Monday, October 22, 2018
Belajar di Keramaian
Saya kadang buat tugas di kafe. Kafe itu ramai. Dulunya, saya nggak bisa belajar saat ramai, tapi beberapa tahun terakhir saya biasa.
Bahkan, banyak buku yang terbit sebagai hasil dari "kompromi keramaian" tersebut. Maksudnya, saya yang dulunya nggak suka ramai dan kini harus suka dengan keramaian itu dapat menghasilkan buku.
Dulunya saya kalau belajar itu harus sendiri atau menyendiri. Tapi kini di keramaian saya biasa. Cuma mungkin itu terkait sekali dengan jaringan internet yang cepat dan segelas kopi. Dulunya juga saya nggak terlalu suka kopi, tapi sejak ramai orang ngopi ria, saya juga jadi senang.
Di keramaian ini orang mikir diri sendiri. Misalnya, di sudut Javaroma di lantai dasar Perpustakaan UI ini, seseorang memakai headset sibuk dengan laptopnya. Di sudut-sudut lainnya juga sama. Beberapa mahasiswa bahkan ketawa-ketiwi di meja. Mungkin begitu cara belajar orang kota.
Hingga siang ini saya lihat masih banyak yang di kafe ini. Memang sih enak berlama-lama di sini, akan tetapi waktu berjalan nggak terasa. Waktu cepat sekali bergerak dan sepertinya meninggalkan kita.
Saya lihat mereka yang bekerja di kafe--maksudnya bikin tugas--rata-rata serius dengan pekerjaannya. Mungkin mereka berpikir, gue sudah keluarin duit ke sini masak nggak selesai? Yah, bisa jadi begitu. Setidaknya, saya juga berpikiran kayak gitu ketika masuk kafe. *
Monday, October 15, 2018
Mengenang Jumahir Jamulia
Jumahir Jamulia |
Pada sekitar tahun 2011, saya diundang oleh Cecep, pengelola Nation Building Corner Library (NBCL) yang bertempat di selatan kota Ternate. Waktu itu kalau tidak salah ingat saya diminta berbicara soal budaya baca-tulis bersama Jumahir Jamulia, seorang dosen dari IAIN Ternate (dulu STAIN Ternate) di perpustakaan yang didirikan oleh Dr. Imam B. Prasodjo pasca kerusuhan di Maluku Utara.
Perkenalan tersebut tidak panjang, akan tetapi selanjutnya saya bertemu di media sosial Facebook. Waktu itu ia sedang melanjutkan pendidikan doktoralnya di Universitas Hasanuddin.
Suatu ketika, istrinya sedang sakit. Saya yang sedang di Maros berencana untuk menjenguk istrinya di BTP. Tapi entah kenapa kelewatan. Setelah lewat BTP baru saya sadar bahwa saya rencana ke BTP. Saya meminta maaf kepada Pak Jumahir atas hal tersebut.
Di waktu yang lain, ketika saya mendirikan Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) Maluku Utara, saya mengajak Pak Jumahir untuk turut serta sebagai pengurus. Waktu itu ia sebagai anggota di Divisi Jurnal Ilmiah yang dikoordinatori oleh dosen Ilmu Sejarah Universitas Khairun, Irfan Ahmad.
Pada kepengurusan setelah saya yang diketuai oleh Ibu Roswita Aboe, Pak Jumahir diamanahkan sebagai Ketua Divisi Jurnal Ilmiah. Posisi yang tepat sekali untuk beliau.
***
Pertemuan pertama di perpustakaan depan kampus Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) tersebut, saya mendengar kabar bahwa Pak Jumahir pernah menulis buku yang diterbitkan di luar negeri. Di Jerman. Belakangan saya googling, dan dapat info bahwa bukunya itu diterbitkan oleh Lambert Academic Publishing, sebuah penerbitan buku-buku akademik yang berbasis di Jerman. Bukunya berjudul Learning Style and Strategy in ELF Context.
Karya Jumahir Jamulia |
Di beberapa tulisan saya dapatkan bahwa Penerbit Lambert itu semacam "penerbit indie" di Indonesia yang menerbitkan buku tapi tidak melewati peer review yang ketat. Artinya, orang yang punya naskah buku berbahasa Inggris bisa menerbitkan di Lambert. Kira-kira begitu simpulan yang saya dapatkan dari beberapa review tentang Lambert. Tapi, terlepas dari apakah Lambert itu "penerbit indie" (dalam bahasa kita di sini), ataukah penerbit bereputasi, adalah semangat Pak Jumahir untuk publikasi patut dijadikan teladan.
Di Google juga saya menemukan beberapa tulisannya. Di Spillwords.com misalnya, ada puisi karya Jumahir yang menarik berjudul "At the time when the time goes home" yang dipublikasikan pada 3 Mei 2017. Saya kutip saja isi puisinya itu sebagai berikut:
AT THE TIME WHEN THE SUN GOES HOME
written by: JUMAHIR JAMULIA
@JumahirJamulia
At the time the sun goes home
At the place I used to sit
At my glasses, a red V-t-shirt shadow swam over my drink.
At the place I used to sit
At my glasses, a red V-t-shirt shadow swam over my drink.
At the time the sun goes home
At the place I used to sit
At my glasses, a red V-t-shirt shadow
painted me a smile.
At the place I used to sit
At my glasses, a red V-t-shirt shadow
painted me a smile.
At the time the sun goes home
At the place I used to sit
At my glasses, a red V-t-shirt shadow whispered me a word.
At the place I used to sit
At my glasses, a red V-t-shirt shadow whispered me a word.
At the time the sun goes home
At the place I used to sit
At my glasses, a red V-t-shirt shadow
led me to a way.
At the place I used to sit
At my glasses, a red V-t-shirt shadow
led me to a way.
At the time the sun goes home
At the place I used to sit
At my glasses, a red V-t-shirt shadow hugged me tight.
At the place I used to sit
At my glasses, a red V-t-shirt shadow hugged me tight.
At the time the sun goes home
At the place I used to sit
At my glasses, a red V-t-shirt shadow
laid me down wet.
