|
Pantai belakang rumah saya |
De Facto & De Jure
Di akhir tahun
1981, dari Tobelo, sebuah kota kecil di bagian utara Pulau Halmahera, ibu saya
berangkat menuju Pelabuhan Ahmad Yani Ternate, Tanjung Perak Surabaya, Tanjung
Priok Jakarta, dan terus ke Lampung. Di Lampung inilah saya dilahirkan pada
tanggal 13 Januari 1982. Saat lahir, jika tak salah ingat, ayah saya pernah
cerita bahwa ia bermimpi ada anak bayi yang bermain-main di atas kepalanya.
Mungkin itu tanda dari kelahiran saya.
Tak seberapa
lama di Lampung, saya pun dibawa kembali ke Tobelo oleh ibu, karena keluarga
kami menetap di Tobelo. Waktu pengurusan akte lahir, petugas di Tobelo tidak
mau menerbitkan akte tersebut karena saya lahir di Bandar Jaya, Terbanggi
Besar, Lampung Tengah. Akhirnya, untuk kepentingan masuk sekolah, di akte saya
tertulis lahir di Tobelo. Hingga kini, jika tanya lahir dimana? Saya menjawab
begini: “secara de facto saya lahir
di Lampung, tapi secara de jure
lahirnya di Tobelo.”
Orang tua saya adalah
pedagang. Saya anak kedua dari tiga; kakak bernama Abdillah Syukur, dan adik
Efriani Syukur. Ayah saya bernama Rasyidin Syukur dan ibu Haryanti Sjam. Di
jamannya, kakek saya dari ayah, adalah pedagang yang sukses; kebunnya banyak,
ia ahli agama, dan duitnya melimpah. Sedangkan kakek dari ibu adalah seorang
nahkoda kapal asing yang di jaman tersebut sudah berkeliling dunia dengan kapal
tersebut. Menurut pengakuan Alfi Sjam, om saya yang mengajar di PPM Menteng,
ketika masih kecil ia sudah biasa dengan hal-hal yang terkait luar negeri
ketika masyarakat sekitar rumahnya di Jakarta Timur belum banyak yang keluar
negeri. Dari jalur kedua kakek saya, mereka memiliki kesamaan: sama-sama orang
Minang perantauan. Kakek saya (Abdullah Syukur) adalah perantau dari desa
Panyinggahan yang terletak di pinggir danau Maninjau ke jazirah Moloku Kie Raha, persatuan empat
kerajaan, yaitu: Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo. Perantauan ini tampaknya
punya dua misi: (1) misi perdagangan untuk memperbaiki hajat hidup, dan (2)
menyiarkan agama Islam. Kedua hal ini saling terkait satu dan lainnya.
Jika ditarik ke
sejarah masa silam, keluarga kami telah berdiam di Maluku Utara sejak awal abad
ke-20, empat abad setelah misi Portugis pimpinan Antonio de Abreu (atas
perintah Alfonso d’Albuquerque) tiba di Maluku setelah bertolak dari Malaka, di
akhir tahun 1511. Perantuan keluarga kami itu awalnya adalah satu orang tetua,
dan ketika menemukan bahwa Ternate adalah tempat yang baik untuk merantau, ia
pun mengajak sanak-saudara untuk merantau pula. Di kota Ternate, ada yang
merantau ke beberapa kota lainnya, selain berdagang mereka juga menjadi penyiar
agama Islam. Abdullah Syukur misalnya, ia pernah menyiarkan Islam pada “orang-orang
pedalaman” di Galela yang saat itu belum beragama. Kegigihannya dalam berdakwah
bisa jadi karena orang Minang selalu tak lepas dari Islam, dan dimanapun mereka
berada, mereka tetap menyebarkan dakwah Islam.
