Diskusi Panel |
Saya
beruntung diundang sebagai salah satu pembicara dalam konferensi internasional
terkait 60 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang digelar di Museum KAA Bandung,
29 Oktober 2015. Dalam konferensi itu, saya berbicara terkait penyebaran
pengaruh ISIS di Indonesia dan menyiapkan makalah berjudul The Spread of ISIS Influences in Indonesia, bersama Professor Adams
Bodomo (University of Vienna, Austria), Professor Jean-Jacques Ngor-Sene (Chatham
University, Pittsburgh, USA), dan Professor Heidi K. Gloria (Ateneo de Davao
University, Filipina), dengan moderator Dr. Abubakar Eby Hara, Dosen Hubungan
Internasional Universitas Jember lulusan The Australian National University.
Dalam
kesempatan kali ini, ada tiga hal yang menarik terkait dengan penyebaran ISIS
di Indonesia. Pertama, mengutip informasi dari Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme di Indonesia (BNPT) bahwa ada 34 orang (bahkan 200 hingga 500 orang)
Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Irak dan Syria. Jumlah itu menunjukkan
peningkatan trend signifikan pendukung ISIS yang bergabung dengan kafilah
pejuang ISIS yang menurut sumber CIA, lebih dari 15.000 orang (termasuk 2000
orang Barat) menjadi pengikut Khalifah Abubakar Al Baghdadi.
Trend
ini bisa dilihat dari banyak faktor. Emosi keagamaan sebagai seorang muslim
yang ingin menegakkan Islam cukup berpengaruh sehingga ramai orang mendukung
gerakan ini. Terlebih, ada hadis yang menjelaskan terkait pergantian kekuasaan
di muka bumi yang pada akhirnya akan dimenangkan oleh kekuasaan/kekhalifahan
Islam. Kemudian, faktor pemikiran bahwa dunia ini terbagi dua, ‘wilayah Islam’
dan ‘wilayah non-Islam’ cukup berpengaruh sehingga para pendukung ISIS
(terutama orang Indonesia) menyerukan agar warga Indonesia bergabung dengan
gerakan (atau negara baru tersebut).
Dalam
konteks ini, Pancasila sebagai landasan asasi dalam bangsa Indonesia pastinya
ditolak oleh pengikut ISIS karena dianggap tidak Islami, dan tidak
mengaplikasikan hukum Islam. Salah seorang pendukung ISIS di Indonesia, dalam
salah satu wawancara menyebut bahwa Indonesia perlu mendukung ISIS dengan
menjadi negara bagian yang tunduk pada hukum Islam. Tentu saja ide ini jauh
berbeda dengan pemikiran jumhur kita di Indonesia, akan tetapi patut untuk
didengar dan dicermati apa tuntutan paling esensial dari himbauan tersebut.
Kedua,
saya juga menjelaskan tentang bagaimana respon organisasi Islam di Indonesia
terhadap fenomena ISIS. Indonesia, termasuk MUI, telah menolak ISIS. Dua
perwakilan ormas Islam di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama juga
mengambil sikap yang sama. Penolakan terhadap ISIS, oleh Muhammadiyah dilihat
sebagai bagian dari sikap untuk menjaga ‘Islam yang berkemajuan’ karena sikap
ISIS dianggap sebagai tidak berkemajuan, bahkan tidak sesuai dengan konsep Islam rahmatan lil’alamin.
Selama
ini, paling tidak lewat media massa, kita bisa melihat bagaimana ISIS mengeksekusi
bakar seorang pilot Yordania yang videonya dapat dilihat di berbagai laman
internet. Hal ini tentu saja, jika dilihat dari sejarah perang dalam Islam,
tidak dibenarkan untuk membakar orang yang telah menyerah. Nahdlatul Ulama
melihat bahwa untuk memproteksi anggotanya (dan juga masyarakat Indonesia) dari
pengaruh ISIS, diperlukan dukungan terhadap apa yang disebut sebagai
deradikalisasi, yaitu sebuah proses untuk mengembalikan pikiran dan hati para
teroris (termasuk juga secara umum warga yang ter-suspect ISIS) untuk kembali menerima Pancasila, dan UUD 1945
sebagai dasar negara dan menjadi warga Indonesia yang baik.
