Ust Arham Yusuf |
Pada
sebuah siang saya terlibat kirim-kirim komentar dengan salah seorang
anak dari Ust. Arham Yusuf. Singkat kata, saya diajak makan ke rumahnya.
Saya yang lama tidak tinggal di Pesantren Darul Istiqamah—karena
mengajar tetap di Universitas Khairun, Ternate—bertanya dimana rumahnya.
Pada suatu pagi, beberapa jam sebelum ayahnya Ust. Arham Yusuf wafat,
saya baru tahu—dan teringat kembali—letak rumahnya yang hanya sekitar
lima rumah dari rumah mertua saya sekaligus dekat sekali dari Masjid
Istiqamah III, Kompleks Pesantren Darul Istiqamah.
Terlambat, Punya Hikmah
Pagi
tadi, 27 Juli 2015, seharusnya saya sudah berada di Pusat Bahasa ITB
mengikuti lanjutan kursus IELTS, akan tetapi beberapa hari lalu tidak
ada tiket saya dapat, dan saya baru dapat tiket untuk besok, Selasa 28
Juli 2015. Dengan tidak jadi berangkat ke Bandung segera, maka pada 27
Juli pagi saya berkesempatan mengantar anak-anak saya sekolah di
Madrasah Ibtidaiyah dan TK Darul Istiqamah. Sepulang dari SD, saya
lewati jalan menuju rumahku, dan berbelok ke Masjid Jami’ Pesantren.
Setelah rumahnya Ust. Hafid Amri, salah seorang anggota DPRD Maros,
istriku berkata, “Nah, yang itu rumahnya Ust. Arham, Abi.”
Di
depan rumahnya pagi tadi, ada istri Ust. Arham, salah seorang anaknya,
dan seorang lagi, yang tengah memperbaiki sesuatu di bawah pohon nangka.
Sempat kita memberi salam, dan menyapa sekilas. Waktu itu, saya mau
mampir—sebagaimana ‘undangan’ anaknya—untuk makan di rumahnya. Saya,
istriku, dan abang Fikri pun langsung ke TK Darul Istiqamah yang
terletak di lantai dasar Masjid Jami’.
Sepulang ke rumah,
saya segera menyelesaikan sebuah tugas untuk dikirim ke Jakarta. Saat
sedang menyelesaikan tugas tersebut, ada kabar dari kamar sebelah,
katanya, “Ust. Arham kecelakaan, dan meninggal.” Istriku minta segera
buka Facebook. Saya buka Facebook Ust Arham, tak ada info bahwa ia
meninggal. Akhirnya, saya buka Whatsapp, di grup Darul Istiqamah
Bangkit, Pimpinan Pesantren Darul Istiqamah Ust Muzayyin Arif
mengabarkan bahwa Ust Arham kecelakaan, meninggal, dan meminta kita
segera merapat. Ismawan AS, relawan Sedekah Rombongan (SR), juga
mengirimkan foto jenazah Ust Arham yang terbaring di RS. Salewangang.
Setelah
selesai mengirimkan tugas ke Jakarta, saya bersama istriku, Om Amwal,
dan Muta’addibah Ashri, mahasiswi LIPIA Jakarta, merapat ke RS.
Salewangang yang sekitar 10 menit dari Darul Istiqamah. Di sana, telah
berkumpul beberapa orang. Tak lama kemudian, jenazah Ust Arham
dikeluarkan depan UGD, dan dimasukkan ke dalam ambulans SR.
Tiba
di rumahnya, orang-orang telah berkumpul. Bersama seorang kawan, saya
naik ke rumah panggung milik Ust Arham. Ini kali pertama saya masuk ke
rumahnya. Di atas, di sekeliling jenazah sudah berkumpul sanak family
dan warga Pesantren yang mendengarkan ta’ziyah, nasihat-nasihat dari KH.
M. Arif Marzuki. Setelah salat zuhur, saya bertanya terkait tanda-tanda
jelang kematian Ust Arham kepada KH. M. Arif Marzuki. Beliau menjawab,
bahwa kematian beliau adalah husnul khatimah.
Satu hal
penting lagi adalah, beberapa waktu sebelum kecelakaan Ust Arham sempat
mengantarkan anaknya ke bandara. Ketika ia kecelakaan, ternyata anaknya
yang di Bandara Hasanuddin juga pesawatnya delay—terlambat jam
terbang. Tertunda. Akhirnya, ketika mendengar ayahnya wafat, anaknya
langsung menuju ke rumah dan tidak jadi berangkat pada penerbangan
tersebut.
Ungkapan populer Arab mengatakan, “Ana urid, wa anta turid. Walllahu yaf’alu ma yurid” (Saya mau, dan kamu pun mau, tapi Allah melakukan apa yang Allah mau). Selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa.
Panjang Umur dan Pemenang Ramadan
Berita
wafatnya Ust Arham Yusuf menyebar dengan cepat lewat media sosial.
Banyak yang berduka atas kepergiannya. Muh Yusuf Madeamin, menulis di
wall almarhum, “Selamat jalan saudaraku Ust Arham Yusuf, teman diskusi
dan bercanda di Pesantren Darul Istiqamah.” Anwar Alif berkomentar,
“Meninggalnya karena apa?” Jawab Muh Yusuf, wafatnya karena kecelakaan
sepulang mengajar dari salah satu sekolah.