***
At the place I used to sit
At my glasses, a red V-t-shirt shadow
laid me down wet.
***
Kini, Jumahir Jamulia telah tiada. Saya dapat kabar dari Facebook. Berlalu waktu yang membuatnya bolak-balik ke rumah sakit. Kini, sudah tak ada lagi sakit. Kita berharap semoga segala kebaikan Pak Jumahir menjadi pemberat bagi timbangan amal di akhirat.
Suatu ketika, ia tag saya foto di Facebook. Katanya, ia sedang ke toko buku dan menemukan buku saya tentang ayah. Buku itu ia beli dan diberikannya kepada anaknya yang perempuan. Kemudian, ia meminta saya mengirimkan kata-kata mutiara untuk anaknya tersebut. Saya lupa waktu itu mengirimkan kata mutiara via media apa--Whatsapp, atau Facebook?
Pada kesempatan lain, saya sempat membentuk grup menulis yang namanya Kopi Pagi. Grup ini mewajibkan tiap orang untuk menulis tiap pagi hari. Tidak banyak yang bisa konsistensi tentu saja. Mungkin karena berat untuk melakukan itu, apalagi tidak ada paksaan. Beberapa kali, Pak Jumahir meminta agar diajarkan bagaimana cara menulis. Mungkin maksudnya, "bagaimana cara lebih produktif menulis?" Karena tulisannya banyak dan telah dimuat dimana-mana, baik di blog, Malut Post, buku, jurnal, dan publikasi berbahasa Inggris di luar negeri.
***
Kalau dipikir-pikir, tak lama lagi Pak Jumahir bisa mengurus Guru Besar. Ya, karena dia sudah doktor. Publikasi juga dia bisa kejar. Bahasa Inggris bukan masalah bagi dia. Tinggal menulis di jurnal internasional. Paling tidak, kendala bahasa sudah dia lewati. Soal jurnal? Dia bisa melewatinya, karena toh beberapa tulisan sebelumnya juga sudah dimuat di jurnal internasional.
Tapi, takdir berkata lain. Manusia berusaha, Tuhan menentukan. Kita ingin itu, tapi Tuhan punya keinginan yang lain. Manusia hanya makhluk, tunduk pada kehendak Tuhan. Kita semua berasal dari Tuhan, dan kembali juga kepada Tuhan.
Mulialah Pak Jumahir Jamulia, kawan baik meski tidak banyak bersua di dunia nyata...
Pada kesempatan lain, saya sempat membentuk grup menulis yang namanya Kopi Pagi. Grup ini mewajibkan tiap orang untuk menulis tiap pagi hari. Tidak banyak yang bisa konsistensi tentu saja. Mungkin karena berat untuk melakukan itu, apalagi tidak ada paksaan. Beberapa kali, Pak Jumahir meminta agar diajarkan bagaimana cara menulis. Mungkin maksudnya, "bagaimana cara lebih produktif menulis?" Karena tulisannya banyak dan telah dimuat dimana-mana, baik di blog, Malut Post, buku, jurnal, dan publikasi berbahasa Inggris di luar negeri.
***
Kalau dipikir-pikir, tak lama lagi Pak Jumahir bisa mengurus Guru Besar. Ya, karena dia sudah doktor. Publikasi juga dia bisa kejar. Bahasa Inggris bukan masalah bagi dia. Tinggal menulis di jurnal internasional. Paling tidak, kendala bahasa sudah dia lewati. Soal jurnal? Dia bisa melewatinya, karena toh beberapa tulisan sebelumnya juga sudah dimuat di jurnal internasional.
Tapi, takdir berkata lain. Manusia berusaha, Tuhan menentukan. Kita ingin itu, tapi Tuhan punya keinginan yang lain. Manusia hanya makhluk, tunduk pada kehendak Tuhan. Kita semua berasal dari Tuhan, dan kembali juga kepada Tuhan.
Mulialah Pak Jumahir Jamulia, kawan baik meski tidak banyak bersua di dunia nyata...
Doa Kedamaian untuk Aktivis Fikri Arief
Fikri Arief dengan kaos "stop wars" |
Jawab Husnul, "Kabarnya tidak sakit. Tiba-tiba tadi pagi pusing waktu nyiram tanaman langsung meninggal." Kejadian itu, lanjut Husnul terjadi di rumah mertua Fikri Arief di Perumnas Klender.
"Dia sahabat ane sejak dulu," kata Husnul yang sejak di Pesantren Darunnajah telah dekat dengan Fikri Arief.
***
Saya mengenal Fikri Arief sejak di Darunnajah (dia angkatan 23, saya 22), akan tetapi lebih dekat lagi saat saya telah kuliah. Ayah beliau, Ustad M. Habib Chirzin adalah seorang aktivis Muhammadiyah yang juga waktu itu membina di Darunnajah--pesantren dimana saya menghabiskan 6 tahun digembeleng mulai dari Man Jadda Wajada hingga syair Sayyid Quthb yang sangat familiar, yang petikannya begini, "lan tastahi'a hishara fikri sa'atan au na'za imani wa nuru yaqini--kalian tidak akan pernah bisa mengekang pemikiranku walau sesaat atau menanggalkan imanku dan cahaya yang saya yakini..."
Pada sebuah siang, saya menghadiri pengajian yang dibawakan oleh Dr. Imaduddin Abdulrahim, seorang dosen sekaligus aktivis Islam, di Masjid Al-A'raf Kwitang, Jakarta Pusat. Saat diberikan kesempatan bertanya, saya mengajukan diri. Saya bertanya ke Bang Imad, soal "islamisasi sains" dalam kehidupan kita yang sekular sekarang sekarang. Saya juga mengabarkan kepada beliau perihal ketertarikan saya soal topik tersebut.
