Sunday, September 27, 2015

Man Jadda Wajada!

Bagi yang pernah belajar di pesantren, pasti langsung teringat ini kata. Siapa yang bersungguh-sungguh, kira-kira begitu terjemahnya, "maka dia berhasil!"

Kata "mukjizat" ini ternyata telah banyak memberi arti. Salah satunya ada pada A. Fuadi, seorang alumni Pondok Modern Gontor yang menulis buku "Negeri Lima Menara". Buku ini, menurut Fuadi, terinspirasi sekali dari kalimat itu. Akhirnya, setamatnya dari pondok di Ponorogo itu, Fuadi pun melanjutkan pendidikannya hingga ke Amerika.

Siapa sungguh-sungguh, dia berhasil! Betul sekali bukan?

Kalau ada yang rajin sekali belajar. Pastinya, ia akan berhasil. Tapi, kebalikannya, mereka yang malas, pasti akan merugi, seperti yang diajarkan juga di kalangan santri Gontor (dan pesantren alumninya), bahwa, "...penyesalan adalah akibat dari bermalas-malasan"

Dalam sejarah umat manusia juga telah memperlihatkan kepada kita. Alexander The Great berhasil memasuki dunia Timur, itu karena ia tidak malas. Sun Tzu berhasil menuliskan pengalaman-pengalaman perangnya dalam bukunya "The Art of War", itu berkat ia berhasil menempatkan kemalasannya di bawah sisi sungguh-sungguhnya. Ekspedisi Alex the Great, juga Sun Tzu--sebagai contoh dari banyaknya orang besar--telah menjadi inspirasi besar, bahwa "Man Jadda, maka Wajada!" Bahkan, kedua tokoh ini termasuk juga dalam 100 tokoh besar dunia yang berpengaruh ala Michael Hart.

Yup, siapa sungguh-sungguh, dia dapat. Dalam ranah apapun aktivitas kita, bersungguh-sungguhnyalah, agar keberhasilan itu segera menjelma! Selamat menjadi petarung yang berhasil! [Yanuardi Syukur, tulisan pernah dimuat di www.edumotivasi.blogspot.com, 3 Oktober 2010]

Prajurit

“Perlakukanlah prajurit-prajuritmu sebagai putera-puteramu sendiri dan mereka akan mengikutimu hingga ke lembah yang terdalam. Perhatikan mereka sebagai putera-puteramu sendiri yang tercinta, dan mereka akan mendampingimu hingga menemui ajal.” (Soen Tzu).

Apa yang membuat seseorang berkorban? Ada banyak hal tentunya. Bisa jadi karena ideologi--sebuah kepercayaan yang dianut--atau karena sekedar ikut-ikutan, atau karena faktor "terhipnotis" oleh retorika orang lain secara tidak sadar.

Soen Tzu, dalam kutipan di atas, menggambarkan kepada kita bahwa kalau ingin orang lain ikut, bahkan pada titik terdalam--berkorban hingga ajal mereka--maka kita perlu "memperhatikan sebagai putera-putera sendiri".

Dalam konteks diri sendiri, kita juga memiliki banyak "prajurit". Di antara mereka ada yang bernama darah, tulang, mata, telinga, hidung, bulu, tangan, kaki, dan lain sebagainnya. Mereka adalah prajurit-prajurit kita yang kalau kita memperhatikan mereka secara baik, mereka akan mengorbankan dirinya bagi kesuksesan kita. Bahasa mudahnya: kalau kita jaga kesehatan, dan selalu memberikan "makanan" bagi anggota tubuh kita, maka mereka akan mengikut dan menjadi prajurit yang setia. Ini berbeda kalau kitanya malas memberikan mereka makan, malas menyirami dahaga mereka. Akhirnya, pada titik tertentu, ada di antara mereka yang sakit (error), dan jelasnya itu mengganggu stabilitas kita menuju keberhasilan.

Maka, untuk berhasil--dalam bidang apapun--mutlak sekali diperlukan perhatian seperti "anak-anak sendiri". Perhatikan "prajurit-prajurit" kita. Tubuh yang dikaruniakan oleh Tuhan ini harus kita manfaatkan, jaga dan sirami mereka dengan air kebaikan, agar mereka juga memberikan kerja kerasnya yang terbaik bagi kesuksesan kita. [Yanuardi Syukur, tulisan ini pernah dimuat di blog saya, edumotivasi.blogspot.com, 4 Oktober 2010]

Semut vs Gajah

Sudah pasti kita pernah dengar perihal semut yang melawan gajah. Siapa menang? Bisa jadi gajah, tapi bisa jadi semutlah yang menang. Sekali injek, semut itu bisa mati. Bayangkan saja bagaimana besarnya itu gajah, beratnya juga, dan manusia saja kalau sekali kena injek, bisa remuk-remuk itu tulang, apatah lagi dengan semut. Tapi, kalau semutnya berhasil mendekati telinga gajah, dan masuk ke dalamnya secara bergerombol, maka bisa jadi, yang mati si gajah yang besar itu.

