Monday, November 13, 2017

Berbagi dengan Orang Aceh

Berbagi dengan FLP Aceh

Setelah berakhirnya Munas IV FLP, saya diminta oleh beberapa kawan FLP Aceh untuk sharing pengalaman. Sejak ikut Munas I FLP hingga ke-4 ini saya selalu tak melewatkan pertemuan dengan delegasi Aceh.

Kenapa? Saya merasa ada kedekatan dengan Aceh. Mungkin karena sama-sama orang jauh: jauh dari Jakarta. Atau mungkin juga saya senang pada "orang-orang yang pernah dizalimi": Aceh pernah sekian lama mendapatkan kebijakan diskriminatif dari Pemerintah Pusat. Atau, bisa juga karena memang saya sudah lama ingin berkunjung ke Aceh tapi belum jadi-jadi.

Mungkin itu beberapa alasan, tapi sepertinya tak ada alasan yang diperlukan ketika kita memang ingin berbagi. Sebelum bertemu delegasi Aceh ini, saya juga sudah sharing sedikit dengan kolega saya di Aceh, Cut Januarita yang begitu baik pada saya, dan banyak sekali membantu saya.

Sebagai sama-sama orang yang dari luar Jawa, saya (pernah di Makasar, Ternate, dan Tobelo) adalah orang yang dekat dengan Aceh. Bayangkan, daerah Aceh dan Makassar pernah memberontak dari Pemerintah Pusat. Selain itu, Kesultanan Ternate juga masih eksis sampai sekarang, dan di Aceh eksis pula peraturan daerah yang pro kepada syariat Islam. Sekali lagi, itu mungkin sekedar alasan atau pendapat saya saja, tapi memang saya senang berbagi dengan orang Aceh.

Dalam kesempatan berbagi tersebut--saya ditemani anak ketiga saya, Fikri Ihsani--saya bercerita tentang pentingnya kita membuat karya besar. "Walaupun kita berasal dari kampung, tapi kita harus membuat karya-karya besar!" kata saya.

Karya besar itu bisa dimulai dari sekarang ketika kita bergabung di FLP. Jangan sampai kehadiran kita di FLP tidak membesarkan lembaga ini, malah membuat lembaga ini loyo, dan mati. Jangan! Pantang orang rantau tidak berguna. Harus berguna!

Sebagai orang jauh, kita ini adalah perantau yang berani keluar dari kampung untuk belajar, mencari rezeki, dan lain sebagainya. Mentalitas sebagai perantau itu harus kita punya, kita hayati, dan kita jaga erat-erat. Jangan jadi perantau yang biasa-biasa saja. Jadilah perantau yang hebat, yang luar biasa, yang berpengaruh!

Almarhum paman saya (suku Koto) pernah menyampaikan sebuah kalimat bijak orang Minang, bahwa saya diharapkan untuk "menegakkan batang terendam." Maksudnya, menegakkan marwah keluarga yang sedang di bawah. Saya mencoba hayati itu. Sebelumnya mendengarkan kalimat itu, ayahku telah pergi untuk selamanya, dan tak lama setelah kalimat itu saya dengar, pamanku juga pergi untuk selamanya.

Kalimat "menegakkan batang terendam" itu bisa dipakai untuk siapa saja. Mereka yang ingin menjadi yang terbaik harus punya visi hidup dan misi yang mereka jalani secara sungguh-sungguh. Mereka tidak boleh hanya puas dengan urutan terakhir, atau di tengah, atau di belakang. Sebaliknya, mereka harus berada di depan, terdepan, dan menjadi yang paling berguna, paling kontributif.

Jika mereka masuk dalam organisasi, maka mereka memasukinya dengan sepenuhnya, tidak setengah-setengah. Mereka yakin bahwa mereka bisa memberikan yang terbaik dengan loyalitas sepenuh hati.

Mungkin, loyalitas itulah yang membuat sehingga para tokoh bangsa kita dapat bertahan dalam kondisi sesulit apapun. Saya merasa salut dengan Bung Karno--kendati dia tidak sepenuhnya disenangi dalam kebijakannya terhadap orang Aceh--tapi dia orang yang sederhana. Patriotismenya teruji, dan pengorbanannya maksimal untuk orang banyak.