Saya sekeluarga
menetap di kota Tobelo. Rumah saya di atas air pantai, tak seberapa jauh dari
pelabuhan. Di depan rumah terlihat jelas
beberapa pulau, seperti Kumo, Kakara, Tolonou, Tagalaya, atau sebuah pulau
kecil tak berpenghuni, pulau Tulang. Jika bisa terbang dan kita terbang lurus,
maka dari pantai Tobelo itu kita bisa tembus ke pulau Morotai (yang dipakai
oleh Jenderal McArthur sebagai basis pertahanan sekutu untuk melawan Jepang di
Perang Dunia II), dan bisa tembus Kepulauan Karolina, Marshall sampai ke
Kepulauan Hawaii yang masuk dalam yurisdiksi Amerika Serikat dan Los Angeles. Tiap
malam saya selalu merasakan sepoi angin yang menyusup lewat celah-celah lantai
papan rumah kami. Pun, di tiap malam saya mendengarkan tembang-tembang kenangan
yang diputar oleh ABK kapal-kapal kayu yang tengah bersandar di pelabuhan.
Sepulang sekolah, biasanya waktu saya banyak habis di pantai. Di bawah rumah
saya membuatkan tempat khusus untuk menangkap udang dan memelihara ayam
kampung. Telur-telur ayam itu biasa saya jual seharga lima ratus rupiah kepada
mereka yang kebetulan belanja di rumah kami. Sehabis sekolah juga, saya biasa
mencari ikan, kepiting, dan kerang untuk dimasak.
Karena terlalu
sering main di pantai, maka di umur 5 tahunan ayah saya berpikir untuk
memasukkan saya ke sekolah. Awalnya kepala sekolah SDN 1 Tobelo menolak, karena
belum cukup umur, tapi akhirnya menerima juga dengan pertimbangan: saya dalam
posisi ikut-ikutan belajar, kalau naik kelas maka bisa naik kelas dua. Saat
ujian selesai, nilai saya cukup baik dan akhirnya naik kelas dua. Begitu
seterusnya hingga tamat kelas enam SD. Kepada kepala sekolah Pak Jusuf Tonoro
dan guru-guruku di SD, saya ucapkan terimakasih banyak atas ilmu dan bimbingan
yang luar biasa waktu itu.
Selain
bersekolah di negeri, saya juga mengaji di luar sekolah. Pengalaman mengaji ini
membuat saya berpikir: kayaknya lebih tertarik pada bidang agama ketimbang
umum. Maka, saya lebih fokuskan minat saya pada pengajian. Saya pernah mengaji
pada guru-guru seperti Om Bakar (alm.)
di kompleks Dufa-Dufa, dan Ko Uceng (Husen Tjan, alm.) di TPA al-Badrun
(sekarang bernama: al-Badru) di jalan
TT. Marhaban, dan beberapa guru lainnya. Sebelum bertolak ke Jakarta misalnya,
saya diajarkan bahasa Arab sedikit oleh Om Bakar. Kosakata seperti ana (saya), anta (kamu), antum (kalian),
saya tahu dari beliau. Waktu mengaji di Ko Uceng, saya pernah menjadi peserta
terbaik pada 1993. Senang sekali waktu itu. Rasa senang dua puluh tahun lalu itu
masih membekas hingga esai ini ditulis pada 2013.
Pada 1993,
bersama ayah saya naik kapal kayu Ternate Star ke Morotai dan Ternate. Di
Ternate, kami menunggu sekira satu minggu untuk selanjutnya melanjutkan
perjalanan ke Jakarta dengan KM. Umsini selama enam hari. Praktis perjalanan
dari Tobelo-Jakarta waktu itu sekira 2 minggu. Setelah ikut tes, saya diterima
jadi santri di Pesantren Darunnajah (DN). Ada banyak suka-duka selama di
pesantren, namun itu semua menjadi “batu loncatan” (stepping stone) bagi saya untuk loncatan-loncatan ke depan. Tamat
DN, saya gagal tes beasiswa ke Universitas al-Azhar, Mesir. Ingin juga mencoba
ke Malaysia, dan Madinah, tapi kedua negara itu saya tidak punya progres
memadai. Namun saya diterima di Jurusan Pidana Islam (Jinayah Siyasah) Fakultas Syariah IAIN (sekarang UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta, dan Jurusan Antropologi FISIP Universitas Hasanuddin, di
Makassar. Saya pilih ke Makassar, meninggalkan IAIN, agar bisa hidup baru,
dengan tantangan yang baru pula. Tamat S1 di Unhas, dua tahun kemudian saya
lanjut S2 di kekhususan Politik dan Hubungan Internasional Kajian Timur Tengah
dan Islam UI. Setamat kuliah saya tidak berencana jadi dosen sebenarnya, tapi
takdir dari-Nya menjadikan saya dosen. Saya pun menjadi dosen di Universitas
Halmahera, sebuah universitas yang mulanya adalah sekolah tinggi teologi Kristen,
terletak di desa Wari Ino, Tobelo. Satu semester mengajar di Uniera (juga di
Pondok Pendidikan Muhammadiyah, Tobelo), kemudian saya diterima menjadi dosen
PNS di Universitas Khairun, yang terletak di bagian selatan pulau Ternate.
