![]() |
Hati tak bisa dipaksa |
SUATU waktu saya mengawas try out SMU.
Tiba-tiba seseorang berteriak. Tak seberapa lama, beberapa kawannya juga ikutan
berteriak. Ternyata, mereka
kesurupan jin. Dari satu orang kemudian menyebar ke teman-temannya yang lain.
Bertanyalah saya pada yang
kesurupan itu. "Kamu disuruh siapa?"
”Yang di dalam" menjawab
sebuah nama.
"Kampungmu dimana?"
Dia menyebut salah satu kota.
Bertanya lagi
saya,"Kenapa kamu mau masuk ke dia?"
"Saya disuruh sama
(sambil menyebut nama seorang lelaki)".
Ternyata, si perempuan yang
kesurupan ini menjadi idola beberapa lelaki di kampungnya. Kemudian, karena
perempuan ini menolak untuk dijadikan pacar, maka--seperti kata pepatah
"cinta ditolak dukun bertindak.
Sama sekali, KITA TIDAK BISA
MEMAKSA HATI ORANG LAIN UNTUK SUKA KEPADA KITA. Kalau kita sudah berusaha
semaksimal mungkin, tapi orang masih tidak suka, jangan pakai cara-cara salah.
Karena itu akan merendahkan martabat kita saja. Kita dilahirkan dalam keadaan
merdeka, jangan perbudak diri kita dengan sesuatu yang tidak terlalu penting.
Seseorang pernah bersalah. Dia
kemudian meminta maaf dan mendekati kembali kawannya untuk bersahabat atas
dasar ajaran Islam bahwa kita harus sambung silaturrahim. Namun, kawannya yang
disana tidak menyambutnya. Bahkan, memberikan beberapa pertanyaan. Sudah
dijawab oleh kawan kita itu, namun tetap hati kawannya yang disana tidak juga
berubah. Dia tidak ingin menjalin silaturrahim kembali.
Melihat masalah itu, saya
berpikir. Bahwa, KITA MEMANG TIDAK BISA MEMAKSA HATI ORANG LAIN. Kita hanya
bisa berusaha, namun kemudian ketika orang lain tidak mau lagi menerima kita,
maka itu bukanlah salah kita, karena kita sudah berusaha untuk datang kembali.
Dalam Islam, silaturrahim itu penting. Karena dengan silaturrahim
kita sungguh telah mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Kalau kita beriman kepada hari akhir, maka kita
harus jaga silaturrahim. Jangan sampai gara-gara sesuatu yang tidak terlalu
penting kita jadi bermusuhan. Kasus Nasrudin yang nyawanya dihabisi oleh
sekelompok orang, adalah karena masalah sepele: perempuan. Mereka masing-masing
sudah punya istri, tapi kenapa mereka masih ribut masalah perempuan berumur 22
tahun itu?
Waktu masih mahasiswa, di
kampus saya (Unhas) kerap terjadi tawuran. Salah satu masalahnya adalah
ketersinggungan seorang oknum mahasiswa. Selain itu, ada juga karena masalah
wanita. Ada perempuan fakultas tertentu yang digoda, kemudian ada yang
tersinggung, dan terjadilah saling berantem mulut, lempar-lemparan, dan
akhirnya amarah itu memuncak.
Secara tidak sengaja dalam
perjalanan kereta api Jakarta-Bandung, lihatlah saya sebuah gambar tawuran
mahasiswa. Sang lelaki sambil menghunus sebuah alat tajam dengan baju yang
berdarah berdiri dengan gagah. Saya berpikir, kenapa teman-teman mahasiswa bisa
sampai seperti itu? Padahal, ini mahasiswa yang seharusnya menggunakan rasionya
ketimbang ototnya. Atau dalam bahasa
Prof. Gufran Ali Ibrahim, pakar antropolinguistik, kalangan seperti itu lebih
mementingkan “otot-otot” ketimbang “otak-otak.” Harusnya otak lebih
dikedepankan ketimbang otot, kekerasan, dan paksaan.
Kita tidak bisa memaksa, maka
kita hanya bisa MENGAJAK. Kalau kita pernah ada salah, maafkanlah. Kalau ada
kesalahan orang, marilah kita maafkan. Meminta maaf itu relatif tapi memaafkan
itu susah. Namun yang unik lagi adalah, ada individu tertentu yang tidak
merasakan bahwa dia sesungguhnya salah.
Kawan saya pernah kedatangan
kawan yang lain. Si kawan saya ini sudah lama saya kenal. Kalau ke kosannya
yang kadang banjir itu, saya biasa disuguhi Indomie Telur yang—dia sudah tahu kayak gimana selera saya. Kawan
yang lain datang, dan menginap. Namun, keesokan paginya, si kawan saya ini
heran kenapa ada beberapa barangnya yang lenyap. Ternyata, si kawan yang lain
itu membawanya. Tidak kurang dari tiga bentuk barang dibawanya. Dan, sampai
kini, barang-barang itu tak pernah dikembalikan, padahal kita masih biasa
bertemu.
Mungkin itu penyakit: suka
mengambil sesuatu tapi tidak sadar bahwa itu salah. Saya berpikir, jangan
sampai kita semua terjebak di situ. Kita menganggap kita ini paling benar dan
orang lain harus takluk pada kita. Padahal, sesungguhnya kemurahhatian orang
pada kita sesungguhnya adalah karena dia ingin berkawan kembali. []
No comments:
Post a Comment