Bang Imad memberikan jawaban yang dikembalikan kepada tauhid. Inti dari pemikiran keislaman adalah pada tauhid. Beliau kemudian memberikan arahan kepada saya agar suatu saat bertemu Dr. M. Dawam Raharjo yang saat itu memimpin sebuah lembaga "islamisasi sains" yang didirikan oleh Professor Ismail Raji Al-Faruqi di Amerika, International Institute of Islamic Thought (IIIT). Tidak sempat bertemu Prof Dawam, saya kemudian bertemu dengan Ustad Habib Chirzin. Rupanya Ust Habib adalah salah seorang pimpinan juga di lembaga IIIT tersebut dan berkawan dekat dengan Prof Dawam.
Pertemuan dengan Ustad Habib terjadi di Baitul Arqam Darunnajah, rumah yang ditempati oleh Drs. KH. Mahrus Amin, kiyai saya. Sebelum bertemu beliau, saya sempat bertemu Fikri Arief di depan. "Fik, bapak ente ada nggak?"
"Oh, ada," jawabnya.
"Boleh ketemu nggak?" tanya saya.
"Boleh banget." Akhirnya, saya bertemu Ust Habib. Pertemuan dengan Ust Habib tidak hanya sekali di Baitul Arqam. Pada kali lainnya, saya juga bertemu dengan Fikri Arief saat ada acara Darunnajah. Ust Habib bisa jadi lupa, saking banyaknya orang yang bertemu beliau.
Akan tetapi, waktu saya bertemu Ust Habib beberapa waktu lalu di World Peace Forum di Hotel Sultan, saya tidak sempat bertanya tentang Fikri Arief. Biasanya, antara Fikri Arief dan ayahnya selalu saya gandengkan. Dalam pikiran saya, aktivitas Fikri yang sibuk di berbagai kegiatan perdamaian dan kepemudaan tidak terlepas dari upaya dia untuk melanjutkan jejak intelektual dan aktivisme ayahnya.
Prof Sudarnoto Hakim, Mas Hajriyanto Y. Thohari, Ustad Habib Chirzin, dan saya |
Saya sempat berfoto dengan Ust Habib Chirzin saat itu bersama seorang kolega saya sesama alumni Muslim Exchange Program, Profesor Sudarnoto Hakim, dan Mas Hajriyanto Y. Thohari, senior saya di S3 Antropologi UI (saya masih berharap Mas Hajri bisa menyelesaikan disertasinya) yang juga mantan Wakil Ketua MPR RI. Foto itu tidak sempat juga saya perlihatkan kepada Fikri Arief. Harusnya ketika itu langsung saya japri ke Fikri. "Fik, ane ketemu sama bapak ente nih."
***
Fikri Arief menurut saya adalah tipikal lelaki yang tidak banyak bicara akan tetapi senang beraktivitas. Saya menyebutnya tidak banyak bicara karena perkawanan saya dengannya memang tidak memperlihatkan ia sebagai orang yang banyak bicara. Saya cuma melihat berbagai aktivitasnya saja dalam dunia perdamaian. Dia sepertinya senang dengan kegiatan kolaboratif yang selain menambah pertemanan juga memperkuat jejaring masyarakat sipil untuk menciptakan perdamaian dunia di komunitas masing-masing.
Foto terakhir yang saya lihat di Facebooknya adalah foto Fikri Arief bersama Arif Supam Wijaya, kawan kos saya di Jalan Bung, Tamalanrea Makassar yang menamatkan S2-nya di Australia. Waktu lihat foto mereka ketemuan, saya berpikir, wah penting sekali itu bisa bertemu antara dua aktivis perdamaian dan kepemudaan tersebut.
Arif Supam Wijaya dan Ahmad Fikri Arief |
Komunikasi online saya yang terakhir dengan Fikri adalah pada Juli tahun 2017 ketika saya menyapa, "Assalamu Alaikum, Ustad." Dia jawab, "Waalaikumsalam, Prof." Kata 'prof' tentu saja tidak sebenarnya, hanya ungkapan doa agar semoga kelak bisa tiba di posisi tertinggi dalam dunia akademik, yaitu Professor.
Saya berdoa semoga almarhum Ahmad Fikri Arief (36 tahun) mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah swt dan keluarganya diberikan kekuatan untuk menjalani takdir tersebut. Bagi kita semua, mari kita terus bergiat memberikan yang terbaik untuk diri kita, keluarga kita, masyarakat kita, dan untuk dunia. Lanjutkan kerja-kerja perdamaian. Kurangi berselisih, perkuat kerjasama! *
Saturday, October 13, 2018
Literasi Gempa dan Tsunami bagi Anak-Anak
Gambar tsunami di Lisboa, Spanyol (sumber: Youtube) |
Anak saya nomor tiga, Fikri Ihsani (kelas 2 SD) sering bertanya ke saya soal-soal sederhana tapi berat. Seperti, "Abi, abad pertama itu tahun berapa?" Saya coba menjawab. Abad pertama kan berarti 100 tahun pertama dalam kalender masehi yang dihitung dari kelahiran Nabi Isa. Berarti abad pertama adalah seratus tahun pertama kelahiran Nabi Isa. Bener, nggak?
Nah, terkait dengan gempa, Fikri sering membaca juga. Misalkan, ada Majalah Tempo yang saya bawa. Dia baca tentang gempa dan tsunami. Ketika saya baca buku lainnya--yang agak tebal--dan ada fakta tentang gempa di San Andreas, Amerika, dia langsung bilang, "tunggu." Dia kemudian ambil Tempo dan perlihatkan bahwa dia juga dapat kata "San Andreas" di situ yang jadi judul film.
"Abi udah nonton filmnya, pemerannya itu aktor Hollywood, namanya Dwayne Johnson." Tapi, harus dilihat lagi sih apakah film itu untuk dewasa atau bisa buat anak-anak. Yah, namanya juga film kan ada plus ada minesnya. Saya biasa bilang gitu ke anak-anak masalah film. Artinya, harus dipertimbangkan baik-baik buat anak-anak mana film yang bisa mereka konsumsi dan mana yang tidak.
