Tuesday, July 14, 2015

Mimpi-Mimpi dari Tobelo

Pantai belakang rumah saya


De Facto & De Jure
Di akhir tahun 1981, dari Tobelo, sebuah kota kecil di bagian utara Pulau Halmahera, ibu saya berangkat menuju Pelabuhan Ahmad Yani Ternate, Tanjung Perak Surabaya, Tanjung Priok Jakarta, dan terus ke Lampung. Di Lampung inilah saya dilahirkan pada tanggal 13 Januari 1982. Saat lahir, jika tak salah ingat, ayah saya pernah cerita bahwa ia bermimpi ada anak bayi yang bermain-main di atas kepalanya. Mungkin itu tanda dari kelahiran saya.
Tak seberapa lama di Lampung, saya pun dibawa kembali ke Tobelo oleh ibu, karena keluarga kami menetap di Tobelo. Waktu pengurusan akte lahir, petugas di Tobelo tidak mau menerbitkan akte tersebut karena saya lahir di Bandar Jaya, Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Akhirnya, untuk kepentingan masuk sekolah, di akte saya tertulis lahir di Tobelo. Hingga kini, jika tanya lahir dimana? Saya menjawab begini: “secara de facto saya lahir di Lampung, tapi secara de jure lahirnya di Tobelo.”
Orang tua saya adalah pedagang. Saya anak kedua dari tiga; kakak bernama Abdillah Syukur, dan adik Efriani Syukur. Ayah saya bernama Rasyidin Syukur dan ibu Haryanti Sjam. Di jamannya, kakek saya dari ayah, adalah pedagang yang sukses; kebunnya banyak, ia ahli agama, dan duitnya melimpah. Sedangkan kakek dari ibu adalah seorang nahkoda kapal asing yang di jaman tersebut sudah berkeliling dunia dengan kapal tersebut. Menurut pengakuan Alfi Sjam, om saya yang mengajar di PPM Menteng, ketika masih kecil ia sudah biasa dengan hal-hal yang terkait luar negeri ketika masyarakat sekitar rumahnya di Jakarta Timur belum banyak yang keluar negeri. Dari jalur kedua kakek saya, mereka memiliki kesamaan: sama-sama orang Minang perantauan. Kakek saya (Abdullah Syukur) adalah perantau dari desa Panyinggahan yang terletak di pinggir danau Maninjau ke jazirah Moloku Kie Raha, persatuan empat kerajaan, yaitu: Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo. Perantauan ini tampaknya punya dua misi: (1) misi perdagangan untuk memperbaiki hajat hidup, dan (2) menyiarkan agama Islam. Kedua hal ini saling terkait satu dan lainnya. 
Jika ditarik ke sejarah masa silam, keluarga kami telah berdiam di Maluku Utara sejak awal abad ke-20, empat abad setelah misi Portugis pimpinan Antonio de Abreu (atas perintah Alfonso d’Albuquerque) tiba di Maluku setelah bertolak dari Malaka, di akhir tahun 1511. Perantuan keluarga kami itu awalnya adalah satu orang tetua, dan ketika menemukan bahwa Ternate adalah tempat yang baik untuk merantau, ia pun mengajak sanak-saudara untuk merantau pula. Di kota Ternate, ada yang merantau ke beberapa kota lainnya, selain berdagang mereka juga menjadi penyiar agama Islam. Abdullah Syukur misalnya, ia pernah menyiarkan Islam pada “orang-orang pedalaman” di Galela yang saat itu belum beragama. Kegigihannya dalam berdakwah bisa jadi karena orang Minang selalu tak lepas dari Islam, dan dimanapun mereka berada, mereka tetap menyebarkan dakwah Islam.