Perihal semut vs gajah bisa kita bawa dalam aktivitas kita. Baru-baru ini Presiden kita, SBY, membatalkan (atau sebutlah terpaksa menunda) kunjungannya ke Belanda. Padahal, tak seberapa lama lagi pesawat akan take off dari Cengkareng. Kenapa batal? Gara-garanya, ada "semut" kecil yang iseng, sampai "gajah" sebesar Indonesia harus berpikir panjang untuk melanjutkan perjalanan. Menurut berita, tokoh Republik Maluku Selatan (RMS), John Wattilete di Belanda meminta kepada pengadilan agar Presiden RI keenam dan ketujuh itu ditangkap dan diseret ke pengadilan HAM di Den Haag karena pelanggaran HAM di Maluku. Siapa sih John Wattilete si "semut" itu? Wattilete adalah keturunan Belanda dan Maluku Selatan. Pada 1983 ia lulus dari Universitas Nijmegen. Sehari-harinya, ia adalah seorang pengacara di Belanda.

Waduh, gawat juga yah. Gara-gara ulah "semut" kecil ini sampai kepala negara di negeri kepulauan yang besar ini terpaksa harus membatalkan keberangkatannya. Ada berapa banyak sih anggota RMS di Belanda? Kalau melihat Wikipedia, kabarnya sejak RMS ditumpas oleh pemerintah puluhan tahun silam, kurang lebih 15 ribu anggotanya "berhijrah" ke Belanda, di sana mereka diterima. Artinya, sampai 2010 ini bisa jadi anggotanya bertambah banyak sampai-sampai ulahnya bikin repot Indonesia.

Apa yang bisa kita petik dari kisah "semut" RMS versus "gajah" Indonesia ini? Satu! Jangan sekali-kali menyepelekan sesuatu yang kelihatan kecil. Yah, walau kecil, tapi jaringannya yang luas bisa membuat yang besar jadi repot. "Amaliyat" (aksi) dari kelompok Al-Qaeda misalnya, memang kecil (tidak berbentuk negara, tidak ada kedaulatannya), tapi "gajah" sebesar Paman Sam sampai dibuat repot olehnya. Dua! Perkuat lobi. Seorang yang lobinya bagus bisa mengalahkan yang besar tapi kekuatan lobinya memble. Kelompok Zionis misalnya, anggotanya tak banyak di dunia, tapi lobi mereka bisa menjangkau berbagai tempat--bahkan kebijakan AS di Timteng tak lepas dari peranan kelompok ini. Dalam konteks besar, Indonesia harusnya punya lobi yang kuat di negara lain. Dengan kekuatan lobi itulah, maka kekuatan apapun yang mau cari gara-gara akan bisa ditaktisi dengan mudah.

Oke, kalau begitu. Berarti, dalam konteks apapun kita sekarang (apakah kita dalam posisi "semut" atau "gajah"), maka kekuatan tidak menganggap kecil organ lain serta memperkuat lobi, itu penting sekali. Bahkan, sangat penting demi eksistensi diri! [Yanuardi Syukur, tulisan ini pernah dimuat di blog saya, edumotivasi.blogspot, 8 Oktober 2010]

