Auburn Gallipoli Mosque, Sydney |
Sekolah Al Zahra
Pada
25 Maret kami berkunjung ke Al Zahra College yang terletak di 3-5 Wollongong
Road, Arncliffe. Masuk ke kantor Al Zahra, di dindingnya ada beberapa jam dari
beberapa negara seperti Mekkah, Singapura, London, Johannesburg, dan Bounes
Aires. Dari sini terlihat bahwa, manajemen waktu sekolah ini sangat
diperhatikan. Selain itu, masih di ruang tamunya, kami juga melihat beberapa
sertifikat lomba yang diikuti siswa Al Zahra.
Sekolah ini mengikut pada Syiah 12 Imam. Di gerbang masjidnya, kita bisa lihat nama-nama Imam-nya. Gerbang berbentuk huruf U terbalik, di bagian atas ada tulisan Bismillahirrahmanirrahim dan La Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah. Di bawahnya ada tulisan Muhammad saw dan Fatimah Az Zahra (putri beliau), dan sebelah kiri-kanan ada 12 nama imam. Dari sini terlihat Syiah 12 imam.
Kami
bertemu dengan Kepala Sekolah Bruce Handley. Dalam perjalanan ke ruangannya,
kami melihat beberapa siswi kelas senior sedang bermain bulutangkis. Di
dekatnya ada seorang guru perempuan. Gurunya tidak pakai jilbab, tapi siswanya
semua pakai. Tiba di ruangan, kami berdialog tentang sekolah ini, tentang syiah
di Australia, dan tentang kurikulum secara umum.
Saya bertanya kepada beliau tentang konflik antara Sunni dan Syiah di Australia? Kata beliau, di Australia tidak ada konflik seperti itu. Masing-masing pihak saling menghargai sebagaimana aturan dari kemajemukan Australia. Berbeda dengan di Indonesia, isu Syiah memang sangat sensitif, karena umumnya mayoritas umat Islam Indonesia adalah sunni. Dalam beberapa kasus, penyerangan terhadap komunitas Syiah juga terjadi. Dan serangan balik Syiah kepada kalangan Sunni juga terjadi tidak hanya di media, tapi juga penyerangan langsung seperti yang menimpa komunitas Ust Arifin Ilham. Di Indonesia, sekali lagi, isu Syiah memang sangat sensitif, apalagi belakangan ini muncul tandingan dari penulis Syiah yang membantah alasan-alasan MUI yang menyesatkan aliran tersebut. Tentu saja, soal Sunni-Syiah ini sudah lama dibahas oleh para ulama. Dalam konteks Australia, menurut Handley, tidak ada konflik antara Sunni dan Syiah.
Setelah berdialog dan menyerahkan beberapa kenang-kenangan dari kami kepada Al Zahra, kami tour di lingkungan sekolah. Masuk ke kelas melihat siswa belajar, berdialog dengan mereka, dan melihat masjidnya yang di situ ada sebuah tumpukan batu di bagian depan pintu. Batu itu digunakan oleh warga Syiah sebagai tempat sujud. Saya pernah dengar tentang batu tersebut, dan baru kali ini saya melihatnya. Bentuknya banyak bulat, dan diletakkan di tempat sujud. Seorang siswi yang menemani kami mempraktikkan cara bersujud di atas batu tersebut. Ini memang berbeda dengan umumnya tata cara salat kalangan sunni.
Di
sebuah dinding sekolah, ada nilai-nilai filosofis yang dipajang. Ada respect (menghormati orang lain), curiosity (rasa ingin tahu), commitment (komitmen), confidence (percaya diri), dan tolerance (toleransi). Nilai-nilai ini
dimaksudkan agar sejak dini para siswa memiliki karakter tersebut. Ketika
mereka besar, mereka telah hafal dan dapat mengamalkan nilai-nilai tersebut.
Yang paling sering saya dengar dari dialog-dialog di Australia ini adalah kata respect each other, saling menghargai
satu sama lain. Jadi, walaupun kita berbeda, sejauh apapun perbedaannya, tetap
kita harus saling menghargai satu sama lain.
Nilai motivatif lainnya yang ada di dinding sekolah berbunyi sebagai berikut:
Coming together is the beginning
Keeping together is progress
Working together is success
Intinya, mengutip peribahasa Arab yang diajarkan di pesantren adalah Al Ittihadi asasunnajah (Persatuan adalah kunci keberhasilan). Ingin sukses, maka harus bersatu. Jangan bercerai-berai.
Siangnya kami ke Sydney Jewish Museum di 148 Darlinghurst Rd. Di atas pintu masuknya ada sebuah gambar gedungnya, dan dibawah bertuliskan:
Sydney Jewish Museum
The Holocaust and Australian Jewish History
Jeremy
Jones, Direktur Australia/Israel & Jewish Affairs Council menjadi guide yang menjelaskan berbagai hal di
museum ini. Ia menjelaskan tentang kebudayaan Yahudi, upacara-upacaranya,
hingga holocaust. Museum ini dipimpin oleh President Professor Gus Lehrer FAA
dan CEO Norman Seligman.