Saya sekeluarga menetap di kota Tobelo. Rumah saya di atas air pantai, tak seberapa jauh dari pelabuhan.  Di depan rumah terlihat jelas beberapa pulau, seperti Kumo, Kakara, Tolonou, Tagalaya, atau sebuah pulau kecil tak berpenghuni, pulau Tulang. Jika bisa terbang dan kita terbang lurus, maka dari pantai Tobelo itu kita bisa tembus ke pulau Morotai (yang dipakai oleh Jenderal McArthur sebagai basis pertahanan sekutu untuk melawan Jepang di Perang Dunia II), dan bisa tembus Kepulauan Karolina, Marshall sampai ke Kepulauan Hawaii yang masuk dalam yurisdiksi Amerika Serikat dan Los Angeles. Tiap malam saya selalu merasakan sepoi angin yang menyusup lewat celah-celah lantai papan rumah kami. Pun, di tiap malam saya mendengarkan tembang-tembang kenangan yang diputar oleh ABK kapal-kapal kayu yang tengah bersandar di pelabuhan. Sepulang sekolah, biasanya waktu saya banyak habis di pantai. Di bawah rumah saya membuatkan tempat khusus untuk menangkap udang dan memelihara ayam kampung. Telur-telur ayam itu biasa saya jual seharga lima ratus rupiah kepada mereka yang kebetulan belanja di rumah kami. Sehabis sekolah juga, saya biasa mencari ikan, kepiting, dan kerang untuk dimasak.
Karena terlalu sering main di pantai, maka di umur 5 tahunan ayah saya berpikir untuk memasukkan saya ke sekolah. Awalnya kepala sekolah SDN 1 Tobelo menolak, karena belum cukup umur, tapi akhirnya menerima juga dengan pertimbangan: saya dalam posisi ikut-ikutan belajar, kalau naik kelas maka bisa naik kelas dua. Saat ujian selesai, nilai saya cukup baik dan akhirnya naik kelas dua. Begitu seterusnya hingga tamat kelas enam SD. Kepada kepala sekolah Pak Jusuf Tonoro dan guru-guruku di SD, saya ucapkan terimakasih banyak atas ilmu dan bimbingan yang luar biasa waktu itu.
Selain bersekolah di negeri, saya juga mengaji di luar sekolah. Pengalaman mengaji ini membuat saya berpikir: kayaknya lebih tertarik pada bidang agama ketimbang umum. Maka, saya lebih fokuskan minat saya pada pengajian. Saya pernah mengaji pada guru-guru seperti Om Bakar (alm.) di kompleks Dufa-Dufa, dan Ko Uceng (Husen Tjan, alm.) di TPA al-Badrun (sekarang bernama: al-Badru) di jalan TT. Marhaban, dan beberapa guru lainnya. Sebelum bertolak ke Jakarta misalnya, saya diajarkan bahasa Arab sedikit oleh Om Bakar. Kosakata seperti ana (saya), anta (kamu), antum (kalian), saya tahu dari beliau. Waktu mengaji di Ko Uceng, saya pernah menjadi peserta terbaik pada 1993. Senang sekali waktu itu. Rasa senang dua puluh tahun lalu itu masih membekas hingga esai ini ditulis pada 2013.
Pada 1993, bersama ayah saya naik kapal kayu Ternate Star ke Morotai dan Ternate. Di Ternate, kami menunggu sekira satu minggu untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Jakarta dengan KM. Umsini selama enam hari. Praktis perjalanan dari Tobelo-Jakarta waktu itu sekira 2 minggu. Setelah ikut tes, saya diterima jadi santri di Pesantren Darunnajah (DN). Ada banyak suka-duka selama di pesantren, namun itu semua menjadi “batu loncatan” (stepping stone) bagi saya untuk loncatan-loncatan ke depan. Tamat DN, saya gagal tes beasiswa ke Universitas al-Azhar, Mesir. Ingin juga mencoba ke Malaysia, dan Madinah, tapi kedua negara itu saya tidak punya progres memadai. Namun saya diterima di Jurusan Pidana Islam (Jinayah Siyasah) Fakultas Syariah IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Jurusan Antropologi FISIP Universitas Hasanuddin, di Makassar. Saya pilih ke Makassar, meninggalkan IAIN, agar bisa hidup baru, dengan tantangan yang baru pula. Tamat S1 di Unhas, dua tahun kemudian saya lanjut S2 di kekhususan Politik dan Hubungan Internasional Kajian Timur Tengah dan Islam UI. Setamat kuliah saya tidak berencana jadi dosen sebenarnya, tapi takdir dari-Nya menjadikan saya dosen. Saya pun menjadi dosen di Universitas Halmahera, sebuah universitas yang mulanya adalah sekolah tinggi teologi Kristen, terletak di desa Wari Ino, Tobelo. Satu semester mengajar di Uniera (juga di Pondok Pendidikan Muhammadiyah, Tobelo), kemudian saya diterima menjadi dosen PNS di Universitas Khairun, yang terletak di bagian selatan pulau Ternate.
