Monday, July 30, 2018

Tengah Juli di Pedalaman Jambi

Berfoto dengan warga belajar Suku Anak Dalam 

Entah kapan, rasanya saya pernah berkhayal: suatu saat saya akan bepergian ke Suku Anak Dalam. Ya, saya ingat! Kayaknya itu sepulang dari undangan menjadi pembicara di kampus STAI Al-Ma'arif di Kota Jambi.

"Dari Jambi ke Suku Anak Dalam, jauh tidak, Pak Sumarto?" tanya saya.
"Agak jauh, Pak Yan," jawab Dr. Sumarto. "Bisa 4 sampe 5 jam perjalanan."

Saat itu, memang tidak memungkinkan. Waktu saya di Jambi hanya sedikit.

Suatu ketika, saya dapat tugas dari kantor, Lantai Delapan Kemdikbud. Awalnya, rencana saya ditugaskan untuk pergi ke Suku Togutil alias Tobelo Dalam (O Hana Manyawa), akan tetapi tidak jadi--karena faktor anggaran yang terbatas. Akhirnya, saya diberi tugas ke Jambi, ke Suku Anak Dalam. Yes! Ini jadi doa, dari apa yang pernah saya imajinasikan--waktu itu.

PERJALANAN ke Jambi tidak sampai satu jam. Dari bandara, kami ke Muara Bulian sekitar empat jam. Setelah itu, lanjut ke Desa Bungku, Kabupaten Batanghari. Desa ini termasuk terpencil. Jauh dari kota. Sesiapa yang senang online rasanya tidak akan betah berlama-lama di sini. Signalnya macet-macet. Berat bagi orang kota, apalagi yang senang jawaban up to date.

Tapi, saya menikmati itu.

Di sana, saya bertemu dengan saudara-saudara kita dari SAD. Mereka ada yang sudah menamatkan pendidikan SMA, tapi banyak juga yang masih buta huruf latin. Kalau kita di kota sudah melek aksara, mereka belum. Abecede saja mereka baru mulai. Pun, satu tambah satu sama dengan dua. Itu juga mereka baru belajar. Menulis juga sama. Masih pelan-pelan mereka ikuti pelajaran yang tersedia.

Sekolah mereka masih sederhana sekali. Dinding sekolahnya beberapa sudah berpapan, tapi beberapa lainnya belum. Lantainya juga begitu: beberapa tidak ada semennya. Dari kejauhan, ini bukan sekolah. Tapi memang sih, ini sekolah nonformal. Jadi, beda banget dengan sekolah-sekolah formal.

Sekolah ini dibuat untuk saudara-saudara kita yang belum bersekolah, atau pernah putus sekolah dan ingin melanjutkan kembali. Pemerintah, lewat Kemdikbud, bersemangat untuk itu. Untuk mengentaskan buta aksara di masyarakat, terutama di pedalaman.

"Saya ingin senang sekali belajar, Pak. Saya ingin Pemerintah lebih peduli lagi kepada kita-kita di sini," kata salah seorang warga belajar.

Seorang lagi berkata, "Saya sekarang tidak ada kerja. Rumah juga tidak ada. Saya tinggal di rumah orang. Tapi saya mau belajar biar bisa pintar." Begitu kata seorang lainnya.

Seorang ibu--tepatnya sih nenek, dipanggil Nyai--juga bercerita soal semangatnya untuk belajar.

Saya tanya, "Nyai tidak merasa malu belajar dengan orang yang lebih muda?"
"Tidak!" Saya tidak merasa malu. Saya ingin bisa seperti orang lain.

Tampak semangat yang besar dari wajah-wajah warga belajar Suku Anak Dalam yang sempat kami temui siang menjelang sore itu.

Di lain waktu, saya dan tim juga bertemu dengan kepala desa setempat. Dia bercerita bahwa di sekitar di ini ada beberapa perusahaan besar, akan tetapi tidak memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat.

"Jalanan yang berdebu itu adalah salah satu bukti bagaimana perhatian perusahaan kepada masyarakat," kata beliau.

Dengan penuh semangat, ia bercerita tentang gurita kapitalisme, pemodal, serta kolaborasi antara orang pintar dengan perusahaan yang merugikan masyarakat.

Beberapa tahun terakhir, konflik lahan antar masyarakat SAD dengan perusahaan memang sedemikian besarnya. Lahan-lahan itu merupakan sumber kehidupan bagi orang SAD--baik yang di hutan atau yang sudah bercampur di pemukiman warga.

Penggusuran lahan membuat masyarakat nyaris tidak mendapatkan apa-apa. Semangat pak kades untuk "melawan kapitalisme" itu bisa dilihat sebagai semangat untuk kembali ke desa, peduli ke desa.

Membangun dari desa cukup penting. Karena desa adalah tiang utama dari bangunan kebangsaan kita. Tak ada bangsa tanpa adanya desa. Tak ada pemerintah pusat tanpa adanya pemerintah desa. Dan, tak ada namanya elite politik, pejabat pemerintahan, tanpa adanya warga yang mau diatur. Tapi, hak-hak warga tentu saja harus diperhatikan.

Kehidupan mereka akan berbagai fasilitas dasar salah satunya pendidikan haruslah diperhatikan.

Bertemu dengan SAD merupakan salah satu berkah bagi saya. Karena, saya bisa belajar dari dekat bagaimana orang Indonesia di pedalaman berpikir. Berbeda sekali dengan orang kita yang penuh kompetisi, mereka di desa hidup dengan harmoni. Memang, mereka terlambat dibanding kita, akan tetapi mereka mempertahankan kebersamaan, dan boleh dikata: kebersahajaan.

Lewat tulisan ini, saya ingin mengajak kepada teman-teman sekalian untuk mari kita lihat Indonesia ini tidak hanya dari kota. Akan tetapi dari desa-desa. Dari orang-orang pedalaman, dari orang-orang pinggiran, perbatasan, dan dari orang-orang marginal. Indonesia ini milik kita, kita semua. Maka, harus kita juga yang perjuangkan nasib warga masyarakat kita. Jangan tunggu orang lain. *

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...