Salah satu scene "San Andreas", gempa-tsunami yang menghancurkan "Jembatan Emas" di San Francisco |
Literasi gempa dan tsunami saya ajarkan ke anak-anak saya lewat cerita. Misalnya, pas saya jelaskan beberapa ayat dalam juz 30 soal hari kiamat. Pada hari itu gunung-gunung beterbangan, bintang-bintang pun berjatuhan (salah satu bintang itu adalah bumi), dan manusia lari meninggalkan "unta bunting" (simbol barang berharga). Saya kemudian mengaitkan dengan kejadian di Palu. Di sana saya perlihatkan gambar adanya mobil yang rusak dan dibiarkan begitu saja.
Dalam kondisi "kiamat kecil" kayak di Palu, orang-orang pasti ingin menyelamatkan dirinya ketimbang hartanya. Harta bisa dicari, tapi nyawa cuma satu. Dan, semua orang tahu yang namanya nyawa itu ngga dijual di pasar atau di swalayan. Cuma satu ini dan harus dijaga.
Perumnas Balaroa yang hancur akibat tsunami di Palu (Sumber: Liputan6) |
Kejadian di Palu itu bisa diibaratkan "kiamat kecil" karena efek kehancurannya. Di beberapa tempat bahkan katanya ada ribuan orang tertimbun. Saya lihat video penggalian dan evakuasi mayat itu. Sedih melihatnya. Manusia dengan mudah sekali dilumat oleh bencana. Tapi, begitulah yang namanya hidup, nggak ada yang tahu persisnya ke depan. Kecuali yang maha perkasa, Allah swt saja.
Di Tempo juga ada tulisan Goenawan Mohamad soal "bencana." Saya baca dan tandai beberapa hal penting. Fikri juga baca. Rupanya pada abad ke-18, di Lisabon (Spanyol) itu pernah terjadi gempa dan tsunami juga. Sebanyak 50ribu orang tewas. Itu hampir sepertiga warga kota. Selain dua bencana itu, kota mereka juga terbakar pada 1755. Dahsyat sekali.
Dari map ini terlihat bahwa efek gempa-tsunami di Lisboa waktu itu terasa sampai di Amerika Utara dan Amerika Selatan |
Kehancuran kota Lisboa |
Saya dan Fikri kemudian googling dimana Lisboa (Lisabon) berada. Di dinding rumahku juga ada peta Indonesia dan peta dunia. Biasanya Fikri langsung cari dimana Lisboa berada. Dia cari dan dapat. Lokasinya di Spanyol.
"Coba abang lihat, lokasinya di pinggir pantai dari laut lepas." Kata saya. Tsunami memang sering melanda pantai. Ya emang kayak gitu karena namanya air laut pasti berasal dari laut dan kalau dia menerjang ke darat maka dia akan lewatin pantai dulu.
Saya membayangkan segitu banyak orang tewas akibat musibah. Nggak ada orang yang bisa membayangkan itu. Baru saja orang bercengkerama, ngobrol-ngobrol, kemudian tiba-tiba musibah menghancurkan semuanya.
Jika bukan karena iman, maka orang bisa stress, bahkan gila. Dan, itu yang "disyukuri" oleh Goenawan Mohamad dalam tulisan dia di Tempo. Kata dia, di tengah berbagai musibah itu, kita tidak gila. "Tidak gila" berarti kita masih bisa tabah karena bisa saling mendoakan, menguatkan, dan seterusnya. Tapi, itu juga juga karena agama. Nggak mungkin orang bisa begitu kuat kalau nggak ada keyakinan kepada yang maha tinggi dan keyakinan soal tujuan akhir (ultimate goal) dari kehidupan manusia alias akhirat.
Kepada anak-anak, saya ajarkan soal gempa itu juga dengan cerita. Misalnya, pernah saya ikut kegiatan di gedung Tempo. Tiba-tiba ada "tanah goyang". Dari lantai atas orang-orang pada turun. Milih lift atau tangga biasa? Nah, dalam kondisi begini kita harus pilih tangga biasa. Walaupun tinggi dan capek turunnya tapi itu bagus, ketimbang turun pake lift dan di tengah-tengah lift-nya macet. Bahaya kan?
Tangga darurat di mall (Foto: Mi Community) |
Nah, yang repot ini kalau lantainya tinggi. Tapi, bagaimanapun yang terjadi, kita harus turun pakai tangga darurat jika terjadi gempa.
Waktu nginap di salah satu hotel di Depok, saya juga jelaskan ke anak-anak. Kalau hotel kayak gini pasti ada tangga daruratnya. Saya perlihatkan. Nah, kalau ada gempa maka semua orang harus lewat situ. Jangan lewat lift.
Selain itu, saya juga melatih anak-anak untuk berdonasi bagi korban gempa--selain mengajarkan anak-anak untuk selalu berdoa saat keluar rumah agar kehidupan kita itu dijaga oleh Allah. Berdoa itu penting banget, tapi berdoa aja nggak cukup, harus berderma.
Untuk gempa di Sulteng saya minta mereka berdonasi berapapun yang ada. Akhirnya terkumpul semuanya (anak-anak, saya dan istri saya). Tidak seberapa banyak sih, tapi itu bisa jadi semangat yang bagus untuk mereka berderma. Setelah transfer uang itu saya juga beri tahukan ke mereka bahwa uang donasi kita telah terkirim. Berderma itu cara paling mudahnya adalah dengan membiasakan diri untuk traktir teman. Atau, ya berbagi inspirasi lewat medsos.
Pun demikian saat organisasi yang saya aktif di dalamnya--Forum Dosen Indonesia--mengirimkan bantuan ke Sulteng. Saya perlihatkan foto-foto barang yang akan dikirim dari Makassar ke Palu. Dengan melihat gambar itu, maka anak-anak jadi tahu bahwa uang mereka--sekecil apapun itu--telah disalurkan. *
Friday, October 12, 2018
Likuifaksi Ratna Sarumpaet
Foto Ratna Sarumpaet yang membuat orang percaya ia dikeroyok (kolase oleh Tempo) |
Pada sebuah siang saya baca sebuah broadcast yang berisi ajakan untuk membela Ratna Sarumpaet (69 tahun) yang dikeroyok orang tidak dikenal di dekat Bandara Husein Sastranegara Bandung. Saya tidak langsung mengisinya, karena saya memilih untuk berhati-hati ketika sesuatu itu ada kaitannya dengan politik. Walhasil, saya tidak jadi tulis nama.