Rusuh 99
Baru satu semester jadi mahasiswa, jelang lebaran 1999, saya pulang kampung. Dari Pelabuhan laut Soekarno-Hatta Makassar saya naik kapal ke Ternate; dari Ternate ke Sidangoli dan ke Tobelo. Dalam perjalanan, beberapa kali mobil yang saya tumpangi dicegat oleh sepasukan berikat kepala merah yang di tangannya memegang tombak. Sebelum itu, memang telah ada konflik tapal batas antara orang Kao (kristen) dan Malifut (Islam) yang banyak didiami suku Makian (Islam). Akhirnya, orang Kao pun sweeping orang Makian. Orang Makian dikenal progresif, edukatif, memiliki etos kerja yang baik, baik dari sifat paternalistiknya maupun militansi keagamaan. Karena bukan suku Makian, maka saya lebih aman, dan praktisnya “selamat” dari sweeping tersebut. Konflik ini memang serba kabur, karena banyak isu yang berkembang dan saling menyudutkan satu dan lainnya.
Tiba di Tobelo, malamnya kakak saya mengajari saya memanah. Panahnya terbuat dari besi, panjangnya satu jengkal setengah, depannya tajam (dengan lekukan kebelakang), dan di belakang panah ada renda-renda dari tali rafia. Saya mencoba, tapi tembakan saya tidak pas, malah panah itu lari ke belakang, bukan ke depan. Di televisi saya menonton komentar dari pimpinan TNI yang mengatakan bahwa di Maluku keadaan aman dan terkendali. Tapi, nyatanya tidak. Dua hari setelah tiba, tanggal 25 Desember (setelah natal), isu kuat berhembus: akan terjadi kerusuhan. Semua siap-siap. Termasuk saya. Saya pakai panah-panah tadi, parang, tombak, dan batu-batu di kantong celana. Malam setelah natal itu, di maghrib sudah terjadi baku hantam di kota Tobelo. Di tempat saya (komplek pelabuhan) belum. Malam itu tidur saya tidak pulas, bahkan berjaga-jaga jangan sampai pasukan Kristen datang. Senin pagi saya ikut penyerangan ke sebuah gereja di tengah kota. Di tengah penyerangan itu, saya berada di depan sayap kiri, ada sebuah bom meledak. Sepertinya molotov. Tangan saya berdarah. Saya kira tangan putus. Ternyata alhamdulillah tidak. Saya pun mundur. Setelah penyerangan itu, saya pun ke rumah. Di rumah saya berpikir, kenapa bisa seperti ini? Bahkan, saya berjanji dalam hati, suatu saat saya harus kembali ke sini.
Di senin itu, pasukan Islam berhasil memukul mundur Kristen. Tapi muncul isu bahwa besok (selasa, 27 Desember), akan ada penyerangan besar-besaran pasukan merah. Malam itu saya begadang. Ibu dan adik saya sudah diungsikan duluan ke pulau Tolonuo yang mayoritas Islam. Di rumah tinggal saya, kakak, dan ayah. Ayahku tidak mau mengungsi duluan. Ia, sepertinya menjaga saya jangan sampai ada apa-apa.
