Tulisan
opini adalah tulisan yang berisi pendapat. Semakin baik lagi jika pendapat itu
didukung oleh berbagai contoh, fakta, atau data yang memadai yang semakin
memperkuat ide tersebut.
Ketika
melihat asap melanda beberapa daerah di Indonesia, tiap kita pasti ada opini
yang terbangun. Paling tidak, asap itu terjadi karena dua hal. Pertama, karena
kebakaran (atau pembakaran) hutan yang dilakukan oleh oknum tertentu yang ingin
mendapatkan keuntungan dari hutan tersebut, atau kedua, terjadi karena proses
alamiah seperti hujan tidak turun-turun dan terjadi panas yang memunculkan
titik api. Dua hal ini bisa jadi ide utama, kemudian kita tambah dengan
referensi, baik itu dari buku teks, jurnal, atau majalah.
Pada
bulan Maret yang lalu, di Melbourne, beberapa toilet saya lihat sangatlah
bersih. Fakta itu kemudian membentuk opini saya bahwa semakin modern masyarakat
semakin cinta mereka dengan kebersihan. Beberapa bulan kemudian, di SalmanTV,
saya membawakan materi ringan—berdasarkan opini yang terbangun di benak saya—tentang
relasi antara toilet bersih dengan masa depan.
Walaupun
sebenarnya, beberapa hari kemudian, pada pukul 01.30 pagi di sebuah restoran
saya lihat ada toilet yang kotor sekali di Sydney, opini yang terbangun
kemudian di saya adalah: ternyata walaupun suatu komunitas cinta toilet bersih
tapi di tempat lain belum tentu cinta hal yang sama.
Jadi,
opini itu tentang pendapat. Sebuah opini akan jadi tulisan, kalau ditulis.
Jadilah ia tulisan opini. Jika opini itu hanya berada di kepala, maka ia masih
bisa disebut ‘latent’ (di bawah tanah/di dasar otak), belum ‘manifest’ (mewujud
dalam kenyataan).
Waktu
beberapa orang membajak pesawat kemudian menabrakkannya ke menara kembar WTC,
orang-orang belum ada opini tentang itu. Nah, pas di media disiarkan bahwa
pembajaknya adalah orang Arab, disusul dengan penyataan bahwa Al Qaeda
bertanggungjawab pada aksi tersebut, maka publik (terutama di Barat) kemudian
menyematkan opini, bahwa: Arab (atau juga Islam) adalah teroris. Opini ini
bukan hanya di kepala, tapi juga di tulisan-tulisan.
Pada
bagian ini, opini ternyata dibentuk oleh media massa, diterima oleh publik,
yang kemudian menimbulkan semacam pandangan baru tentang terorisme bahwa
terorisme itu lekat pada Islam. Belakangan, ketika buku anti-tesis pandangan
arus-utama—yang menyematkan terorisme pada Islam—itu terbit, publik pun
sebagian tersadar bahwa soal utama aksi itu bukanlah karena agama seutuhnya
(karena faktanya banyak tokoh Islam yang menentang aksi tersebut), tapi juga soal
tuntutan keadilan terhadap masyarakat muslim di Timur Tengah.
Opini
adalah soal transformasi ide dan pengaruh. Jika kita punya ide, segeralah kita
menulis dengan tambahan data-data penunjang. Tapi, satu yang harus kita ingat
juga adalah, jangan berdiri pada sandaran yang rapuh. Mengambil tulisan di
blog-blog pribadi sesungguhnya agak rapuh untuk tulisan opini. Kecuali, blog
tersebut dikelola atau ditulis oleh penulis yang benar-benar ekspert di
bidangnya. Yang paling bagusnya adalah gunakan referensi buku atau jurnal untuk
menulis opini. Kalau tak ada versi cetaknya, kita bisa cari buku atau jurnal di
google.
Hal
lain yang perlu diperhatikan dalam menulis ini adalah hindari sesuatu yang
kontra-produktif. Beberapa penulis hobi dengan gaya koboi, tembak kiri tembak
kanan. Semua orang diserang. Salahkah? Tentu tidak. Tapi, yang perlu kita ingat
adalah, kita hidup di masyarakat yang masih terikat dengan sopan-santun.
Dengan
dalih kebebasan terkadang seorang penulis opini—termasuk juga ‘penulis status
facebook dan cuitan di twitter’—menyerang kelompok satu dan lainnya.
Seakan-akan, dialah yang paling tahu, kritis, dan cerdas. Tapi memang ada tipe
orang yang hobinya begitu. Untuk tipe tersebut, tentu saja mereka harus
benar-benar memilih kata-katanya dengan baik, tidak mudah sumpah-serapah dan
asal kritik.
Menjadi
penulis opini—seperti juga penulis genre lainnya—tidak ada yang langsung jadi.
Semua butuh proses. Cara paling ampuh untuk itu adalah dengan memperbanyak
membaca. Baca berbagai referensi yang ada. Kemudian, biasakan diskusi agar
tulisan pikiran kita terbiasa mendapatkan umpan-balik dari orang lain.
Belajar
dari penulis yang duluan mahir juga baik. Pelajari tulisan mereka, tapi jangan
ikuti mereka seratus persen. Sebaliknya, sambil jalan temukan model tulisan
yang cocok dengan diri kita sendiri. [Yanuardi Syukur]
Tulisan dibuat sebagai materi 'Sabtu Berguru' di grup Facebook Wisma Indah Forum Lingkar Pena, Sabtu, 24 Oktober 2015.
Gambar dari laman draytontribune.com