Wednesday, November 25, 2015

Ternyata Menulis CV Juga ada Aturannya

Foto bersama Awardee LPDP dengan beberapa reviewer
Setelah mengikuti kegiatan The Habibie Center sampai siang, saya segera beranjak ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta. Hari itu, Senin, 23 November 2015.

Ini kali kedua saya hadir di sini, untuk berkonsultasi terkait  cara membuat CV, Personal Statement, dan Research Proposal, bersama teman-teman Awardee LPDP yang berminat lanjut S2 dan S3 di Amerika. 

Dalam kesempatan ini, seluruh CV dan Personal Statement dikoreksi agar lebih efektif dalam beberapa forum kecil. Saya masuk dalam grup yang dikoreksi oleh Miss Holly. Penjelasan dari Mas Muhammad Iqbal dari Education USA dan Deborah Lynn juga mengingatkan tentang materi yang pernah dibawakannya di @Amerika, Pacific Palace Mall, Jakarta. 

Untuk Research Proposal, saya diberikan sebuah contohnya yang kalau dibaca-baca, lumayan juga. Kira-kira hampir sama dengan bab 1 disertasi. Setelah materi itu, saya jadi tersadar tentang pentingnya menulis CV, personal statement dan juga proposal riset S3 dalam perspektif Amerika yang lebih singkat, tapi kira-kira 'menjelaskan semua'. Tapi, untuk proposal, memang sebaiknya tidak terlalu ringkas, tapi menjelaskan secara utuh apa yang hendak kita riset dalam perkuliahan kelak. *

Tiga Faktor Pemersatu Bangsa

Materi Anies Baswedan
Pada Senin, 23 November 2015, saya menghadiri kegiatan Second International Conference of the World Forum for Muslim Democrats yang diselenggarakan dalam rangka 16 tahun The Habibie Center, bertempat di Hotel Le Meridien, Jakarta.

Dr. Anies Baswedan, Mendikbud, bertindak sebagai keynote speech, yang dirangkaikan dengan panel diskusi terkait Islamic States: Sectarian Conflict and Islamic Extremism, Human Rights and Refugees (Rohingya and Syria), Islamophobia and Minorities, Social Justice and Rule of Law, and Way Forward.

Dalam materinya, Anies Baswedan membahas tentang beberapa yang yang menyatukan Indonesia. Pertama, satu bahasa. Dalam sumpah pemuda, telah disepakati bangsa yang satu dan bahasa yang satu. Saat ini, ketika ada pertemuan tidak diperlukan lagi penerjemah, kata Anies, karena sama-sama pakai bahasa Indonesia. Kedua, kerajaan-kerajaan di Indonesia menyetujui terbentuknya Indonesia, yang dengan demikian menguatkan rasa kebersamaan sebagai bangsa. Selain itu, para elit bumiputra yang waktu itu termasuk aristokrat juga peduli pada pentingnya kebersamaan dengan tidak membuat perbedaan antara strata sosial. Ketiga, para pendidikan bangsa juga peduli pada pendidikan dalam arti yang sangat luas.

Selain Anies, pembicara lainnya juga memaparkan materi yang sangat menarik. Anwar Ibrahim turut membawakan materinya yang dibacakan oleh anaknya Nurul Izzah, anggota Parlemen Malaysia. Juga, Jiro Hanyu, Khalid Jafaar, Kilic Bugra, Azyumardi Azra, dan beberapa lainnya.

Dalam kegiatan ini, sayangnya saya tidak hadir secara full, pada intinya menjelaskan sikap muslim demokrat dalam beberapa isu kontemporer di atas. *

Bertemu Professor Amri Marzali

Foto bersama Professor Amri Marzali
Pada siang yang baik, Selasa 24 November 2015, saya mendapatkan kesempatan berharga bertemu dengan Professor Amri Marzali, guru besar Antropologi UI, di Pusat Pengkajian Antropologi UI Depok. Selama sekitar dua jam, saya mendapatkan sharing ilmu dan pengalaman dari beliau terkait bagaimana menjalani perkuliahan di tingkat S3 sekaligus dalam arti luas bagaimana menjadi pembelajar yang baik.

Selain itu, beliau juga bercerita masa-masa sulit ketika harus berjualan di pinggir jalan di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Kebaikan hati dan rekomendasi Professor Koentjaraningrat sangat punya arti banyak bagi perkembangan pendidikannya kelak. Dengan pengalaman itu, beliau menyimpulkan bahwa penghormatan kepada guru itu sangatlah penting jika kita ingin berhasil. Mungkin, dalam arti lebih luas, penghormatan kepada semua guru, sekecil apapun orang yang telah berjasa bagi kita yang bisa kita sebut sebagai 'guru', harus dijaga sebaik mungkin.

Lahir pada 1942 di Silungkang (Sawah Lunto), Sumatera Barat, Professor Amri Marzali menamatkan pendidikan S1 di UGM dan UI, S2 di The Australian National University (ANU), dan S3 di Boston University USA. Beberapa tahun lalu, ia mengajar di University of Malaya, dan kini mengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, di Jakarta. Beberapa bukunya yang telah terbit adalah Antropologi Untuk Sekolah Menengah Umum (Jakarta: Asosiasi Antropologi Indonesia, 1999); Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003); dan Antropologi dan Pembangunan Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2005).

Di hari yang baik ini, saya juga bertemu dengan Dr. Toni Rudyansjah. Bertemu pertama kali waktu kuliah umum 'The World of Maluku' Professor Leonard Y. Andaya sebulanan lalu, dan kali kedua ketemu di setapak kecil samping kantor Antropologi. Dari beliau, saya mendapatkan sharing beberapa ide terkait perkuliahan S3 Antropologi. Juga, saya bertemu Mas Imam Ardhianto, pengajar Antropologi UI yang akan melanjutkan S3 di Jerman. Sekilas jalan, saya juga bertemu dengan Professor Yasmin Z. Shahab.

Pertemuan dengan Dr. Semiarto Aji Purwanto juga memberikan inspirasi positif. Kali pertama bertemu dengan Mas Aji dalam proyek penulisan buku Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (revisi buku Professor M. Junus Melalatoa) di Kemdikbud, sekaligus sharing pengalamannya waktu di Wisma Makara UI terkait belajar S3 dan aktivitasnya pada berbagai international conference, sangatlah menarik. Perkenalan dengan Mas Aji tidak bisa dilepaskan dari rekomendasi seorang senior saya yang baik di Antropologi FISIP Unhas, Dr. Tasrifin Tahara, yang telah merekomendasikan nama saya dari Antropologi Universitas Khairun, Ternate, sebagai penulis ensiklopedi tersebut bersama sekitar 17 dosen lainnya dari Aceh hingga Papua.

