SEORANG penyair pernah berkata:
”Contohlah mereka walaupun tidak persis. Sebab
mencontoh orang yang mulia itu beruntung.”
Dalam mengejar cita-cita kita
perlu mencontoh para tokoh teladan yang sukses di bidang itu. Jika ingin
menjadi dosen, maka carilah tipologi dosen jaman sekarang yang idealis, kritis,
dan tetap berpegang pada kaidah ilmu pengetahuan. Jika ingin menjadi pengusaha,
maka carilah yang setipe sahabat Abdurrahman bin Auf yang ketika ditawari uang,
ia malah bertanya dimana pasar dekat sini. Dia berusaha sekuat tenaga hingga
dia pun sukses dengan usahanya.
Mencontoh orang berhasil itu penting. Tidak bisa kita
pungkiri memang, bahwa begitu banyak ide-ide yang berseliweran di kepala itu
hasil dari sintesa bacaan, diskusi hingga kontemplasi kita atas ceramah,
khotbah, materi, tulisan orang lain. Kita mendapatkan ragam pengetahuan dari orang lain yang pernah juga mendaki
gunung sains sama dengan posisi kita sekarang.
Menjadi tokoh agama, marilah
mencontoh dahulu Rasulullah! Ketika ditanya: ”Bagaimana akhlak Rasulullah?”
Istri beliau, Aisyah menjawab: ”Akhlaknya adalah Al-Qur’an.” Maka, mengkaji
nabi kita tidak lepas dari mengkaji Al-Qur’an.
Marilah belajar dari
ulama-ulama terdahulu yang tidak terlalu banyak waktu tidurnya. Tapi malah
menggunakan waktunya untuk ibadah, menulis buku, dan beramal shaleh. Marilah kita belajar dari Sa’id bin Musayyab,
pemimpin para tabi’in yang selama 60 tahun tidak pernah tertinggal olehnya satu
takbiratul ihram pun di belakang
imam. Artinya, ia selalu shalat berjamaah! Ia rela berjalan tiga hari lamanya
hanya untuk mencari satu hadits! Ia sering menghabiskan waktu-waktunya di
masjid. Ia menjadi tempat bertanya
tentang berbagai masalah hukum dan tafsir mimpi. Dan itu, adalah hasil dari
kezuhudannya, hasil dari olah pemikirannya, hasil dari qiyamullail-nya.
Marilah kita belajar dari
Khalid bin Walid, pedang Allah yang nyaris tidak pernah berada di sarungnya.
Namanya tertulis dengan huruf yang bercahaya di daftar tokoh-tokoh Islam
terkemuka. Ia selalu dikenang dalam sajak-sajak indah para generasi penerusnya.
Ia membela Islam dengan pedangnya, bertempur di medan laga dengan semangatnya,
menghadapi bahaya dengan keberaniannya, dan rela mengorbankan nyawanya di
saat-saat dirinya harus beristirahat dan melupakan segala kesusahan yang pernah
ada. Khalid pernah ikut dalam 100 macam peperangan.
Pada Perang Yarmuk, coba bayangkan, ia membunuh 5000 orang musuh. Selain itu,
dengan tangannya sendiri, ia berhasil mematahkan 9 pedang musuh-musuh Allah!
Dalam konteks amal positif, Khalid berhasil berjihad dan menelurkan
banyak-banyak amalannya. Di jaman sekarang (dimana kita tidak berhadapan secara
frontal dengan musuh), maka memperbanyak amal menjadi agenda harian kita.
Sebagai muslim yang ingin
mengikuti para generasi terbaik, mari ikuti teladan terbaik sepanjang masa.
Janganlah menjadi orang malas, karena orang malas akan tertinggal. Jangan bingung. Karena orang bingung akan tertidur. Jangan jadi
orang yang kosong. Karena orang yang kosong itu akan menganggur. Dan jangan
menjadi orang yang kerjaannya hanya thulul amal (panjang angan-angan). Karena orang seperti itu akan menjadi
orang yang tidak punya apa-apa.
Ya, mau jadi apapun kita,
apapun profesi yang akan kita tiru dari manusia-manusia teladan, tetaplah
jangan lupakan perkara ibadah. Imam An-Nawawi pernah berkata: ”Karaz bin
Wabarah mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 4 kali setiap malam dan 4 kali setiap
siang hari. Ibn Idris menghatamkan Al-Qur’an di rumahnya sebanyak 4000 kali.
Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an selama Ramadhan sebanyak 60 kali,
sedangkan Imam Bukhari sebanyak 30 kali.”
Orang-orang teladan. Dimanakah
penerusnya kini? Jika mendapatkan kesulitan dalam sebuah masalah, Ibn Taimiyyah
beristigfar sebanyak 1000 kali. Imam
Bukhari berkata, ”Aku tidak pernah berdusta sekalipun semenjak aku baligh.”
Coba lihat masa lalu kita. Kita yang juga ingin jadi orang hehat serta
berhasil, pernahkah kita tidak berdusta sejak kita mulai baligh hingga kini?
Mari teladani generasi terbaik
kita di masa lampau. Kita ambil sari-sari kebaikan, keteladanan, dan
kebijaksanaan dari mereka. Kemudian kita olah sari-sari tersebut dalam diri
kita hingga menjadi madu yang manis lagi menyehatkan jiwa dan raga saudara
kita. Kita teteskan sedikit demi sedikit madu kebenaran yang manis itu ke dalam
hati keluarga kita, masyarakat kita, hingga bangsa dan negara kita. []
No comments:
Post a Comment