Pertemuan keluarga besar biasanya susah terjadi kecuali beberapa hal, seperti: acara pernikahan, acara kelahiran, atau ada kematian. Saat menikah biasanya keluarga pada datang, saat ada yang lahir juga begitu, dan saat ada keluarga yang wafat juga akan banyak yang datang.
Tiga hal itu sepertinya sudah menjadi bagian dari "ritual process" kita dalam berinteraksi dengan keluarga besar. Itu tidak bisa dihindari, tidak bisa dianggap buruk, tapi hanya bisa dimaklumi. Mungkin karena kesibukan masing-masing dengan keluarganya, atau juga karena ada tugas-tugas lainnya yang membuat pertemuan menjadi susah.
Kemarin saya hadir dalam acara pernikahan seorang keponakan. Dia lulusan taruna maritim dan kini telah aktif melaut. Karena sekarang sedang "mendarat", maka ia memilih untuk melangsungkan pernikahan. Ya, kita tahu pelaut itu kan kalau pergi bisa lama, apalagi kalau ke luar negeri; berbulan-bulan, minimal 6 bulan baru balik.
Dalam pertemuan kemarin saya bertemu dengan keluarga besarku terutama dari keturunan Abdullah Syukur--kakek saya. Abdullah Syukur adalah salah seorang keturunan suku Minang Piliang di Panyinggahan Danau Maninjau yang merantau ke Ternate. Waktu ia merantau dan mendapatkan berbagai peluang, ia ajak keponakan-keponakannya untuk ikutan juga. Walhasil, banyak keponakannya yang menetap di Ternate dan sekitarnya, dan jadilah keturunan Minang di Maluku Utara.
Pertemuan dengan keluarga besar adalah bagian yang menyenangkan karena kita bisa melihat kembali masa lalu kita. Kalau sekarang ini bertemu dengan rekan kerja kita akan terasa biasa saja karena ini "orang baru dalam hidup." Berbeda dengan keluarga besar. Kita bisa bercerita soal bagaimana masa kecil, hal-hal lucu ketika itu, hal-hal sedih, serta romantika yang pernah kita alami di masa lalu.
"Mengenang itu menyenangkan," kata sebuah kutipan yang pernah saya baca. Iya sih, memang begitu. Walau ada yang bilang "mengenang itu pekerjaan orang tua" tapi rasanya tidak begitu juga. Semua orang memiliki kesempatan atau waktu untuk mengenang.
Saya selalu teringat sampai sekarang ketika mulai melakukan perjalanan "mengarungi samudera" setamat SD ke Jakarta bersama ayahku yang sudah almarhum beberapa tahun lalu. Juga hal-hal sederhana seperti saya memasak di dapur, menggoreng pisang, mencuci pakaian, dan memancing di laut. Semua itu ada kesannya. Bagi seorang anak yang dibesarkan di atas laut, mengenang masa lalu sebagai generasi maritim cukup menggembirakan.
Kini, pertemuan demi pertemuan keluarga besar terutama di Jakarta sudah jarang terjadi, akan tetapi terawat lewat undangan pernikahan. Tentu saja harus dijaga agar kita mendapatkan dan terjalin kembali ukhuwah sesama keluarga besar.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships
Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...
-
Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...
-
It is said that the best time to reflect is at night. The most universal sign of night is darkness. This means that when it is dark is the b...
-
At the afternoon, my conversation with friends about Morocco and Indonesia came to the figure of Ibn Battutah (24 February 1304 – 1368/1369)...
No comments:
Post a Comment