Sepulang dari mengedit naskah buku Hamka Mahmud terkait aktivitasnya sebagai Da'i Kamtibmas, saya bertanya pada Ismail Nurdin, kapan menikah. "Sementara diurus sekarang, Ustad. Mudah-mudahan dekat-dekat ini," katanya.
Kini, Ismail telah sukses menjadi suami yang resepsinya telah dilaksanakan tadi siang di Aula Masjid Jami' Pesantren Darul Istiqamah Pusat Maccopa, Kab. Maros. Setelah makan siang, walimatul 'ursy tersebut juga dibarengi dengan launching Program Tahfizh Anak Usia Dini (TAUD) oleh Professor FKM Unhas lulusan Universitas Cornell, Prof Veny Hadju, yang memiliki target anak-anak telah hafal 30 juz saat masuk kelas 1 SD. Kemudian, acara siang tadi juga diisi dengan ceramah dari Presiden Nusantara Foundation yang juga Imam di Islamic Center New York, Imam Shamsi Ali.
Pasangan pengantin yang kedua adalah Firmansyah. Sebelum naik foto-foto, seseorang bercerita kepadaku bahwa Firmansyah adalah anak yatim piatu sejak kecil yang punya semangat tinggi untuk sukses. Firman menamatkan sarjana di dua kampus di Makassar, dan master dari salah satu kampus di Jogja. Kini, ia mengajar di Universitas Muhammadiyah Pare-Pare (Umpar) setelah sebelumnya mengajar di Sinjai dan Palopo. "Tahun depan saya rencana daftar S3 di UI," katanya.
Berbicara tentang perkawinan saya jadi teringat sebuah ungkapan yang pernah kutulis di kumpulan tulisanku saat kuliah di Pascasarjana UI dulu. Konon, ada tiga hal yang kerap kita rayakan (atau dibuatkan acara khusus dalam bentuk resepsi atau sekedar doa) dalam hidup, yaitu: kelahiran, perkawinan, dan kematian. Setiap yang lahir dirayakan dengan rasa senang, pun demikian dengan perkawinan. Tapi, berbeda dengan keduanya, kematian 'dirayakan' dalam bentuk yang sangat berbeda.
Saya jadi teringat anak tetangga kami. Ia adalah salah seorang peserta i'tikaf 10 malam terakhir Ramadhan. Pada H minus 3, ia diare dan akhirnya dibawa ke rumah. Tak lama, ia merasakan sesuatu yang berbeda dan berkata, bahwa ia akan segera pergi. Beberapa jam menjelang salat Idul Fitri, saat ayahnya salat berjama'ah di masjid, lelaki muda tersebut pun pergi untuk selamanya. Hal itu diketahui oleh sang ayah dan ibunya yang hanya bertiga di rumah. Mereka pun salat Idul Fitri berjama'ah dan memilih tidak mengabarkan tentang kematian anaknya, kecuali setelah salat Idul Fitri selesai.
Ah, sampai pada titik ini saya kerap teringat dengan tiga kegiatan yang sangat penting dalam hidup, yaitu: lahir, kawin, dan mati. Setiap hari ada yang lahir, dan di saat yang sama ada yang mati. Setiap hari pula ada yang bersatu dan di saat yang sama ada yang memilih mengakhiri hubungan dengan pasangannya.
Adapun agama mengajarkan kita agar kita mendoakan keberkahan kepada pasangan pengantin. Berkah punya makna yang sangat luas. Tadi malam di pesawat, saya nonton sebuah film tentang seorang doktor yang ia dan keluarganya ingin sekali punya anak tapi belum juga bisa, bahkan istrinya berkali-kali keguguran. Soal rezeki, kelahiran anak, dan berbagai hal dalam pernikahan adalah misteri Ilahi. Namun, sesulit apapun hidup kita harus mengutamakan berkah. Ya, berkah.
Wal akhir, kepada masing-masing raja muda yg udah punya kerajaan kecilnya saya ingin mengucapkan, "Barakallahu laka wa baraka 'alaika wa jama'a bainakuma fi khair." Semoga keberkahan tercurah kepadamu, dan kepada kalian berdua, dan Allah kumpulkan kalian berdua dalam kebaikan. *
No comments:
Post a Comment