Pertemuan sekaligus 'silaturahmi beruntun' ini sangatlah baik sekaligus positif. Saya beruntung dan bersyukur mendapatkan kesempatan yang sangat penting ini. Kepada Professor Amri Marzali, saya berdoa semoga senantiasa sehat, dan buku-buku terbarunya (terutama terkait 'step-step revolusi mental') bisa segera terbit dan dikaji di negeri ini. *

Tuesday, November 17, 2015

Paris Attack dan Globalisasi ISIS

Titik Lokasi Paris Attack (sumber: BBC)
Daniel Byman, Professor dari Geogetown University, menulis artikel berjudul ISIS Big Mistakes di Foreign Affairs (15 November 2015) terkait Paris Attack.

Aksi global ala ISIS itu, menurut Byman memiliki alasan, yang salah satunya adalah alasan ideologis. Maksudnya adalah, ISIS mengklaim bahwa mereka akan menjadi pemenang atas pertarungan dengan musuh-musuh Islam, termasuk kalangan Barat.

Selain itu, mereka motif serangan mereka juga bagian dari meraih kader dari luar negeri. Selama ini, kelompok ISIS mengajak kaum muslim untuk bergabung dengan Islamic State di sana. Di Indonesia misalnya, ada beberapa video di Youtube yang kabarnya dirilis oleh kelompok ISIS yang mengajak kaum muslim untuk itu. Artinya, aksi ini bisa juga ajakan kepada kaum muslim untuk bergabung dengan mereka.

Tambahan lagi, serangan ini menurut Byman dapat meningkatkan self-image dan menarik perhatian para calon anggota ISIS terutama dari kalangan muda. Saat ini, anak muda adalah sasaran perekrutan paling efektif oleh ISIS untuk mendapatkan para petarung. Dengan kematian sekitar 200 orang di Paris, setidaknya dalam pandangan ISIS, hal itu tidak sebanding dengan kematian umat Islam di Irak dan Syiria yang lebih dari 250.000 orang yang dilakukan oleh Barat. Dengan pikiran seperti ini, ISIS berharap para pemuda tersentuh dan berjuang bersama-sama mereka. "If you want to continue to inspire thousands of foreigners to come to Iraq and Syria to fight, such bloody propaganda is invaluable," tulis Daniel Byman yang mencoba membaca 'pikiran' ISIS.

Saat ini, menurut lembaga kontra-terorisme Amerika, per Februari ada sekitar 20.000 petarung ISIS yang berasal dari luar Irak dan Syiria. 150 di antaranya berasal dari Amerika, dan 3000 lainnya dari negara Barat yang lain. Menurut data BNPT, sekitar 500 orang Indonesia yang bergabung di sana.

Serangan Paris ini tentu saja bisa jadi bumerang bagi serangan besar para sekutu (tidak hanya Barat tapi juga negara Timur Tengah) yang bisa membawa pada kehancuran gerakan ISIS. Serangan Perancis dan kekuatan sekutu lainnya bisa menghancurkan gerakan tersebut. Artinya, jika mereka hendak mendirikan negara Islam, seharusnya fokusnya pada pendirian negara, bukan dengan meneror negara luar. Tapi mungkin, ini langkah mereka untuk menciptakan stabilitas di teritorinya. Tapi, membunuh warga sipil, apakah dibenarkan dalam Islam? Sebagai penganut Islam, tentu hal itu tidak dibenarkan, dan Rasulullah tidak mencontohkan sama sekali.

Soal kemungkinan kesalahan besar ISIS, seperti yang ditulis Byman, yang bisa membuat mereka hancur bisa dilihat dari sejarah kehancuran (atau korban banyak) Al Qaeda dalam pertempuran di Afghanistan. Memang, sampai sekarang Al Qaeda masih eksis, namun tidak begitu besar sebagaimana peristiwa 9/11.

Serangan sekutu terhadap Al Qaeda misalnya, mengutip kata Jurnalis dan juga penulis buku, Lawrence Wright, telah menghancurkan sekitar 80 persen anggotanya (hingga 2001) di Afghanistan. Artinya, jika asumsi 20.000 ISIS fighters di sana, maka serangan ini bisa menghancurkan sekitar 16.000, dan sisa paling tidak 4.000 orang. Untuk mempertahankan wilayah Irak dan Syria, jumlah itu tentu sangat kecil.

Tapi, jika memang (ini kalau benar aksi Paris kemarin) dilakukan dengan sepengetahuan pemimpin ISIS, lantas apa pertimbangan mereka sehingga harus menyerang ke luar? Itu juga kalau peristiwa Sinai adalah benar pelakunya ISIS. Kenapa mereka tidak berfokus pada pembangunan Islamic State saja yg damai, dgn asumsi bahwa sebagai 'negara baru', tentu mereka harus mempersiapkan segala perangkat--tidak cuma sekedar menguasai minyak dan teritori, tapi juga memperhatikan pendidikan, sistem sosial, dst.

Globalisasi aksi ala ISIS ini memang sulit dicerna, karena jika orientasinya bangun negara, harusnya berfokus saja pada negara. Tapi, di satu sisi, serangan kepada Barat yang dilakukan ISIS hampir sama dgn yang pernah dilakukan oleh Al Qaeda (atau afiliasinya), terutama pasca fatwa Bin Laden tahun 1998 bahwa dibolehkan menyerang Barat dimana saja.

Memang, masalah ini agak kompleks, karena di dalamnya ada pertarungan politik, perebutan sumber daya alam stategis (minyak dan gas), serta aroma kebencian dan prejudice satu sama lain yang membuat samakin curiga dan angkat senjata. Lantas, apa yang harus kita lakukan agar dunia ini bisa lebih damai, tidak ada perang, dan teror sebagaimana di Paris beberapa waktu lalu? Menghentikan gerak ISIS juga berat. Yang paling mungkin adalah kita tidak menjadi bagian dari supporter gerakan tersebut. Apalagi dalam konteks Indonesia, dunia yang damai harus tetap kita jaga yang dengan demikian semoga bisa dampak bagi negara lainnya. *

Deklarasi Keluarga Alumni KAMMI

Foto bersama Gubernur Jawa Barat
Pada Sabtu-Ahad, 14 dan 15 November 2015, saya mengikuti Silaturahmi Nasional Alumni KAMMI yang dirangkaikan dengan deklarasi Keluarga Alumni KAMMI di Patra Jasa Bandung Hotel, Jl. Juanda, Bandung. Dalam kesempatan ini, hadir berbagai mantan aktivis KAMMI dari berbagai provinsi dan juga beberapa mantan Ketua KAMMI seperti Fitra Arsil, M. Badaruddin, Akbar Zulfakar, Rahmantoha Budiarto, Fahmi Rusydi, Rijalul Imam, M. Ilyas, dan Andriyana.

Forum sepakat memilih 9 orang presidium nasional KAMMI yang kelak akan bekerja selama lima tahun yang bekerja secara kolektif kolegial. Para presidium nasional adalah: Fitra Arsil, M. Badaruddin, Akbar Zulfakar, Fahri Hamzah, Mukhamad Najib, Fahmi Rusydi, Rahmantoha Budiarto, Johan, dan Eka Suwarna.