Bukan Budak Harta


SUATU ketika di kota Madinah ramai orang datang yang menyebabkan hiruk-pikuk dan crowded. Rupanya, ada sekitar 700 kendaraan rombongan kafilah dagang Abdurrahman bin Auf yang baru saja tiba dengan membawa banyak barang dagangan dari Syam. Mengetahui keramaian itu karena kafilah salah seorang sahabat Nabi tersebut, Aisyah ra pun seolah-olah mengingat sesuatu yang pernah didengarnya dari Rasulullah.
Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, kata Aisyah, “Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan.” Mendengar kalimat tersebut, beberapa sahabat pun menyampaikannya kepada Abdurrahman bin Auf. Terkejut, dan segera Abdurrahman melangkahkan kakinya ke rumah Aisyah.
Berkata Abdurrahman, “Engkau telah mengingatkanku sebuah hadis yang tak mungkin kulupa. Maka dengan ini, aku mengharap dengan sangat agar engkau menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah.” Tak lama setelah itu, seluruh muatan dari 700 kendaraan tersebut dibagikan kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya.
Abdurrahman adalah salah seorang dari 10 sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Dulunya dia tak berpunya. Kemudian dia cari pasar. Dia berniaga. Berusaha sekuat tenaga. Jadi kaya, dan raya (besar). Tapi, tidaklah ia menjadi budak bagi hartanya yang berlimpah itu. Ia tetap jadi pemimpin atas semua yang Allah berikan untuknya.
Hatinya yang sensitif membuatnya selalu terikat dengan Allah; saat ia mencari nafkah, bersilaturahmi dengan orang lain, dan bahkan ketika ia menafkahkan hartanya dengan niat semata untuk mendapatkan ridha dari Allah. Ia teramat khawatir jangan sampai harta yang dititipkan Allah padanya tidak dimanfaatkan untuk kebaikan. Karena, Abdurrahman menyadari bahwa ketika seseorang telah tiada, yang akan menemaninya di alam kubur hanyalah sehelai kain kafan. Tak akan bersama ia dengan harta yang banyak itu, kecuali amal selama hidup di dunia.
“Hamzah jauh lebih baik dariku. Ia telah gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan, hanya terdapat baginya sehelai kain. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh, kami khawatir telah didahulukan pahala kebaikan kepada kami,” begitu kata Abdurrahman bin Auf. Ia khawatir jangan sampai kekayaan yang diperolehnya di dunia adalah kebaikan yang didahulukan, padahal ia lebih mencintai kebaikan yang kekal abadi di akhirat nanti.
Sampai di titik ini, teringatlah kita dengan sebuah ayat Al-Quran yang menyuruh kita agar bersegera berbuat baik dengan cara mendapatkan ampunan Allah, dan surga—sebagai simbolisasi dari berbagai kebaikan dan kenikmatan. “Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhan-Mu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disiapkan untuk orang-orang yang bertakwa.”  (QS. Ali Imran: 133). Bersegera, berarti tidak tunda lama-lama, berarti tidak terus-terusan lalai dengan dunia yang kelalaian itu jika tak segera ditinggalkan akan menghitamkan jiwa kita yang sesungguhnya fitri.
Cerita Abdurrahman bin Auf tadi, hanyalah bagian kecil dari cerita teladan pengorbanan para sahabat yang tidak terlena dengan harta. Sekilas, harta memang membuat bahagia, akan tetapi kebahagiaan sejati tidaklah berada di harta, akan tetapi di hati yang senantiasa bersyukur atas nikmat apapun yang Allah berikan kepada kita. Harta dan dunia ini sesungguhnya jika diibaratkan, seperti fatamorgana. Jika berada di siang terik kita melihat jalanan beraspal, dari kejauhan akan terlihat air di atas aspal itu. Akan tetapi, jika kita dekati, air itu tidak ada. Pun demikian sesungguhnya dengan harta. Kita berpikir bahwa letak kebahagiaan adalah pada harta yang banyak, padahal ketika kita telah mendapatkannya, terasalah bukan di situ letak bahagia.
Lantas dimana letak bahagia itu? Dari Nu’man bin Basyir, Rasulullah saw pernah bersabda, “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati” (HR. Bukhari dan Muslim).
Apa yang telah dilakukan oleh alumni Pesantren Darunnajah, khususnya Alumni Angkatan 22 dengan 22 Foundation adalah ikhtiar agar tidak terlena dengan dunia. Foundation yang memiliki berbagai aktivitas silaturahmi yang dalam hadis disebutkan “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan (atau diberkahi) rezekinya atau ditunda (dipanjangkan) umurnya, maka hendaknya ia bersilaturahmi” (HR. Muttafaqun ‘alaih) adalah semata untuk saling ingat-mengingatkan untuk menjaga kebaikan, akhlak mulia, dan sedekah.
Donasi yang terkumpul (berapapun hasil sumbangan tersebut) yang kemudian dibagi kepada asatidzah dan beberapa teman adalah bagian dari kesadaran bersama untuk tidak terlena dengan harta dunia. Tidak diperbudak oleh kuasa-kuasa yang sifatnya sementara. Sebaliknya, kita menjadi pemimpin, pengendali, dan raja atas harta yang kita punya. * [Yanuardi Syukur, tulisan ini dimuat di booklet 22 Foundation, organisasi amal milik Angkatan 22 Ponpes Darunnajah Jakarta, September 2015. Thanks to: H. Zakaria]

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...