Bersama Prof Ismet Fanany di Deakin University |
Hadiah dari Rantau
Pagi ini rute saya berbeda dengan empat kawan lainnya. Jika teman-temanku mengunjungi Queen Victoria Market, sebuah pasar tradisional dengan harga terjangkau untuk memberi souvenir, saya punya janji bertemu dengan Associate Professor Ismet Fanany di Deakin University, Kampus Burwood. Perjalanan hanya sekitar 30 menit.
Perkenalan saya dengan Pak Ismet bermula dari cerpennya Hadiah dari Rantau yang tergabung dalam kumcer Kompas, Anjing-anjing Menyerbu Kuburan (1997), yang saya baca di Perpustakaan Pondok Pendidikan Muhammadiyah, Tobelo. Sebelumnya, di kosan-nya Hamran Sunu, kawan saya yang cerpenis Makassar yang tinggal di depan Perumahan Telkomas, juga saya pernah baca kayaknya. Dari situ saya tahu bahwa sang penulis asalnya dari Padang, pernah kuliah di Amerika, kemudian menetap di Australia. Kerinduan akan tanah air membuatnya menulis cerpen tersebut.
Selanjutnya, sepulang kunjungan dari Australia, anggota DPR RI Boki Ratu Nita Budhi Susanti bertemu Rektor dan Para Wakil Rektor Unkhair. Dalam kesempatan itu, Boki Ratu memediasi kerjasama antara Deakin University dengan Universitas Khairun. Sejak itu, sebagai sekretaris rektor, saya aktif berkirim pesan dengan Pak Ismet hingga bertemu kali pertama di Hotel Mulia Jakarta, dan kedua kali saat penandatanganan MoU di ruang Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP), Senayan, Jakarta antara Deakin University, Kesultanan Ternate, dan Universitas Khairun.
Terkait rencana lanjut studi, saya berdiskusi dengan sastrawan Indonesia kelahiran Kotopanjang, Tanah Datar, Sumatera Barat, 1952 tersebut. Kemudian saat dipanggil wawancara MEP di Jakarta, saya lihat sebuah informasi pameran pendidikan Australia di Kompas. Akhirnya, bersegeralah saya ke Jakarta beberapa hari sebelum wawancara untuk bertemu perwakilan Deakin University sekaligus bertanya-tanya tentang kampus lainnya di Australia seperti The Australian National University, dan Macquarie University. ANU adalah kampus terkenal di Australia, sedangkan di Macquarie ada seorang pakar Antropologi Islam yang saya tertarik untuk belajar darinya. Di Jakarta, saya pun mendaftar PhD di Deakin dengan melampirkan beberapa berkas seperti terjemahan ijazah dan transkrip. Berkas itu saya terjemahkan di salah satu penerjemah tersumpah di Jakarta Timur. Diskusi dengan Pak Ismet berlanjut terus hingga saya tiba di Melbourne rencana bertemu.
Karena berbeda jalur, saya jalan duluan ke Flinders Street Station, dan mencari trem yang ke Burwood. Beberapa menit tidak dapat, akhirnya saya bertanya ke seorang petugas, dan ketemu. Naiklah saya di trem nomor 75 dan turun tepat di depan Gedung BC Deakin. Di gedung itu berkantor Rektor Deakin University. Saya pun bertemu Pak Ismet dengan istrinya Dr. Rebecca Fanany, seorang Amerika. Setelah berdiskusi seputar rencana lanjut studi, saya juga ngobrol tentang kerjasama Unkhair-Deakin yang sudah ditandatangani tiga tahun lalu. Kata saya, Unkhair berfokus pada sektor kelautan dan perikanan, dan saat ini Pemerintahan Jokowi juga punya visi sebagai Indonesia sebagai Poros Maritim.
Melihat ada kesamaan, Pak Ismet mengusulkan agar diadakan penelitian dan pembibitan ikan di laut Halmahera. Saat ini Deakin juga menjajaki kerjasama dengan tiga pemerintah provinsi—Sulut, Sulteng, dan Gorontalo—terkait penelitian dan potensi laut di Teluk Tomini. Ketika kembali ke Ternate, usulan tersebut saya sampaikan kepada Rektor Unkhair Prof. Dr. Husen Alting, SH, MH, dan selanjutnya kerjasama akan diteruskan oleh Ketua International Office Dr. H. Muhammad Amin, S.Si, M.Eg, seorang doktor kimia lulusan Gifu University, Jepang.
