Gambar tsunami di Lisboa, Spanyol (sumber: Youtube) |
Anak saya nomor tiga, Fikri Ihsani (kelas 2 SD) sering bertanya ke saya soal-soal sederhana tapi berat. Seperti, "Abi, abad pertama itu tahun berapa?" Saya coba menjawab. Abad pertama kan berarti 100 tahun pertama dalam kalender masehi yang dihitung dari kelahiran Nabi Isa. Berarti abad pertama adalah seratus tahun pertama kelahiran Nabi Isa. Bener, nggak?
Nah, terkait dengan gempa, Fikri sering membaca juga. Misalkan, ada Majalah Tempo yang saya bawa. Dia baca tentang gempa dan tsunami. Ketika saya baca buku lainnya--yang agak tebal--dan ada fakta tentang gempa di San Andreas, Amerika, dia langsung bilang, "tunggu." Dia kemudian ambil Tempo dan perlihatkan bahwa dia juga dapat kata "San Andreas" di situ yang jadi judul film.
"Abi udah nonton filmnya, pemerannya itu aktor Hollywood, namanya Dwayne Johnson." Tapi, harus dilihat lagi sih apakah film itu untuk dewasa atau bisa buat anak-anak. Yah, namanya juga film kan ada plus ada minesnya. Saya biasa bilang gitu ke anak-anak masalah film. Artinya, harus dipertimbangkan baik-baik buat anak-anak mana film yang bisa mereka konsumsi dan mana yang tidak.
Salah satu scene "San Andreas", gempa-tsunami yang menghancurkan "Jembatan Emas" di San Francisco |
Literasi gempa dan tsunami saya ajarkan ke anak-anak saya lewat cerita. Misalnya, pas saya jelaskan beberapa ayat dalam juz 30 soal hari kiamat. Pada hari itu gunung-gunung beterbangan, bintang-bintang pun berjatuhan (salah satu bintang itu adalah bumi), dan manusia lari meninggalkan "unta bunting" (simbol barang berharga). Saya kemudian mengaitkan dengan kejadian di Palu. Di sana saya perlihatkan gambar adanya mobil yang rusak dan dibiarkan begitu saja.
Dalam kondisi "kiamat kecil" kayak di Palu, orang-orang pasti ingin menyelamatkan dirinya ketimbang hartanya. Harta bisa dicari, tapi nyawa cuma satu. Dan, semua orang tahu yang namanya nyawa itu ngga dijual di pasar atau di swalayan. Cuma satu ini dan harus dijaga.
Perumnas Balaroa yang hancur akibat tsunami di Palu (Sumber: Liputan6) |
Kejadian di Palu itu bisa diibaratkan "kiamat kecil" karena efek kehancurannya. Di beberapa tempat bahkan katanya ada ribuan orang tertimbun. Saya lihat video penggalian dan evakuasi mayat itu. Sedih melihatnya. Manusia dengan mudah sekali dilumat oleh bencana. Tapi, begitulah yang namanya hidup, nggak ada yang tahu persisnya ke depan. Kecuali yang maha perkasa, Allah swt saja.
Di Tempo juga ada tulisan Goenawan Mohamad soal "bencana." Saya baca dan tandai beberapa hal penting. Fikri juga baca. Rupanya pada abad ke-18, di Lisabon (Spanyol) itu pernah terjadi gempa dan tsunami juga. Sebanyak 50ribu orang tewas. Itu hampir sepertiga warga kota. Selain dua bencana itu, kota mereka juga terbakar pada 1755. Dahsyat sekali.
Dari map ini terlihat bahwa efek gempa-tsunami di Lisboa waktu itu terasa sampai di Amerika Utara dan Amerika Selatan |
Kehancuran kota Lisboa |
Saya dan Fikri kemudian googling dimana Lisboa (Lisabon) berada. Di dinding rumahku juga ada peta Indonesia dan peta dunia. Biasanya Fikri langsung cari dimana Lisboa berada. Dia cari dan dapat. Lokasinya di Spanyol.
"Coba abang lihat, lokasinya di pinggir pantai dari laut lepas." Kata saya. Tsunami memang sering melanda pantai. Ya emang kayak gitu karena namanya air laut pasti berasal dari laut dan kalau dia menerjang ke darat maka dia akan lewatin pantai dulu.
Saya membayangkan segitu banyak orang tewas akibat musibah. Nggak ada orang yang bisa membayangkan itu. Baru saja orang bercengkerama, ngobrol-ngobrol, kemudian tiba-tiba musibah menghancurkan semuanya.
Jika bukan karena iman, maka orang bisa stress, bahkan gila. Dan, itu yang "disyukuri" oleh Goenawan Mohamad dalam tulisan dia di Tempo. Kata dia, di tengah berbagai musibah itu, kita tidak gila. "Tidak gila" berarti kita masih bisa tabah karena bisa saling mendoakan, menguatkan, dan seterusnya. Tapi, itu juga juga karena agama. Nggak mungkin orang bisa begitu kuat kalau nggak ada keyakinan kepada yang maha tinggi dan keyakinan soal tujuan akhir (ultimate goal) dari kehidupan manusia alias akhirat.
Kepada anak-anak, saya ajarkan soal gempa itu juga dengan cerita. Misalnya, pernah saya ikut kegiatan di gedung Tempo. Tiba-tiba ada "tanah goyang". Dari lantai atas orang-orang pada turun. Milih lift atau tangga biasa? Nah, dalam kondisi begini kita harus pilih tangga biasa. Walaupun tinggi dan capek turunnya tapi itu bagus, ketimbang turun pake lift dan di tengah-tengah lift-nya macet. Bahaya kan?
Tangga darurat di mall (Foto: Mi Community) |
Nah, yang repot ini kalau lantainya tinggi. Tapi, bagaimanapun yang terjadi, kita harus turun pakai tangga darurat jika terjadi gempa.
Waktu nginap di salah satu hotel di Depok, saya juga jelaskan ke anak-anak. Kalau hotel kayak gini pasti ada tangga daruratnya. Saya perlihatkan. Nah, kalau ada gempa maka semua orang harus lewat situ. Jangan lewat lift.
Selain itu, saya juga melatih anak-anak untuk berdonasi bagi korban gempa--selain mengajarkan anak-anak untuk selalu berdoa saat keluar rumah agar kehidupan kita itu dijaga oleh Allah. Berdoa itu penting banget, tapi berdoa aja nggak cukup, harus berderma.
Untuk gempa di Sulteng saya minta mereka berdonasi berapapun yang ada. Akhirnya terkumpul semuanya (anak-anak, saya dan istri saya). Tidak seberapa banyak sih, tapi itu bisa jadi semangat yang bagus untuk mereka berderma. Setelah transfer uang itu saya juga beri tahukan ke mereka bahwa uang donasi kita telah terkirim. Berderma itu cara paling mudahnya adalah dengan membiasakan diri untuk traktir teman. Atau, ya berbagi inspirasi lewat medsos.
Pun demikian saat organisasi yang saya aktif di dalamnya--Forum Dosen Indonesia--mengirimkan bantuan ke Sulteng. Saya perlihatkan foto-foto barang yang akan dikirim dari Makassar ke Palu. Dengan melihat gambar itu, maka anak-anak jadi tahu bahwa uang mereka--sekecil apapun itu--telah disalurkan. *
Keren,..
ReplyDeleteSaya suka gaya bahasanya ka Yanu,..
🙏🙏🙏🙏
Keren,..
ReplyDeleteSaya suka gaya bahasanya ka Yanu,..
🙏🙏🙏🙏
Makasih Hamdy. Ayo terus menulis.
Delete