Berbagi dengan FLP Aceh
Setelah berakhirnya Munas IV FLP, saya diminta oleh beberapa kawan FLP Aceh untuk sharing pengalaman. Sejak ikut Munas I FLP hingga ke-4 ini saya selalu tak melewatkan pertemuan dengan delegasi Aceh.
Kenapa? Saya merasa ada kedekatan dengan Aceh. Mungkin karena sama-sama orang jauh: jauh dari Jakarta. Atau mungkin juga saya senang pada "orang-orang yang pernah dizalimi": Aceh pernah sekian lama mendapatkan kebijakan diskriminatif dari Pemerintah Pusat. Atau, bisa juga karena memang saya sudah lama ingin berkunjung ke Aceh tapi belum jadi-jadi.
Mungkin itu beberapa alasan, tapi sepertinya tak ada alasan yang diperlukan ketika kita memang ingin berbagi. Sebelum bertemu delegasi Aceh ini, saya juga sudah sharing sedikit dengan kolega saya di Aceh, Cut Januarita yang begitu baik pada saya, dan banyak sekali membantu saya.
Sebagai sama-sama orang yang dari luar Jawa, saya (pernah di Makasar, Ternate, dan Tobelo) adalah orang yang dekat dengan Aceh. Bayangkan, daerah Aceh dan Makassar pernah memberontak dari Pemerintah Pusat. Selain itu, Kesultanan Ternate juga masih eksis sampai sekarang, dan di Aceh eksis pula peraturan daerah yang pro kepada syariat Islam. Sekali lagi, itu mungkin sekedar alasan atau pendapat saya saja, tapi memang saya senang berbagi dengan orang Aceh.
Dalam kesempatan berbagi tersebut--saya ditemani anak ketiga saya, Fikri Ihsani--saya bercerita tentang pentingnya kita membuat karya besar. "Walaupun kita berasal dari kampung, tapi kita harus membuat karya-karya besar!" kata saya.
Karya besar itu bisa dimulai dari sekarang ketika kita bergabung di FLP. Jangan sampai kehadiran kita di FLP tidak membesarkan lembaga ini, malah membuat lembaga ini loyo, dan mati. Jangan! Pantang orang rantau tidak berguna. Harus berguna!
Sebagai orang jauh, kita ini adalah perantau yang berani keluar dari kampung untuk belajar, mencari rezeki, dan lain sebagainya. Mentalitas sebagai perantau itu harus kita punya, kita hayati, dan kita jaga erat-erat. Jangan jadi perantau yang biasa-biasa saja. Jadilah perantau yang hebat, yang luar biasa, yang berpengaruh!
Almarhum paman saya (suku Koto) pernah menyampaikan sebuah kalimat bijak orang Minang, bahwa saya diharapkan untuk "menegakkan batang terendam." Maksudnya, menegakkan marwah keluarga yang sedang di bawah. Saya mencoba hayati itu. Sebelumnya mendengarkan kalimat itu, ayahku telah pergi untuk selamanya, dan tak lama setelah kalimat itu saya dengar, pamanku juga pergi untuk selamanya.
Kalimat "menegakkan batang terendam" itu bisa dipakai untuk siapa saja. Mereka yang ingin menjadi yang terbaik harus punya visi hidup dan misi yang mereka jalani secara sungguh-sungguh. Mereka tidak boleh hanya puas dengan urutan terakhir, atau di tengah, atau di belakang. Sebaliknya, mereka harus berada di depan, terdepan, dan menjadi yang paling berguna, paling kontributif.
Jika mereka masuk dalam organisasi, maka mereka memasukinya dengan sepenuhnya, tidak setengah-setengah. Mereka yakin bahwa mereka bisa memberikan yang terbaik dengan loyalitas sepenuh hati.
Mungkin, loyalitas itulah yang membuat sehingga para tokoh bangsa kita dapat bertahan dalam kondisi sesulit apapun. Saya merasa salut dengan Bung Karno--kendati dia tidak sepenuhnya disenangi dalam kebijakannya terhadap orang Aceh--tapi dia orang yang sederhana. Patriotismenya teruji, dan pengorbanannya maksimal untuk orang banyak.
Demikian juga sesungguhnya dengan para pejuang terdahulu kita dimanapun mereka berada. Kendati mereka pas-pasan tapi mereka punya marwah, punya semangat, punya visi, dan punya tekad besar untuk berbuat yang terbaik. Mental mereka lebih kuat dari baja, dan semangat mereka lebih menggelegar dari kilat yang menyambar-nyambar.