Selanjutnya di tiap provinsi akan dibentuk Keluarga Alumni KAMMI dengan berbagai kluster yang ada. Di tingkat nasional juga ada kluster tersebut. Saya bergabung dengan Kluster Pendidikan dan Riset, dimana bergabung pada dosen dan peneliti.

Di sela-sela acara juga hadir Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang menyampaikan beberapa pandangan terkait perkembangan Provinsi Jawa Barat, politik nasional, dan dunia Islam secara umum. Salah satu yang beliau harapkan dari KAMMI adalah perlu ditumbuhkannya budaya menulis agar ide-ide dan capaian-capaian yang telah ada dapat disebarkan ke publik.*




Saturday, November 14, 2015

Sarapan Pagi dengan Dr. Orhan Cicek

Buku untuk Dr. Orhan
Pada Kamis 12 November 2015, saya diundang bersama 8 orang lainnya (akademisi dan pengusaha) untuk sarapan pagi dengan Orhan Cicek, aktif di Australian Intercultural Society, yang salah satu kegiatannya adalah mendialogkan ide-ide Fethullah Gulen dari Turki terkait respect and tolerance.

Sarapan diadakan di ruang penasehat Pribadi Bilingual School Bandung. Pada kesempatan ini, sekitar dua jam lebih, kita membicarakan terkait ide-ide Badiuzzaman Said Nursi yang diteruskan oleh Fethullah Gulen dengan mendirikan sekolah di sekitar 175 negara, dan membudayakan dialog dan kerjasama antar umat manusia.

Kepada Dr. Orhan, saya memberikan sebuah buku saya yang agak lama (tahun 2013) tapi sayangnya masih berbahasa Indonesia. Harapannya ke depan, rasanya cukup menarik jika menulis buku dalam bahasa Inggris agar dapat berbagi ide di kalangan masyarakat yang lebih luas. *

Bersama Professor Jimly dan Ustad Muzayyin

Foto bersama di Gramedia Matraman
Pada Rabu, 11 November 2015, saya bertemu dua orang hebat: Professor Jimly Asshiddiqie dan Ustad Muzayyin Arif.

Pertemuan bertiga ini mengingatkan saya empat tahun yang lalu saat menjadi staf Prof Jimly. Ceritanya, waktu itu saya lagi potong rambut di salah satu barbershop di kampung saya, Tobelo (Halmahera Utara), dan Ustad Muzayyin menelepon. Tak lama, dari Tobelo saya ke Ternate, dari Ternate ke Jakarta.

Waktu itu, saya dipercayakan sebagai Sekretaris Eksekutif Jimly School of Law and Government (JSLG) yg dipimpin oleh Dr. Komaruddin, dan sekaligus membantu Institut Peradaban yang dipimpin Professor Salim Said yang berkantor di ruangan yang pernah ditempati Professor BJ. Habibie. Tugas saya waktu itu (untuk Institut Peradaban) adalah membuat format lembaga yang pas untuk IP dengan mempelajari lembaga yang ada dengan berpatokan pada pemikiran Prof Salim Said sebagai chairman.

Dalam waktu yang tidak berapa lama itu, saya belajar banyak dari para tamu dan undangan yang hadir dalam rapat-rapat, serta diskusi yang digelar baik atas nama Jimly School atau Institut Peradaban.

Sebagai juru catat yang baik, saya belajar dari diskusi-diskusi kebangsaan yang dihadiri oleh Prof Jimly Asshiddiqie, Prof Salim Said, Prof Rusadi Kantaprawira, Christianto Wibisono, Dr. Donny Gahral Adian, Dr. Burhanuddin Abdullah, KH. Masdar F. Mas'udi, Marsekal TNI AU Chappy Hakim, Teddi P. Rachmat, Amran Nasution, dan banyak nama lainnya.

Ternyata, turut serta bersama orang-orang pintar itu menyenangkan. Membuka mata, wawasan, dan juga relasi. Mungkin, inilah makna sesungguhnya dari silaturahmi sebagaimana hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya (kebaikannya), maka bersilaturahmilah (HR. Bukhari)." *

Belajar dari Miss Sofie

Buku saya untuk Miss Sofie
Pada Kamis 12 November 2015 siang, bersama teman-teman Awardee LPDP, kita bersilaturahmi ke rumah tutor Writing IELTS Pusat Bahasa ITB, Miss Sofie Dewayani, Ph.D.

Miss Sofie adalah seorang penulis produktif di Indonesia, tidak hanya untuk jurnal internasional, tapi juga novel, dan buku-buku anak. Salah satu bukunya "Taman Bermain dalam Lemari", terpilih sebagai Second Prize Winner Samsung Kids Time Author's Award 2015. Juga, karyanya "Cap Go Meh" jadi finalis Singtel Asian Picture Book Award, Singapura.

Tambahan lagi, tulisannya juga dimuat di harian Jakarta Post, Kompas, Republika, Matabaca, dan Media Indonesia. Salah satu tulisannya dapat dibaca di blog Ary Nilandari berikut: https://arynilandari.wordpress.com/…/memahami-buku-dwibaha…/.

Juga yang dimuat di Media Indonesia, link-nya sebagai berikut: http://radiobuku.com/…/sofie-dewayani-literasi-dan-kelisan…/

Di kelas IELTS, untuk urusan writing, Miss Sofie-lah jagonya. Menjawab task 1 atau 2, ia langsung tulis di papan tulis. Beliau tamat S2 dan S3 di University of Illinois at Urbana-Champaign, Amerika. Suaminya, Tubagus Furqon Sohani, PhD lulusan S2 di Belanda, dan S3 di Amerika.

Jarang-jarang ada suami-istri yang sama-sama PhD dari US.

"Saya sebenarnya biasa aja," katanya ke saya di Lantai 1 Pusat Bahasa ITB.

"Saya waktu pertama kali test TOEFL, skor saya cuma 400-an," kata suaminya, Tubagus Furqon.
"Saya terus belajar, dan pada akhirnya bisa juga."

Foto ini adalah kenangan ketika saya menghadiahkan sebuah buku saya untuk beliau yg difoto oleh Fitonesia, calon mahasiswa S2 The Australian National University. Dalam buku "Taman Bermain dalam Lemari" (cetakan ke-5, 2015) yang ia tandatangani untuk ketiga anak saya, ia menulis, "Dear Anisah, Afifah, Fikri: Selamat bermain!"