Di Deakin saya juga berkunjung ke Perpustakaan. Di pintu masuknya tertulis: Open your World. Welcome to your new library. “Buka duniamu!” bisa berarti luas. Intinya, bukalah pikiran, perluaslah wawasan. Dengan apa? Tentu saja: Membaca! Membaca dimana? Dimana lagi kalau bukan Perpustakaan! Sedangkan di atasnya ada empat tulisan: Collaborate, Learn, Discover, dan Your Library.
“Kalau Pak Yanuardi melihat di sini, buku-bukunya tidak banyak, tapi bahan-bahan online-nya banyak. Perpustakaan ini tidak dibuat sekedar untuk menyimpan buku, tapi juga sebagai tempat belajar yang nyaman untuk mahasiswa,” begitu kata beliau. Jika seorang mahasiswa butuh buku, dan bukunya tidak ada di Perpustakaan, maka stafnya akan mencari di perpustakaan lainnya, atau bahkan membelinya. Beberapa komputer juga besar-besar. Kata Pak Ismet itu untuk mereka yang butuh layar besar dalam mengerjakan tugas kuliah.
Saat saya masuk, perpustakaan ini juga sunyi senyap. Orang-orang berfokus pada bacaannya. Nyaris tidak ada obrolan atau bercandaan yang suaranya kencang. Di sebuah plang, ada sebuah tulisan: Quiet Study Area, We appreciate your efforts to remain quiet. Thank you. Yah, mengingatkan untuk tenang memang penting. Beberapa hari sebelumnya, di Perpustakaan Melbourne University juga suasana tenangnya terasa. Mahasiswa sibuk dengan aktivitas membacanya masing-masing.
Salah satu
sudut Perpustakaan Deakin di hari Sabtu
Wominjeka Museum
Melbourne
Mengunjungi museum adalah penting untuk mengetahui sejarah. Sejarah Australia dan masyarakat asli Aborigin dapat kita temukan di sini. Di sebuah dinding ada tulisan First Peoples, masyarakat pertama. Maksudnya, masyarakat penghuni pertama benua ini sebelum datangnya berbagai imigran dari Eropa dan Timur Tengah.
Tiap pengunjung disapa dalam sebuah tulisan:
Wominjeka
Welcome
We welcome you to Victoria
We invite you to share in our culture
and stories; to listen and to learn from
the first peoples of this land
Wominjeka. You are welcome.
Beberapa bahasa Aborigin juga dapat kita dengar di sebuah meja. Kita tinggal tindis tombolnya, maka berbunyilah ‘hello’ dalam sekitar 45 variasi bahasa Aborigin. Berbagai foto, video dokumenter, peralatan hidup—atau singkat kebudayaan Aborigin—dapat disaksikan di sini. Lukisan perang antara orang Aborigin dengan pendatang asal Inggris di Australia Selatan juga ada di dinding. Demo-demo Aborigin dengan tulisan Aboriginal Embassy juga ada. Tampaknya, kedatangan bangsa lain membuat hak-hak mereka tersingkirkan. Itulah yang membuat mereka marah dan berkonflik dengan penduduk pendatang. Belakangan ini, penghargaan terhadap Aborigin begitu diperhatikan oleh pemerintah dalam banyak hal.
Saya juga lihat-lihat sejarah Australia secara umum. Pada sebuah lukisan dengan latar beberapa gedung bertingkat, ada gambar seorang lelaki berjanggut, usianya di atas 40-an, dengan sebuah tulisan di atas: This will be the place for a village. Tulisan ini rupanya diambil dari sebuah diary tulisan John Batman’s 8 Juni 1835. Ini yang disebut sebagai visi. Melihat tanah kosong, langsung terlintas sketsa sebuah desa atau kota. Nama ‘Batman’ juga ada di Melbourne. Entah punya hubungan antara Batman yang di film atau Batman yang ini, yang jelasnya kedua-duanya memberikan manfaat untuk masyarakatnya.