Bagian
ketiga yang saya bahas dalam pertemuan kali ini adalah bagaimana solusi terbaik
untuk menghadapi pengaruh ISIS. Di tingkat negara, seluruh negara (paling tidak
‘negara selatan-selatan’/Global South) dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin
(karena kegiatan ini tidak terlepas dari konsep tersebut pasca KAA 1955),
menjalin interkoneksi global tidak hanya dalam wilayah sharing informasi
intelijen, akan tetapi juga dalam hal pengajaran keagamaan yang moderat dan
mengajarkan harmoni dengan berbagai perbedaan yang ada.
Pemikiran
bahwa muslim yang tidak menjalankan syariah Islam (dalam hukum negara) adalah
kafir tentu saja tidak dibenarkan, karena masing-masing orang punya kapasitas
dan pertimbangan. Karena toh debat tentang apakah negara Islam itu perlu
didirikan ataukah substansi nilai-nilai Islam saja yang harus diaplikasikan
dalam masyarakat sampai sekarang belum usai—paling tidak dalam konteks
Indonesia.
Selanjutnya,
keluarga muslim, komunitas Islam, komunitas lokal, tetap perlu menjaga
anggota-anggota dari kemungkinan pengaruh tersebut. Termasuk dalam hal ini
adalah komunitas pemuda, remaja-remaja masjid untuk tidak mudah terpengaruh
dengan ide-ide untuk menegakkan syariah Islam dengan cara keras, apalagi dengan
mudah mengkafirkan satu sama lain.
Dalam
konteks Indonesia, saat ini kita termasuk negara yang cukup aman dengan
berbagai suku bangsa di dalamnya, dan konsep Bhinneka Tunggal Ika sudah
mewakili bagaimana diversitas yang ada dihargai di mata hukum Indonesia.
Pendataan sementara yang dilakukan oleh tim penulis revisi buku Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia
(2014-2015) oleh 19 penulis, ditemukan sekitar 500 suku bangsa (tidak sampai
seribu sebagaimana data dari BPS) dengan varian-varian budaya yang sangat
majemuk. Dalam konteks Kepulauan Maluku saja (Provinsi Maluku dan Provinsi
Maluku Utara), saya mencatat paling kurang ada 20 suku bangsa (sub-suku
bangsa/penutur bahasa/kelompok sosial) di Maluku dan 27 di Maluku Utara yang
telah hidup puluhan bahkan ratusan tahun di tanah Nusantara ini sebelum
Indonesia ini ada. Dengan diversitas ini, tentu saja teramat rentan akan terjadinya
konflik antara satu dan lainnya. Tidak bisa dibayangkan sekiranya 500 suku
bangsa di negeri ini (yang punya latar berbeda-beda) saling mempertahankan pendapatnya
(misal yang mendukung negara Islam dan ada yang tidak), kemudian disulut dengan
sedikit saja masalah. Tentu teramat rentan sekali untuk terjadinya gesekan
konflik horizontal yang merugikan banyak pihak. Maka, konsep ‘berbeda-beda
tetapi satu’ hemat saya sudah cukup baik untuk mempertahankan keutuhan kita
sebagai manusia yang hidup di kepulauan nusantara yang luas ini.
Setelah
turun dari panggung, seorang peserta dari Perancis mendekati saya dan
menceritakan bagaimana pemuda-pemuda Islam di Eropa juga berbondong ikut ISIS.
Di antara mereka, adalah para keturunan dari imigran negara Timur Tengah yang
terpengaruh dengan seruan negara Islam. Pertanyaan yang diajukan seorang kawan
dari Perancis itu adalah, apa yang membedakan dukungan anak muda terhadap ISIS
di negara minoritas Islam seperti di Eropa dengan negara mayoritas Islam
seperti di Indonesia?
