Fitrawan dan salah satu bukunya |
“Perempuan sulit
dimengerti?
Ah… nggak juga.
Justru lelaki yang membingungkan.”
“Yang sulit
dimengerti adalah perempuan. Tapi yang susah ditebak maunya apa, adalah lelaki.”
Begitu
dua komentar untuk buku Fitrawan Umar yang diposting di laman Kompasiana.
Minggu
13 Desember 2015 adalah salah satu hari yang bersejarah bagi FLP Sulsel. Salah
seorang aktivisnya, Fitrawan Umar meluncurkan novelnya “Yang Sulit Dimengerti
Adalah Perempuan” (YSDAP), di Lantai Dasar Rektorat Universitas Hasanuddin,
Makassar. Fahruddin Ahmad dan Azure Azalea menjadi pembicara dalam kegiatan
tersebut.
Sebelumnya,
Fitrawan telah menerbitkan buku berjudul “Roman Semesta”, kumpulan syair yang
telah dimusikalisasi oleh seorang penyanyi di Kota Pelajar Jogja, “Catatan
Mahasiswa Biasa”, “Sepotong Cokelat dan Cerita-Cerita yang lain” (bersama
Rasdianah nd dan Supriadi Herman), dan beberapa tulisan lainnya yang telah diterjemahkan
ke bahasa Inggris.
Fitrawan
adalah salah seorang penulis muda berbakat asal Pinrang. Selain pernah memimpin
FLP Sulsel (2010-2012), ia juga aktif menulis di berbagai media massa cetak
maupun elektronik, selain menulis buku. Ia juga menghidupkan Majalah Sastra
Salo Saddang, yang diperuntukkan untuk pelajar dan generasi muda di Kabupaten
Pinrang (Tribun-timur.com,
11/12/2015).
Pada
tahun 2013, Fitrawan Umar terpilih sebagai penulis undangan di Festival Sastra
Internasional Ubud Writers and Readers Festival (UWRF).
Fitrawan
menyelesaikan pendidikan sarjana di bidang Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
pada Fakultas Teknik Unhas, kemudian menyelesaikan S2 Ilmu Lingkungan UGM.
Paling
tidak, tulisan-tulisan Fitrawan Umar berkisar pada beberapa tema seperti:
perencanaan kota, lingkungan hidup, literasi, mahasiswa, dan cinta. Dalam salah
satu tulisannya berjudul “Surat Cinta untuk DIA”, Fitrawan memberikan kritikan
sekaligus masukan kepada pasangan pemenang Pilkada Kota Makassar: Danny
Pomanto-Syamsu Rizal (DIA).
Fitrawan Umar menulis:
“Pengkaji Urban Studies sudah sangat sering
membincangkan soal hubungan “mesra” perencana dan politik. Penguasa kota
membutuhkan peran perencana dalam merancang kota sebagaimana kapabilitas yang
melekat padanya. Perencana (arsitek) kota telah melalui suatu kualifikasi
ilmiah tertentu untuk mengetahui arah perkembangan dan pengembangan kota yang
lebih baik di masa mendatang.
Sebaliknya, para
perencana juga membutuhkan suatu kekuatan politik atau dukungan penguasa kota
agar pikiran dan hasil-hasil kajiannya dapat bermanfaat dan dioperasionalkan
dalam kebijakan-kebijakan pemerintah kota. Kajian riset para perencana yang
tidak disokong oleh penentu kebijakan perkotaan hanya akan menjadi
lembar-lembar dokumen yang dibiarkan menumpuk tidak berguna.
Kemenangan Bapak di
Pilwakot Makassar mempunyai arti bahwa Anda telah menempati posisi di mana
perencana dan politik telah menyatu-padu.
Menjabat Walikota
Makassar nanti, Bapak sudah harus meninggalkan pola pikir dan kerja arsitek
bangunan. Tugas Bapak adalah arsitek peradaban!” (Kompasiana.com, 24 Juni 2015)
Dalam
sebuah sajaknya, Fitrawan Umar juga menulis tentang kesepian, atau mungkin
kesedihan atas kehilangan. Dalam “Kenangan Pada Jendela” ia menulis sebagai
berikut:
Banyak
nama yang kita tulis
pada
jendela usai hujan turun
titik-titik
air yang terhapus
berganti
nama-nama yang muncul dalam ingatan
yang
terpendam dalam kenangan
Selepas
itu, titik-titik air berpindah ke mata
(Kompasiana.com, 24
Juni 2015)
Fitrawan
Umar adalah ketua panitia Festival Sastra Islam Nasional (FSIN) 2015 yang
menghadirkan Sastrawan Taufiq Ismail, Novelis Helvy Tiana Rosa, Novelis Habiburrahman
El Shirazy, Ustad yang juga penulis buku-buku keislaman Salim A. Fillah, Ketua
FLP Pusat Sinta Yudisia, jurnalis Maimon Herawati, Ustad Ahmad Al-Habsy, penulis
yang juga traveler Rahmadiyanti Rusdi, Kepala Sekolah Athirah Makassar Edi
Sutarto dan Pemenang Lomba Novel Republika S. Gegge Mappangewa. Kegiatan
berskala nasional diadakan di kampus Unhas, UNM, dan UIM.
Sebagai
salah seorang penulis muda Sulsel, kita berharap Fitrawan Umar dapat terus
menghasilkan karya-karya bernas berbahasa Indonesia, Inggris, bahkan dalam
bahasa ibu, yaitu bahasa Bugis yang sangat berguna sebagai pewarisan peradaban
luhur orang Bugis-Makassar.
Setelah
mengikuti event kelas internasional Ubud Writers di Bali, Fitrawan tentu saja
memiliki kesempatan yang lebih untuk mengikuti event-event kelas internasional
lainnya seperti International Writing Program yang diadakan di University of
Iowa, Amerika, setelah sebelumnya Asma Nadia dari FLP menjadi satu dari 35
penulis dari 31 negara yang diundang pada program tersebut. * Yanuardi Syukur
No comments:
Post a Comment