Rusuh 99
Baru satu
semester jadi mahasiswa, jelang lebaran 1999, saya pulang kampung. Dari Pelabuhan
laut Soekarno-Hatta Makassar saya naik kapal ke Ternate; dari Ternate ke
Sidangoli dan ke Tobelo. Dalam perjalanan, beberapa kali mobil yang saya
tumpangi dicegat oleh sepasukan berikat kepala merah yang di tangannya memegang
tombak. Sebelum itu, memang telah ada konflik tapal batas antara orang Kao
(kristen) dan Malifut (Islam) yang banyak didiami suku Makian (Islam).
Akhirnya, orang Kao pun sweeping
orang Makian. Orang Makian dikenal progresif, edukatif, memiliki etos kerja
yang baik, baik dari sifat paternalistiknya maupun militansi keagamaan. Karena
bukan suku Makian, maka saya lebih aman, dan praktisnya “selamat” dari sweeping tersebut. Konflik ini memang
serba kabur, karena banyak isu yang berkembang dan saling menyudutkan satu dan
lainnya.
Tiba di Tobelo,
malamnya kakak saya mengajari saya memanah. Panahnya terbuat dari besi,
panjangnya satu jengkal setengah, depannya tajam (dengan lekukan kebelakang),
dan di belakang panah ada renda-renda dari tali rafia. Saya mencoba, tapi
tembakan saya tidak pas, malah panah itu lari ke belakang, bukan ke depan. Di
televisi saya menonton komentar dari pimpinan TNI yang mengatakan bahwa di
Maluku keadaan aman dan terkendali. Tapi, nyatanya tidak. Dua hari setelah
tiba, tanggal 25 Desember (setelah natal), isu kuat berhembus: akan terjadi
kerusuhan. Semua siap-siap. Termasuk saya. Saya pakai panah-panah tadi, parang,
tombak, dan batu-batu di kantong celana. Malam setelah natal itu, di maghrib
sudah terjadi baku hantam di kota Tobelo. Di tempat saya (komplek pelabuhan)
belum. Malam itu tidur saya tidak pulas, bahkan berjaga-jaga jangan sampai
pasukan Kristen datang. Senin pagi saya ikut penyerangan ke sebuah gereja di
tengah kota. Di tengah penyerangan itu, saya berada di depan sayap kiri, ada
sebuah bom meledak. Sepertinya molotov. Tangan saya berdarah. Saya kira tangan
putus. Ternyata alhamdulillah tidak.
Saya pun mundur. Setelah penyerangan itu, saya pun ke rumah. Di rumah saya
berpikir, kenapa bisa seperti ini? Bahkan, saya berjanji dalam hati, suatu saat
saya harus kembali ke sini.
Di senin itu,
pasukan Islam berhasil memukul mundur Kristen. Tapi muncul isu bahwa besok
(selasa, 27 Desember), akan ada penyerangan besar-besaran pasukan merah. Malam
itu saya begadang. Ibu dan adik saya sudah diungsikan duluan ke pulau Tolonuo
yang mayoritas Islam. Di rumah tinggal saya, kakak, dan ayah. Ayahku tidak mau
mengungsi duluan. Ia, sepertinya menjaga saya jangan sampai ada apa-apa.
