Foto bersama setelah diskusi IDe. Dr. Ivan Hadar nomor dua dari belakang sebelah kiri |
Pertemuan saya dengan Dr. Ivan Hadar hanya satu kali waktu saya ikut sebuah diskusi IDe tentang "Charlie Hebdoe dan Benturan Peradaban" di kantor IDe. Waktu itu tidak ada rencana sebenarnya, karena saya pagi sampai siang mengikuti Pameran Pendidikan Australia, kemudian diajak oleh Fahmi Salsabila, Sekjen Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) untuk bergabung di acara tersebut.
Dengan segera, setelah bertanya-tanya tentang pendidikan Australia di stand The Australian National University (Canberra) dan Deakin University (Melbourne), naik ojek saya ke Kemang.
Di sana, telah hadir sekitar 20 orang. Beberapa nama sudah dikenal luas, seperti Smith Alhadar, penulis artikel Timur Tengah yang sangat familiar dan boleh dikata "setiap minggu tulisannya dimuat di koran nasional". Smith juga adalah Penasehat ISMES, sebuah lembaga kajian timur tengah yang digagas oleh peneliti Timur Tengah di UI dan LIPI. Juga hadir Alhaidar, peneliti politik, aktivis, yang saat ini sedang studi S3 Antropologi di UI. Nama-nama lainnya saya baru kenal di situ, mereka menurut saya adalah pribadi-pribadi cerdas, haus akan ilmu, dan gemar berdiskusi--setidaknya itu pandangan pertama saya. Belakangan, saya sesekali chatting dengan Abdurrahman Syebubakar, salah seorang aktivis IDe lulusan ANU yang waktu itu menjadi moderator.
Dalam forum ini, Ivan Hadar menjelaskan tentang bagaimana orang Eropa memandang Islam. Kasus Charlie Hebdoe yang mempublikasikan karikatur Nabi Muhammad, di mata orang Eropa adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Namun problemnya kemudian di dunia Islam, karikatur nabi itu tidak dibenarkan. Sontak umat Islam di banyak tempat marah. Hal itu ditambah lagi dengan pencitraan buruk yang ditampilkan dalam karikatur tersebut bahwa Islam adalah agama kekerasan dan seterusnya. Sebelum ini, ada juga karikatur lainnya seperti di Jyllands Posten (Denmark), dan juga video pendek berjudul 'Fitna' yang dibuat oleh seorang politisi di Eropa.
Setelah hadir dalam forum tersebut, saya berbincang santai dengan Ivan Hadar tentang hal-hal biasa. Tentang bagaimana sampai ia tertarik ke PhD Antropologi padahal pendidikan sebelumnya adalah arsitektur. Ia juga bercerita bahwa ia diminta mengajar di Pascasarjana UI bidang Antropologi tapi belum diiyakannya, dan rencana semester ini ia akan mulai mengajar. Juga, saya bertanya perihal beberapa tulisannya yang dimuat berkala di beberapa koran Ternate. Kata beliau, itu agar tidak lupa kampung halaman. Sejauh-jauh orang melangkah, kampung halaman tetaplah teringat di hati dan pikirannya. Saya rasa begitu.
Di kantor IDe juga ada sebuah tempat majalah yang bertuliskan Gamalama. Ya, Gamalama adalah nama gunung di Ternate. Waktu Dorce mau pakai Gamalama di belakang namanya, ia juga sempat sowan ke Sultan Ternate Drs. H. Mudaffar Sjah, Bc.Hk (alm). Inspirasi dari gunung Gamalama memang sangatlah besar, terutama mereka yang pernah berkunjung atau menetap di Pulau Ternate.
Secara pribadi, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ivan A Hadar atas pertemuan waktu itu dan juga sharing via Facebook.
Di Facebook, saya juga sempat mengirimkan kaver buku yang saya tulis bersama beberapa teman penulis muda Maluku Utara yang tergabung dalam Bundaran Institute berjudul "Pasir, Batu, dan Etos Budaya: Catatan dari Maluku Utara". Buku ini pernah saya berikan kepada Sultan Ternate di atas podium penutupan acara Legu Gam di halaman Istana Kedaton Ternate. Kemudian, kepada Dr. Ivan juga saya kirimkan sebuah buku saya berjudul "Presiden Mursi: Kisah Ketakutan Dunia pada Kekuatan Ikhwanul Muslimin" yang dikirim langsung dari Jogja.
Untuk Dr. Ivan Hadar. Semoga Allah swt memberikan balasan terbaik atas amal salihnya selama hidup, dan ide-idenya dapat dikaji oleh para aktivis dan pengkaji selanjutnya. Rabbighfirlahu warhamu wa 'afihi wa'fu 'anhu. *
No comments:
Post a Comment