Momentum penyerahan kedaulatan Indonesia dari Kerajaan Belanda lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 dirayakan di banyak tempat, termasuk di Sinjai. Dalam bukunya "Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri" (1980), M. Zein Hassan, Lc. Lt menulis bahwa lewat diplomasi Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim ke berbagai organisasi di Timur Tengah, salah satunya pertemuan dengan Pemimpin Ikhwanul Muslimin Hasan Al-Banna, akhirnya kedaulatan Indonesia pun diakui oleh dunia.
Di Sinjai, perayaan tersebut diadakan dalam bentuk pasar malam. Namun yang disayangkan dalam pasar malam itu adalah adanya perjudian. Sebagai aktivis Masyumi dan Wakil Ketua Muhammadiyah Sinjai, Ustad Marzuki Hasan tidak setuju dengan model perayaan seperti itu karena berpatokan pada hadis Nabi, “Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika ia tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).
Bersama beberapa koleganya, beliau pun menyampaikan ketidaksetujuannya kepada pemerintah setempat yang disampaikan pula kepada beberapa qadhi (hakim) di Sinjai dan kakaknya, Abdullah Hasan. Resolusi ketidaksetujuan itu dikirimkan juga ke Badan Tinggi Negara Indonesia Timur (NIT), akan tetapi tidak ditanggapi secara serius. Bahkan, ada kesan pemerintah menyetujui pasar malam dengan adanya perjudian itu yang menurut Ustad Marzuki, tidak sesuai dengan kaidah Islam.
Karena merasa kepentingannya terganggu, maka kelompok yang merasa terganggu pun marah, termasuk juga tentara. “Tentara sekarang sudah marah sekali. Ustad tidak bisa menerima unsur pengampunan,” demikian kata seseorang sebagaimana yang diceritakan oleh Ustad Marzuki Hasan kepada cucunya Ustad Mudzakkir Arif.
Beliau menghadap ketua Masyumi Sulsel yang saat itu menjabat Wakil Walikota Makassar untuk meminta masukan dan pertimbangan. Akhirnya, Ustad Marzuki diminta untuk hijrah ke Jakarta dengan segera. Di Jakarta, beliau bertemu Ketua Masyumi Dr. Mohammad Natsir di sebuah kantor di Jalan Kramat Raya. (bersambung)
[Abu Fikri Ihsani]
No comments:
Post a Comment