Dan, di pukul 7
pagi itu betul. Terjadi serangan besar-besaran. Waktu pasukan merah masih di
pasar, saya dan beberapa kawan sempat menyerang ke pasar. Tapi, pasukan dari
sana lebih besar. Saya mundur ke belakang. Tiba di depan gerbang pelabuhan, saya
berdiri di tengah-tengah. Ternyata, serangan itu makin besar. Akhirnya mundur.
Di samping rumah saya mencoba beberapa jurus tenaga dalam yang pernah saya
pelajari, ternyata tidak ada reaksi apa-apa. Saya jadi bertanya dalam hati, apa
benar tenaga dalam itu berkhasiat? (sejak itu saya agak tidak terlalu percaya
dengan tenaga dalam). Akhirnya terdesak, kita terus mundur. Saya waktu itu
berkemeja panjang kotak-kotak, pakai serban, celana kain hitam; di kantong
celana ada batu, di tangan kiri tombak, tangan kanan parang; di kepala ada ikat
kepala putih bertuliskan bahasa Arab: La
Ilaha Illallah. Saya berdiri di tengah, ternyata ditembak lagi dengan panah
panjang beracun. Beberapa panah itu tidak kena saya (tapi dalam hati saya
sungguh khawatir). Tak seberapa lama, di kepala saya sakit. Sepertinya kena
batu katapel. Berdarah. Di belakang saya ada ayah saya. Ia terus ikuti saya.
Kami mundur setelah pelipis saya berdarah. Tiba di tikungan, tidak ada jalan
lagi. Yang ada hanya lorong kecil di samping hotel President. Di sebelah jalan
saya lihat ada tentara, tapi kami tidak tahu apakah itu tentara Islam atau
Kristen. Saya berdoa cukup lama, 5 menit lagi. Berdoa dan memohon ampun,
sekaligus berjanji bahwa ada ide-ide besar saya yang belum tertunaikan; saya
ingin membuat pesantren. Tak seberapa lama,
alhamdulillah, tentara itu memanggil kita agar maju, dan lari kencang. Saya
lari kencang, dan juga teman-teman yang ada di situ. Di belakang tentara itu
sudah banyak pasukan merah. Seandainya tidak ada tentara, mungkin pasukan merah
sudah masuk (karena dari laut juga pasukan merah sudah mendekat, begitu juga
dari belakang).
Tibalah di
Masjid Raya. Sudah banyak orang berkumpul. Beberapa orang mau terus melawan,
tapi tentara memberikan opsi agar kita angkat bendera putih, menyerah, dan
selanjutnya keamanan ditangani tentara. Akhirnya, tentara yang tangani, dan
menunggu mobil truk untuk diungsikan ke kompi Yonif C732 Banau tak seberapa
jauh dari Masjid Raya. Dalam perjalanan di truk itu, saya mendengar banyak
sekali kalimat-kalimat kasar yang dilontarkan tentang Islam, Nabi Muhammad, dan
seterusnya. Memang, namanya perang, segala amarah memuncak hebat, dan itu sulit
dihindari. Tapi, kami yang sudah di truk, tidak bisa apa-apa lagi, kecuali
pasrah dan menerima takdir sebagai orang yang kalah, dan terusir.
Etoser
Menyadari
banyaknya kerugian akibat kerusuhan, maka pemerintah mengalokasikan beasiswa
kepada mahasiswa yang berasal dari daerah konflik, seperti Ambon, Maluku Utara,
dan Poso. Saya beruntung dapat menerima beasiswa ini, setidaknya bisa membantu
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Keberuntungan itu bertambah lagi, saat Dompet
Dhuafa Republika menjaring mahasiswa untuk menerima beastudi etos. Waktu itu,
calon penerima masih umum, tidak dibatasi dari fakultas atau jurusan tertentu.
Setelah berproses, alhamdulillah saya
menjadi salah satu penerima, bahkan dipercaya oleh teman-teman sebagai Ketua
Keluarga Penerima Beastudi Etos (KARIBIS) Makassar.