Dan, di pukul 7 pagi itu betul. Terjadi serangan besar-besaran. Waktu pasukan merah masih di pasar, saya dan beberapa kawan sempat menyerang ke pasar. Tapi, pasukan dari sana lebih besar. Saya mundur ke belakang. Tiba di depan gerbang pelabuhan, saya berdiri di tengah-tengah. Ternyata, serangan itu makin besar. Akhirnya mundur. Di samping rumah saya mencoba beberapa jurus tenaga dalam yang pernah saya pelajari, ternyata tidak ada reaksi apa-apa. Saya jadi bertanya dalam hati, apa benar tenaga dalam itu berkhasiat? (sejak itu saya agak tidak terlalu percaya dengan tenaga dalam). Akhirnya terdesak, kita terus mundur. Saya waktu itu berkemeja panjang kotak-kotak, pakai serban, celana kain hitam; di kantong celana ada batu, di tangan kiri tombak, tangan kanan parang; di kepala ada ikat kepala putih bertuliskan bahasa Arab: La Ilaha Illallah. Saya berdiri di tengah, ternyata ditembak lagi dengan panah panjang beracun. Beberapa panah itu tidak kena saya (tapi dalam hati saya sungguh khawatir). Tak seberapa lama, di kepala saya sakit. Sepertinya kena batu katapel. Berdarah. Di belakang saya ada ayah saya. Ia terus ikuti saya. Kami mundur setelah pelipis saya berdarah. Tiba di tikungan, tidak ada jalan lagi. Yang ada hanya lorong kecil di samping hotel President. Di sebelah jalan saya lihat ada tentara, tapi kami tidak tahu apakah itu tentara Islam atau Kristen. Saya berdoa cukup lama, 5 menit lagi. Berdoa dan memohon ampun, sekaligus berjanji bahwa ada ide-ide besar saya yang belum tertunaikan; saya ingin membuat pesantren. Tak seberapa lama, alhamdulillah, tentara itu memanggil kita agar maju, dan lari kencang. Saya lari kencang, dan juga teman-teman yang ada di situ. Di belakang tentara itu sudah banyak pasukan merah. Seandainya tidak ada tentara, mungkin pasukan merah sudah masuk (karena dari laut juga pasukan merah sudah mendekat, begitu juga dari belakang).
Tibalah di Masjid Raya. Sudah banyak orang berkumpul. Beberapa orang mau terus melawan, tapi tentara memberikan opsi agar kita angkat bendera putih, menyerah, dan selanjutnya keamanan ditangani tentara. Akhirnya, tentara yang tangani, dan menunggu mobil truk untuk diungsikan ke kompi Yonif C732 Banau tak seberapa jauh dari Masjid Raya. Dalam perjalanan di truk itu, saya mendengar banyak sekali kalimat-kalimat kasar yang dilontarkan tentang Islam, Nabi Muhammad, dan seterusnya. Memang, namanya perang, segala amarah memuncak hebat, dan itu sulit dihindari. Tapi, kami yang sudah di truk, tidak bisa apa-apa lagi, kecuali pasrah dan menerima takdir sebagai orang yang kalah, dan terusir.
Etoser
Menyadari banyaknya kerugian akibat kerusuhan, maka pemerintah mengalokasikan beasiswa kepada mahasiswa yang berasal dari daerah konflik, seperti Ambon, Maluku Utara, dan Poso. Saya beruntung dapat menerima beasiswa ini, setidaknya bisa membantu pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Keberuntungan itu bertambah lagi, saat Dompet Dhuafa Republika menjaring mahasiswa untuk menerima beastudi etos. Waktu itu, calon penerima masih umum, tidak dibatasi dari fakultas atau jurusan tertentu. Setelah berproses, alhamdulillah saya menjadi salah satu penerima, bahkan dipercaya oleh teman-teman sebagai Ketua Keluarga Penerima Beastudi Etos (KARIBIS) Makassar.