Terimakasih Miss Sofie atas sharing ilmu dan wawasannya. *

Saturday, November 7, 2015

Makna 'Peneliti 4%' di Komunitas Academia

Pada 3 November 2015, saya menerima email dari website www.academia.edu, situs jejaring sosial untuk komunitas akademik yang diluncurkan sejak September 2008. Situs yang hingga April 2015 beranggota 21 juta akun itu menulis dalam emailnya, "You're now in the top 4% of researchers on Academia.Edu!" Dalam tiga puluh hari, tulis academia lagi, profile saya dilihat oleh 70 orang (profile views), dokumen dilihat 62 orang (document views), dan pengunjung yang unik (mungkin yang dapat dari Google) adalah 70 orang (unique visitors)

Tentu saja mendapatkan email ini saya gembira. Gembira karena dua hal. Pertama, saya baru memulai menggunakan laman Academia sekitar beberapa bulan yang lalu--kalau tak salah ingat--ketika diajak oleh kolega saya yang sementara PhD di Jepang, Maulana Ibrahim. Sejak itu saya mulai memposting tulisan, dan menjalin pertemanan dengan beberapa rekan dosen dan peneliti. Beberapa di antaranya saya bertanya tentang kuliah, antropologi, dan seterusnya. Sebagai pembelajar, saya merasa harus banyak bertanya kepada mereka yang sudah ahli. 

Kedua, saya merasa gembira karena pada akhirnya mulai tertarik untuk menulis artikel ilmiah. Walau artikel yang saya posting di Academia tidak semuanya ilmiah, tapi saya mulai tertarik untuk itu terutama sejak menjadi dosen di Universitas Khairun. Sebelumnya, saya rutin menulis artikel dan buku, tapi tulisan dan buku populer. Kini, sejak jadi dosen saya merasa tertarik untuk menulis. Walhasil, dalam dua tahun terakhir saya menyelesaikan penelitian terkait Legu Gam (biaya DIPA Unkhair), dan beberapa tulisan yang termuat di Jurnal Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, Universitas Khairun, dan satu lagi yang akan terbit (buku antologi) di University of Malaya. 

Seorang senior saya yang sangat aktif menulis di jurnal, pembacanya bahkan lebih banyak. Dr. Ismail Suardi Wekke, namanya. Ia termasuk peneliti 0,5% dengan profile views-nya 1080, document views-nya 1018, dan unique visitor-nya 527. Melihat data yang diposting di dinding Facebook-nya, saya jadi tertarik untuk mengikuti jejaknya dalam produktivitas menulis artikel jurnal. Hingga saat ini, kendala saya dalam menulis untuk jurnal internasional setidaknya dua. Pertama, bahasa Inggris--bahasa yang dulu paling tidak saya suka--sekarang ini mau tak mau harus terus di-upgrade. Hingga tahun lalu, saya termasuk tidak berani menulis berbahasa Inggris. Tapi belakangan setelah belajar ke Kampung Inggris Pare (1 bulan), ikut Muslim Exchange Program ke Australia (2 minggu), dan belajar IELTS di Pusat Bahasa ITB (7 bulan), saya merasa ada perkembangan. Kedua, hal ikhwal terkait jurnal internasional itu yang saya masih awam. Termasuk di dalamnya apa saja yang harus diperhatikan dalam artikel jurnal, pilihan kata, konten, dan seterusnya. Ala kulli hal, saya punya semangat untuk suatu saat bisa menulis untuk konsumsi komunitas internasional.

Kembali ke email dari Academia. Email ini tentu sangat menggembirakan. Saya merasa senang termasuk dalam 4% peneliti di Academia. Senang karena saya disebut peneliti (researchers), sebuah panggilan yang rasanya saya sangat 'takut' karena menyadari masih rendahnya kualitas penelitian saya. Kemudian, ini sebagai tambahan 'rasa senang' yang sudah ditulis di atas karena bisa aktif dalam komunitas online para dosen dan peneliti. Harapan saya pribadi semoga ke depannya saya bisa menjadi peneliti yang baik, dan yang lebih penting lagi adalah dapat memberikan sumbangsih berharga untuk komunitas ilmiah dan masyarakat umum. *

