Perjalanan ke Pedalaman |
Tidak semua punya kemewahan untuk menginjak ibukota Jakarta. Tak terkecuali orang SAD. Hidup mereka yang siklusnya tidak jauh-jauh dari hutan dan perkampungan telah jadi kebahagiaan tersendiri yang membuat mereka tidak menuntut untuk harus jadi orang kota. Hidup bagi mereka, adalah "bisa makan, bisa punya rumah, dan bisa membesarkan anak."
Bisa makan adalah hak asasi tiap orang, bahkan tiap makhluk. Problem makanan ini sebenarnya sudah klasik banget. Sejak dulu orang jadi berkonflik gara-gara makanan. Jika ditarik lebih luas, gara-gara sumber daya.
Ada sumber daya di suatu tempat. Maka berlari-larilah orang untuk mendapatkan itu. Tak peduli apakah merusak alam atau tidak, manusia berusaha untuk itu. Lihatlah bagaimana kerusakan hutan dan terjadinya perubahan ekosistem yang membuat alam kita jadi rusak. Itu tak lain dan tak bukan karena kerakusan untuk mendapatkan sumber-sumber alam. Selain buat perut, itu juga buat kekuasaan dalam arti seluas-luasnya.
Orang-orang Eropa yang dulu capek-capek berlayar ke timur juga mencarinya itu. Cari makanan juga. Makanan itu rupanya berdaya tawar tinggi di sana. Namanya rempah-rempah. "Itu makanan para dewa," katanya. Saking susahnya mendapatkan rempah-rempah, mitos "makanan para dewa" itu pun menjelma. Mancung-mancung hidung dari Portugis dan Spanyol pun buat kesepakatan mencari dunia timur yang kaya. Tersesat, karam, dan karam. Akhirnya, sampai jugalah mereka ke Malaka. Kemudian, dari situ mereka tembus satu tahun sesudahnya hingga ke Maluku.
Jauh-jauh mereka tiba di Malaka hingga Maluku tujuannya cuma satu: biar bisa makan. Ya, makanan yang enak salah satunya harus ada cengkehnya, atau pala-nya. Itu dua komoditas yang mahal banget di zaman old tersebut. Kalau di zaman sekarang, dua komoditas itu kelihatannya tidak begitu dicari-cari. Tapi, orang mencari-cari sumber daya lainnnya seperti minyak, gas, emas, tembaga---dan sejenisnya. Termasuk, mencari dan menguasai jalur-jalur tertentu agar bisa menguasai dunia.
Lihatlah perseteruan di Laut Cina Selatan. Itu bukan hanya seteru soal potensi alamnya tapi juga potensi geografis yang strategis untuk kekuatan geopolitik. "Siapa yang menguasai jalur, dia bisa menguasai dunia," mungkin begitu. Maka, berlomba-lombalah tetangga kita untuk menguasai LCS itu. Soal jalur juga terlihat di berbagai tempat, misalnya di Timur Tengah. Jalur minyak tetap harus diamankan, karena itu berkaitan erat dengan resources masa depan bagi negara-negara besar.
Suatu ketika, saya ngobrol dengan seorang kawan sekaligus "murid alifbata" saya di Makassar yang berprofesi sebagai penerbang. Ia bercerita, bahwa sebenarnya Amerika Serikat juga punya potensi minyak yang besar, akan tetapi mereka hendak menguasai dulu potensi-potensi di luar negaranya. Ini semacam politik sumberdaya. Kuasai sumberdaya di luar kita, dan jika mereka sudah habis, kita masih punya. Sampai sekarang saya belum banyak pelajari soal itu, akan tetapi di beberapa sumber sederhana, kita bisa melihat bahwa negara besar sekelas Amerika juga sebenarnya potensi alamnya juga besar. Cuma mungkin eksplorasinya lebih fokus ke luar agar mendapatkan hasil yang lebih besar dari negara lain.
Di Jakarta juga begitu. Banyak orang yang punya sumberdaya. Sudah kaya, tapi masih mau tetap kaya. Akhirnya, jadi kaya raya. Memang sih, menjadi itu hak asasi, dan tidak dosa. Akan tetapi, menjadi kaya dan bisa membantu masyarakat sekitar itu yang kita butuhkan. Bukan menjadi kaya tapi memiskinkan orang lain. Jangan sampai kayak gitulah. Tidak Pancasilais-lah kalau kayak gitu.*
No comments:
Post a Comment