Ratna Sarumpaet, perempuan yang juga aktor teater sudah lama kita kenal. Kiprah dan keberanian dia melawan rezim sudah nggak bisa ditandingi oleh anak zaman now. Kalau mau melawan rezim, belajarlah salah satunya dari Ratna. Orang-orang masih tiarap tapi dia berdiri tegak. Tak cuma di Orde Baru, tapi juga di era sekarang ini. Dia tetap kritis, tapi harus kita ingat: dia juga harus dikritisi.
Sehari sebelum keluarga informasi dari polisi mengenai kejanggalan pengakuan Ratna, calon presiden Prabowo Subianto juga sudah berkonferensi pers yang intinya mengutuk tindakan seperti itu apalagi kepada perempuan. Didampingi oleh tim suksesnya, Prabowo menjadi pembela orang-orang yang lemah.
Di media sosial, beberapa politisi juga sudah ramai percaya apa kata Ratna. Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan lain sebagainya. Mereka orang-orang kritis akan tetapi dalam kasus ini mereka terjebak. Mereka terpedaya oleh seorang Ratna Sarumpaet--seorang kawan, seorang perempuan, seorang pejuang senior, dan seorang yang tak ada pretensi politik untuk kepentingan pribadi. Kira-kira begitu.
***
Kita pun melihat "celah" dari kubu Prabowo. Mereka mudah percaya sama orang. Apakah salah? Tentu saja tidak. Dalam kesantunan orang Indonesia, kepercayaan adalah bagian yang inheren dalam tata-laku kita. Artinya, percaya kepada orang dan membantu orang lemah sudah bagian dari hidup kita. Yang problem ketika kita percaya kepada sesuatu yang ternyata salah.
Itu dia masalahnya.
Tapi, di kubu Jokowi juga sama. Kecolongan data soal Archandra Taher yang masih berkartu penduduk Amerika adalah soal. Itu tamparan keras sebenarnya buat presiden. Bayangkan, presiden mengangkat seorang pembantunya--menteri--tapi status dia masih jadi warga negara asing. Itu kecolongan yang besar sebenarnya.
Soal kecolongan, di negeri kita sudah biasa kok. Di awal-awal kemerdekaan, Bung Karno dipuji dimana-mana. Dia berani, dia punya visi, tapi dia belakangan jadi berubah ketika mulai menikmati kekayaan. Dia mulai dekat dengan PKI, dan menjaga jarak dengan gerakan Islam--padahal semangat perlawanan dia awalnya terinspirasi dari HOS Cokroaminoto yang berasaskan Islam.
Ketika Bung Karno dekat dengan PKI, terjadilah pemberontakan. Di mata Kartosuwirjo dan Kahar Muzakkar--keduanya adalah pejuang kemerdekaan--Bung Karno telah berkhianat. Bayangkan: ini sama-sama pejuang. Tapi belakangan jadi nggak akur, bahkan perang satu sama lain.
Mereka pun berontak. Dari buku sejarah yang kita baca menerangkan bahwa awalnya Kartosuwiryo itu hanya ingin mengamankan Jawa Barat dari Belanda. Tapi, belakangan entah kenapa jadi makin keras menjadi pendirian negara. Apa mungkin sejak awal dia ingin mendirikan negara Islam? Saya kira Al Chaidar harus cerita soal ini. Buku dia yang tebal itu saya nggak punya. Nanti kalau ketemu di kampus saya perlu sharing dengannya soal ini.
Di mata Bung Karno, orang-orang kayak Karto atau Kahar adalah orang-orang yang berubah. Telah disepakati Pancasila, bukan negara agama, tapi agama juga yang diperjuangkan. Tapi, kalau melihat sejarah, aspirasi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama memang kuat, karena banyaknya kesultanan di negeri ini. Tapi, apakah ada indikasi seperti itu? Saya kira belum tentu juga.
***
Kita balik ke Ratna. Gara-gara Ratna bohong banyak orang kena likuifaksi, sebuah istilah gempa yang membuat tanah bergerak dan merusak segala yang di atas. Pencairan tanah. Soil liquefaction, bahasa Inggrisnya. Pastinya, tim Prabowo merasa malu gara-gara itu. Itu jebakan kecil sebenarnya tapi kok tidak bisa dilalui?
Banyak orang menyayangkan. Urusan "siapa orang yang harus dipercaya" saja belum tuntas, apatah lagi membawa negeri ini menjadi negeri yang adil makmur? Ya, banyak sudah kritikan kepada mereka.
Sebagai orang yang tidak berada di kubu manapun, menurut saya kini saatnya kubu Prabowo lebih berhati-hati dalam mempercayai issu. Lebih banyak mereka fokus pada program. Perbanyak program, bangun jejaring, dan viralkan. Itu lebih konkret. Adapun hal-hal yang kira-kira menggoda, itu harus dipikirkan matang-matang.
Sesuatu yang kuning, kata orang, belum tentu emas. Maka, sebuah kesempatan yang terlihat penting untuk menjatuhkan lawan--misalnya--juga belum tentu jadi kesempatan yang baik. Bisa jadi kesempatan itu malah jadi malapetaka, seperti yang kemaren terjadi gara-gara mudah percaya kepada Ratna Sarumpaet.
Terlepas dari itu semua, saya menaruh salut kepada Ratna atas perjuangannya selama ini untuk demokrasi. Tidak harus seperti Hanum Salsabila Rais yang menyamakan Ratna dengan Cut Nyak Dien, saya cuma mengatakan dia adalah salah seorang pejuang demokrasi Indonesia. Adapun kesalahan dia yang barusan saya kira kita maklumi saja. Dia sudah tua, dan dia ingin tetap terlihat cantik. Problemnya cuma entah "setan mana" yang minta ia mengarang cerita bohong tersebut.