Demikian juga sesungguhnya dengan para pejuang terdahulu kita dimanapun mereka berada. Kendati mereka pas-pasan tapi mereka punya marwah, punya semangat, punya visi, dan punya tekad besar untuk berbuat yang terbaik. Mental mereka lebih kuat dari baja, dan semangat mereka lebih menggelegar dari kilat yang menyambar-nyambar.

Kenapa Menulis buku Buya Hamka?

Tiga pilihan cover buku yang saya upload di Facebook

Jika tak ada aral melintang, insya Allah pada Desember 2017 buku baru saya tentang Buya Hamka akan terbit di Tinta Media, imprint Tiga Serangkai, Solo. Buku ini saya tulis bersama dengan Arlen Ara Guci yang ditulis di Jakarta dan Pekanbaru.

Buku Hamka sudah banyak, kenapa masih mau nulis tentang beliau? Bagi saya, Hamka adalah fenomena dan inspirasi. Pendidikannya rendah akan tetapi karyanya tinggi. Dia seperti kata peribahasa Arab, yang diibaratkan seperti bintang, "...jika dilihat dari atas air, terlihat rendah--padahal dia tinggi."

Buya Hamka bukan orang sempurna, tapi dia melakukan banyak hal secara sempurna. Dia menulis dengan sempurna, di tengah "ketidaksempurnaan" konteks sosial-politik yang ada. Dia dijebloskan ke penjara, tapi pikirannya tidak. Dia seperti Sayyid Qutub yang tidak terkekang oleh terali besi, malahan menulis buku di hotel prodeo tersebut.

Dalam buku ini, saya dan Arlen menjelaskan sosok Buya Hamka dari periode penjara: sebelum dipenjara, saat dipenjara, dan setelah dipenjara. Tiga bagian hidup beliau ini jarang dibahas oleh penulis lain, dan itulah kenapa kami merasa penting untuk menjelaskannya. Tentu saja, tanpa bermaksud untuk mengatakan bahwa Hamka adalah seorang yang buat kesalahan besar sehingga dia di penjara. Hamka dipenjara karena faktor perbedaan politik antara dirinya dengan Bung Karno, kawa dekatnya yang kemudian menjadi lawannya, dan belakangan menjadi orang yang dekat kembali dengannya saat Bung besar memintanya untuk menyalatkan jika Bung Besar wafat.

Kendati Bung Karno punya salah, tapi kata Hamka, Bung Karno tetaplah orang besar karena dia berjasa dalam proklamasi kemerdekaan. Hamka menyadari bahwa tidak mudah menjadi tokoh sekaliber Bung Karno di tengah himpitan dan tekanan dari Jepang dan Sekutu yang mau tetap mengangkangi negeri ini.

Buku Hamka yang saya dan Arlen tuliskan tersebut berupaya untuk mengangkat kembali salah satu figur penting dalam keislaman kita dan juga kepenulisan kita di tanah air.

Belajar dari Kolega MEP

Foto bersama kolega MEP dengan Malcolm Brailey setelah pertemuan dengan alumni program Women Leaders di Kedubes Australia

Sejak mengikuti program MEP ke Australia saya mendapatkan banyak keberkahan terutama dalam relasi dan perspektif. Selain berteman dengan kolega dari Australia, saya juga terhubung dengan kolega-kolega dari Indonesia yang sampai saat ini hubungannya terus intensif baik di facebook maupun Whatsapp.

Hal menarik dari program yang saya ikuti adalah adanya undangan kegiatan dari Kedubes Australia. Secara berkala ketika ada kegiatan, kami sebagai alumni diundang untuk hadir dalam resepsi, diskusi, atau sekedar makan siang bersama Dubes, menteri, atau pejabat terkait dari Australia.

Mungkin, ini bagian dari upaya Australia untuk merawat hubungan baik dengan Indonesia. Di negara lain, mungkin hal ini juga dilakukan oleh para Dubes Indonesia di luar negeri. Artinya, untuk merawat kerjasama, maka para tokoh perlu diundang secara berkala dalam berbagai kegiatan agar kemitraan yang telah terbangun dapat terus dijaga.

Sejak tahun 2015 ikut MEP, saya memang merasakan banyak hal baik dan menarik terkait dengan relasi. Saya menginisiasi buku MEP yang ditulis--pada akhirnya oleh 77 alumni--yang diterbitkan di Gramedia dengan judul "Hidup Damai di Negeri Multikultur." Buku tebal ini juga yang mengantarkan saya untuk dekat dengan berbagai orang, dan sekaligus menjadikan saya semakin yakin dan percaya bahwa kalau kita ada niat baik yang terus dirawat dan dikembangkan maka berbagai keajaiban akan selalu hadir.

