Tuesday, June 23, 2015

Kisah Opal Stone untuk Pak Dubes (20)

Mr. Paul Grigson

Orang Aborigin punya cerita tentang warna-warni pada batu Opal. Konon, ketika pelangi muncul, warna-warni pada pelangi itu kemudian masuk ke dalam batu Opal sehingga warna batu itu bervariasi. Terkait dengan ini, kehidupan multikultural masyarakat Australia juga tidak lepas dari warna-warni pada batu Opal-nya Aborigin. 

Saat kami tiba di Jakarta tanggal 29 Maret, besoknya tanggal 30 kami bertemu Dubes Australia untuk Indonesia Mr. Paul Grigson. Grigson adalah pejabat karir senior di DFAT. Sebelumnya pernah bekerja di Pakistan dan Afghanistan dan sebagai Dubes untuk Thailand, dan Burma. Grigson juga adalah Sarjana Sastra dari The Australian National University (ANU) yang mahir berbahasa Perancis.

Setelah beliau memberikan beberapa pendapatnya tentang program MEP yang baru saja kami lalui, tentang pentingnya hubungan antar kedua negara, Indonesia dan Australia, kami dipersilahkan memberikan pesan dan kesan kepada beliau. 

Ketika tiba giliran saya, saya menyampaikan sebuah pesan multikultural dari batu Opal yang dipercayai orang Aborigin sebagai saya tulis di atas. Indonesia dan Australia memang tidak bisa pernah hidup sendiri. Sudat dikodratkan kita untuk bertetangga. Maka, kebutuhan untuk menjadi tetangga yang rukun satu sama lain terasa penting dan mendesak. 

Adapun perjalanan kami mengikuti program MEP ini adalah bagian dari ikhtiar untuk saling kunjung-mengunjungi, saling cerita, saling berbagi untuk kemaslahatan bersama. Memang, di Indonesia kerap ada persepsi negatif ketika seseorang atau kelompok berhubungan dengan orang asing, akan tetapi jika direnungkan lebih jauh, kita semua pada dasarnya sama. Semua kita, apakah yang berkulit putih atau berwarna, sama-sama manusia. Takdir menjadikan kita berbeda, akan tetapi perbedaan warna dan sejarah itu tidaklah menjadikan kita saling jauh menjauhkan, tetapi harusnya saling dekat-mendekatkan. Jika dilihat dalam perspektif Islam, agama ini juga datang untuk mendekati, bukan menjauhi. Ketika banyak orang belum beragama, Islam hadir, mendekati, dan memberikan perspektifnya tentang dunia, tentang tauhid. 

Apa yang kami baru saja lalui selama dua minggu ini, tentu saja memiliki nilai positif untuk mendekatkan antar kedua negara. Kami bertemu dengan berbagai kalangan di Australia, dari Islam, Kristen, dan berbagai agama dan kepercayaan lainnya. Semua untuk saling mengenal, saling mengerti, dan saling bekerjasama. Dalam urusan kepercayaan, tiap orang memiliki hak asasi untuk memeluk kepercayaannya, akan tetapi dalam hal kemanusiaan, kita bisa bekerjasama.

Teman-teman saya--Ahmad Saifulloh, Hindu Anisah, Siti dan Lenni Lestari--juga memberikan kesannya selama ikut MEP. Secara umum, kesan teman-teman adalah positif. Sebagai tambahan, kami juga mendapatkan pelayanan yang baik dalam program ini. Kecuali mungkin satu hal, yaitu sulitnya menemukan waktu untuk salat berjamaah di masjid, karena tidak banyak masjid di Australia, dan waktu yang telah ditentukan untuk kami memang cukup padat. Akhirnya, salat berjamaah kami lakukan hanya beberapa orang.

Setelah bertemu Dubes, masing-masing kami juga diwawancarai kesan-kesan selama di Australia dan divideo sebagaimana sebelum berangkat. Video ini nanti jadi dokumen MEP. 

Akhirnya, perjalanan MEP 2015 ini merupakan sebuah pengalaman baru bagi saya. Sejak pertama berangkat, saya telah bertekad dalam hati semoga perjalanan ini menghasilkan kebaikan untuk diriku, untuk keluargaku, untuk daerahku, umat agama, dan untuk Indonesia secara umum. *

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...