SUATU
ketika di kota Madinah ramai orang datang yang menyebabkan hiruk-pikuk dan crowded. Rupanya, ada sekitar 700
kendaraan rombongan kafilah dagang Abdurrahman bin Auf yang baru saja tiba
dengan membawa banyak barang dagangan dari Syam. Mengetahui keramaian itu
karena kafilah salah seorang sahabat Nabi tersebut, Aisyah ra pun seolah-olah
mengingat sesuatu yang pernah didengarnya dari Rasulullah.
Aku
pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, kata Aisyah, “Kulihat Abdurrahman bin
Auf masuk surga dengan perlahan-lahan.” Mendengar kalimat tersebut, beberapa
sahabat pun menyampaikannya kepada Abdurrahman bin Auf. Terkejut, dan segera
Abdurrahman melangkahkan kakinya ke rumah Aisyah.
Berkata
Abdurrahman, “Engkau telah mengingatkanku sebuah hadis yang tak mungkin kulupa.
Maka dengan ini, aku mengharap dengan sangat agar engkau menjadi saksi, bahwa
kafilah ini dengan semua muatannya berikut
kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah.” Tak lama setelah
itu, seluruh muatan dari 700 kendaraan tersebut dibagikan kepada semua penduduk
Madinah dan sekitarnya.
Abdurrahman
adalah salah seorang dari 10 sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Dulunya dia
tak berpunya. Kemudian dia cari pasar. Dia berniaga. Berusaha sekuat tenaga.
Jadi kaya, dan raya (besar). Tapi, tidaklah ia menjadi budak bagi hartanya yang
berlimpah itu. Ia tetap jadi pemimpin atas semua yang Allah berikan untuknya.
Hatinya
yang sensitif membuatnya selalu terikat dengan Allah; saat ia mencari nafkah,
bersilaturahmi dengan orang lain, dan bahkan ketika ia menafkahkan hartanya
dengan niat semata untuk mendapatkan ridha dari Allah. Ia teramat khawatir
jangan sampai harta yang dititipkan Allah padanya tidak dimanfaatkan untuk
kebaikan. Karena, Abdurrahman menyadari bahwa ketika seseorang telah tiada,
yang akan menemaninya di alam kubur hanyalah sehelai kain kafan. Tak akan
bersama ia dengan harta yang banyak itu, kecuali amal selama hidup di dunia.
“Hamzah
jauh lebih baik dariku. Ia telah gugur sebagai syahid, dan di saat akan
dikuburkan, hanya terdapat baginya sehelai kain. Telah dihamparkan bagi kami
dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil
sebanyak-banyaknya. Sungguh, kami khawatir telah didahulukan pahala kebaikan
kepada kami,” begitu kata Abdurrahman bin Auf. Ia khawatir jangan sampai
kekayaan yang diperolehnya di dunia adalah kebaikan yang didahulukan, padahal
ia lebih mencintai kebaikan yang kekal abadi di akhirat nanti.
Sampai
di titik ini, teringatlah kita dengan sebuah ayat Al-Quran yang menyuruh kita
agar bersegera berbuat baik dengan cara mendapatkan ampunan Allah, dan
surga—sebagai simbolisasi dari berbagai kebaikan dan kenikmatan. “Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhan-Mu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disiapkan untuk
orang-orang yang bertakwa.” (QS.
Ali Imran: 133). Bersegera, berarti
tidak tunda lama-lama, berarti tidak terus-terusan lalai dengan dunia yang
kelalaian itu jika tak segera ditinggalkan akan menghitamkan jiwa kita yang sesungguhnya
fitri.
Cerita
Abdurrahman bin Auf tadi, hanyalah bagian kecil dari cerita teladan pengorbanan
para sahabat yang tidak terlena dengan harta. Sekilas, harta memang membuat
bahagia, akan tetapi kebahagiaan sejati tidaklah berada di harta, akan tetapi
di hati yang senantiasa bersyukur atas nikmat apapun yang Allah berikan kepada
kita. Harta dan dunia ini sesungguhnya jika diibaratkan, seperti fatamorgana.
Jika berada di siang terik kita melihat jalanan beraspal, dari kejauhan akan
terlihat air di atas aspal itu. Akan tetapi, jika kita dekati, air itu tidak
ada. Pun demikian sesungguhnya dengan harta. Kita berpikir bahwa letak
kebahagiaan adalah pada harta yang banyak, padahal ketika kita telah
mendapatkannya, terasalah bukan di situ letak bahagia.
Lantas
dimana letak bahagia itu? Dari Nu’man bin Basyir, Rasulullah saw pernah
bersabda, “Ingatlah bahwa di dalam jasad
itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia
rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Apa
yang telah dilakukan oleh alumni Pesantren Darunnajah, khususnya Alumni
Angkatan 22 dengan 22 Foundation adalah ikhtiar agar tidak terlena dengan
dunia. Foundation yang memiliki berbagai aktivitas silaturahmi yang dalam hadis
disebutkan “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan (atau diberkahi)
rezekinya atau ditunda (dipanjangkan) umurnya, maka hendaknya ia bersilaturahmi”
(HR. Muttafaqun
‘alaih) adalah semata untuk saling ingat-mengingatkan untuk menjaga
kebaikan, akhlak mulia, dan sedekah.
Donasi
yang terkumpul (berapapun hasil sumbangan tersebut) yang kemudian dibagi kepada
asatidzah dan beberapa teman adalah bagian dari kesadaran bersama untuk tidak
terlena dengan harta dunia. Tidak diperbudak oleh kuasa-kuasa yang sifatnya
sementara. Sebaliknya, kita menjadi pemimpin, pengendali, dan raja atas harta
yang kita punya. * [Yanuardi Syukur, tulisan ini dimuat di booklet 22 Foundation, organisasi amal milik Angkatan 22 Ponpes Darunnajah Jakarta, September 2015. Thanks to: H. Zakaria]
No comments:
Post a Comment