Pada pagi Ahad 20 Desember 2015 tadi, saya dipercaya oleh Pimpinan Pesantren Darul Istiqamah, Ust Muzayyin Arif, untuk memandu talkshow dalam rangka silaturahmi Pesantren Darul
Istiqamah, Maccopa, Kabupaten Maros, Sulsel, bersama dengan Imam Shamsi
Ali. Imam Shamsi yang kini menetap di New York, Amerika, adalah seorang
pemimpin komunitas Islam (imam) sekaligus Presiden Nusantara Foundation.
Beliau dilahirkan di Bulukumba, Sulsel, yang mondok di
Pesantren Darul Arqam, Gombara, Makassar. Kemudian melanjutkan S1 dan S2
di International Islamic University (Islamabad, Pakistan), dan S3 di
Southern California University, Amerika. Beberapa bulan lalu, Ust
Muzayyin turut diundang ke New York bersama Dahlan Iskan, Aa Gym, dan
berbagai tokoh lainnya dalam konfererensi terkait Islam Nusantara.
Nama aslinya adalah Muhammad Utteng Ali. Akan tetapi, waktu mondok di
Gombara, nama 'Utteng' di namanya diganti oleh KH. Abdul Jabbar Asyiri,
menjadi 'Shamsi' yang berarti matahari dengan harapan suatu saat dapat
menyinari hati umat manusia.
Beberapa point yang disampaikan oleh beliau adalah sebagai berikut:
1. Salah satu yang unik dan menarik dari orang Indonesia adalah
senyuman. Maka, ketika menetap di Amerika, berdialog dengan berbagai
komunitas keagamaan bahkan kepada kalangan yang Islamophobia, ia
menebarkan 'senyuman khas Nusantara' yang menurutnya, menawan. Masalah
senyuman ini memang penting sekali. Tadi malam, di penutupan Festival
Sastra Islam Nasional (FSIN) yang dihadiri oleh Sastrawan Taufiq Ismail
di Sekolah Athirah, dipentaskan sebuah drama 'mencari senyuman' karya
salah seorang muslimah Indonesia yang termasuk dalam 500 tokoh muslim
berpengaruh di dunia, Helvy Tiana Rosa, yang juga dikenal sebagai
pendiri Forum Lingkar Pena (FLP). Dalam teater tersebut diceritakan
bahwa ada seorang kakek tua yang berjalan kemana-mana mencari senyuman,
karena katanya di kotanya sudah tidak ada lagi orang yang tersenyum
karena sibuk dengan kepentingannya masing-masingnya. Salah satu yang
menarik dari kita di Indonesia adalah, kita terbiasa tersenyum kepada
orang lain. Terlihat ramah, dan dalam konteks dunia global, sangat
membantu untuk menampilkan wajah Islam yang ramah.
2. Pasca
peristiwa 9/11, sejumlah kalangan melihat bahwa peristiwa itu
menciptakan kerugian bagi umat Islam. Di beberapa negara memang terjadi
perang dan mengakibatkan banyak nyawa melayang, akan tetapi di internal
orang Amerika, banyak di antara mereka yang pasca 9/11 memilih untuk
masuk Islam. Suatu ketika, saat membacakan beberapa ayat Al Quran,
seperti ayat tentang 'manusia diciptakan berkabilah-kabilah untuk saling
mengenal', 'perintah untuk berlaku adil', dan ayat tentang 'apabila
datang pertolongan Allah' dalam surat An Nashr, banyak orang Amerika
yang tertarik, dan ketertarikan itu membuahkan berbondong-bondongnya
orang Amerika masuk Islam. Tanpa paksaan.
3. Media punya
pengaruh yang besar dalam menjadikan wajah Islam sebagai ramah atau
keras. Donald Trump adalah salah seorang yang termakan oleh media dan
berpikir bahwa Islam itu identik dengan kekerasan. Akan tetapi, setelah
bertemu Imam Shamsi, pemikirannya berubah, bahwa ternyata ada juga
muslim yang ramah. Setelah pertemuan dengan Imam Shamsi, tidak ada lagi
komentar negatifnya kepada Islam, sampai menjelang pencalonannya sebagai
Presiden Amerika baru ia berkomentar negatif kembali kepada Islam.
Tapi, kata Imam Shamsi, sikap keras Trump kepada Islam ternyata tidak
diamini oleh banyak orang Amerika, sebaliknya di beberapa kota ia
ditolak untuk masuk.