Tiap minggu kami mengikuti kajian pembinaan yang diadakan di gedung LAN Jl. Andi Pangerang Pettarani, Makassar. Pak Andi Taufik dan Pak Yamin Aslan, adalah dua nama yang berjasa bagi kami penerima beastudi etos di Makassar. Pada waktu tertentu, kami juga ditraktir makan coto Makassar oleh Pak Andi Taufik. Kemurahan hati Pak Taufik menurut saya turut memberikan pengaruh juga bagi saya, bahwa kalau kita memiliki rezeki, haruslah kita bagi kepada orang lain. Sesungguhnya, dan ini yang saya rasakan juga, ketika kita berbagi pada orang lain, kita juga mendapatkan kebahagiaan yang sama, bahkan lebih dari itu semua. Kebahagiaan yang sifatnya ilahiah.
Beberapa tahun saya menerima beastudi etos. Setelah tak menerima lagi, saya kerap merasa berutang-budi pada Dompet Dhuafa. Maka, kerap dalam kegiatan etoser Makassar, saya turut berbagi pengalaman, terutama dalam dunia tulis-menulis dimana saya cukup aktif bergiat. Membagi pengalaman ini turut memperkaya pengalaman saya dalam dunia kepenulisan, sekaligus membantu teman-teman yang berminat untuk aktif mencurahkan pikiran dan ide-idenya lewat tulisan.
Menulis Buku
Mungkin, dari etoser Makassar lainnya, atau mahasiswa seangkatan di Makassar, yang membedakan saya dengan yang lain adalah dalam menulis. Dalam organisasi bisa jadi ada kesamaan. Saya pernah menjadi ketua di beberapa lembaga, sebutlah: Forum Kajian Insani (FKI) BEM FISIP Unhas, Ketua KAMMI Komisariat Unhas, Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Sulsel, dan beberapa lainnya. Aktivitas saya yang berbeda dengan teman lainnya adalah dalam tulis-menulis.
Awalnya, saya menulis karena melihat beberapa tulisan senior yang dimuat di koran kampus Identitas. Saya melihat betapa para penulis itu cerdas-cerdas, dan saya rasanya tertarik juga jadi cerdas, alias saya tidak ingin jadi mahasiswa biasa yang mungkin rute hidupnya hanya ke kampus, pulang kos, atau main ke mal. Saya pun mencoba menulis. Dimulai dari mading jurusan antropologi, kemudian di surat kabar kampus Identitas, selanjutnya ke koran Fajar, Pedoman Rakyat, dan beberapa lainnya. Sekarang ini, sebagai dosen tetap di perguruan tinggi negeri Universitas Khairun, maka selain mengajar saya juga menulis di koran lokal, dan tetap menulis buku untuk beberapa penerbit di Jakarta dan menulis buku teks untuk keperluan pendidikan dan pengajaran.
Buku pertama saya (sebagai uji-coba), adalah kumpulan tulisan Revolusi Intelektualitas Bangsa Indonesia. Buku ini saya cetak sendiri; difoto kopi, editing oleh teman, dan praktis tidak ada ISBN. Beberapa kawan yang lihat buku itu langsung tertarik, dan mengapresiasi positif. Selanjutnya, pada 2004 saya mulai menulis buku Menemani Bidadari: Suara Hati Seorang Mahasiswa. Buku ini saya selesaikan enam hari, dari deadline waktu 7 hari. Deadline itu saya buat sendiri untuk menguji diri sendiri apakah saya bisa menyelesaikan tantangan personal itu atau tidak. Ternyata saya bisa. Buku Menemani Bidadari (MB) selanjutnya diterbitkan oleh kawan saya Muzayyin Arif, seorang pengusaha muda di Jakarta, via Fakhruddin Ahmad, guru di Pesantren Darul Istiqamah, Maccopa, Kabupaten Maros. Buku MB yang diterbitkan oleh Darul Istiqamah Press (DIP) milik Muzayyin—yang pada 2013, ketika belajar di Griffith University, ia membuka restoran coto Makassar Lontara di Sydney, Australia itu—walaupun hanya enam hari ditulis, rupanya memberikan arti bagi beberapa orang. Ada yang bilang, ia kemana-mana bawa buku yang ditulis di rental komputer Alfat Kom, samping Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulsel tersebut. Ada juga yang bilang, ia terinspirasi dengan isi buku itu. Singkat kata, buku tersebut pernah dibedah sekira tujuh kali, baik di koridor kampus, radio, atau di gedung pertemuan ilmiah di Unhas.
