|
Writer's clock. Photo: DavidBenami.Com |
“Apakah
kamu lagi bingung kapan waktu yang tepat untuk mulai menulis? Jika iya, maka
saya punya berita baik, dan juga berita buruk. Berita baiknya adalah, kamu tak
akan pernah punya waktu lebih (untuk menulis) melebihi waktumu yang telah ada
setiap hari. Kemudian, berita buruknya adalah sama dengan apa yang tadi saya
sebutkan. Itu sekaligus berita buruk!”
Kurang
lebih begitu, kata Moira Allen, dalam tulisan dia berjudul Finding Time to Write di laman yang dia kelola, Writing World. Masalah waktu menulis,
kata dia lagi, tidak akan pernah bisa ditemukan. Tapi, hanya bisa dibuat. Ya,
dibuat, bukan ditemukan. Jika kamu memutuskan untuk mengulur-ulur waktu menulis
sampai nanti dapat waktu kosong, saat berada di pegunungan, sawah, atau pinggir
pantai yang tenang, yakinlah kamu tak akan dapat waktu itu. Satu-satunya cara
untuk menulis adalah tentukan waktu, kendalikan waktu, dan buatlah waktu yang
tepat untuk menulis.
Tiap
orang punya waktu yang tepat untuk menulis. Ada orang yang dapat inspirasi dan
kuat menulis di pagi hari. Ada juga yang siang, sore, atau ada juga yang malam
sebelum tidur atau setelah bangun dari tidur dini hari. Sebagai seorang yang
belajar menulis, kita perlu mencari kapan waktu yang paling efektif untuk kita
menulis.
Sebagai
penulis pemula, pagi adalah waktu yang paling enak untuk menulis. Saat bangun
pagi, apalagi setelah mandi, saya merasakan gelombang semangat menulis yang
begitu besar. Kadang, saya langsung dapat ide. Misalnya, saat buka facebook,
baca status teman, langsung terpikir untuk menulis sebuah status sebagai respon
atas status itu—secara tidak langsung—atau terpikir untuk menulis sebuah
artikel. Akhirnya, dengan segera saya tentukan paling tidak tiga hal yang akan
dijelaskan dalam artikel tersebut.
Beberapa
tahun lalu saya pernah baca buku kecil. Katanya, ada seorang intelektual yang
inspirasi belajar—juga menulisnya—semakin meningkat jika di mejanya ada apel
busuk. Jadi, saat dia cium apel busuk itu (tentu kita tidak harus segitu juga
kali ya), inspirasinya langsung muncul—tak peduli mau pagi, siang, atau malam.
Ah, berat juga ya kalau harus begitu. Tapi pernah juga saya dengar, katanya ada
penulis yang dia tidak keluar inspirasinya kalau tidak minum kopi. Jadi, kalau
tidak ada kopi di mejanya—tak peduli kapan waktunya—dia tidak akan bisa
menulis. Tapi, kalau ada kopi, semua berjalan lancar. Yang menarik juga, dalam
biografi yang ditulis oleh Mauluddin Anwar, Latief Siregar, dan Hadi Mustofa
berjudul Cahaya, Cinta, dan Canda M. Quraish Shihab (2015), menceritakan
bahwa Professor Quraish Shihab sangat bisa menulis saat ia ditemani secangkir
teh hitam. Dan, yang paling penting lagi, teh itu harus buatannya sendiri. Kebiasaan
ditemani teh hitam saat menulis itu telah mulai dilakukannya sejak kuliah di
Universitas Al Azhar, Mesir. Dalam menulis, ‘Habib Qreschev’—begitu panggilan
dari cucu-cucunya, biasa mengalokasikan waktu delapan jam sehari, dimulai
setelah salat subuh (Tempo, 26
Agustus 2012).
Waktu
yang tepat buat menulis memang sangat personal. Maksudnya, sangat bergantung
pada selera kita masing-masing. Tugas kita selanjutnya adalah mencari kapan
waktu yang paling efektif untuk itu. Jika bisa lihat, cermati dari pengalaman
yang ada. Apakah misalnya, kalau pagi saya bisa menulis dengan lancar atau
tidak. Maksud lancar di sini adalah, kita menulis dengan enjoy, mengalir, dan yang lebih penting lagi adalah natural. Atau,
di siang hari setelah makan siang kita bisa lihat apakah waktu itu pas atau
tidak. Ada orang tertentu yang bawaannya ngantuk kalau siang, maka ia tidak
produktif di siang. Tapi ada juga yang inspirasinya mengalir di malam hari
bakda isya, atau setelah bangun tidur. Tapi, saya jarang dengar ada yang sangat
produktif di sore hari. Entah kenapa, sore itu terasa kurang pas untuk menulis,
kecuali untuk membaca. Tentang waktu sore ini, pastinya tiap orang beda-beda cara
pandang dan pengalamannya.
Selanjutnya,
menulis juga rupanya bukan hanya soal waktu yang tepat atau tidak tepat. Tapi
juga terkait dengan batas waktu alias deadline.
Beberapa tahun belakangan, dengan menjamurnya penerbit, banyak penulis yang
dapat order naskah buku, dan mereka diminta menulis dengan cepat. At least dua minggu (atau satu bulan) naskah
harus selesai.