4. Paling tidak, ada tiga program Shamsi
Ali sebagai imam di New York. Pertama, ia menjalin komunikasi dengan
pemerintah setempat. Kedua, ia mengadakan dialog antar-keyakinan
(interfaith dialogue), dan ketiga membuka kelas khusus untuk non-Muslim
yang ingin belajar Islam.
5. Imam Shamsi mengingatkan tentang
pentingnya dakwah lewat media sosial. Medsos seperti twitter, facebook,
path, dst, adalah media-media langsung yang cepat sebarannya. Apa yang
ditampilkan oleh media mainstream bisa jadi ada yang berat sebelah, tapi
kekuatan facebook, sebagai contoh, dapat tersebar begitu cepat dan
menjadi salah satu rujukan terpercaya karena diunggah langsung. Imam
Shamsi mengajak kepada para pengguna media sosial untuk memanfaatkan
media ini dengan sebaik-baiknya dengan menyebarkan banyak-banyak
kebaikan.
6. Di dunia global yang penuh dengan kompetisi ini,
seorang muslim haruslah bisa memiliki kapasitas yang baik. Seorang
muslim tidak hanya dituntut untuk bisa mengerti agama, akan tetapi juga
dapat menjelaskan kepada masyarakat dunia. Olehnya itu, maka penguasaan
bahasa-bahasa asing sangatlah diperlukan, seperti bahasa Arab, Inggris,
Korea, Mandarin, dst. Salah satu program Imam Shamsi yang baru-baru ini
adalah 'Telling Islam to the World'. Islam disebarkan ke seluruh dunia.
Tentu saja, untuk menyebarkan Islam, dibutuhkan penguasaan bahasa-bahasa
asing.
7. Di tengah perubahan zaman, metode dakwah haruslah
inovatif. Inovasi dakwah diperlukan agar dakwah dapat diterima oleh
berbagai kalangan. Di Amerika sebagai contoh, ketika berkenalan dengan
tetangganya, ia mengenalkan diri dan mengatakan bahwa dalam Injil,
diajarkan untuk menyayangi manusia, termasuk tetangga. Sengaja Imam
Shamsi tidak menjelaskan dengan mengutip Al Quran, karena ini bagian
dari dakwah dengan ayat-ayat yang ada dalam kitab Injil. Metode dakwah
yang inovatif dapat menarik banyak orang yang mengikuti. Ketika
menghadiri salah satu kegiatan kalangan Yahudi, Imam Shamsi melihat
bahwa ada '1001 kecurigaan orang Yahudi terhadap Islam', akan tetapi
setelah ia jelaskan tentang Islam dengan menampilkan akhlak Islam,
banyak di antara kalangan Yahudi yang berubah pikiran kepada Islam.
Mereka tidak lagi berprasangka buruk, bahkan mengajak untuk bersama-sama
menjaga tradisi Yahudi dan juga Islam.
8. Pesantren Darul
Istiqamah saat ini menjalin kerjasama dengan Imam Shamsi dalam rangka
pengiriman imam hafizh 30 juz dari Darul Istiqamah untuk menjadi imam
bulan Ramadhan di Amerika. Tadi, saat makan siang, video 10 hafizh
tersebut yang produksinya dibuat oleh Jurnalis Televisi Abdul Chalid
Bibbi Pariwa, diperlihatkan kepada Imam Shamsi Ali. Selain itu, ke
depannya akan diupayakan studi banding santri Darul Istiqamah ke
Amerika. Dalam setahun terakhir, santri Darul Istiqamah telah mengikuti
studi banding ke Jepang, dan yang paling baru adalah ke Malaysia dan
Singapura. Di sana, para santri tidak hanya menikmati dunia luar, tapi
juga belajar dari budaya dan etos kerja yang dapat menjadi inspirasi
positif untuk dibawa ke Indonesia.
Demikian delapan resume saya
ketika memandu materi yang dibawakan oleh Imam Shamsi Ali di Pesantren
Darul Istiqamah Pusat, Maccopa, Kabupaten Maros, Sulsel. *
Kegiatan ini dihadiri juga oleh Bapak Pesantren Darul Istiqamah, KH. M.
Arif Marzuki, Syeikh Sulaiman, para undangan, tokoh masyarakat, santri
putra dan putri Darul Istiqamah, dan warga pesantren.
Terimakasih kepada segenap panitia kegiatan ini yang luar biasa: Ust
Muthahhir Arif, Ust Fahruddin Achmad, Ust Mubassyir As'ad, Ust Safwan
Saad,
Dhiah Ashri, Ust
Eyank Vhazollee Biru, Ust Ismawan As, Ust Muslim Majid, Ust Miko Abege, Ustazah Mukhlisah Arif, dll.