Sakit di Ibukota
Sudah dua hari ini saya sakit. Kayaknya sih karena kurang istirahat. Kata istriku, sakit itu biasanya datang ke orang dalam kondisi dua hal: (1) kurang istirahat, dan (2) banyak kerjaan. Saya pikir itu betul.
Hidup di ibukota memang harus bisa mandiri. Karena tidak semua orang mau peduli dengan diri kita. Membandingkan kehidupan di desa yang saling-lihat satu sama lain, di kota tidak begitu. Lihatlah perumahan elite, mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Tetangga sakit tidak ada yang tahu, bahkan mungkin tahunya dari medsos ketimbang dari orang sebelah langsung.
Saya kadang sedih melihat orang sakit di pinggir jalan. Beberapa waktu lalu saya lihat ada orang yang kakinya bengkak. Dia duduk dan lagi makan nasi bungkus di jembatan antara Margo City dengan Detos. Miris juga lihatnya. Harusnya sih yang kayak gitu dibawa ke rumah sakit, tapi kenapa tidak dibawa juga?
Atau, pemerintah sebagai yang pelaksana konstitusi membawa orang sakit itu ke rumah sakit. Bisa jadi, orang sakit itu orang Depok atau mungkin bukan. Tapi, kadang kita kasihan saja melihatnya. Orang sudah sakit tapi sakitnya itu dikapitalisasi lagi oleh orang lain.
Hidup di kota memang harus panjang akal. Kalau pendek akal, bisa nggak makan. Makanya orang berlomba-lomba untuk bisa menang dalam banyak hal, agar bisa untung dan nggak buntung.
***
Barusan saya lihat caption foto seorang kawan di Instagram. Ia sedang sakit, dirawat, kemudian akan dipindahkan kamarnya. Dalam tulisannya, ia bertanya kenapa ia dipindahkan. Bukan apa-apa ia yang seorang pendemo dan kini harus dirawat di rumah sakit polisi.
Perasaan kayak gitu pasti ada, terutama di kalangan mereka yang berkonflik dengan instansi. Misalnya nih, kita sedang tidak senang sama orang. Kadang kita jadi was-was, wah jangan-jangan ada apa-apa nanti. Jangan-jangan gue diapa-apain lagi.
Itu semacam phobia mungkin ya. Di kalangan orang Barat juga gitu. Mereka dijangkiti Islamophobia. Sebuah buku terbitan Mizan menjelaskan tentang itu, tentang bagaimana Islamophobia di Barat. Hal itu juga diakui oleh orang-orang yang tinggal di Barat sana. Sebutlah Imam Shamsi Ali. Ia yang 20-an tahun di Amerika juga merasakan betapa Islamophobia itu masih kuat di sana. Akan tetapi, dengan sistem demokrasi, semua orang berhak untuk didengarkan suaranya dan dijamin hak-haknya di muka hukum.
***
Pas lagi sakit begini enaknya tidur. Tapi saya diberikan parasetamol. Mungkin biar cepat tidur, kurangi online. Saya udah lama nggak nulis di blog, tapi belakangan jadi tertarik lagi. Mungkin karena dulu saya mulai belajar menulis juga dari blog, sebutlah itu friendster dan multiply.
Pas lagi sakit saya baca bukunya Anthony Reid. Bacaannya berat tapi saya senang karena dia menjelaskan dengan enak. Rujukannya juga sumber-sumber terpercaya semua--at least sumber-sumber Barat.
Kita jadi ngerti bagaimana masa lalu kita dengan penjelasan dari orang Barat. Mereka menulis tanpa beban. Semata untuk kepentingan akademik, walaupun tidak semua orang bisa melakukan itu secara profesional. Yang akademik dan praktis kadang sering berkelindan.
***
Balik lagi ke soal sakit. Intinya sih, kita harus syukuri nikmat kesehatan. Kesehatan itu barang mahal sebenarnya kalau mau direnungkan. Ada orang punya duit banyak tapi sakit-sakitan. Maka duitnya itu keluar hanya buat ngobatin sakitnya. Artinya, mahal banget yang namanya kesehatan.
Nah, mungkin pada sehat, ayo jaga kesehatan masing-masing. Jangan kebanyakan kerja apalagi berlebihan. Yang berlebihan itu nggak baik. Jika waktunya tidur, sebaiknya tidur. Dan waktunya bangun, sebaiknya bangun. Dimulai dari bangun salat subuh...
Hidup di ibukota memang harus bisa mandiri. Karena tidak semua orang mau peduli dengan diri kita. Membandingkan kehidupan di desa yang saling-lihat satu sama lain, di kota tidak begitu. Lihatlah perumahan elite, mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Tetangga sakit tidak ada yang tahu, bahkan mungkin tahunya dari medsos ketimbang dari orang sebelah langsung.
Saya kadang sedih melihat orang sakit di pinggir jalan. Beberapa waktu lalu saya lihat ada orang yang kakinya bengkak. Dia duduk dan lagi makan nasi bungkus di jembatan antara Margo City dengan Detos. Miris juga lihatnya. Harusnya sih yang kayak gitu dibawa ke rumah sakit, tapi kenapa tidak dibawa juga?
Atau, pemerintah sebagai yang pelaksana konstitusi membawa orang sakit itu ke rumah sakit. Bisa jadi, orang sakit itu orang Depok atau mungkin bukan. Tapi, kadang kita kasihan saja melihatnya. Orang sudah sakit tapi sakitnya itu dikapitalisasi lagi oleh orang lain.
Hidup di kota memang harus panjang akal. Kalau pendek akal, bisa nggak makan. Makanya orang berlomba-lomba untuk bisa menang dalam banyak hal, agar bisa untung dan nggak buntung.
***
Barusan saya lihat caption foto seorang kawan di Instagram. Ia sedang sakit, dirawat, kemudian akan dipindahkan kamarnya. Dalam tulisannya, ia bertanya kenapa ia dipindahkan. Bukan apa-apa ia yang seorang pendemo dan kini harus dirawat di rumah sakit polisi.
Perasaan kayak gitu pasti ada, terutama di kalangan mereka yang berkonflik dengan instansi. Misalnya nih, kita sedang tidak senang sama orang. Kadang kita jadi was-was, wah jangan-jangan ada apa-apa nanti. Jangan-jangan gue diapa-apain lagi.