Masih di wall
yang sama, sebelumnya Ust A’mal Hasan—dengan ID Eyank Vhazollee
Biru—menulis, “Hatiku sedih. Kita baru saja memulai episode baru, tapi
sudah berangkat duluan ke surga-Nya. Secepat itu. –Feeling sedih sekali
bersama Arham Yusuf.” Di bawahnya berkomentar Ust Mushaddiq Arif,
Lc—dengan ID Abu Zed—“ Yang kekal hanya milik Allah. Semoga Allah
mengampuni semua kesalahan beliau dan senantiasa merahmatinya, dan
menempatkan beliau dalam surga-Nya.” Dilanjutkan di bawahnya lagi dengan
komentar Sultan Watasila, “Allahumma amin”, dan testimoni dari Iqbal
Jufri, “Turut bersedih. Banyak teman yang saya sarankan baru saja
berteman dengan Bpk. Arham Yusuf di dunia maya, dan ternyata Allah swt
memanggilnya...”
Status terakhir yang ditulis Ust Arham di
Facebooknya, pada Sabtu 25 Juli 2015 pukul 16.53, “Hari sekolah 2 hari
lagi. Ponakan-ponakan dari kampung so pada datang. Alhamdulillah panjang
umur. Kumpul lagi semua.” Kata ‘panjang umur’ berarti kedatangan
keponakan-keponakannya adalah bagian dari silaturahmi yang dapat
memanjangkan umur. Adapun wafatnya pada dua hari setelah beliau menulis
status ‘panjang umur’ tersebut bisa bisa diartikan sebagai bagian dari
amal jariyah kerja kerasnya menjadi guru di Pesantren Darul Istiqamah
dan beberapa sekolah di luar, sebagaimana dalam salah satu hadis Nabi
yang menerangkan bahwa jika seorang anak cucu Adam meninggal maka
terputusnya amalnya kecuali tiga perkata: sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan kedua orangtuanya.
Sebelumnya,
masih dalam suasana Idul Fitri, alumni Matematika Unhas itu sempat
menulis status, “Ramadhan telah lewat, bulan latihan telah berlalu. Kini
saatnya kita bergegas menyongsong 11 bulan berikut sebagai bulan-bulan
aplikasi dari hasil latihan kita selama 1 bulan di Ramadan yang lalu.
Yang dapat lulus dalam ujian di 11 bulan nanti, baru disebut pemenang.”
Keluarga Guru, dan Pejuang Pesantren
Keluarga
Ust Arham Yusuf sudah tinggal puluhan tahun di Pesantren Darul
Istiqamah. “Mereka keluarga guru,” kata seseorang pada saya. Salah satu
saudaranya, Ibu Lia—tetangga rumah saya—adalah guru tahfizh Al Quran.
“Ustad Mudzakkir juga pernah diajar oleh Ibu Lia,” kata seseorang lagi.
Seiring
dengan perkembangan zaman, dalam beberapa tahun terakhir Pesantren
Darul Istiqamah mengadakan perubahan atau transformasi dari tradisional
ke modern. Ketika tampuk pimpinan pesantren diserahkan dari KH. M. Arif
Marzuki kepada Ust. Muzayyin Arif, dengan segera Ust Muzayyin menyusun
formasi kepengurusan eksekutifnya. Dalam Badan Eksekutif Pesantren
(BEP), Ust Arham Yusuf menjadi Sekretaris Eksekutif.
Dalam
penjelasannya pada 27 Ramadhan lalu, Ust Muzayyin menjelaskan tentang
rencana masa depan Pesantren Darul Istiqamah yang memiliki visi “Kota
Ilmu dan Peradaban.” Kota ilmu bermakna bahwa, Darul Istiqamah ingin
menjadi pusat pendidikan Islam terbesar dan dalam kompleks ini juga
terintegrasi pusat perbelanjaan (mal), wisata kuliner, dan pemukiman
Islam yang bercorak modern.
Masih terkait dengan
transformasi pesantren, ia pernah berkata, “bahwa yang paling penting
sekarang ini adalah apa yang terbaik yang akan kita lakukan untuk
lembaga ini.” Ia juga mengajak agar bersama-sama membangun Pesantren
Darul Istiqamah.
Ust. M. Iqbal Coing, dari Pesantren Darul
Istiqamah Bulukumba, menulis di grup Darul Istiqamah Bangkit, bahwa Ust
Arham Yusuf adalah “seorang pejuang Pesantren Darul Istiqamah.”
Sementara itu, Ust Mudzakkir Arif, MA menulis, “Kita semua berduka. Kita
semua kehilangan. Kita semua mendapat musibah. Kita semua terkejut.
Kita semua mendapat banyak pelajaran dan nasehat Rabbaniyah. Kita semua
mendoakan beliau, keluarga beliau. Kita semua saling mendoakan.”
Pada
suatu waktu, setelah beliau menjadi imam di Masjid Istiqamah III, saya
ingin mengajak ngobrol. Tapi tidak sempat. Beberapa waktu sebelumnya,
Ust Arham menjadikan saya temannya di Facebook. Anaknya juga mengajak
untuk mampir ke rumahnya. Waktu pertemuan Pesantren Darul Istiqamah
dengan Bupati Maros terkait Ruang Terbuka Hijau, saya rencana ikut, tapi
tidak jadi. Di situ, hadir juga Ust Arham. Di waktu yang lain, ketika
saya mengisiasi Focus Group Discussion terkait rencana penulisan buku
“Darul Istiqamah: Kota Ilmu dan Peradaban” di Hotel Aerotel Smile, Jln.
Mukhtar Luthfi, Makassar, Ust Arham tidak hadir.
Paling
tidak, semoga tulisan ini bisa menjadi kebaikan bagi kita semua,
termasuk upaya kita untuk meneladani hal-hal terbaik dari Ust Arham
Yusuf almarhum salah seorang pejuang Pesantren Darul Istiqamah. Ust
Arham meninggalkan kurang lebih tujuh anak. Di antara anaknya ada yang
berfokus pada penghafalan Al Qur’an, dan pengobatan holistik. [Yanuardi Syukur]
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Allahummagfirlahu warhahmu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu. *
No comments:
Post a Comment