Kahar Muzakkar |
Dalam buku ‘Melawan Takdir’, Prof. Dr. Hamdan Juhannis (2015: 87-88) menulis bahwa suatu ketika di hutan terjadi perbedaan pendapat antara Kahar Muzakkar dengan KH. Muhammad Rapi Sulaiman , seorang ulama besar kharismatik yang pernah tinggal 15 tahun di Mekkah dan juga pembina di Masjid Mujahidin Bone.
Perselisihan Pak Kahar dengan Petta Kalie (biasa dipanggil ‘Tuan Qadhi’ karena pernah menjadi Qadhi/hakim Pengadilan Agama di Bone) disebabkan pakaian Petta Kalie yang berjubah Arab.
Menurut Pak Kahar, orang Islam tidak harus berpakaian Arab karena Islam tidak identik dengan Arab.
“Menjadi pejuang juga tidak selalu bermakna pakaian loreng,” balas Petta Kalie.
Saat itu, Pak Kahar terbiasa menggunakan pakaian loreng ala tentara karena sebelumnya ia pernah terlibat aktif dalam perang gerilya dan menjadi tentara Indonesia.
Dalam perdebatan masalah pakaian ini, akhirnya ditengahi oleh Ustad Marzuki Hasan dengan membujuk Petta Kalie untuk mengganti sementara pakaian Arab-nya. “Perdebatan-perdebatan panas seperti ini jika tidak ditengahi bisa mengakibatkan rusaknya kebersamaan,” demikian tulis Prof. Hamdan Juhannis, Guru Besar Sosiologi UIN Alauddin Makassar.
Selain menjadi penengah, kiprah Ustad Marzuki Hasan juga tidak dilepaskan dalam dunia pendidikan. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan membuatnya mendirikan universitas. Berbeda dengan universitas saat ini yang memiliki lokasi tetap, universitas di hutan lokasinya berpindah-pindah dengan segala keterbatasan yang ada.
Ketika wilayah mereka diketahui pemerintah, mereka memindahkan lagi kampusnya ke tempat yang lebih aman. Akan tetapi, walau berpindah-pindah, ada proses belajar-mengajar yang intens di situ. Untuk meningkatkan kapasitas tenaga pengajar, saat itu beberapa orang dalam kabinet Kahar Muzakkar juga disekolahkan ke luar negeri.
[Abu Fikri Ihsani]
No comments:
Post a Comment