Maksudnya, sejak 2002 hingga 2015 belum ada alumni yang menuliskan buku tentang MEP. Akan tetapi saya memulai dengan niat yang ikhlas, tulus, dan semangat untuk menjaga hubungan baik antara kedua negara lewat buku. Saya menamakannya sebagai diplomasi buku.

Buku pun terbit, diluncurkan, dan dibedah di Jakarta dan Makassar (insya Allah di akhir November 2017). Sejak terbitnya buku ini, hubungan sesama alumni pun makin erat. Kami pun mengesahkan Forum Alumni MEP Australia-Indonesia yang saat ini diketuai oleh saya.

Tentu saja di MEP ini semua orang adalah tokoh hebat di bidangnya. Saya banyak belajar dari teman-teman sekalian lewat diskusi, dan pertemuan dengan teman-teman MEP. Sebagai pribadi pembelajar saya harus terus memosisikan diri sebagai pembelajar yang dapat mengambil berbagai hikmah dari siapa saja. Dan, MEP adalah salah satu sarana pembelajaran yang sangat penting dalam kehidupan saya.

Kuliah, Kerja, dan Pencarian Kebahagiaan

Bersama Professor Nader Habibie di LIPI

Apa yang hendak dicari dari aktivitas bernama kuliah? Sejak ikut program sarjana hingga doktor ini saya memaknai kuliah sebagai kesempatan belajar dan mereguk hikmah. Karena orientasinya belajar dan mencari hikmah maka saya kadang lalai atau abai dengan kehadiran. Tapi tidak demikian dengan perkuliahan doktor yang saya mau tak mau harus peduli dengan kehadiran.

Saya memaknai kuliah sebagai sebuah fase dimana saya bisa belajar dari para dosen, kolega, dan dari rujukan yang sempat saya baca. Memang terasa beda antara kuliah sarjana dengan doktor. Kalau sarjana kita hanya melihat, di master kita melihat dan menjelaskan, tapi di doktor kita melihat, memikirkan dan menjelaskan sebuah temuan dari olahraga nalar secara bertahap. 

Saat kuliah doktor ini saya bawa keluarga. Anak saya tiga, tapi setahun menjalani kuliah, lahir anak keempat. Beberapa kawan tidak bawa istri dan anak. "Agak berat, karena doktor butuh konsentrasi," kata seorang kawan. Mungkin betul, dan memang betul. Tapi saya tidak takut dengan kehilangan konsentrasi. Bagi saya, tinggal bersama atau tidak sama dengan keluarga sama-sama punya risiko. Yang paling nggak enak adalah risiko merasa bersalah. Ini paling nggak enak. 

Saya juga tetap bekerja. Kendati off sementara sebagai pengajar tetap di Unkhair, tapi saya tetap mengajar: mengisi materi, membawakan ceramah, menjadi konsultan, dan juga mengajar di kampus. Beberapa bulan terakhir saya mengajar di UI pada mata kuliah "Pengantar Antropologi" untuk mahasiswa semester awal. 

Kuliah dan kerja pada dasarnya harus berujung pada kebahagiaan. Rasanya percaya kamu kuliah dan kerja tapi kamu nggak bahagia. Trust me! Percaya sama saya. Inti dari bercapek-capek kuliah, atau berletih-letih kerja adalah untuk bahagia. 

Terkadang kamu bisa jadi yang paling berprestasi di kuliah atau paling sukses di tempat kerja, akan tetapi bahagia belum tentu kamu raih kalau tak ada semangatnya untuk itu. Maka kebahagiaan juga harus kamu ikhtiarkan, kamu kejar, dan kamu targetkan setiap bangun tidur, "aku harus bahagia! aku harus bahagia, dan aku harus bahagia!"

Saya melihat ada saja orang yang sudah dapat kedua hal tersebut--prestasi dan harta--tapi tak juga ia bahagia. Masalahnya di mana? Mungkin karena dia tidak memaknai proses itu sebagai pembelajaran. Logika sederhananya, kalau kamu maknai segala yang datang padamu sebagai proses belajar maka kamu tak perlu sedih, stress, atau apapun itu karena hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendakmu.

Maka, giatlah kuliah, semangatlah bekerja, tapi jangan lupa untuk tetap bahagia!

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...