Itu semacam phobia mungkin ya. Di kalangan orang Barat juga gitu. Mereka dijangkiti Islamophobia. Sebuah buku terbitan Mizan menjelaskan tentang itu, tentang bagaimana Islamophobia di Barat. Hal itu juga diakui oleh orang-orang yang tinggal di Barat sana. Sebutlah Imam Shamsi Ali. Ia yang 20-an tahun di Amerika juga merasakan betapa Islamophobia itu masih kuat di sana. Akan tetapi, dengan sistem demokrasi, semua orang berhak untuk didengarkan suaranya dan dijamin hak-haknya di muka hukum.
***
Pas lagi sakit begini enaknya tidur. Tapi saya diberikan parasetamol. Mungkin biar cepat tidur, kurangi online. Saya udah lama nggak nulis di blog, tapi belakangan jadi tertarik lagi. Mungkin karena dulu saya mulai belajar menulis juga dari blog, sebutlah itu friendster dan multiply.
Pas lagi sakit saya baca bukunya Anthony Reid. Bacaannya berat tapi saya senang karena dia menjelaskan dengan enak. Rujukannya juga sumber-sumber terpercaya semua--at least sumber-sumber Barat.
Kita jadi ngerti bagaimana masa lalu kita dengan penjelasan dari orang Barat. Mereka menulis tanpa beban. Semata untuk kepentingan akademik, walaupun tidak semua orang bisa melakukan itu secara profesional. Yang akademik dan praktis kadang sering berkelindan.
***
Balik lagi ke soal sakit. Intinya sih, kita harus syukuri nikmat kesehatan. Kesehatan itu barang mahal sebenarnya kalau mau direnungkan. Ada orang punya duit banyak tapi sakit-sakitan. Maka duitnya itu keluar hanya buat ngobatin sakitnya. Artinya, mahal banget yang namanya kesehatan.
Nah, mungkin pada sehat, ayo jaga kesehatan masing-masing. Jangan kebanyakan kerja apalagi berlebihan. Yang berlebihan itu nggak baik. Jika waktunya tidur, sebaiknya tidur. Dan waktunya bangun, sebaiknya bangun. Dimulai dari bangun salat subuh...
Sunday, October 7, 2018
Pertemuan Keluarga Besar
Pertemuan keluarga besar biasanya susah terjadi kecuali beberapa hal, seperti: acara pernikahan, acara kelahiran, atau ada kematian. Saat menikah biasanya keluarga pada datang, saat ada yang lahir juga begitu, dan saat ada keluarga yang wafat juga akan banyak yang datang.
Tiga hal itu sepertinya sudah menjadi bagian dari "ritual process" kita dalam berinteraksi dengan keluarga besar. Itu tidak bisa dihindari, tidak bisa dianggap buruk, tapi hanya bisa dimaklumi. Mungkin karena kesibukan masing-masing dengan keluarganya, atau juga karena ada tugas-tugas lainnya yang membuat pertemuan menjadi susah.
Kemarin saya hadir dalam acara pernikahan seorang keponakan. Dia lulusan taruna maritim dan kini telah aktif melaut. Karena sekarang sedang "mendarat", maka ia memilih untuk melangsungkan pernikahan. Ya, kita tahu pelaut itu kan kalau pergi bisa lama, apalagi kalau ke luar negeri; berbulan-bulan, minimal 6 bulan baru balik.
Dalam pertemuan kemarin saya bertemu dengan keluarga besarku terutama dari keturunan Abdullah Syukur--kakek saya. Abdullah Syukur adalah salah seorang keturunan suku Minang Piliang di Panyinggahan Danau Maninjau yang merantau ke Ternate. Waktu ia merantau dan mendapatkan berbagai peluang, ia ajak keponakan-keponakannya untuk ikutan juga. Walhasil, banyak keponakannya yang menetap di Ternate dan sekitarnya, dan jadilah keturunan Minang di Maluku Utara.
Pertemuan dengan keluarga besar adalah bagian yang menyenangkan karena kita bisa melihat kembali masa lalu kita. Kalau sekarang ini bertemu dengan rekan kerja kita akan terasa biasa saja karena ini "orang baru dalam hidup." Berbeda dengan keluarga besar. Kita bisa bercerita soal bagaimana masa kecil, hal-hal lucu ketika itu, hal-hal sedih, serta romantika yang pernah kita alami di masa lalu.
"Mengenang itu menyenangkan," kata sebuah kutipan yang pernah saya baca. Iya sih, memang begitu. Walau ada yang bilang "mengenang itu pekerjaan orang tua" tapi rasanya tidak begitu juga. Semua orang memiliki kesempatan atau waktu untuk mengenang.
Saya selalu teringat sampai sekarang ketika mulai melakukan perjalanan "mengarungi samudera" setamat SD ke Jakarta bersama ayahku yang sudah almarhum beberapa tahun lalu. Juga hal-hal sederhana seperti saya memasak di dapur, menggoreng pisang, mencuci pakaian, dan memancing di laut. Semua itu ada kesannya. Bagi seorang anak yang dibesarkan di atas laut, mengenang masa lalu sebagai generasi maritim cukup menggembirakan.
Kini, pertemuan demi pertemuan keluarga besar terutama di Jakarta sudah jarang terjadi, akan tetapi terawat lewat undangan pernikahan. Tentu saja harus dijaga agar kita mendapatkan dan terjalin kembali ukhuwah sesama keluarga besar.
Tiga hal itu sepertinya sudah menjadi bagian dari "ritual process" kita dalam berinteraksi dengan keluarga besar. Itu tidak bisa dihindari, tidak bisa dianggap buruk, tapi hanya bisa dimaklumi. Mungkin karena kesibukan masing-masing dengan keluarganya, atau juga karena ada tugas-tugas lainnya yang membuat pertemuan menjadi susah.