Tiap minggu kami
mengikuti kajian pembinaan yang diadakan di gedung LAN Jl. Andi Pangerang
Pettarani, Makassar. Pak Andi Taufik dan Pak Yamin Aslan, adalah dua nama yang
berjasa bagi kami penerima beastudi etos di Makassar. Pada waktu tertentu, kami
juga ditraktir makan coto Makassar oleh Pak Andi Taufik. Kemurahan hati Pak
Taufik menurut saya turut memberikan pengaruh juga bagi saya, bahwa kalau kita
memiliki rezeki, haruslah kita bagi kepada orang lain. Sesungguhnya, dan ini
yang saya rasakan juga, ketika kita berbagi pada orang lain, kita juga
mendapatkan kebahagiaan yang sama, bahkan lebih dari itu semua. Kebahagiaan yang
sifatnya ilahiah.
Beberapa tahun
saya menerima beastudi etos. Setelah tak menerima lagi, saya kerap merasa
berutang-budi pada Dompet Dhuafa. Maka, kerap dalam kegiatan etoser Makassar,
saya turut berbagi pengalaman, terutama dalam dunia tulis-menulis dimana saya
cukup aktif bergiat. Membagi pengalaman ini turut memperkaya pengalaman saya
dalam dunia kepenulisan, sekaligus membantu teman-teman yang berminat untuk
aktif mencurahkan pikiran dan ide-idenya lewat tulisan.
Menulis Buku
Mungkin, dari
etoser Makassar lainnya, atau mahasiswa seangkatan di Makassar, yang membedakan
saya dengan yang lain adalah dalam menulis. Dalam organisasi bisa jadi ada
kesamaan. Saya pernah menjadi ketua di beberapa lembaga, sebutlah: Forum Kajian
Insani (FKI) BEM FISIP Unhas, Ketua KAMMI Komisariat Unhas, Ketua Forum Lingkar
Pena (FLP) Sulsel, dan beberapa lainnya. Aktivitas saya yang berbeda dengan
teman lainnya adalah dalam tulis-menulis.
Awalnya, saya
menulis karena melihat beberapa tulisan senior yang dimuat di koran kampus Identitas. Saya melihat betapa para
penulis itu cerdas-cerdas, dan saya rasanya tertarik juga jadi cerdas, alias
saya tidak ingin jadi mahasiswa biasa yang mungkin rute hidupnya hanya ke kampus,
pulang kos, atau main ke mal. Saya pun mencoba menulis. Dimulai dari mading
jurusan antropologi, kemudian di surat kabar kampus Identitas, selanjutnya ke koran Fajar,
Pedoman Rakyat, dan beberapa lainnya. Sekarang ini, sebagai dosen tetap di perguruan
tinggi negeri Universitas Khairun, maka selain mengajar saya juga menulis di
koran lokal, dan tetap menulis buku untuk beberapa penerbit di Jakarta dan
menulis buku teks untuk keperluan pendidikan dan pengajaran.
Buku pertama
saya (sebagai uji-coba), adalah kumpulan tulisan Revolusi Intelektualitas Bangsa Indonesia. Buku ini saya cetak
sendiri; difoto kopi, editing oleh
teman, dan praktis tidak ada ISBN. Beberapa kawan yang lihat buku itu langsung
tertarik, dan mengapresiasi positif. Selanjutnya, pada 2004 saya mulai menulis
buku Menemani Bidadari: Suara Hati Seorang
Mahasiswa. Buku ini saya selesaikan enam hari, dari deadline waktu 7 hari. Deadline itu saya buat sendiri untuk menguji
diri sendiri apakah saya bisa menyelesaikan tantangan personal itu atau tidak.
