Tren Hijrah dan Halal Muslim Milenial
Oleh Yanuardi Syukur
Hijrah
dan halal adalah dua pembahasan yang lekat dalam keseharian Muslim Milenial
(1982-2004). Salah satu cara untuk menangkap fenomena ini adalah dengan
memperhatikan lalu-lalang percakapan, dialog, bahkan konflik yang ada di media
sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter.
Kata
“hijrah” secara umum dimaknai dalam beberapa hal, seperti: perubahan pemikiran,
perubahan penampilan, menjadi muallaf (yang sebelumnya non-muslim), mengagumi
ulama, menghadiri pengajian (online dan offline), mengikuti komunitas, hadir
dalam gathering, dan ikut dalam solidaritas keislaman. Berbeda dengan tren
hijrah generasi sebelumnya yang cenderung tertutup, generasi milenial
memperlihatkan keterbukaan ketika memilih berhijrah yang terlihat dari aktivis
media sosial mereka.
Tren Hijrah
Bagi
public figure, hijrah memiliki tiga kemungkinan. Pertama, mendapatkan
ketenangan spiritual dan semacam kepastian hidup; kedua, mendapatkan komunitas
baru, dan ketiga, membuka peluang kapitalisasi hijrah itu untuk kepentingan
finansial.
Pertama,
kehidupan masyarakat urban memang kurang sisi spiritual. Tak jarang orang kota
yang menjadi pecandu narkoba, pergaulan bebas, dan tidak bahagia. Salah satu
cara untuk bahagia adalah dengan mereguk air spiritualitas. Kedua, mendapatkan
komunitas baru adalah salah satu kebaikan bagi mereka yang berhijrah karena
dengan begitu mereka tidak merasa sendirian dalam kehidupannya. Dan ketiga, tak
jarang orang yang berhijrah kemudian menjadi fashion icon (atau jadi desainer),
tampil di fashion week, membuka
toko/resto/travel Islami, dan pada akhirnya mendapatkan uang.
Bagi
orang biasa (selain public figure, maksudnya), hijrah juga sama—mendapatkan
ketenangan dan kepastian hidup. Nyaris tidak ada sesuatu yang dapat membuat
orang jadi tenang, mantap, dan pasti selain agama. Karena, agama dapat
memberikan penjelasan yang meyakinkan terkait tiga pernyataan substansial
manusia: (1) darimana kita berasal? (2) dimana kita sekarang? dan (3) mau
kemana kita nanti?
Jadi,
urusan profan (dunia) dan sakral (spiritual) —mengutip Emile Durkheim, sudah
ada paket komplit dalam agama. Dalam penjelasan lain, kata Guru Besar
Antropologi Universitas Michigan C.P. Kottak, agama itu dapat menjelaskan soal
manusia sebagai makhluk spiritual (spiritual beings), kekuasaan dan kekuatan
(powers and forces), ritus-ritus peralihan (rites of passage), hingga
penjelasan soal ketidakpastian (uncertainty), kegelisahan (anxiety), dan
penghiburan (solace).
Tampak
di sini bahwa kesadaran spiritual generasi milenial semakin meningkat. Mereka
sharing video pengajian, membuat video, bahkan mereka membuat berbagai event
yang berkaitan dengan agama. Ada semacam kerinduan untuk menjadi religius di
masyarakat urban, terutama.
Niat dan Akhlak
Hijrah
tidak bisa dilepaskan dengan niat. Itulah kenapa dalam hadis populer disebutkan
bahwa “segala amal tergantung pada niat.” Selanjutnya, disebutkan bahwa “…siapa
yang berhijrah karena Allah dan Rasul-nya maka dia akan mendapatkan Allah dan
Rasulnya.” Pun demikian sebaliknya jika hijrahnya mengejar dunia, dia dapat
juga dunia itu.
Berarti,
niat sangat penting bagi mereka yang berhijrah. Setelah niat, mereka
melanjutkan dengan akhlak mulia. Maka, banyak anak-anak milenial yang mulai
membatasi komentarnya, memosting video pengajian, atau menggunakan kosakata
Islam (dan Arab) sebagai tanda identitas mereka.
Tentu
saja yang tak terlupakan adalah dalam pakaian. Akhlak mulia diperlihatkan dalam
pemilihan pakaian. Di antara yang pakai hijab kecil, senang, bahkan ada yang
pakai cadar. Kelompok yang bercadar bahwa membuat berbagai komunitas dan
gathering untuk saling menguatkan dalam berislam.
Jika
dulu orang bercadar agak malu menampakkan dirinya, kini sudah berubah.
Milienialis yang bercadar tidak ragu untuk berfoto, tampil modis, dan
menampakkan fotonya di media sosial. Tubuh bercadar bertransformasi dari
sesuatu yang ketat menuju “otonomi tubuh”, yaitu tubuh yang dapat ditampilkan
lewat media foto, video, dan lain sebagainya. Singkatnya, cadar bukan alasan
untuk tidak modis, bahkan kini tak jarang yang turun ke jalan dalam demonstrasi—sesuatu
yang dulu jarang sekali kita lihat (setidaknya bagi saya).
