Monday, November 2, 2015

Pengaruh ISIS di Indonesia



Diskusi Panel

Saya beruntung diundang sebagai salah satu pembicara dalam konferensi internasional terkait 60 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang digelar di Museum KAA Bandung, 29 Oktober 2015. Dalam konferensi itu, saya berbicara terkait penyebaran pengaruh ISIS di Indonesia dan menyiapkan makalah berjudul The Spread of ISIS Influences in Indonesia, bersama Professor Adams Bodomo (University of Vienna, Austria), Professor Jean-Jacques Ngor-Sene (Chatham University, Pittsburgh, USA), dan Professor Heidi K. Gloria (Ateneo de Davao University, Filipina), dengan moderator Dr. Abubakar Eby Hara, Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember lulusan The Australian National University.

Dalam kesempatan kali ini, ada tiga hal yang menarik terkait dengan penyebaran ISIS di Indonesia. Pertama, mengutip informasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme di Indonesia (BNPT) bahwa ada 34 orang (bahkan 200 hingga 500 orang) Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Irak dan Syria. Jumlah itu menunjukkan peningkatan trend signifikan pendukung ISIS yang bergabung dengan kafilah pejuang ISIS yang menurut sumber CIA, lebih dari 15.000 orang (termasuk 2000 orang Barat) menjadi pengikut Khalifah Abubakar Al Baghdadi.

Trend ini bisa dilihat dari banyak faktor. Emosi keagamaan sebagai seorang muslim yang ingin menegakkan Islam cukup berpengaruh sehingga ramai orang mendukung gerakan ini. Terlebih, ada hadis yang menjelaskan terkait pergantian kekuasaan di muka bumi yang pada akhirnya akan dimenangkan oleh kekuasaan/kekhalifahan Islam. Kemudian, faktor pemikiran bahwa dunia ini terbagi dua, ‘wilayah Islam’ dan ‘wilayah non-Islam’ cukup berpengaruh sehingga para pendukung ISIS (terutama orang Indonesia) menyerukan agar warga Indonesia bergabung dengan gerakan (atau negara baru tersebut).

Dalam konteks ini, Pancasila sebagai landasan asasi dalam bangsa Indonesia pastinya ditolak oleh pengikut ISIS karena dianggap tidak Islami, dan tidak mengaplikasikan hukum Islam. Salah seorang pendukung ISIS di Indonesia, dalam salah satu wawancara menyebut bahwa Indonesia perlu mendukung ISIS dengan menjadi negara bagian yang tunduk pada hukum Islam. Tentu saja ide ini jauh berbeda dengan pemikiran jumhur kita di Indonesia, akan tetapi patut untuk didengar dan dicermati apa tuntutan paling esensial dari himbauan tersebut.

Kedua, saya juga menjelaskan tentang bagaimana respon organisasi Islam di Indonesia terhadap fenomena ISIS. Indonesia, termasuk MUI, telah menolak ISIS. Dua perwakilan ormas Islam di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama juga mengambil sikap yang sama. Penolakan terhadap ISIS, oleh Muhammadiyah dilihat sebagai bagian dari sikap untuk menjaga ‘Islam yang berkemajuan’ karena sikap ISIS dianggap sebagai tidak berkemajuan, bahkan tidak sesuai dengan konsep Islam rahmatan lil’alamin.

Selama ini, paling tidak lewat media massa, kita bisa melihat bagaimana ISIS mengeksekusi bakar seorang pilot Yordania yang videonya dapat dilihat di berbagai laman internet. Hal ini tentu saja, jika dilihat dari sejarah perang dalam Islam, tidak dibenarkan untuk membakar orang yang telah menyerah. Nahdlatul Ulama melihat bahwa untuk memproteksi anggotanya (dan juga masyarakat Indonesia) dari pengaruh ISIS, diperlukan dukungan terhadap apa yang disebut sebagai deradikalisasi, yaitu sebuah proses untuk mengembalikan pikiran dan hati para teroris (termasuk juga secara umum warga yang ter-suspect ISIS) untuk kembali menerima Pancasila, dan UUD 1945 sebagai dasar negara dan menjadi warga Indonesia yang baik.

