Tuesday, June 23, 2015

Haruskah Kumenunggu



BUNYI telpon berdering. Sebuah nomor baru. Dari suaranya, saya lupa-lupa ingat, tapi pastinya suara yang pernah kukenal. Lelaki itu sedang dalam perjalanan dinas, dan disempatkanlah untuk mengutarakan salah satu problemnya.
Sang lelaki ingin menikah, oh itu rupanya. Trus trus...Dia mengenal seorang perempuan, baik, cantik, dan pokoknya pas banget dengan taste-nya dia. Dia pun mengajak di perempuan untuk menikah. Tapi, si perempuan memintanya untuk menunggu kurang lebih tiga tahun lalu setelah dia tamat dari kuliahnya. Si lelaki bingung juga. Dia berkata, "Bagaimana ya, saya ini juga laki-laki normal. Kalau menunggu sampai lama begitu, saya juga bingung."
Kepada kawanku ini, ada masukanku untuknya. Pertama, Menikah itu ibadah. Karena menikah itu ibadah, maka niat kita harus ibadah juga. Kalau kita serius untuk menikah dengannya, maka jangan diperlama, alias jangan ditunda-tunda. Ada seorang akhwat, dia pintar dan cantik, dia ingin menikah, tapi sang lelaki malah tidak ada kabarnya selama kurang lebih satu semester. Padahal si akhwat sudah siap. Pastinya, sang akhwat merasa "digantung", dan kalau dipikir-pikir, tindakan lelaki seperti ini, yang dengan teganya menggantung-gantung hati orang, sungguh tindakan yang tidak etis sebagai lelaki. Jadi, karena ibadah maka niatnya juga harus karena ingin mendapatkan ridha Allah. Bukan untuk mendapatkan kecantikannya, hartanya atau harum nama keluarganya.
Bagian kedua yaitu: Shalat Istikharah. Kalau kita ada sesuatu, usahakan kembalikan kepada Allah. Karena apa yang kita anggap baik, belum tentu itu baik. Ada orang yang waktu belum menikah terlihat begitu menawan, tp setelah menikah malah penyakitnya bermunculan satu-satu. Orang yang cintanya hanya karena fisik, pasti akan jatuh, dan berkurang bahkan bisa hilanglah cintanya kepada pasangannya. Dengan shalat istikharah ini kita berdoa, Ya Allah kalau dia baik untuk saya maka dekatkanlah saya padanya dan jika dia tidak baik untuk saya--betapapun menariknya dia—maka jauhkanlah dia dari saya." Shalat adalah penetralisir hati kita.
Yang ketiga adalah: status pernikahan. Menikah itu bisa wajib, atau sunnah. Wajib itu kalau kamu merasa kalau kamu tidak menikah maka kamu bisa terjemus pada dosa. Sunnah kalau kamu merasa, kalau saya belum menikah, saya masih bisa menjaga diri. Dari sini kita bisa lihat kita itu di posisi mana. Tapi anehnya ada juga orang yang sudah termasuk wajib tapi masih enjoy saja, itu karena dia sudah terbiasa dengan dosa, maka dia biasa-biasa saja, ataukah karena dia menganggap bahwa hidupnya masih panjang, jadi santai-santai sajalah, ataukah karena dia punya pikiran, "yah, namanya juga manusia, tidak ada yang sempurna."
Dan yang keempat: putuskan segera. Kalau kita ada rasa, putuskanlah segera apakah ingin menikah atau tidak. Kalau ingin menikah, maka ikuti jalur-jalur islami untuk itu. Kalau tidak, maka putuskan bahwa saya tidak ingin menikah dengannya. Kalau sudah suka, putuskan saja jadi apa tidak—tentunya setelah shalat istikharah.
Beberapa masukan ini, setidaknya bagi kawan saya yang barusan menelpon. Saya menyadari diri saya masih jauh dari sempurna, betapa banyak noktah dalam hidupku aku rasa. Tapi, sebuah nasehat untuk kebaikan, bagi diri kita dan orang lain itu sangatlah penting. Karena dengan demikianlah kita akan menjadi muslim yang selalu berubah dan mengharapkan adanya perubahan. Untuk kawanku, semoga Allah memudahkan langkahmu untuk menikah. Dan, kalaupun belum bisa, maka menjaga diri dari dosa adalah jalan terbaik menuju rahmat Allah. []

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...