Perang
antara Aborigin dengan pendatang di Australia Selatan
Nonton Konser
Sore hari tidak ada jadwal kegiatan. Kami ke Yarra River melihat-lihat, sambil ambil foto dan rekam kesan setelah bertemu dan mengunjungi beberapa komunitas. Sungai agak tenang sore itu. Lenni Lestari minta di Princes Bridge depan sebuah logo Victoria bertuliskan: Tires, Acouirit, dan Eundo. Siti Rohmanatin Fitriani foto di pinggir sungai, juga Ahmad Saifulloh. Hindun Anisah sore ini ada janji bertemu seorang professor yang pernah berkunjung di Jogja. Sedangkan saya, di pinggir Yarra River saya berdoa semoga keluargaku, teman-temanku di dunia nyata maupun Facebook diberi kesempatan untuk berkunjung ke Australia bumi Allah.
Dua bebek di bawah Princes Bridge
Kami
berjalan terus ke sebuah Sandridge Bridge
yang di situ banyak gembok dua-pasang (love
lock). Orang-orang tertentu percaya, katanya kalau dua gembok dikunci maka
mereka akan hidup bersama terus dengan pasangannya. Kepercayaan ini tidak hanya
ada di Australia, tapi di negeri lain juga ada. Waktu nonton sebuah film, saya
juga melihat gembok-gembok seperti itu selain di jembatan Australia.
Berfoto dengan latar Sandridge Bridge yang banyak love
lock
Di Sandridge Bridge
Ketika pulang, saat jalan Lenni Lestari dipanggil oleh seseorang.
“Mbak Lenni….” sebuah suara terdengar dari atas.
Ternyata suaranya Dian Islamiati Fatwa, seorang Indonesia yang 16 tahun hidup di Australia dan bekerja di Kantor ABC International. Dian menawarkan satu tiket gratis. Sedangkan kami bertiga. Akhirnya disepakati saya yang ambil tiket itu.
Tanpa pulang ke apartment dulu, saya langsung bergabung dengan Dian dan beberapa kawannya. Bersama seorang kenalan baru, kita cerita tentang musik klasik—sebuah tema yang tidak banyak saya tahu, kecuali beberapa nama seperti Bethoven atau Mozart. Dengan seorang dosen Monash University saya juga ngobrol, tapi tidak lama. Jika waktu agak panjang, ia berencana pertemukan saya dengan Prof. Greg Barton di Monash. Tapi sayang esoknya kami harus terbang ke Canberra.
Menjelang
jam 20.00 local time, kami jalan kaki
menuju ke Melbourne Symphony Orchestra (MSO).
Rombongan kami duduk di balkon atas. “Balkon ini harganya 150 dollar
Australia,” kata Dian. Kuranglebih Rp. 1. 500.000,-. Peminatnya selalu banyak,
dan penuh. Acara malam ini temanya adalah In
Concert Berlioz’s The Damnation of Faust.
Selama dua jam, saya ikuti konser ini, tapi memang ini masalah selera sih ya. Bagi penggemar musik klasik, pasti dia benar-benar menikmati musiknya. Juga peminat dangdut, pop, rock, sampai acapella atau nasyid. “Ini masalah selera,” batin saya. Kata Dian Islamiati, “Kalau pertama-tama memang kadang nggak ngerti, tapi lama-lama juga akan ngerti.” Seminggu sebelumnya, di Hotel Borobudur sekilas saya juga lihat dan dengarkan musik jazz pada pukul setengah satu dini hari. Sekedar musik aja gitu. Saya lihat orang-orang bisa menikmatinya, sedangkan saya benar-benar terasa tidak bisa. Mungkin ini masalah selera, sekali lagi. Sama seperti beberapa kawan baru, seniman-seniman Australia, yang sangat lezat menikmati makanan Maroko, tapi saya hanya cicipi sekedarnya saja. Sekali lagi, ini masalah selera. Sebagai orang Timur yang tiap hari makannya ikan segar dengan sambel dabu-dabu, pastinya sedikit ‘shock’ menikmati makanan orang Barat.
Ala kulli hal, saya merasa senang bisa melihat sesuatu yang baru. Melihat (sekaligus heran dan bertanya-tanya), apa sebab penonton begitu hening ketika mendengarkan orchestra tersebut. Masalah musik dan seni mungkin soalnya bukan mengerti atau tidak, tapi apakah kita menikmatinya atau tidak. Mungkin juga, selain faktor selera, bisa jadi ini soal waktu. *
Konser
di Orkestra di MSO, Melbourne
No comments:
Post a Comment