Bagian ketiga yang saya bahas dalam pertemuan kali ini adalah bagaimana solusi terbaik untuk menghadapi pengaruh ISIS. Di tingkat negara, seluruh negara (paling tidak ‘negara selatan-selatan’/Global South) dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin (karena kegiatan ini tidak terlepas dari konsep tersebut pasca KAA 1955), menjalin interkoneksi global tidak hanya dalam wilayah sharing informasi intelijen, akan tetapi juga dalam hal pengajaran keagamaan yang moderat dan mengajarkan harmoni dengan berbagai perbedaan yang ada.

Pemikiran bahwa muslim yang tidak menjalankan syariah Islam (dalam hukum negara) adalah kafir tentu saja tidak dibenarkan, karena masing-masing orang punya kapasitas dan pertimbangan. Karena toh debat tentang apakah negara Islam itu perlu didirikan ataukah substansi nilai-nilai Islam saja yang harus diaplikasikan dalam masyarakat sampai sekarang belum usai—paling tidak dalam konteks Indonesia.

Selanjutnya, keluarga muslim, komunitas Islam, komunitas lokal, tetap perlu menjaga anggota-anggota dari kemungkinan pengaruh tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah komunitas pemuda, remaja-remaja masjid untuk tidak mudah terpengaruh dengan ide-ide untuk menegakkan syariah Islam dengan cara keras, apalagi dengan mudah mengkafirkan satu sama lain.

Dalam konteks Indonesia, saat ini kita termasuk negara yang cukup aman dengan berbagai suku bangsa di dalamnya, dan konsep Bhinneka Tunggal Ika sudah mewakili bagaimana diversitas yang ada dihargai di mata hukum Indonesia. Pendataan sementara yang dilakukan oleh tim penulis revisi buku Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia (2014-2015) oleh 19 penulis, ditemukan sekitar 500 suku bangsa (tidak sampai seribu sebagaimana data dari BPS) dengan varian-varian budaya yang sangat majemuk. Dalam konteks Kepulauan Maluku saja (Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara), saya mencatat paling kurang ada 20 suku bangsa (sub-suku bangsa/penutur bahasa/kelompok sosial) di Maluku dan 27 di Maluku Utara yang telah hidup puluhan bahkan ratusan tahun di tanah Nusantara ini sebelum Indonesia ini ada. Dengan diversitas ini, tentu saja teramat rentan akan terjadinya konflik antara satu dan lainnya. Tidak bisa dibayangkan sekiranya 500 suku bangsa di negeri ini (yang punya latar berbeda-beda) saling mempertahankan pendapatnya (misal yang mendukung negara Islam dan ada yang tidak), kemudian disulut dengan sedikit saja masalah. Tentu teramat rentan sekali untuk terjadinya gesekan konflik horizontal yang merugikan banyak pihak. Maka, konsep ‘berbeda-beda tetapi satu’ hemat saya sudah cukup baik untuk mempertahankan keutuhan kita sebagai manusia yang hidup di kepulauan nusantara yang luas ini.

Setelah turun dari panggung, seorang peserta dari Perancis mendekati saya dan menceritakan bagaimana pemuda-pemuda Islam di Eropa juga berbondong ikut ISIS. Di antara mereka, adalah para keturunan dari imigran negara Timur Tengah yang terpengaruh dengan seruan negara Islam. Pertanyaan yang diajukan seorang kawan dari Perancis itu adalah, apa yang membedakan dukungan anak muda terhadap ISIS di negara minoritas Islam seperti di Eropa dengan negara mayoritas Islam seperti di Indonesia?

