Tuesday, August 14, 2018

Tiga Dosen Universitas Khairun Jadi Pembicara Konferensi Internasional Asia-Pasifik

Mustafa Mansur, Abd Rahman dan Yanuardi Syukur

Jakarta – Tiga dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun, Ternate, terpilih sebagai pembicara pada The 3rd Asia-Pacific Research in Social Sciences and Humanities (APRiSH) 2018 yang digelar oleh Universitas Indonesia, bertempat di JS. Luwansa Hotel, Jakarta (13-15/08).

Yanuardi Syukur, dosen Antropologi Sosial akan memaparkan hasil risetnya berjudul “Moderate-Radicalism: A Sociocultural Account of The Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Islamic Activism in Indonesia” yang ditulis bersama Profesor Achmad Fedyani Saifuddin pada hari kedua (14/08). 

“Saya akan menyampaikan sebuah konsep baru terkait moderate-radicalism yang mungkin bisa menjadi jalan tengah dalam melihat perkembangan aktivisme Islam yang tidak harus terpengaruh dengan predikat radikal dan tidak-radikal,” kata Yanuardi Syukur.

“Di satu sisi, aktivis Islam yang dilabeli sebagai radikal mendapatkan penentangan dari negara karena dianggap bertentangan dengan ideologi negara, sementara di sisi lain aktivis Islam yang dilabeli sebagai tidak-radikal mendapatkan apresiasi oleh negara karena dianggap mendukung ideologi negara,” lanjut Yanuardi. 

Pembagian dikotomis ini, kata dia, cenderung mengembangkan potensi konflik dua pihak yang membahayakan kelangsungan kehidupan bangsa. Padahal, negara sebagai entitas yang terdiri dari berbagai suku-bangsa, agama, latar belakang, dan golongan meniscayakan terjadinya perbedaan pandangan. 

Dalam tulisannya, Yanuardi menjelaskan terkait profil INSISTS yang dapat disebut sebagai organisasi aktivis Islam dengan representasi aktor yang beragam, penggunaan platform yang konservatif modern, serta pengaruh kekuatan kultural yang majemuk bagi eksistensi INSISTS di Indonesia.

“Secara praktis proses integrasi dalam organisasi aktivisme Islam INSISTS yang anggotanya beragam sangat penting dalam merajut kembali dikotomi gagasan soal radikal dan tidak-radikal dalam aktivisme Islam di Indonesia. Dalam konteks makro, apabila fenomena ini berkembang jauh lebih besar, akan sangat penting bagi menjaga kelangsungan integrasi nasional,” kata Yanuardi lagi. 

Sementara itu, Abd Rahman, dosen Ilmu Sejarah, dan Mustafa Mansur, dosen Usaha Perjalanan Wisata akan memaparkan hasil riset mereka bersama Dr. Tommy Christomy berjudul “Finding Hero & Being Indonesia in Loloda North Maluku” pada hari kedua.

“Kami akan membahas soal bagaimana menemukan kembali nilai-nilai kepahlawanan di Loloda dan dampaknya bagi pengembangan otonomi daerah di Maluku Utara,” kata Abd Rahman yang juga kandidat doktor Ilmu Sejarah FIB UI. 

Kata Abd Rahman lagi, dalam makalahnya, mereka akan membahas mengenai reartikulasi memori kolektif perjuangan masyarakat Loloda pada masa pergerakan nasional awal abad ke-20 dalam hubungan dengan nasionalisme Indonesia. 

“Nasionalisme dalam konteks ini ingin menempatkan posisi Loloda pada ruang kultural dan politik bahwa keberadaan Loloda saat ini merupakan suatu identitas yang tumbuh dalam jiwa rakyat sebelumnya, yang secara kebangsaan telah menjalani satu kesatuan riwayat melalui pergerakan nasional pada awal abad ke-20,” kata Mustafa.  

“Bisa dikatakan bahwa ini adalah upaya membangun dan menemukan ke-Loloda-an dalam ke-Indonesia-an,” kata Mustafa Mansur yang juga Sekretaris Besar (Tuli Lamo) Kerajaan Loloda tersebut. *

Friday, August 3, 2018

30 Menit Ngobrolin FLP di Okezone


Selama 21 tahun terakhir, Forum Lingkar Pena (FLP) telah berkontribusi untuk dalam perkembangan literasi di Indonesia dan menjalin kemitraan dengan berbagai lembaga pemerintah, NGO, kedutaan, serta civil society. Tertarik dengan hal itu, Okezone.com, sebuah media di bawah MNC Corporation, mengundang FLP untuk berbagai cerita dalam acara chatbox selama 30 menit, bertempat di Lantai 12 Gedung Inews TV, Jakarta (2/8/2018).

Dalam acara yang dipandu oleh host Dennis Dwi Nugraha tersebut, FLP diwakili oleh tiga aktivisnya, yaitu M. Irfan Hidayatullah (Ketua Dewan Pertimbangan), Yanuardi Syukur (Koordinator Divisi Litbang), dan Aprilina Prastari (PIC Manajemen Penulis).

Irfan Hidayatullah bercerita soal sejarah FLP yang didirikan oleh tiga perempuan, yaitu Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Maimon Herawati. "Saat itu mereka merasakan pentingnya membudayakan baca-tulis di masyarakat, sekaligus untuk mengumpulkan para penulis Indonesia menjelang berakhirnya Order Baru," kata Irfan yang juga kandidat doktor dari FIB UI.

Sementara itu, Yanuardi Syukur bercerita tentang bagaimana menemukan passion dalam menulis. "Awalnya saya tertarik menulis lewat buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang saya beli di Pasar Mayestik tahun 1997. Akan tetapi, setelah medengarkan suara hati, saya rupanya lebih condong untuk menulis buku nonfiksi, dan sampai saat ini saya lebih produktif dengan menulis nonfiksi," kata Yanuardi, yang sementara meneliti terkait gerakan Islam untuk program doktornya di FISIP UI.

Aprilina Prastari bercerita tentang berbagai program FLP yang sementara dijalankan, seperti kerjasama dengan Kemenkumham, UC News, Kaskus, serta inisiatif untuk membuat manajemen penulis yang dapat membantu menghubungkan antara penulis FLP dengan kebutuhan pasar dalam berbagai pelatihan kepenulisan. "Dalam kaderisasi, selain materi keislaman dan ke-FLP-an, kami juga memberikan tip tentang bagaimana menulis cerpen, puisi, novel dan lain sebagainya kepada para peserta," lanjut April yang juga lulusan Magister Komunikasi UI.

Diskusi selama setengah jam ini bisa disebut sebagai diskusi versi singkat dari "kontribusi FLP selama 21 tahun di Indonesia." Diskusi seperti ini sangat penting tidak hanya dalam konteks refleksi perjalanan lembaga literasi yang telah melahirkan sekian banyak penulis, buku, bahkan adaptasi buku dalam bentuk film layar lebar seperti karya-karya Habiburrahman El-Shirazy, Asma Nadia, dan Helvy Tiana Rosa, akan tetapi juga untuk menyebarkan inspirasi bahwa perjuangan literasi di Indonesia harus terus dikembangkan dengan berbagai program kreatif dan kolaboratif. *

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...