Dalam
konteks Eropa, menurut Akbar S. Ahmed, antropolog Pakistan yang juga pimpinan
Ibnu Chaldun Chair of Islamic Studies di American University, kaum muda muslim
yang bergabung dengan ISIS adalah berasal dari komunitas imigran Timur Tengah
atau Asia Selatan generasi kedua atau ketiga yang kehilangan budaya asli dan di
saat yang sama tidak mendapatkan penerimaan yang baik dari negara dimana mereka
tinggal. “These generations can be vulnerable because they are at the point of
losing the culture of their ancestors and yet are not fully absorbed or
accepted in the country which they live, despite being citizens.” (Huffington Post, 18/11/2014)
Sementara
itu, di Indonesia, dukungan terhadap ISIS tidaklah banyak seperti Eropa dimana
tiap minggu ada sekitar 5 orang yang bergabung. Para pendukung ISIS paling
tidak bisa dibagi dua bagian. Pertama, mereka yang mendukung dan berkeinginan untuk
menjadi petarung (fighter) dan berangkat ke Irak dan Syiria, dan kedua mereka
yang mendukung tapi tidak berangkat ke lokasi perang. Kelompok pertama ini,
paling tidak ada 500 orang dari Indonesia yang ingin berhijrah ke negara Islam
untuk mengikuti ajaran Islam yang mereka pahami. Untuk menjadi fighter, mereka
tentu saja berkehendak untuk latihan perang, dan segala yang dibutuhkan untuk
itu. Sedangkan, para pendukung yang tidak ke lokasi perang, mendukung gerakan
tersebut dengan penyebaran informasi tidak hanya di dunia nyata, tapi juga yang
trend di dunia maya lewat media-media sosial. Saat ini, penyebaran pengaruh
ISIS paling kuat, paling tidak lewat media sosial.
Lantas,
bagaimana sikap terbaik dalam melihat gerakan ISIS? Hemat saya, sebagai negara
demokrasi, Indonesia tentu saja harus tetap memperhatikan aspirasi mereka. Apa
yang hendak mereka tuntut, mereka perjuangkan, dan mereka inginkan. Selama
aksinya damai—seperti aksi FAKSI di Bundaran Hotel Indonesia—beberapa bulan
lalu yang berkampanye Imarah Islam/Khalifah, itu bisa dimaklumi. Akan tetapi,
ketika aksi tersebut telah meresahkan masyarakat dengan mengajak perang tentara
nasional Indonesia, dan ingin menghancurkan tatanan sosial yang telah terbangun
dalam bingkai Pancasila, tentu ini sangat disayangkan, dan hukum--sebagai sesuatu pranata yang harus kita taat bersama sebagai warga bangsa--perlu ditegakkan.
Namun,
satu yang harus dicatat adalah, penanganan dengan cara-cara keras kepada
seorang pendukung gerakan radikal (apakah itu Al Qaeda, Mujahidin Indonesia
Timur, atau ISIS), tidak begitu efektif untuk mencegah pengaruh gerakan
tersebut. Hal yang patut terus ditingkatkan adalah pendekatan lunak dengan
lebih banyak mengajak masyarakat untuk menjadi warga Indonesia yang baik, banyak
berdialog, dan tidak mudah menyematkan predikat ‘terindikasi teroris’ atau
‘teroris’.
Kenapa
kita harus saling menghargai dalam perbedaan, kenapa kita harus menghormati
satu sama lain, itu penting untuk disebar ke masyarakat. Saat ini, pendekatan
yang sedang digalakkan oleh BNPT dengan konsep deradikalisasi—walau konsep ini
tentu saja harus dijabarkan lebih praktis lagi dengan tetap mendengarkan aspirasi
umat—bisa menjadi solusi sementara untuk mencegah radikalisasi yang berpretensi
mengacaukan tatanan sosial yang telah relatif baik terutama setelah ‘rusuh
beruntun’ pasca jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998. *
YANUARDI
SYUKUR, Dosen Antropologi Sosial
Universitas Khairun; Anggota The Indonesian Society for Middle East Studies
(ISMES); Divisi Karya BPP Forum Lingkar Pena.
Terimakasih
kepada Professor Darwis Khudory (University of Le Havre, Perancis), dan Mr.
Bilal Cleland (Mantan Sekretaris Australian Federation of Islamic
Councils/AFIC) yang telah sharing beberapa data dan informasi.
No comments:
Post a Comment