Thursday, November 5, 2015

Berita Buruk Waktu Menulis


Writer's clock. Photo: DavidBenami.Com

“Apakah kamu lagi bingung kapan waktu yang tepat untuk mulai menulis? Jika iya, maka saya punya berita baik, dan juga berita buruk. Berita baiknya adalah, kamu tak akan pernah punya waktu lebih (untuk menulis) melebihi waktumu yang telah ada setiap hari. Kemudian, berita buruknya adalah sama dengan apa yang tadi saya sebutkan. Itu sekaligus berita buruk!”
Kurang lebih begitu, kata Moira Allen, dalam tulisan dia berjudul Finding Time to Write di laman yang dia kelola, Writing World. Masalah waktu menulis, kata dia lagi, tidak akan pernah bisa ditemukan. Tapi, hanya bisa dibuat. Ya, dibuat, bukan ditemukan. Jika kamu memutuskan untuk mengulur-ulur waktu menulis sampai nanti dapat waktu kosong, saat berada di pegunungan, sawah, atau pinggir pantai yang tenang, yakinlah kamu tak akan dapat waktu itu. Satu-satunya cara untuk menulis adalah tentukan waktu, kendalikan waktu, dan buatlah waktu yang tepat untuk menulis.
Tiap orang punya waktu yang tepat untuk menulis. Ada orang yang dapat inspirasi dan kuat menulis di pagi hari. Ada juga yang siang, sore, atau ada juga yang malam sebelum tidur atau setelah bangun dari tidur dini hari. Sebagai seorang yang belajar menulis, kita perlu mencari kapan waktu yang paling efektif untuk kita menulis.
Sebagai penulis pemula, pagi adalah waktu yang paling enak untuk menulis. Saat bangun pagi, apalagi setelah mandi, saya merasakan gelombang semangat menulis yang begitu besar. Kadang, saya langsung dapat ide. Misalnya, saat buka facebook, baca status teman, langsung terpikir untuk menulis sebuah status sebagai respon atas status itu—secara tidak langsung—atau terpikir untuk menulis sebuah artikel. Akhirnya, dengan segera saya tentukan paling tidak tiga hal yang akan dijelaskan dalam artikel tersebut.
Beberapa tahun lalu saya pernah baca buku kecil. Katanya, ada seorang intelektual yang inspirasi belajar—juga menulisnya—semakin meningkat jika di mejanya ada apel busuk. Jadi, saat dia cium apel busuk itu (tentu kita tidak harus segitu juga kali ya), inspirasinya langsung muncul—tak peduli mau pagi, siang, atau malam. Ah, berat juga ya kalau harus begitu. Tapi pernah juga saya dengar, katanya ada penulis yang dia tidak keluar inspirasinya kalau tidak minum kopi. Jadi, kalau tidak ada kopi di mejanya—tak peduli kapan waktunya—dia tidak akan bisa menulis. Tapi, kalau ada kopi, semua berjalan lancar. Yang menarik juga, dalam biografi yang ditulis oleh Mauluddin Anwar, Latief Siregar, dan Hadi Mustofa berjudul Cahaya, Cinta, dan Canda M. Quraish Shihab (2015), menceritakan bahwa Professor Quraish Shihab sangat bisa menulis saat ia ditemani secangkir teh hitam. Dan, yang paling penting lagi, teh itu harus buatannya sendiri. Kebiasaan ditemani teh hitam saat menulis itu telah mulai dilakukannya sejak kuliah di Universitas Al Azhar, Mesir. Dalam menulis, ‘Habib Qreschev’—begitu panggilan dari cucu-cucunya, biasa mengalokasikan waktu delapan jam sehari, dimulai setelah salat subuh (Tempo, 26 Agustus 2012).
Waktu yang tepat buat menulis memang sangat personal. Maksudnya, sangat bergantung pada selera kita masing-masing. Tugas kita selanjutnya adalah mencari kapan waktu yang paling efektif untuk itu. Jika bisa lihat, cermati dari pengalaman yang ada. Apakah misalnya, kalau pagi saya bisa menulis dengan lancar atau tidak. Maksud lancar di sini adalah, kita menulis dengan enjoy, mengalir, dan yang lebih penting lagi adalah natural. Atau, di siang hari setelah makan siang kita bisa lihat apakah waktu itu pas atau tidak. Ada orang tertentu yang bawaannya ngantuk kalau siang, maka ia tidak produktif di siang. Tapi ada juga yang inspirasinya mengalir di malam hari bakda isya, atau setelah bangun tidur. Tapi, saya jarang dengar ada yang sangat produktif di sore hari. Entah kenapa, sore itu terasa kurang pas untuk menulis, kecuali untuk membaca. Tentang waktu sore ini, pastinya tiap orang beda-beda cara pandang dan pengalamannya.
Selanjutnya, menulis juga rupanya bukan hanya soal waktu yang tepat atau tidak tepat. Tapi juga terkait dengan batas waktu alias deadline. Beberapa tahun belakangan, dengan menjamurnya penerbit, banyak penulis yang dapat order naskah buku, dan mereka diminta menulis dengan cepat. At least dua minggu (atau satu bulan) naskah harus selesai.
Brian A. Klems, dalam tulisannya How to Write a Good Nonfiction Book in a Month, menulis, “You must have a strong desire to write a book in a month. No matter what challenges arise during those 30 days, your will must push you forward to meet your goal” (Writer’s Digest, 30 Oktober 2015). Inti yang mau disampaikan Klems di sini adalah, kalau kita punya target menulis dalam satu bulan, kita harus punya semangat, dorongan yang kuat untuk itu. Apapun tantangan yang muncul dalam 30 hari, kita harus tetap maju, tuntaskan sampai naskah selesai!
Dalam kondisi yang sangat ketat seperti ini, para penulis dengan deadline seperti itu tidak lagi terikat dengan mana waktu yang tepat atau tidak, apakah harus ditemani, kopi atau teh. Mereka telah terikat oleh sebuah perjanjian bahwa cepat atau lambat, naskah harus selesai di waktu yang ditentukan. Hal seperti ini selain membuat seorang penulis lihai dalam membagi waktu, juga akan membuatnya lebih cepat berpikir, mencari data, dan menuntaskan naskahnya.  Kekurangannya juga ada tentu saja, seperti naskah yang tidak dalam, terlihat tergesa-gesa, dan money-oriented. Tapi satu yang harus diingat adalah, kualitas. Usahakan buat tulisan yang paling berkualitas untuk diterbitkan. “Write better, get published,” begitu motto terkenal dari Writer’s Digest yang bisa kita jadikan inspirasi.
Tentu, bagi kita yang masih pemula, tentu tidak harus terburu-buru membuat naskah. Kecuali, naskahnya memang harus selesai segera seperti makalah tugas kuliah, laporan pekerjaan, atau proyek tertentu yang mau tidak mau harus selesai. Tapi, untuk yang terakhir ini—tulisan proyek—adakalanya hasilnya memang tidak begitu dalam, karena terikat waktu dan pengelola dana tersebut juga harus menuntaskan paket pekerjaan mereka sebelum akhir tahun, sebelum tutup buku. Memang, tidak semua tulisan proyek itu ‘sekedar jadi’, banyak juga yang jadi dan hasilnya memang luar biasa.
Kembali soal waktu yang tepat, hemat saya kita harus tentukan paling minimal dua waktu dimana kita bisa sangat, sangat, sangat (tiga kali ‘sangat’) produktif. Kalau saya bisa usul, gunakanlah dua waktu efektif untuk menulis.
Pertama, pagi setelah mandi pagi (usahakan sudah mandi sebelum subuh, setelah subuh, atau setelah mengaji dan zikir-zikir pagi). Menulis setelah mandi secara emosional berbeda dengan menulis sebelum mandi. Setelah mandi, apalagi jika kita pakai pakaian yang pas, enak, dan nyaman, kita akan benar-benar bersemangat. Usahakan baju yang semalam sudah dipakai, jangan dipakai lagi paginya. Siapkan diri dengan persiapan-persiapan pendukung seperti pakaian yang pas, meja yang rapih, juga kamar tidur yang sudah bersih. Hal-hal kecil seperti itu terlihat sepele, sederhana, tapi akan terbawa menjadi pesan tersembunyi pada apa yang akan kita tulis. Dalam hal ini, tepat kata penulis Inggris Virginia Woolf (1882-1941), “Every secret of a writer’s soul, every experience of his life, every quality of his mind, is written large in his works.”
Kedua, malam setelah isya. Usahakan setelah salat isya, coba menulis. Jika sulit untuk membuka tulisan, kita bisa memulai dengan lead-lead seperti sejarah, pengalaman, kutipan baik dari ayat suci atau dari tokoh ternama, dan seterusnya. Mulai menulis di waktu malam adakalanya memang berat, apalagi kalau badan terasa letih, perut sudah bernyanyi-nyanyi meminta jatah makan, atau ketika perut kenyang dan bawaannya ingin segera berlabuh di ‘pulau kapuk.’ Terasa tidak enak memang. Apalagi jika ada pikiran juga, “santai ajalah, besok juga masih ada waktu.” Jadinya, tulisan tidak jadi. Tidur saja yang jadi. Besok malam bisa jadi begitu lagi, lagi, dan lagi. Untuk itu, jika memang sudah tidak bisa sama sekali—karena ngantuk—kita bisa menulis pointer intinya saja. Misalnya, kita akan menulis satu artikel, tapi rasanya badan sudah tidak bisa kompromi, maka buat beberapa poin penting saja, paling minimal tiga ide. Jika sudah tertulis di kertas atau file word, hal itu akan memudahkan saat besok kita harus menulis.
Secara umum, waktu yang tepat buat menulis beda-beda tiap orang. Kita bisa belajar dari cara penulis ini dan itu. Tapi, jangan ikuti mereka secara utuh. Cukup jadikan mereka inspirasi untuk terus menulis. Jadikan semangat berbagi mereka sebagai penggugah diri untuk produktif menulis. Hidupku untuk berbagi, maka aku harus menulis. Hidupku pasti bermanfaat jika aku menulis. Ide-ideku akan terbaca, ini bisa jadi amal jariyah insya Allah, jika aku menulis. Waktuku juga akan maksimal jika aku aktif menulis.
Tetap belajar, jangan cepat puas!
Jaga semangat, jangan berhenti berjuang! *
Perpustakaan ITB, 5 November 2015

YANUARDI SYUKUR, Penulis buku. Aktif di Divisi Karya Badan Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena (FLP). E-mail: yanuardisyukur@gmail.com.