Brian
A. Klems, dalam tulisannya How to Write a
Good Nonfiction Book in a Month, menulis, “You must have a strong desire to write a book in a month. No matter
what challenges arise during those 30 days, your will must push you forward to
meet your goal” (Writer’s Digest,
30 Oktober 2015). Inti yang mau disampaikan Klems di sini adalah, kalau kita
punya target menulis dalam satu bulan, kita harus punya semangat, dorongan yang
kuat untuk itu. Apapun tantangan yang muncul dalam 30 hari, kita harus tetap
maju, tuntaskan sampai naskah selesai!
Dalam
kondisi yang sangat ketat seperti ini, para penulis dengan deadline seperti itu tidak lagi terikat dengan mana waktu yang
tepat atau tidak, apakah harus ditemani, kopi atau teh. Mereka telah terikat
oleh sebuah perjanjian bahwa cepat atau lambat, naskah harus selesai di waktu
yang ditentukan. Hal seperti ini selain membuat seorang penulis lihai dalam
membagi waktu, juga akan membuatnya lebih cepat berpikir, mencari data, dan
menuntaskan naskahnya. Kekurangannya
juga ada tentu saja, seperti naskah yang tidak dalam, terlihat tergesa-gesa,
dan money-oriented. Tapi satu yang
harus diingat adalah, kualitas. Usahakan buat tulisan yang paling berkualitas untuk
diterbitkan. “Write better, get
published,” begitu motto terkenal dari Writer’s
Digest yang bisa kita jadikan inspirasi.
Tentu,
bagi kita yang masih pemula, tentu tidak harus terburu-buru membuat naskah.
Kecuali, naskahnya memang harus selesai segera seperti makalah tugas kuliah,
laporan pekerjaan, atau proyek tertentu yang mau tidak mau harus selesai. Tapi,
untuk yang terakhir ini—tulisan proyek—adakalanya hasilnya memang tidak begitu
dalam, karena terikat waktu dan pengelola dana tersebut juga harus menuntaskan
paket pekerjaan mereka sebelum akhir tahun, sebelum tutup buku. Memang, tidak
semua tulisan proyek itu ‘sekedar jadi’, banyak juga yang jadi dan hasilnya
memang luar biasa.
Kembali
soal waktu yang tepat, hemat saya kita harus tentukan paling minimal dua waktu
dimana kita bisa sangat, sangat, sangat (tiga kali ‘sangat’) produktif. Kalau
saya bisa usul, gunakanlah dua waktu efektif untuk menulis.
Pertama,
pagi setelah mandi pagi (usahakan sudah mandi sebelum subuh, setelah subuh,
atau setelah mengaji dan zikir-zikir pagi). Menulis setelah mandi secara
emosional berbeda dengan menulis sebelum mandi. Setelah mandi, apalagi jika
kita pakai pakaian yang pas, enak, dan nyaman, kita akan benar-benar
bersemangat. Usahakan baju yang semalam sudah dipakai, jangan dipakai lagi
paginya. Siapkan diri dengan persiapan-persiapan pendukung seperti pakaian yang
pas, meja yang rapih, juga kamar tidur yang sudah bersih. Hal-hal kecil seperti
itu terlihat sepele, sederhana, tapi akan terbawa menjadi pesan tersembunyi
pada apa yang akan kita tulis. Dalam hal ini, tepat kata penulis Inggris Virginia
Woolf (1882-1941), “Every secret of a
writer’s soul, every experience of his life, every quality of his mind, is
written large in his works.”
Kedua,
malam setelah isya. Usahakan setelah salat isya, coba menulis. Jika sulit untuk
membuka tulisan, kita bisa memulai dengan lead-lead
seperti sejarah, pengalaman, kutipan baik dari ayat suci atau dari tokoh
ternama, dan seterusnya. Mulai menulis di waktu malam adakalanya memang berat,
apalagi kalau badan terasa letih, perut sudah bernyanyi-nyanyi meminta jatah
makan, atau ketika perut kenyang dan bawaannya ingin segera berlabuh di ‘pulau
kapuk.’ Terasa tidak enak memang. Apalagi jika ada pikiran juga, “santai
ajalah, besok juga masih ada waktu.” Jadinya, tulisan tidak jadi. Tidur saja
yang jadi. Besok malam bisa jadi begitu lagi, lagi, dan lagi. Untuk itu, jika
memang sudah tidak bisa sama sekali—karena ngantuk—kita bisa menulis pointer
intinya saja. Misalnya, kita akan menulis satu artikel, tapi rasanya badan
sudah tidak bisa kompromi, maka buat beberapa poin penting saja, paling minimal
tiga ide. Jika sudah tertulis di kertas atau file word, hal itu akan memudahkan saat besok kita harus menulis.
Secara
umum, waktu yang tepat buat menulis beda-beda tiap orang. Kita bisa belajar
dari cara penulis ini dan itu. Tapi, jangan ikuti mereka secara utuh. Cukup
jadikan mereka inspirasi untuk terus menulis. Jadikan semangat berbagi mereka
sebagai penggugah diri untuk produktif menulis. Hidupku untuk berbagi, maka aku
harus menulis. Hidupku pasti bermanfaat jika aku menulis. Ide-ideku akan
terbaca, ini bisa jadi amal jariyah insya
Allah, jika aku menulis. Waktuku juga akan maksimal jika aku aktif menulis.
Tetap
belajar, jangan cepat puas!
Jaga
semangat, jangan berhenti berjuang! *
Perpustakaan ITB, 5 November 2015
YANUARDI
SYUKUR, Penulis buku. Aktif di Divisi
Karya Badan Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena (FLP). E-mail:
yanuardisyukur@gmail.com.