Terbitnya buku MB tersebut memberikan saya energi untuk terus menulis. Apalagi waktu itu saya masih menjabat sebagai ketua FLP Sulsel, sebuah jabatan nirlaba yang beberapa kali ditawari saya tidak mau, kecuali setelah ketua sebelumnya (Kak Rahmawati Latief yang saat itu tengah mengurus proses kelanjutan studinya di Malaysia) mengatakan bahwa “FLP adalah lembaga dakwah dan sayang sekali kalau setelah kita bentuk, ia mati begitu saja, padahal banyak sekali yang berminat gabung dengan FLP.” Saya pun menulis beberapa buku lagi dengan cetakan indie, seperti Mari Hidupkan Tradisi Ilmiah!, Run for Your Life!, Percikan Hikmah Orang-orang Sukses: Syarah 23 Pelajaran Mahfuzhat, dan beberapa judul lainnya.
Pada 2008, saya menulis buku Facebook Sebelah Surga Sebelah Neraka. Buku ini beberapa tahun selanjutnya diterbitkan dalam bahasa Melayu oleh salah satu penerbit di Selangor, Malaysia. Saya juga menulis tentang kesabaran berjudul The Miracle of Sabar yang oleh salah seorang pembaca buku ini, ia tulis pula buku dengan judul yang sama. Mendobrak Pintu Rezeki dengan 7 Jurus Sakti Warisan Nabi, yang berisi tentang “quantum rezeki” juga saya tulis. Bahkan, ada seorang pembaca di Jogja yang sempat mengirim pesan, curhat tentang masalah hidupnya. Untuk mahasiswa, bersama Rulli Nasrullah, dosen jurnalistik UIN Jakarta yang baru menamatkan studi S3-nya di Cultural Studies UGM, saya menulis Mahasiswa Juga Bisa Kaya. Isinya tentang wirausaha ala mahasiswa. Dalam tauhid, saya juga menulis Ensiklopedia Allah selama tiga bulan kurang lebih. Tiga bulan menurutku, termasuk lama, karena biasanya saya bisa menyelesaikan dalam waktu dua bulan, satu bulan, dua minggu, bahkan hanya beberapa hari.
Buku yang saya tulis umumnya buku Islami Populer. Buku genre ini beberapa tahun terakhir cukup banyak peminatnya, sehingga berbagai penerbit membuat lini ini. Judul lain yang saya tulis berjudul Terapi Kejujuran. Di beberapa Gramedia saya temukan buku ini, juga buku lainnya atas nama saya, atau nama lain, yaitu Abu Fikri Ihsani. Terkait biografi, saya menulis biografi anak perempuan Nabi Muhammad, yaitu Fatimah az-Zahra berjudul Fatimah az-Zahra: Wanita Paling Berpengaruh. Buku ini agak sulit bagi saya karena referensinya tidak banyak saya dapatkan. Namun, dengan berbagai referensi yang ada, akhirnya buku ini selesai juga. Pada sebuah malam di Gramedia Matraman, saya menemukan buku ini telah terbit.