Wednesday, November 4, 2015

Apakah Barat anti-Islam?

Salah satu pertemuan muslim Amerika.
Sumber: OnIslam.Net
Walau sudah lebih dari dua dekade, pengaruh teori 'clash of civilizations' masih terasa sampai sekarang. Pertarungan antara kekuatan Barat dan Islam menjadi tema yang dikaji oleh banyak sarjana tidak hanya Islam tapi juga non-Muslim yang tertarik dalam kajian Islam. Efek paling jelas nyata dari 'kebenaran' benturan antar peradaban itu terlihat dari konflik-konflik anti-Barat yang dilancarkan tidak hanya di Timur Tengah, tapi juga di Eropa, Amerika, bahkan di Asia Tenggara.

Fakta meningkatnya gerakan anti-Barat seperti yang terlihat dari kemunculan Taliban di Afghanistan, serangan gerakan Al Qaeda terhadap pos-pos penting Amerika Serikat--seperti yang paling besar di menara kembar WTC--yang disusul juga bom beruntun yang terjadi di Bali, telah semakin menguatkan stigmatisasi akan 'buruknya' Barat di mata umat (atau aktivis pergerakan/haraki) Islam. Fenomena konflik ini tidaklah berdiri sendiri, ada saja faktor internal seperti meningkatnya eksploitasi terhadap sumber daya alam setempat, atau karena solidaritas terhadap kaum muslim yang tertindas di berbagai belahan dunia, salah satunya yang paling bertahan sampai sekarang adalah isu Palestina.

Pada tahun 1998 misalnya, Osama bin Laden pernah mengeluarkan fatwa tentang bolehnya membunuh warga Amerika, sipil atau militer. Juga, dalam konteks konflik antara Israel dan Palestina, ada gerakan untuk menyerang orang Israel (sipil maupun militer) dan sebaliknya telah terjadi serangan Israel terhadap warga sipil di Gaza. Fakta ini seakan memperjelas bahwa saat ini ketika terjadi perang, orang tidak lagi bisa memisahkan mana yang harus diperangi, dan mana yang harus dilindungi. Mana yang terlarang untuk diperangi, mana yang boleh diperangi.

Islam Growing Fastest
Sumber: www.pewresearch.org
Sebuah pertanyaan penting patut dilontarkan. Apakah semua yang berlabel Barat adalah anti-Islam? Untuk menjawab itu kita bisa melihat perkembangan Islam yang terjadi di dunia Barat. Di Amerika Serikat misalnya, berbagai data melansir terkait meningkatkan jumlah pemeluk Islam dari hari ke hari. Jika kita baca tulisan Imam Shamsi Ali misalnya, beliau biasa menceritakan bagaimana animo masyarakat Amerika untuk memeluk Islam. Michael Lipka dan Conrad Hackett, dalam tulisan mereka Why Muslims are the world's fastest-growing religious group, di laman Pew Research Center (23 April 2015), menulis bahwa pemeluk Islam kecepatan pertumbuhannya adalah dua kali lipat dari keseluruhan pertumbuhan populasi dunia antara tahun 2010 sampai 2050 (pertengahan abad ke-21), dan akan melampaui agama Kristen sebagai agama terbesar di dunia (Muslims will grow more than twice as fast as the overall world population between 2010 and 2050 and, in the second half of this century, will likely surpass Christians as the world's largest religious group).

Para pemeluk Islam di Amerika ini tidak hanya para imigran dari Afrika yang didatangkan untuk kebutuhan produksi perkebunan, tapi juga para penduduk Amerika yang keturunan Eropa dan telah lahir sebagai warga Amerika. Mereka mendapatkan kedamaian dalam Islam. Peristiwa 9/11 sekilas sangat menyeramkan, akan tetapi mengandung 'berkah' bagi kebenaran ayat Al Quran surat An Nashr, "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong."

Kemudian, peningkatan jumlah Muslim di Eropa juga makin hari makin berkembang lebih dari 10 persen menjelang tahun 2050 (Guardian, 2 April 2015). Gerakan untuk membungkam penyebaran Islam seperti yang dilakukan oleh politisi Belanda Geert Wilders yang mempublikasikan video dan kartun anti-Islam dengan dalih untuk menjaga freedom of expression, rupanya tidak mempan untuk mencegah gelombang muallaf Islam di Eropa. Dalam konteks ini, terlihat bahwa animo masyarakat Islam untuk menjadi muslim yang baik juga meningkat. Fakta dari berbondong-bondongnya pemuda muslim Eropa yang bergabung dengan ISIS--terlepas dari radikalisme gerakan ini--memperlihatkan adanya peningkatan kesadaran untuk menegakkan Islam. Tentu saja, bergabungnya para pemuda dalam kafilah ISIS itu patut disayangkan, karena hingga saat ini jumhur ulama dan tokoh muslim menyatakan bahwa gerakan ISIS adalah teror dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti yang dapat kita baca dari surat yang ditulis oleh lebih dari seratus ulama bergelar syeikh, professor, doktor, dan tokoh Islam di negaranya masing-masing. Lepas dari kecenderungan mereka untuk bergabung dengan ISIS, terlihat di sini peningkatan semangat keberislaman.

Di Australia, sebagai contoh benua ketiga, pemeluk Islam juga terus meningkat. Salah satu oleh-oleh yang saya dapatkan ketika berkunjung ke Australia adalah fakta bahwa di antara agama lainnya, Islam adalah agama yang paling berkembang di Australia. Tulisan Scott Higgins, di laman Center for Christianity and Society (4 Agustus 2014), berjudul Is Australia being Islamicised? tentang masuknya para muslim pencari suaka adalah kekhawatiran terkait Islamisasi di Australia, penerapan syariah Islam, dan transmisi budaya kekerasan ke masyarakat Australia. Tapi, kekhawatiran ini sesungguhnya natural (jumlahnya tidak banyak), karena di masyarakat manapun selalu ada kelompok kecil yang pro pada kekerasan. Walau jumlahnya tidak sesignifikan Kristen, akan tetapi makin hari makin banyak yang bergabung dengan Islam dan tetap menghormati konstitusi yang mengajarkan mutual respect and understanding sesama warga Australia. Tentu saja hal ini sesuai dengan konstitusi Indonesia dimana seluruh warga secara konstitusi mendapatkan hak yang sama dan harus saling menghormati diversitas suku bangsa dan kepercayaan yang ada dalam masyarakat.