Ternyata saya bisa. Buku Menemani
Bidadari (MB) selanjutnya diterbitkan oleh kawan saya Muzayyin Arif,
seorang pengusaha muda di Jakarta, via Fakhruddin Ahmad, guru di Pesantren
Darul Istiqamah, Maccopa, Kabupaten Maros. Buku MB yang diterbitkan oleh Darul Istiqamah Press (DIP) milik
Muzayyin—yang pada 2013, ketika belajar di Griffith University, ia membuka
restoran coto Makassar Lontara di Sydney,
Australia itu—walaupun hanya enam hari ditulis, rupanya memberikan arti bagi
beberapa orang. Ada yang bilang, ia kemana-mana bawa buku yang ditulis di
rental komputer Alfat Kom, samping Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulsel tersebut.
Ada juga yang bilang, ia terinspirasi dengan isi buku itu. Singkat kata, buku
tersebut pernah dibedah sekira tujuh kali, baik di koridor kampus, radio, atau
di gedung pertemuan ilmiah di Unhas.
Terbitnya buku
MB tersebut memberikan saya energi untuk terus menulis. Apalagi waktu itu saya
masih menjabat sebagai ketua FLP Sulsel, sebuah jabatan nirlaba yang beberapa
kali ditawari saya tidak mau, kecuali setelah ketua sebelumnya (Kak Rahmawati
Latief yang saat itu tengah mengurus proses kelanjutan studinya di Malaysia)
mengatakan bahwa “FLP adalah lembaga dakwah dan sayang sekali kalau setelah
kita bentuk, ia mati begitu saja, padahal banyak sekali yang berminat gabung
dengan FLP.” Saya pun menulis beberapa buku lagi dengan cetakan indie, seperti Mari Hidupkan Tradisi Ilmiah!, Run
for Your Life!, Percikan Hikmah
Orang-orang Sukses: Syarah 23 Pelajaran Mahfuzhat, dan beberapa judul
lainnya.
Pada 2008, saya
menulis buku Facebook Sebelah Surga
Sebelah Neraka. Buku ini beberapa tahun selanjutnya diterbitkan dalam
bahasa Melayu oleh salah satu penerbit di Selangor, Malaysia. Saya juga menulis
tentang kesabaran berjudul The Miracle of
Sabar yang oleh salah seorang pembaca buku ini, ia tulis pula buku dengan
judul yang sama. Mendobrak Pintu Rezeki
dengan 7 Jurus Sakti Warisan Nabi, yang berisi tentang “quantum rezeki”
juga saya tulis. Bahkan, ada seorang pembaca di Jogja yang sempat mengirim
pesan, curhat tentang masalah hidupnya. Untuk mahasiswa, bersama Rulli
Nasrullah, dosen jurnalistik UIN Jakarta yang baru menamatkan studi S3-nya di
Cultural Studies UGM, saya menulis Mahasiswa
Juga Bisa Kaya. Isinya tentang wirausaha ala mahasiswa. Dalam tauhid, saya
juga menulis Ensiklopedia Allah
selama tiga bulan kurang lebih. Tiga bulan menurutku, termasuk lama, karena
biasanya saya bisa menyelesaikan dalam waktu dua bulan, satu bulan, dua minggu,
bahkan hanya beberapa hari.
Buku yang saya
tulis umumnya buku Islami Populer. Buku genre ini beberapa tahun terakhir cukup
banyak peminatnya, sehingga berbagai penerbit membuat lini ini. Judul lain yang
saya tulis berjudul Terapi Kejujuran.
Di beberapa Gramedia saya temukan buku ini, juga buku lainnya atas nama saya,
atau nama lain, yaitu Abu Fikri Ihsani. Terkait biografi, saya menulis biografi
anak perempuan Nabi Muhammad, yaitu Fatimah az-Zahra berjudul Fatimah az-Zahra: Wanita Paling Berpengaruh.
Buku ini agak sulit bagi saya karena referensinya tidak banyak saya dapatkan.
Namun, dengan berbagai referensi yang ada, akhirnya buku ini selesai juga. Pada
sebuah malam di Gramedia Matraman, saya menemukan buku ini telah terbit.
Pada awal 2010
saya menamatkan S2, dan tesis itu sudah lama saya akan terbitkan. Maka ketika
menjadi dosen di Unkhair, saya menerbitkan buku tersebut berjudul Menelusuri Jejak al-Qaeda di Indonesia.