Pada awal 2010 saya menamatkan S2, dan tesis itu sudah lama saya akan terbitkan. Maka ketika menjadi dosen di Unkhair, saya menerbitkan buku tersebut berjudul Menelusuri Jejak al-Qaeda di Indonesia. Sebenarnya, saya agak kurang puas dengan tesis tersebut, bahkan saya merasa tidak dalam. Akan tetapi, memang karena dikejar “harus segera tamat S2 dengan cepat” (sebagai komitmen saya sejak awal kuliah), maka saya harus segera menyelesaikannya. Sempurna atau tidak, itu urusan nanti, karena memang sulit membuat karya sempurna. Prinsip saya, sebuah karya sempurna itu tidak perlu diniatkan menjadi sempurna. Kelak, pembacalah yang akan menentukan mana karya yang menurut mereka sempurna. Sempurna, dalam konteks ini adalah “bermanfaat”, atau senada dengan sabda Rasulullah saw, “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Hingga kini saya masih terus menulis. Selain beberapa judul di atas, saya juga menulis buku lainnya seperti: Keluargaku Surgaku, Jadikan Musibah Sebagai Ladang Ibadah, Umur Singkat Bermanfaat Umur Panjang Penuh Berkah, 4 Jurus Aktivasi Kesuksesan Dunia dan Akhirat, Mahadaya Cinta, Tuhan Tak Pernah Salah, Struggle for Life: Kisah Orang-orang yang Bertahan Hidup dalam Kondisi Sulit, Kekuatan Memaafkan (bersama Muhammad Nahar ‘Pedang Kayu’), Islam dan Zionisme: Logika, Isu, dan Gerakan (satu eksemplar buku ini saya berikan pada Abdillah Onim, relawan Mer-C di Gaza dan kontributor TVOne), Nabi-nabi Ulul Azmi: Teladan Hidup Tabah dan Sabar, Rahasia Berbakti kepada Ayah dan Dahsyatnya Doa Ayah, Sahabat-sahabat Nabi Terpopuler, Siti Asiah: Kisah Teladan Keteguhan Tauhid Istri Fir’aun, Siti Masitah: Keteguhan Iman Seorang Wanita, Ensiklopedia Mengenal Jenis Narkoba, dan Berdiri di Pundak Newton. Buku pribadi yang saya tulis (baik yang telah terbit maupun dalam proses) telah di atas 20 judul, selebihnya ada antologi; beberapa dalam negeri, dan 1 antologi bersama penulis serumpun melayu (Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei), dan kata pengantar bagi beberapa buku kawan saya. Judul-judul di atas itu banyak yang lahir sebelum saya jadi dosen antropologi. Ketika jadi dosen, saya pun merasa tertantang untuk menulis buku-buku lainnya sesuai bidang kajian dengan penulisan yang lebih akademik dan dalam. Satu hal cukup membantu saya dalam menulis-menulis, bahkan juga mungkin bagi penulis lain, adalah internet. Perkembangan internet yang begitu pesat, dengan data-data yang tersaji, membuat kita lebih cepat membuat naskah. Tentu saja, dalam memilih rujukan kita juga pilih-pilih mana yang paling baik, relevan, dan kuat. 
Tips Sederhana
Ada dua tips sederhana yang ingin saya sharing di sini. Yang pertama, bagaimana menghadapi tantangan hidup, dan kedua bagaimana menulis buku. Untuk tantangan hidup, tentu saja kita harus dulu bahwa hidup kita ini bisa diibaratkan seperti perahu. Perahu itu tidaklah diciptakan untuk hanya berdiam di dermaga, akan tetapi perahu diciptakan untuk mengarungi laut yang kadang diterpa ombak dan gelombang. Untuk bisa bertahan di tengah lautan hidup itu, maka sebelum berangkat ke laut lepas, perahu itu harus bagus dulu secara fisik dan nahkoda perahu itu sudah jelas ia mau kemana. Dalam hidup juga begitu, kalau kita sudah tahu apa yang mau kita capai, maka segala persiapan akan kita buat untuk menggapai cita-cita tersebut. Selain itu, kemampuan kita untuk bertahan, bersabar dalam menghadapi masalah, sangatlah penting peranannya. Waktu kerusuhan melanda kampung saya, rumah saya dibakar abis. Kesedihan juga muncul, tapi buat apa berlama-lama sedih yang tak punya nilai dan manfaat guna. Maka saya pun berusaha keras bagaimana agar bisa kembali melanjutkan kuliah, dan memperbanyak amal-amal baik yang berkualitas, salah satunya dengan membuat buku. Intinya: sabar menghadapi ujian itu penting sekali, bahkan menjadi salah satu prasyarat dari kesuksesan.
