berat badannya turun drastis.
Dia jadi kurus. Beberapa bulan dia kawin, setelah hampir setahun, dia selalu
tidak mau, membangkang, dan menurutnya sampai dia cerai, suaminya nggak pernah
"berhasil" menaklukkan dirinya. Dia masih tetap seperti semula,
sebelum dia kawin.
Di sisi lain, ada juga orang
yang dipaksa oleh keluarganya kawin. Awalnya dia terpaksa memang, tapi
lama-lama setelah dia jalani, akhirnya dia merasa kerasan juga. Dia merasa
enjoy, dan dia bahagia. Punya anak-anak yang lucu, bahkan dia bisa bertahan
lama.
Tampaknya, masalah
keberhasilan perkawinan bukan hanya disebabkan faktor dipilih atau pilih
sendiri, dipaksa atau tidak dipaksa, tapi bergantung dari niat awal dari sang
aktor, dia menikah untuk apa. Kalau niat kita menikah untuk menyelamatkan diri
kita dari bahaya dosa, maka itu sudah cukup untuk menikah. Karena jaman
sekarang ini, pergaulan sosial yang relatif bebas, bahkan kalau kita sudah tahu
kebebasan itu rasanya sulit bagi kita untuk keluar dari situ. Kita nggak mau
tentunya untuk menjerumuskan diri kita dalam dosa. Kita sadar dosa, walau kita
juga jelas pernah melakukan dosa. Tapi, yang paling penting dari kehidupan kita
adalah kita berusaha keras untuk tidak mengulangi lagi dosa-dosa yang pernah
kita lakukan. Kalau dulu pernah berdosa, segera kita tinggalkan itu! Jangan
menunggu waktu yang lama untuk taubat, karena kita nggak tahu kapan kita akan
mati!
Dalam pernikahan, godaan demi
godaan selalu akan datang. Astaga, banyak sekali godaan itu, sungguh. Maka,
beruntung sekali kita kalau mendapatkan lingkungan yang baik, orang yang baik
dan suka menasehati. Karena itu akan mengingatkan kita untuk selalu kembali ke
jalur yang benar kalau kita mulai terseret dalam kejahilan.
Dalam perkawinan, di masa-masa
awal, mungkin kita masih tertarik pada faktor biologis dari pasangan kita. Yang
laki-laki masih doyan banget dengan kecantikan istrinya. Namun berjalan waktu,
doyannya kita pada faktor fisik itu akan berkurang secara jelas. Jika, hanya
faktor cantik saja yang membuat kita menikahi perempuan, maka lama-lama kalau
istri kita sudah tidak kelihatan cantik kita pun akan berpaling ke lain hati.
Begitu juga dengan perempuan yang menikahi laki-laki hanya karena faktor
kegantengannya saja. Ganteng itu nggak bertahan lama. David Beckham memang
sekarang ganteng, tapi nanti kalau sudah tua nggak ganteng juga dia, bahkan
bisa bungkuk kayak aki' aki'. Jadi, jangan menggantungkan cinta kita pada
faktor fisik, karena itu relatif menipu.
Lantas, di faktor manakah
harus kita gantungkan pilihan kita? Yang pertama, pilihlah dengan niat ibadah.
Saya menikah karena saya mau beribadah. Saya mau mengabdi bagi suami saya. Saya
menikah karena saya ingin mengikuti sunnah nabi, karena saya ingin masuk ke
dalam jannah yang telah disediakan Allah. Ini yang paling penting.
Kemudian nanti kalau kita
dapatkan pasangan yang menurut kita nggak pas, bersabar saja. Janganlah
terlampau sombong setelah melihat dirimu cukup pintar, atau cantik atau ganteng
kemudian menganggap orang lain tidak pas buat kamu. Itu kesombongan yang jelas
sangat. Dan itu harus dihindari. Toh banyak juga orang yang sama-sama cantik
dan ganteng, tapi malah mahligai cintanya nggak bertahan lama. Lihatlah para artis-artis itu...Kurang apa lagi ganteng dan
cantiknya? Kurang apa lagi harta gono-gini-nya?
Dimulai dengan niat ibadah,
insya Allah pernikahan akan senantiasa tegak, walau tetap secara manusiawi akan
dilanda oleh godaan di kiri kanan. Yang penting, tetap tegar, dan kembali
kalau-kalau ada isyarat akan tersesat! []
No comments:
Post a Comment