Sebenarnya, saya agak kurang puas dengan tesis tersebut, bahkan saya merasa
tidak dalam. Akan tetapi, memang karena dikejar “harus segera tamat S2 dengan
cepat” (sebagai komitmen saya sejak awal kuliah), maka saya harus segera
menyelesaikannya. Sempurna atau tidak, itu urusan nanti, karena memang sulit
membuat karya sempurna. Prinsip saya, sebuah karya sempurna itu tidak perlu
diniatkan menjadi sempurna. Kelak, pembacalah yang akan menentukan mana karya
yang menurut mereka sempurna. Sempurna, dalam konteks ini adalah “bermanfaat”,
atau senada dengan sabda Rasulullah saw, “sebaik-baik
manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Hingga kini saya
masih terus menulis. Selain beberapa judul di atas, saya juga menulis buku lainnya
seperti: Keluargaku Surgaku, Jadikan
Musibah Sebagai Ladang Ibadah, Umur
Singkat Bermanfaat Umur Panjang Penuh Berkah, 4 Jurus Aktivasi Kesuksesan Dunia
dan Akhirat, Mahadaya Cinta, Tuhan Tak Pernah Salah, Struggle for Life: Kisah
Orang-orang yang Bertahan Hidup dalam Kondisi Sulit, Kekuatan Memaafkan (bersama Muhammad Nahar ‘Pedang
Kayu’), Islam dan Zionisme: Logika, Isu,
dan Gerakan (satu eksemplar buku ini saya berikan pada Abdillah Onim,
relawan Mer-C di Gaza dan kontributor TVOne),
Nabi-nabi Ulul Azmi: Teladan Hidup Tabah dan Sabar, Rahasia Berbakti kepada
Ayah dan Dahsyatnya Doa Ayah, Sahabat-sahabat Nabi Terpopuler, Siti Asiah:
Kisah Teladan Keteguhan Tauhid Istri Fir’aun, Siti Masitah: Keteguhan Iman Seorang
Wanita, Ensiklopedia Mengenal Jenis Narkoba, dan Berdiri di Pundak Newton. Buku
pribadi yang saya tulis (baik yang telah terbit maupun dalam proses) telah di
atas 20 judul, selebihnya ada antologi; beberapa dalam negeri, dan 1 antologi
bersama penulis serumpun melayu (Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei), dan
kata pengantar bagi beberapa buku kawan saya. Judul-judul di atas itu banyak
yang lahir sebelum saya jadi dosen antropologi. Ketika jadi dosen, saya pun
merasa tertantang untuk menulis buku-buku lainnya sesuai bidang kajian dengan
penulisan yang lebih akademik dan dalam. Satu hal cukup membantu saya dalam
menulis-menulis, bahkan juga mungkin bagi penulis lain, adalah internet.
Perkembangan internet yang begitu pesat, dengan data-data yang tersaji, membuat
kita lebih cepat membuat naskah. Tentu saja, dalam memilih rujukan kita juga
pilih-pilih mana yang paling baik, relevan, dan kuat.
Tips Sederhana
Ada dua tips
sederhana yang ingin saya sharing di
sini. Yang pertama, bagaimana
menghadapi tantangan hidup, dan kedua
bagaimana menulis buku. Untuk tantangan hidup, tentu saja kita harus dulu bahwa
hidup kita ini bisa diibaratkan seperti perahu. Perahu itu tidaklah diciptakan
untuk hanya berdiam di dermaga, akan tetapi perahu diciptakan untuk mengarungi
laut yang kadang diterpa ombak dan gelombang. Untuk bisa bertahan di tengah
lautan hidup itu, maka sebelum berangkat ke laut lepas, perahu itu harus bagus
dulu secara fisik dan nahkoda perahu itu sudah jelas ia mau kemana. Dalam hidup
juga begitu, kalau kita sudah tahu apa yang mau kita capai, maka segala
persiapan akan kita buat untuk menggapai cita-cita tersebut. Selain itu,
kemampuan kita untuk bertahan, bersabar dalam menghadapi masalah, sangatlah
penting peranannya. Waktu kerusuhan melanda kampung saya, rumah saya dibakar
abis. Kesedihan juga muncul, tapi buat apa berlama-lama sedih yang tak punya
nilai dan manfaat guna. Maka saya pun berusaha keras bagaimana agar bisa
kembali melanjutkan kuliah, dan memperbanyak amal-amal baik yang berkualitas,
salah satunya dengan membuat buku. Intinya: sabar menghadapi ujian itu penting
sekali, bahkan menjadi salah satu prasyarat dari kesuksesan.