Apakah Barat anti-Islam?

 Click to Enlarge

Jika konsep 'Barat' itu kita letakkan minimal pada warga yang tinggal di tiga benua tersebut--Amerika, Eropa, dan Australia--maka secara general orang-orang yang tinggal di sana apapun latar belakangnya adalah barat. Dan, jika kita berpatokan pada asumsi bahwa Barat membenci Islam atau saat ini terjadi konflik antara Barat dan Islam, maka semua yang jadi warga di tiga benua itu dianggap berperang atau membenci Islam. Padahal, di tiga benua itu orang Islam-nya juga ada, bahkan terus meningkat. Tambahan lagi, walau tidak beragama Islam, di tiga benua itu juga banyak dari mereka yang bersimpati kepada Islam, bahkan menjadi pembela Islam dan mengkampanyekan pentingnya perdamaian.

Danielle Loduce, dalam tulisannya Living Islam in the West: Is it Easy?, menulis, "Not only do i feel comfortable and truly at home here, where I understand the culture, language, and systems, I also feel a care and responsibility towards my fellow Americans." Hidup sebagai muslim di negara mayoritas non-Muslim kata Loduce, terasa nyaman dimana ia dapat memahami budaya, bahasa, dan sistem ala Amerika dan lebih penting lagi adalah ia merasa ada kepedulian dari teman-temannya yang orang Amerika. Selanjutnya, Loduce juga mempublikasikan sebuah survei sederhana kepada 115 orang Islam terkait pengalaman mereka hidup di negera mayoritas non-Muslim. Hasilnya, hampir 35 persen responden menjawab baik (fairly good), 25 persen menjawab sangat baik (very good), dan 11 persen menjawab sangat baik sekali (excellent). Sementara itu, mereka yang menjawab sedikit baik (midlly good) sebanyak 17 persen, dan tidak baik (not good) 6 persen, berbeda 5 poin dengan yang menjawab excellent (OnIslam.net, 2 September 2015).

Selain itu, ketika ditanya bagaimana pengamalan rukun Islam, skala yang mereka pilih paling tinggi, yaitu 5. Ini menandakan bahwa walau hidup di negara non-Muslim, mereka tetap bisa mengamalkan Islam dengan baik. Akhirnya, Laduce mengambil sebuah kutipan umum dari hasil survei-nya dengan kalimat, "The US is still the best country in the world to have freedom of practicing Islam." Tentu saja, walau survei ini respondennya sangat terbatas (cuma 115 orang), akan tetapi bisa menjadi data awal bagi kita bahwa hidup di negara non-Muslim belum tentu sulit dalam mengamalkan Islam. Dan, satu yang menarik dari survei ini juga adalah, 71 persen respondennya adalah wanita, kelompok sosial yang jika kita lihat di berita-berita sangat rentan untuk diperlakukan tidak adil.   

Terkait dengan respon kalangan non-Muslim terhadap Islam, di tubuh keturunan Yahudi sekalipun, sebagai contoh, ada kalangan yang cinta damai, mereka anti-perang, baik yang berada dalam satu kelompok atau secara personal. Kelompok Yahudi Orthodox Shira Hadasha di Melbourne, misalnya. Mereka cinta dan menyerukan perdamaian antara Israel dan Palestina. Rabi Marc Schneier di New York yang menulis buku Sons of Abraham bersama Imam Shamsi Ali telah menjalin hubungan baik dan saling membela antara satu dan lainnya (BBC, 17/11/2014). Artinya, rasanya tidak adil jika kita menyematkan semua orang Yahudi itu suka teror, suka perang, juga tidak semua orang Kristen setuju pada ide Bush ketika dia harus perintahkan pasukannya untuk menyerang Irak, bahkan apa yang dilakukan para biksu di Myanmar juga rasanya tidak disetujui oleh semua orang Budha--termasuk di Indonesia.

Di titik ini, kita dituntut untuk berpikir lebih adil dalam melihat sesuatu. Tidak semua yang Barat itu kafir, sebagaimana tidak semua yang Timur juga baik. Tidak semua budaya Barat itu kufur, juga tidak semua kearifan lokal di Nusantara juga compatible dengan Islam. Jadi, dalam konteks Islam, kita tidak tidak dibenarkan untuk berlalu tidak adil kepada orang lain, bahkan kepada mereka yang memusuhi Islam. Bagaimana sikap Nabi Muhammad kepada orang kafir yang memeranginya sesungguhnya memperlihatkan ketinggian akhlak dan pemikiran beliau. Orientasi beliau dalam menghadapi orang kafir adalah bukan dengan perang, kecuali sangat terpaksa untuk itu. Ajakan (atau dakwah) adalah lebih diutamakan ketimbang perang. Artinya, dialog merupakan solusi terbaik untuk menemukan kemenangan di kedua pihak.

Jadi, soal apakah Barat anti kepada Islam  atau tidak, hemat saya dengan berbagai fakta--yang dapat kita unduh dari berbagai survei dan berita di media massa--menunjukkan fakta bahwa Barat adalah peradaban yang majemuk. Walaupun mereka dibesarkan oleh tradisi Yunani, Romawi, dan juga Yahudi, Barat di abad ke-21 ini tidaklah bertahan seperti itu. Fenomena 'muallaf bule' yang terus bertambah adalah fakta bahwa tidak selamanya mereka yang dibesarkan dalam tradisi tiga latar belakang itu akan terus mempertahankan keyakinannya. Manusia bisa berubah, sebagaimana dunia ini juga bisa berubah. Dan, cara pandang kita dalam melihat Barat tentu saja harus diupayakan tetap adil dengan mempertimbangkan konteks sosiologis bertambahnya pemeluk Islam.

Satu hal yang mungkin menjadi kritikan  banyak aktivis pergerakan Islam kepada Barat adalah kepada pemerintah. Ya, kebijakan pemerintah itu yang menjadi sasaran kritikan paling keras kepada Barat. Sebagai contoh, serangan Amerika ke Irak dengan dalih adanya senjata pemusnah massal tapi ternyata omong kosong--dan ini sudah ditulis banyak orang saya kira--adalah bukti bahwa ada yang patut diubah dalam kebijakan luar negeri negara Barat. Jadi, problemnya pada manajemen pemerintahan, bukan pada masyarakat sipil. Nah, jika problemnya pada pemerintahan, maka tentu saja para ahli dari seluruh dunia berikan masukan dan usulan terkait bagaimana seharusnya pemerintah berhubungan dengan masyarakat Islam di luar negara mereka.