Tren Halal
Soal
halal juga menjadi perhatian generasi milenial. Secara umum, ini semacam kebutuhan
akan kepastian produk/komoditas atau aktivitas yang diridhai Allah. Mereka
ingin produk yang mereka konsumsi atau pergaulan yang mereka jalani berada
dalam ridha-Nya.
Tren
halal juga terlihat dari kalimat mereka “pengen dihalalin” yang bermakna untuk
punya hubungan dengan lawan jenis yang halal alias dalam ikatan pernikahan.
Kata “dihalalin” itu cukup tren di media sosial. “Baru semester 4, tapi rasanya
pengen dihalalin saja,” kata seorang muslimah milenial. Status ini semacam
“sinyal minta dihalalin” yang dapat memancing milenialis lawan jenis untuk
sekedar stalking, likes, retweet, love, atau langsung japri.
Berarti,
fenomena halal ini terkait dengan kepastian. Manusia butuh kepastian, pun
dengan generasi milenial. Kepastian hidup menjadi salah satu idaman bagi
mereka. Oppa-opa Korea yang ganteng-ganteng juga jadi imbas dari halal ini.
Para muslimah milenial—yang senang film Korea—juga punya imajinasi mendapatkan
pasangan hidup yang gantengnya kayak orang Korea. Judul salah satu media online
menulis begini: “Gantengnya 10 artis Korea pakai baju koko, bikin wanita ingin
dihalalin.”
Jadi,
ketika seseorang menggunakan atribut yang diasosiasikan sebagai “pakaian Islam”
seperti baju koko—kendati itu dari Cina sebenarnya—muslimah milenial pun ingin
mendapatkan laki-laki seperti itu, atau minimal orang Indonesia yang gantengnya
kayak gitu. Entah ungkapan “pengen dihalalin” itu serius atau tidak, tapi itu
semacam ekspresi keagamaan yang ditampakkan oleh generasi milenial.
Di
Twitter misalnya, ketika melihat lelaki ganteng, seorang muslimah—seakan
menjadi representasi teman-temannya—menulis begini,” Duh ya, ampun masnya tuh
ya…Lama-lama gue minta dihalalin juga nih..” Ada semacam kesan (atau terkesan)
dengan kesempurnaan fisik yang terlihat dari wajah para aktor—entah itu Korea
atau bukan. Mungkin ini semacam ketakjuban standar perempuan terhadap laki-laki
yang dianggap punya “unsur wow” dalam dirinya.
“Provokasi Ekspresif” Yang
Sudah Halal
Orang
yang sudah halal kadang berlebihan dalam berekspresi di media sosial. Misalnya,
sepasang suami-istri muda yang sedang jatuh-cinta menampakkan kemesraan yang ekspresif.
Mereka memosting foto dan tulisan yang—pada hal tertentu agak intim. Hal itu
punya dampak positif, yaitu kesan bahwa dia merupakan pasangan yang bahagia,
bahkan ideal. Akan tetapi, kesan lainnya adalah “provokasi ekspresif” bagi
mereka yang kebetulan masih single-merana.
Ekspresi
romantisme yang—dianggap berlebihan itu—dapat membuat milenialis lainnya ngebet
menikah. Tapi problemnya mereka belum punya ilmu yang memadai, bahkan belum
punya kematangan psikologi. Dalam beberapa kasus, ada pasangan muda yang
kenalan di media sosial, kemudian saling-suka, menikah, dan tidak lama kemudian
bubar.
Beberapa
orang yang tidak senang dengan “milenialis ekspresif” itu mengatakan bahwa
seharusnya di media sosial kita juga memiliki rasa malu. Tidak semua hal harus
dipublikasikan. Atau, tidak semua hal harus orang lain tahu. Mengutip hadis
Nabi, “Sesungguhnya sifat malu tidaklah mendatangkan apa-apa kecuali kebaikan.”
(HR. Bukhari).
Produksi Kesenangan
Apa
yang terlihat dari fenomena hijrah dan halal adalah satu hal: produksi
kesenangan. Orang yang berhijrah dan menampakkan hijrahnya di media sosial
sesungguhnya tengah memproduksi kesenangan baik kepada dirinya maupun orang
lain. Ada rasa senang ketika orang lain juga mendapatkan hidayah, turut
berhijrah, dan mengikuti yang halal-halal.
Produksi
kesenangan ini terkait sekali dengan kekuasaan (power). Mengutip filsuf kelahiran
Poitiers Perancis, Michel Foucault (1926-1984), “Kekuasaan dapat menjadi instrumen
untuk memproduksi kesenangan.” Di tangan kaum milenial, ponsel yang mereka
kuasai menjadi alat yang efektif untuk memproduksi kesenangan-kesenangan
personal dan komunal.
Saat
ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa umumnya milenialis memproduksi
kesenangan di akunnya masing-masing. Kesenangan itu bisa berbentuk senang
membaca tulisan orang, senang memproduksi konten (artikel, gambar, dan video),
dan juga kesenangan ketika dapat men-follow (atau di-follow) oleh orang
tertentu (bisa public figure, etc.) dan dapat berkontribusi dalam komentar di
akun-akun tokoh/organisasi yang mereka senangi.
Semua
itu mereka lakukan untuk mendapatkan kesenangan. *