Masuk ke museum, kami melihat banyak nama-nama orang Yahudi di dinding dengan subjek: NSW Jewish War Memorial Honour Roll (1939-1945). Nama-nama yang ada di dinding adalah para tentara Yahudi yang ikut dalam perang Australia. Di bagian depan dinding itu ada sebuah memorial untuk seorang komandan tentara Australia yang seorang Yahudi. Namanya terkenal, dan menjadi banyak nama: General Sir John Monash. Nama Monash University di Melbourne, kabarnya diambil dari namanya. Di memorial itu tertulis: This Memorial Perpetuates the Memory of General Sir John Monash Commanded the Australian Army Corps in France 30-5-1918 – 28-11-1918.
Waktu tiba di dalam, kami disambut langsung oleh Seligman, dan selanjutnya diserahkan kepada Jones untuk memandu kunjungan kami. Jones menjelaskan banyak data di situ, seperti sejarah Yahudi dari dulu sampai sekarang, dan upacara ritual yang ada dalam komunitas Yahudi. Memoar kekejaman Hitler kepada orang Yahudi di Jerman juga ada di sini.
Dalam salah satu informasi di situ, dijelaskan bahwa Adolf Hitler menjadi Pemimpin Jerman pada Januari 1933 setelah Partai Nazi menang dalam pemilihan pada bulan November 1932. Jerman pun terlibat dalam Perang Dunia I, dan setelah itu terjadi pengganyangan terhadap rival-rivalnya. Tertulis di situ, “The Nazi regime soon began the systematic crushing of all opposition, Jews, Communist, and Social Democrats were the main targets.”
Jadi, yang diganyang oleh Nazi ketika berkuasa adalah orang Yahudi, Komunis, dan kalangan Sosialis Demokrat. Akibat itu, orang Yahudi Jerman pun terusir dari kota tersebut, ditambah lagi dengan pembantaian yang dilakukan Nazi terhadap Yahudi yang dikenal dengan nama Holocaust. Isu Holocaust menjadi sangat sensitif bagi orang Yahudi. Mengenai jumlah korban memang masih debatable, apakah 6 juta atau kurang dari itu, tapi memang terjadi peristiwa mengenaskan tersebut.
Masjid Auburn
Kami juga mengunjungi Masjid Gallipoli Auburn (Auburn Gallipoli Mosque) yang dominan pengaruh Turki. Di sini kami berdialog dengan seorang pengurus masjid yang sangat dalam. Ia menjelaskan banyak hal tentang bagaimana Islam di Australia, dan tentang masjid ini. Non Muslim yang pernah datang ke masjid dan melihat beberapa gambar bintang bertanya, apakah orang Islam menyembah bintang? Tentu saja jawabnya tidak, itu sekedar hiasan. Akan tetapi simbol bintang menjadi fitnah tersendiri, akhirnya pengurus masjid rencana akan mengganti simbol itu dengan yang tidak berpretensi salah tafsir.
Di sebelah kanan pintu masuk masjid, ada tulisan bagus, “Bersegeralah salat sebelum waktunya lewat.” Dan di sebelah kiri, di atas pintu masuk ada tulisan, “Bersegeralah taubuat sebelum mati.” Dua kalimat ini menurut saya sangat inspiratif. Orang yang baru selesai wudhu di luar, ketika masuk masjid yang baca tulisan berbahasa Arab tentang taubat. Ini bagus sekali. Mengingatkan dengan kata-kata yang sangat hikmah, dan masuk ke hati.
Malam harinya kami dinner dengan alumni MEP di Impress Woodfired Cuisine, Auburn. Hadir dalam pertemuan itu Rowan Gould, Leila Ibrahim, Mobi, Irfan Yusuf, dan beberapa lainnya. Kami berdiskusi santai, tidak ada patokan subjek tertentu. Intinya dinner ini adalah silaturahmi antar komunitas Islam Indonesia dengan Australia. Asmaah Helal, sang pelatih sepakbola wanita juga hadir di sini. Ia membagikan masing-masing kita sebuah kain dengan gambar hewan-hewan native Australia sebagai kenang-kenangan.
Sedikit saya ingin tulis tentang Irfan Yusuf, ia adalah salah seorang penulis Australia kelahiran Pakistan. Buku pertamanya Once Were Radicals: My Years as a Teenage Islamo-fascist (2009) mendapatkan penghargaan Iremonger Award for Public Issues Writing. Ia juga saat ini tengah menyelesaikan studi PhD-nya dalam bidang hukum di Deakin University, Melbourne. Dalam sebuah buku berjudul Coming of Age Growing Up Muslim in Australia (Amra Pajalic & Demet Divaroren—editor) terbitan Allen & Unwin (2014), ada tulisan Irfan Yusuf juga berjudul: ABCD. Selain Irfan, dalam buku itu juga ada tulisan Tasneem Chopra, salah seorang aktivis HAM muslimat Australia yang pernah kami sama-sama dinner di Thornbury, Melbourne.
Dalam kesempatan ini, saya juga ngobrol dengan seorang polisi Australia yang asli Bandung bernama Sandy Sukmana dan istrinya Indriani Tungka. Istrinya ternyata cucu dari Pak Mustamin, tetangga saya waktu saya masih tinggal kos-kosan di depan Pintu 1 Unhas. Ia lama di Amerika, dan kini menetap di Sydney. Proses Sandy sampai jadi polisi di Australia memang tidak cepat. Awalnya ia berkuliah di Australia, kemudian karena keluarganya juga sudah banyak yang menjadi orang Australia, akhirnya ia berpikir untuk menjadi warga Australia dan jadi polisi. *
No comments:
Post a Comment