Sekarang kita bahas yang kedua, bagaimana menulis buku. Sejak kecil, sebagaimana anak kampung lainnya, saya tidak punya cita-cita menjadi penulis. Tapi ketika berkuliah di Unhas, saya mulai terpikir untuk menulis, terlebih setelah saya mentafakkuri bahwa menulis itu sejatinya adalah dakwah yang mengandung pahala, insya Allah. Pun, saya teringat waktu masih sekolah dulu pernah membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karangan Hamka, yang saya beli di sebuah toko buku di Pasar Mayestik, Kebayoran Baru. Dari novel menarik itu, saya merasa ada beberapa penggalan cerita atau karakter tokoh yang sama dengan saya, maka saya mulai mengkaji sosok Hamka. Hamka bernama asli Abdul Malik, namun sepulang haji ia pun dipanggil Haji Abdul Malik ditambah dengan nama ayahnya, Karim Amrullah, maka jadilah nama pena: Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Dengan Hamka, saya berasal dari leluhur yang sama dengan beliau, di pinggir danau Maninjau. Saya pun tiba-tiba menemukan sosok panutan dalam menulis. Maka, beberapa karyanya saya pelajari, sekaligus bagaimana kisah hidupnya yang ia tulis dalam bukunya Kenang-kenangan Hidup. Dari bacaan atas karya dan jejak perjalanan Hamka-lah saya termotivasi untuk menulis dengan niat semata untuk dakwah, untuk menjadi cahaya penerang bagi orang lain lewat tulisan.
Maka begitulah, untuk jadi penulis, kita harus punya kemauan dulu. Kalau sudah mau, maka mencarilah kita beberapa tokoh inspirasi. Lebih baik lagi kalau tokoh tersebut adalah penulis hebat yang karyanya dikenal luas. Artinya, menjadikan tokoh ternama sebagai motivator menulis itu tak ada salahnya, bahkan pada titik tertentu dapat menjadi inspirasi besar untuk kita menulis. Saya pun memulai dari situ. Saya mengumpulkan segala kemauan, kemudian mengidolakan Hamka, sebagai salah satu idola dalam menulis. Kemudian, setiap ada momen penting, saya berusaha menuliskan momen itu dalam buku harian, atau blog dan website pribadi. Waktu jejaring sosial friendster nge-trend, saya banyak menulis di situ. Dan ketika friendster tergeser oleh facebook, saya juga aktif menulis di situ, bahkan status yang bermanfaat maupun catatan sehari-hari. Belakangan, keresahan saya atas fenomena penyalahgunaan facebook membuat saya menulis buku Facebook, yang buku ini menjadi rujukan bagi beberapa orang ketika membahas tentang facebook.
Demikianlah beberapa pengalaman sederhana saya sebagai orang daerah yang berusaha untuk menjadi pribadi terbaik. Saat ini saya berfokus mengajar di perguruan tinggi, sekaligus tidak melupakan dunia tulis-menulis, serta aktivitas dakwah dan sosial. Artinya, semua aktivitas kita sepatutnyalah kita berharap akan turunnya rahmat dan ridha dari Allah semata. “Meniti jalan menuju mardhatillah”, sebagaimana mottonya Majalah Sabili itu rasanya penting menjadi bekal kita semua untuk menggapai cita-cita hidup. Wallahu a’lam bisshawab. []

2 comments:

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...