Sunday, August 7, 2016

OM RAIS

Malam itu ia hendak ke kamarnya di rumah yang disanggah oleh beberapa tiang di atas pantai Tobelo. Tak seberapa jauh lokasi rumahnya dari Tanjung Pilawang, sebuah tanjung yang di masa kecil biasa kuhabiskan hari-hari untuk menangkap ikan pakai jubi-jubi, udang dan kuda laut sambil menghindar dari sengatan duri babi yang sangat menyakitkan.
Tiba di kamarnya, tak seberapa lama kemudian nafasnya pun tiba di titik penghabisan. Waktunya telah habis. Umur pun telah usai. "Ana urid, wa anta turid, wallahu yaf'alu ma yurid," kata orang Arab. Saya mau, kamu juga mau, tapi Allah berhendak atas apa yang Dia mau.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Nama aslinya Raisuddin Sidi Umar. Saya memanggilnya Om Rais. Salah seorang anaknya adalah teman sekelas saya di SDN 1 Tobelo yang juga teman di TPQ Al-Badru yang saat itu (1993) diasuh oleh Husen Tjan atau yang biasa disapa Ko Uceng di Jalan TT. Marhaban.
Kalau ingat Om Rais, saya ingat beberapa hal. Pertama, kakek beliau (Idris Sidi Umar) bisa disebut sebagai 'assabiqunal awwalun' (orang-orang pertama) dari keturunan Andung Penai di Desa Panyinggahan Maninjau, yang menginjakkan kaki di Ternate sekitar 1905 atau 1908.
Melihat ada potensi usaha yang bagus di Maluku Utara, maka Idris Sidi Umar membawa beberapa keluarganya, termasuk kakek saya (Abdullah Syukur) untuk merantau dari Sumatera Barat ke Maluku Utara. Rantau telah lama jadi etos budaya orang Minang yang diamalkan sampai saat ini. Manfaatnya banyak sekali, salah satunya seperti yang disyairkan oleh Imam Syafi'i, "Merantaulah, maka engkau akan menemukan pengganti apa-apa yang telah engkau tinggalkan."
Konon, menurut cerita ayahku dan juga cerita dari penulis buku Kepulauan Rempah-Rempah M. Adnan Amal saat saya wawancara guna penerbitan buku "50 tahun Universitas Khairun" (2014), kakekku adalah salah seorang penyebar Islam yang berani berdakwah sampai di pelosok Galela, yang saat itu belum punya agama.
Kembali ke Om Rais. Beliau adalah anak Bahauddin Sidi Umar dari istri pertama. Om Darlan yang menikah dengan bibi (ete') saya (Mama Ila) adalah anak dari istri kedua. Sedangkan salah seorang anak dari istri ketiganya adalah Drs. H. Zainul Bahri Sidi Umar, MM atau yang biasa disapa Papa Sen yang pernah menjadi Asisten II Pemerintah Kota Ternate.
Pertemuanku dengan Om Rais paling terakhir sekitar setahun yang lalu sebelum bertolak ke Kota Kembang, Bandung. Di malam Idul Fitri itu saya bersama ibu, istri dan anak-anakku seperti biasa bersilaturahim ke rumah keluarga, termasuk ke rumah Om Rais. Sejak lama keluargaku menyadari bahwa silaturahim keluarga itu sangatlah penting, karena bisa menyadarkan dari silsilah mana kita berasal, dan siapa saja keluarga-keluarga terdekat kita.
Kemarin sebenarnya saya dan keponakanku (Rausyan Fikri) yang transit sekolah 2 bulan di Pesantren Darul Istiqamah, akan terbang ke Ternate guna pengurusan berkas lanjut studi, tapi karena Gunung Gamalama 'batuk' kembali, maka penerbangan pun dibatalkan.
Tapi, walau tidak sempat hadir di pemakaman Om Rais, dari jauh saya dan keluarga berdoa semoga Allah swt mengampuni dosa-dosa almarhum. Beliau adalah orang baik, dan sepanjang hidupnya aktif mengabdikan diri sebagai pengurus Masjid Jami' Kampung Cina, Tobelo. Dan, semoga anak-anak almarhum juga menjadi amal jariyah untuknya di alam kubur, sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Jika mati anak cucu Adam maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya." *
Foto dicrop dari akun facebook Yuniati Kajo.

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...