|
Jurnal Antropologi |
Pada Sabtu, 12 Maret 2016, saya
mengikuti Workshop Menulis Jurnal yang dibawakan oleh Dr. Ismail Suardi Wekke
di Fakultas Teknik Industri UMI. Dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh
Majelis Sinergi Kalam (MASIKA) ICMI Sulsel tersebut, Dr. Ismail menceritakan
bahwa Indonesia sebenarnya tidak kekurangan bahan untuk jurnal, akan tetapi
banyak hasil penelitian yang hanya tersimpan di rak perpustakaan dan tidak
tersentuh untuk ditransformasikan menjadikan tulisan jurnal.
Mendengarkan paparan ini, saya jadi
teringat sebuah sebuah pernyataan dari Professor Ismet Fanany dari Deakin
University (Melbourne) dalam sebuah pertemuan di Jakarta yang mengatakan bahwa
karya tulis dosen Indonesia sesungguhnya banyak yang menarik. Akan tetapi, kata
Ismet lagi, tidak banyak dari dosen kita yang menjadikan hasil penelitiannya
tersebut dalam jurnal. Kenapa tidak dijurnalkan? Bisa karena soal kemampuan
bahasa Inggris—karena umumnya jurnal internasional berbahasa Inggris—atau karena
belum membudayanya tulis-menulis dalam masyarakat kita, tidak terkecuali dalam
iklim akademis, kecuali untuk tugas-tugas formal seperti penelitian atau
tugas-tugas terkait.
‘Kewajiban’
Sarjana
Dalam beberapa tahun terakhir, menulis
jurnal termasuk menunjukkan peningkatan. Para mahasiswa yang hendak sarjana
sesungguhnya diwajibkan juga untuk menulis di jurnal, pun demikian dengan
mereka yang pascasarjana. Paling tidak, jika tidak di jurnal nasional
terakreditasi, ada banyak jurnal nasional yang tidak terakreditasi. Dengan
tumbuhnya semangat menulis jurnal paling tidak akan merangsang para akademisi
kita untuk berbagi hasil penelitian mereka dalam wadah ilmiah yang dapat
dibaca, bahkan dikaji oleh kalangan yang lebih luas.
Bagi para akademisi, kewajiban menulis
di jurnal juga sesungguhnya sangat penting bagi peningkatkan kapasitas. Para
akademisi dituntut untuk mentransformasikan tulisan mereka dari bentuknya yang
sangat panjang—misal dalam tesis, disertasi, atau hasil penelitian—ke dalam
bentuk yang sederhana di jurnal nasional atau internasional.
Menulis di
Jurnal Internasional
Dalam menulis di jurnal internasional, kata
Ismail Suardi, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, baik
sekali untuk menulis jurnal dengan beberapa penulis lainnya baik yang berbeda
kampus atau yang berbeda negara. Prinsipnya, semakin bervariasi para penulis,
makin bagus. Selain itu, menulis kolaborasi juga salah satu pilihan menciptakan
jejaring penelitian dengan mereka yang berasal dari kampus atau negara lain.
Selanjutnya, ketika tulisan selesai,
kita diminta untuk lebih bersabar dalam merevisi. Revisi yang baik adalah yang
teliti. Usahakan gunakan bahasa yang akademik (karena jurnal memang untuk
kebutuhan akademik), dan juga fokus. Biasanya, ada saja penulis yang terlalu
banyak dan bercabang pemikirannya. Ingin sekali membahas semua hal. Padahal,
dalam jurnal, semakin spesifik itu semakin bagus.
Soal konsistensi atau ‘mengasah
gergaji’, mengutip bahasa Stephen Covey, adalah penting juga. Seorang penulis
jurnal haruslah konsisten dan punya nafas panjang. Mengasah gergaji bisa
diibaratkan seperti seorang pemotong/penggergaji potong yang kalau ia letih
memotong/menggergaji, maka ia berhenti pada waktu tertentu. Ia tidak berambisi
ingin menuntaskan sesuatu dalam waktu misalnya 10 jam sekaligus. Lebih bagus
ada istirahat. Istirahat-bekerja-istirahat-bekerja. Kurang lebih begitu.
Hal lain yang cukup penting juga adalah
hindari plagiarisme. Sangat menarik membicarakan ini. Agar tidak terindikasi plagiat
maka baik sekali agar tiap penulis membiasakan dirinya dengan paraphrase. Jika
ia ingin kutip satu paragraph, tapi bukan kutipan langsung, maka ia harus
membahasakan ulang dengan bahasanya sendiri. Untuk itu maka seorang penulis
dituntut untuk memiliki kekayaan bahasa yang membuatnya lebih leluasa dalam
membahasakan ulang sebuah kutipan. Intinya, jangan copas mentah-mentah.
Demikian beberapa inspirasi dari
pelatihan menulis jurnal. Saya pribadi sebagai seorang pemula dalam menulis
jurnal merasa sangat terbantu dengan pelatihan seperti ini. Memang, yang
namanya belajar itu harus terus-menerus. Jangan pernah merasa bisa menulis
jurnal kendati sudah banyak buku terbit, karena berbeda antara tulisan untuk
naskah buku populer dengan jurnal. *
No comments:
Post a Comment