Sekarang kita
bahas yang kedua, bagaimana menulis buku. Sejak kecil, sebagaimana anak kampung
lainnya, saya tidak punya cita-cita menjadi penulis. Tapi ketika berkuliah di
Unhas, saya mulai terpikir untuk menulis, terlebih setelah saya mentafakkuri
bahwa menulis itu sejatinya adalah dakwah yang mengandung pahala, insya Allah. Pun, saya teringat waktu
masih sekolah dulu pernah membaca novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck karangan Hamka, yang saya beli di sebuah toko buku di
Pasar Mayestik, Kebayoran Baru. Dari novel menarik itu, saya merasa ada
beberapa penggalan cerita atau karakter tokoh yang sama dengan saya, maka saya
mulai mengkaji sosok Hamka. Hamka bernama asli Abdul Malik, namun sepulang haji
ia pun dipanggil Haji Abdul Malik ditambah dengan nama ayahnya, Karim Amrullah,
maka jadilah nama pena: Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Dengan Hamka,
saya berasal dari leluhur yang sama dengan beliau, di pinggir danau Maninjau.
Saya pun tiba-tiba menemukan sosok panutan dalam menulis. Maka, beberapa
karyanya saya pelajari, sekaligus bagaimana kisah hidupnya yang ia tulis dalam
bukunya Kenang-kenangan Hidup. Dari
bacaan atas karya dan jejak perjalanan Hamka-lah saya termotivasi untuk menulis
dengan niat semata untuk dakwah, untuk menjadi cahaya penerang bagi orang lain
lewat tulisan.
Maka begitulah,
untuk jadi penulis, kita harus punya kemauan dulu. Kalau sudah mau, maka
mencarilah kita beberapa tokoh inspirasi. Lebih baik lagi kalau tokoh tersebut
adalah penulis hebat yang karyanya dikenal luas. Artinya, menjadikan tokoh
ternama sebagai motivator menulis itu tak ada salahnya, bahkan pada titik
tertentu dapat menjadi inspirasi besar untuk kita menulis. Saya pun memulai
dari situ. Saya mengumpulkan segala kemauan, kemudian mengidolakan Hamka,
sebagai salah satu idola dalam menulis. Kemudian, setiap ada momen penting,
saya berusaha menuliskan momen itu dalam buku harian, atau blog dan website pribadi.
Waktu jejaring sosial friendster nge-trend,
saya banyak menulis di situ. Dan ketika friendster tergeser oleh facebook, saya
juga aktif menulis di situ, bahkan status yang bermanfaat maupun catatan
sehari-hari. Belakangan, keresahan saya atas fenomena penyalahgunaan facebook
membuat saya menulis buku Facebook, yang
buku ini menjadi rujukan bagi beberapa orang ketika membahas tentang facebook.
Demikianlah
beberapa pengalaman sederhana saya sebagai orang daerah yang berusaha untuk
menjadi pribadi terbaik. Saat ini saya berfokus mengajar di perguruan tinggi,
sekaligus tidak melupakan dunia tulis-menulis, serta aktivitas dakwah dan
sosial. Artinya, semua aktivitas kita sepatutnyalah kita berharap akan turunnya
rahmat dan ridha dari Allah semata. “Meniti jalan menuju mardhatillah”,
sebagaimana mottonya Majalah Sabili
itu rasanya penting menjadi bekal kita semua untuk menggapai cita-cita hidup. Wallahu a’lam bisshawab. []