Dalam konteks Eropa, menurut Akbar S. Ahmed, antropolog Pakistan yang juga pimpinan Ibnu Chaldun Chair of Islamic Studies di American University, kaum muda muslim yang bergabung dengan ISIS adalah berasal dari komunitas imigran Timur Tengah atau Asia Selatan generasi kedua atau ketiga yang kehilangan budaya asli dan di saat yang sama tidak mendapatkan penerimaan yang baik dari negara dimana mereka tinggal. “These generations can be vulnerable because they are at the point of losing the culture of their ancestors and yet are not fully absorbed or accepted in the country which they live, despite being citizens.” (Huffington Post, 18/11/2014)

Sementara itu, di Indonesia, dukungan terhadap ISIS tidaklah banyak seperti Eropa dimana tiap minggu ada sekitar 5 orang yang bergabung. Para pendukung ISIS paling tidak bisa dibagi dua bagian. Pertama, mereka yang mendukung dan berkeinginan untuk menjadi petarung (fighter) dan berangkat ke Irak dan Syiria, dan kedua mereka yang mendukung tapi tidak berangkat ke lokasi perang. Kelompok pertama ini, paling tidak ada 500 orang dari Indonesia yang ingin berhijrah ke negara Islam untuk mengikuti ajaran Islam yang mereka pahami. Untuk menjadi fighter, mereka tentu saja berkehendak untuk latihan perang, dan segala yang dibutuhkan untuk itu. Sedangkan, para pendukung yang tidak ke lokasi perang, mendukung gerakan tersebut dengan penyebaran informasi tidak hanya di dunia nyata, tapi juga yang trend di dunia maya lewat media-media sosial. Saat ini, penyebaran pengaruh ISIS paling kuat, paling tidak lewat media sosial.

Lantas, bagaimana sikap terbaik dalam melihat gerakan ISIS? Hemat saya, sebagai negara demokrasi, Indonesia tentu saja harus tetap memperhatikan aspirasi mereka. Apa yang hendak mereka tuntut, mereka perjuangkan, dan mereka inginkan. Selama aksinya damai—seperti aksi FAKSI di Bundaran Hotel Indonesia—beberapa bulan lalu yang berkampanye Imarah Islam/Khalifah, itu bisa dimaklumi. Akan tetapi, ketika aksi tersebut telah meresahkan masyarakat dengan mengajak perang tentara nasional Indonesia, dan ingin menghancurkan tatanan sosial yang telah terbangun dalam bingkai Pancasila, tentu ini sangat disayangkan, dan hukum--sebagai sesuatu pranata yang harus kita taat bersama sebagai warga bangsa--perlu ditegakkan.

Namun, satu yang harus dicatat adalah, penanganan dengan cara-cara keras kepada seorang pendukung gerakan radikal (apakah itu Al Qaeda, Mujahidin Indonesia Timur, atau ISIS), tidak begitu efektif untuk mencegah pengaruh gerakan tersebut. Hal yang patut terus ditingkatkan adalah pendekatan lunak dengan lebih banyak mengajak masyarakat untuk menjadi warga Indonesia yang baik, banyak berdialog, dan tidak mudah menyematkan predikat ‘terindikasi teroris’ atau ‘teroris’.

Kenapa kita harus saling menghargai dalam perbedaan, kenapa kita harus menghormati satu sama lain, itu penting untuk disebar ke masyarakat. Saat ini, pendekatan yang sedang digalakkan oleh BNPT dengan konsep deradikalisasi—walau konsep ini tentu saja harus dijabarkan lebih praktis lagi dengan tetap mendengarkan aspirasi umat—bisa menjadi solusi sementara untuk mencegah radikalisasi yang berpretensi mengacaukan tatanan sosial yang telah relatif baik terutama setelah ‘rusuh beruntun’ pasca jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998. *

YANUARDI SYUKUR, Dosen Antropologi Sosial Universitas Khairun; Anggota The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES); Divisi Karya BPP Forum Lingkar Pena.   

Terimakasih kepada Professor Darwis Khudory (University of Le Havre, Perancis), dan Mr. Bilal Cleland (Mantan Sekretaris Australian Federation of Islamic Councils/AFIC) yang telah sharing beberapa data dan informasi.  

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...