Kemarin saya hadir dalam acara pernikahan seorang keponakan. Dia lulusan taruna maritim dan kini telah aktif melaut. Karena sekarang sedang "mendarat", maka ia memilih untuk melangsungkan pernikahan. Ya, kita tahu pelaut itu kan kalau pergi bisa lama, apalagi kalau ke luar negeri; berbulan-bulan, minimal 6 bulan baru balik.
Dalam pertemuan kemarin saya bertemu dengan keluarga besarku terutama dari keturunan Abdullah Syukur--kakek saya. Abdullah Syukur adalah salah seorang keturunan suku Minang Piliang di Panyinggahan Danau Maninjau yang merantau ke Ternate. Waktu ia merantau dan mendapatkan berbagai peluang, ia ajak keponakan-keponakannya untuk ikutan juga. Walhasil, banyak keponakannya yang menetap di Ternate dan sekitarnya, dan jadilah keturunan Minang di Maluku Utara.
Pertemuan dengan keluarga besar adalah bagian yang menyenangkan karena kita bisa melihat kembali masa lalu kita. Kalau sekarang ini bertemu dengan rekan kerja kita akan terasa biasa saja karena ini "orang baru dalam hidup." Berbeda dengan keluarga besar. Kita bisa bercerita soal bagaimana masa kecil, hal-hal lucu ketika itu, hal-hal sedih, serta romantika yang pernah kita alami di masa lalu.
"Mengenang itu menyenangkan," kata sebuah kutipan yang pernah saya baca. Iya sih, memang begitu. Walau ada yang bilang "mengenang itu pekerjaan orang tua" tapi rasanya tidak begitu juga. Semua orang memiliki kesempatan atau waktu untuk mengenang.
Saya selalu teringat sampai sekarang ketika mulai melakukan perjalanan "mengarungi samudera" setamat SD ke Jakarta bersama ayahku yang sudah almarhum beberapa tahun lalu. Juga hal-hal sederhana seperti saya memasak di dapur, menggoreng pisang, mencuci pakaian, dan memancing di laut. Semua itu ada kesannya. Bagi seorang anak yang dibesarkan di atas laut, mengenang masa lalu sebagai generasi maritim cukup menggembirakan.
Kini, pertemuan demi pertemuan keluarga besar terutama di Jakarta sudah jarang terjadi, akan tetapi terawat lewat undangan pernikahan. Tentu saja harus dijaga agar kita mendapatkan dan terjalin kembali ukhuwah sesama keluarga besar.
Thursday, October 4, 2018
Berhenti Sejenak
Saya merasa beruntung hari ini. Kenapa? Karena saya bisa menunaikan salat isya secara berjamaah.
Sejak sibuk dengan berbagai aktivitas kadang saya lalai untuk salat jamaah. Saya ingin sekali kembali untuk salat jamaah di masjid. Jiwa saya sebenarnya adalah jiwa masjid, jiwa berjamaah. Maka ketika saya tidak berjamaah, saya merasa ada yang hilang dalam diriku.
Tadi sepulang dari rapat di Kemenko Maritim, saya sempatkan salat di mushalla stasiun Gondangdia. walaupun bunyi-bunyi kereta, tapi hal itu membuat kita tetap ingin sekali bisa khusyuk dalam salat.
Ke depannya saya ingin bisa menjaga salat berjamaah itu. Saya ingin sekali bisa kembali pada diriku yang dulu yang rajin salat berjamaah.
***
Di ibukota ini saya lihat orang-orang bergelut dengan waktu. Bangun di pagi hari kemudian mereka berlomba-lomba mengejar rezeki. Sore mereka pulang. Hidupnya kayak gitu aja. Mungkin memang tuntutan pekerjaan.
Saya kadang merasa nggak bisa dengan pekerjaan seperti itu. Waktu masih aktif mengajar saya kadang terlambat datang ke kampus. Mahasiswaku menunggu. Kadang juga saya yang menunggu mahasiswa. Ganti-gantian. Dosen dan mahasiswa saling menunggu dan ditunggu. Hidup berjalan lebih santai.
Tapi di Jakarta ini hidup berjalan lebih cepat. Sejak memiliki keterbukaan jejaring yang lebih luas saya didera oleh kesibukan demi kesibukan. Rapat ini dan rapat itu. Pertemuan ini dan pertemuan itu. Saya jalani itu semua.
Pertama, saya niatkan bahwa aktivitas saya ini semoga dapat membantu untuk mencari nafkah. Ya, sebagai ayah dengan empat orang anak saya harus bekerja. Saya nggak boleh main-main. Uang nggak bisa didapatkan lewat sulap. Semua harus ada usahanya.
Kedua, saya meniatkan jejaring yang saya miliki sebagai aset dalam berkontribusi untuk Indonesia. Saya ingin banget bisa memberi yang terbaik dari diriku untuk Indonesia. Negeri ini sudah banyak memberikan untuk saya. Saatnya saya harus memberikan juga untuk negeri ini.
***
Dalam proses untuk mengejar kehidupan ini saya kadang terjebak dalam kesibukan teknis yang menyita waktu dan tenaga. Tapi karena memang sejak lama sudah jadi aktivis saya merasa kesibukan apapun itu tidak menjadi masalah.
Selalu saja ada yang baru saya dapatkan. Ya teman baru, pengetahuan baru, dan pengalaman baru. Itu semua ingin sekali saya tulis dalam sebuah buku khusus, cuma kadang nggak ada waktu.
Kadang saya terlalu capek di malam hari. Saya sudah konsumsi habbatussauda, itu buat menjaga stamina. Alhamdulillah ada banyak bantuan dari sumplemen tersebut. Beberapa kawan juga saya usulkan agar mengonsumsi habbatussauda tersebut agar badan mereka jadi sehat, kuat, dan bisa maksimal dalam beraktivitas.
Gondangdia, 4 Oktober 2018
Subscribe to:
Posts (Atom)
Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships
Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...
-
Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...
-
It is said that the best time to reflect is at night. The most universal sign of night is darkness. This means that when it is dark is the b...
-
At the afternoon, my conversation with friends about Morocco and Indonesia came to the figure of Ibn Battutah (24 February 1304 – 1368/1369)...