Tentu saja para ahli seperti John Esposito, sebagai contoh, telah memberikan sumbangsih yang signifikan dalam menjelaskan Islam ke dunia Barat, terutama bukunya The Oxford History of Islam yang menjelaskan tentang Islam tidak hanya dari kawasan Afrika Utara sampai Asia Tenggara, tapi juga komunitas minoritas Islam di planet ini. Juga, antropolog Pakistan yang juga duta besar, Akbar S. Ahmed, dalam salah satu bukunya Journey into America: The Challenge of Islam, yang menjelaskan tentang kehidupan 7 juta muslim di Amerika--berikut ceramah-ceramahnya--telah membuka mata orang Barat tentang bagaimana sebenarnya Islam. Buku Ahmed, dengan pendekatan antropologis ini, paling tidak bisa menjadi salah satu rujukan terkait bagaimana 'pertarungan' identitas sebagai seorang muslim dalam masyarakat Amerika, dan juga isu-isu yang berkembang seperti terorisme dan juga hubungan antara Islam dengan Yahudi dan Kristen. Apa yang disajikan oleh kedua ahli tersebut tentu saja bermanfaat karena kita mendapatkan fakta langsung dari informan yang menjelaskan bagaimana pemikiran, perasaan, dan sikap mereka di tempat dimana mereka hidup.

Dunia yang damai seharusnya menjadi perjuangan kita semua, baik yang tinggal di Barat atau Timur, penganut moneteisme tauhid, politeisme, atau tidak beragama sekalipun. Walau memang ada saja orang-orang yang tidak senang pada kata perdamaian, tapi rasanya mustahil manusia yang tinggal di planet ini semuanya ingin perang. Pasti semua ingin hidup damai. Tak peduli apapun agama dan latar belakangnya, semuanya pasti ingin hidup damai dan menciptakan dunia yang damai. Maka, berpikir dengan perspektif yang damai harus dikedepankan dalam pikiran kita masing-masing. Damai sesungguhnya lebih indah, lebih berkah, dan lebih manusia. *


YANUARDI SYUKUR, Dosen Antropologi Sosial Universitas Khairun; Aktif di The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) dan Peneliti Bundaran Institute. 

Tuesday, November 3, 2015

Kemana Alumni KAMMI (Harus) Berhimpun?

Logo KAMMI
Sejak didirikan pada 1998, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) telah melahirkan banyak kader tidak hanya lokal, tapi juga nasional. Dua nama yang paling umum dikenal sebagai alumni KAMMI adalah Fahri Hamzah dan Andi Rahmat.

Wacana tentang perlunya semacam perhimpunan untuk alumni KAMMI sudah lama beredar. Di beberapa daerah, KAMMI wilayah berinisiatif membuat pertemuan atas nama alumni setempat, namun belum ada payung organisasi alumni yang secara formal didirikan secara nasional. Beberapa bulan lalu, di Facebook sedikit ramai terkait terbentuknya organ alumni KAMMI, namun oleh beberapa kalangan alumni dianggap forum tersebut tidak legitimate, dan yang paling resmi adalah yang akan diadakan pada 13-14 November 2015 di Bandung. Soal resmi dan tidak resmi--atau semacamnya--memang perlu diskusi lebih panjang, karena terkait dengan pranata-pranata yang mengatur para alumni KAMMI.

Namun, terlepas dari perdebatan mana yang paling legitimate atau tidak, hemat saya kekuatan intelektual dari para alumni KAMMI sangat diperlukan untuk mengawal bangsa ini. Para alumni, yang umumnya berusia di atas 20-an hingga 40-an awal pasti memiliki pandangan yang optimis terkait perjalanan bangsa ini. Mereka yang telah terbiasa berdemonstrasi jalanan, berdiskusi lintas gerakan untuk mencari solusi terbaik bangsa problematika bangsa ini kini harus kembali turun ke 'jalan' dengan cara yang lebih cerdas, dan visioner.

Artinya, keberadaan forum alumni KAMMI diperlukan paling tidak dalam dua hal. Pertama, sebagai wadah mencari formulasi yang tepat untuk menyelesaikan problematika majemuk di bangsa ini. Para alumni dalam forum tersebut bisa dibagi dalam beberapa cluster kajian, sebutlah: politik dan hubungan internasional, pendidikan, ekonomi, lingkungan, sosial-budaya, kewanitaan, dan keagamaan. Semua ranah kajian ini berada dalam bingkai kajian kebangsaan. Para alumni dapat dimasukkan dalam cluster-cluster independen tersebut, dan diharapkan paling tidak dalam satu tahun telah mendapatkan satu formula solusi (jangka pendek, menengah, atau panjang) tentang bidang yang mereka geluti. Jadi, satu tahun masa kerja cluster tersebut dapat menghasilkan satu formula pemikiran, diterbitkan dalam bentuk buku, dan dibedah secara nasional. Dengan begitu, maka sumbangsih intelektual alumni KAMMI lebih terasa, dan posisi penting forum ini benar-benar bermakna.

Kedua, wadah penguatan internal. Tidak bisa dimungkiri bahwa manusia bisa berubah seiring dengan berjalannya waktu. Kader yang dulunya hebat di jalanan bisa jadi berubah seratus persen ketika berpindah wilayah kerja atau teman sepergaulan. Jika dulu ramai kader KAMMI di mushalla/masjid, belakangan warung kopi (warkop) menjadi pilihan untuk tampak eksis. Tentu tidak salah, akan tetapi penguatan internal lewat pertemuan dengan orang-orang yang sevisi itu penting. Sebagai muslim tentu saja, ayat surat Al Ashr yang mengingatkan kita untuk 'tawashau bilhaq' dan 'tawashau bisshabr' harus tetap dijaga, sehebat apapun kita sekarang. Lingkungan baik seperti ini memang harus diadakan, harus dijaga dalam bingkai ukhuwah dan sama-sama berusaha menjadi pribadi yang dapat berkontribusi bagi bangsa ini dalam bidang apapun.

Para alumni gerakan kemahasiswaan lainnya punya perhimpunan. Sebutlah itu KAHMI, wadah para alumni HMI. Secara nasional dan daerah, KAHMI punya posisi yang cukup penting dan suaranya dipertimbangkan (atau bahkan menentukan). Namun, tentu saja satu yang harus diingat adalah jangan sampai forum alumni menjadi kekuatan politik tertentu untuk mendukung figur tertentu. Di tengah keragaman latar belakang para alumni, di antara mereka ada yang aktif di PKS, PAN, dan seterusnya, dan pilihan-pilihan itu sangatlah terbuka bagi mereka. Maka untuk kebersamaan, rasanya cukup baik jika secara organisasi forum alumni berfokus sebagai kekuatan intelektual, kekuatan moral, dan kelak tidak dalam rangka dukung-mendukung kepada kekuatan politik tertentu. *

YANUARDI SYUKUR, pernah aktif sebagai Ketua KAMMI Komisariat Unhas dan Koordinator Departemen Kajian Strategis KAMMI Daerah Sulsel. 

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...