Friday, October 12, 2018

Sakit di Ibukota

Sudah dua hari ini saya sakit. Kayaknya sih karena kurang istirahat. Kata istriku, sakit itu biasanya datang ke orang dalam kondisi dua hal: (1) kurang istirahat, dan (2) banyak kerjaan. Saya pikir itu betul.

Hidup di ibukota memang harus bisa mandiri. Karena tidak semua orang mau peduli dengan diri kita. Membandingkan kehidupan di desa yang saling-lihat satu sama lain, di kota tidak begitu. Lihatlah perumahan elite, mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Tetangga sakit tidak ada yang tahu, bahkan mungkin tahunya dari medsos ketimbang dari orang sebelah langsung.

Saya kadang sedih melihat orang sakit di pinggir jalan. Beberapa waktu lalu saya lihat ada orang yang kakinya bengkak. Dia duduk dan lagi makan nasi bungkus di jembatan antara Margo City dengan Detos. Miris juga lihatnya. Harusnya sih yang kayak gitu dibawa ke rumah sakit, tapi kenapa tidak dibawa juga?

Atau, pemerintah sebagai yang pelaksana konstitusi membawa orang sakit itu ke rumah sakit. Bisa jadi, orang sakit itu orang Depok atau mungkin bukan. Tapi, kadang kita kasihan saja melihatnya. Orang sudah sakit tapi sakitnya itu dikapitalisasi lagi oleh orang lain.

Hidup di kota memang harus panjang akal. Kalau pendek akal, bisa nggak makan. Makanya orang berlomba-lomba untuk bisa menang dalam banyak hal, agar bisa untung dan nggak buntung.

***

Barusan saya lihat caption foto seorang kawan di Instagram. Ia sedang sakit, dirawat, kemudian akan dipindahkan kamarnya. Dalam tulisannya, ia bertanya kenapa ia dipindahkan. Bukan apa-apa ia yang seorang pendemo dan kini harus dirawat di rumah sakit polisi.

Perasaan kayak gitu pasti ada, terutama di kalangan mereka yang berkonflik dengan instansi. Misalnya nih, kita sedang tidak senang sama orang. Kadang kita jadi was-was, wah jangan-jangan ada apa-apa nanti. Jangan-jangan gue diapa-apain lagi.

Itu semacam phobia mungkin ya. Di kalangan orang Barat juga gitu. Mereka dijangkiti Islamophobia. Sebuah buku terbitan Mizan menjelaskan tentang itu, tentang bagaimana Islamophobia di Barat. Hal itu juga diakui oleh orang-orang yang tinggal di Barat sana. Sebutlah Imam Shamsi Ali. Ia yang 20-an tahun di Amerika juga merasakan betapa Islamophobia itu masih kuat di sana. Akan tetapi, dengan sistem demokrasi, semua orang berhak untuk didengarkan suaranya dan dijamin hak-haknya di muka hukum.

***

Pas lagi sakit begini enaknya tidur. Tapi saya diberikan parasetamol. Mungkin biar cepat tidur, kurangi online. Saya udah lama nggak nulis di blog, tapi belakangan jadi tertarik lagi. Mungkin karena dulu saya mulai belajar menulis juga dari blog, sebutlah itu friendster dan multiply.

Pas lagi sakit saya baca bukunya Anthony Reid. Bacaannya berat tapi saya senang karena dia menjelaskan dengan enak. Rujukannya juga sumber-sumber terpercaya semua--at least sumber-sumber Barat.

Kita jadi ngerti bagaimana masa lalu kita dengan penjelasan dari orang Barat. Mereka menulis tanpa beban. Semata untuk kepentingan akademik, walaupun tidak semua orang bisa melakukan itu secara profesional. Yang akademik dan praktis kadang sering berkelindan.

***

Balik lagi ke soal sakit. Intinya sih, kita harus syukuri nikmat kesehatan. Kesehatan itu barang mahal sebenarnya kalau mau direnungkan. Ada orang punya duit banyak tapi sakit-sakitan. Maka duitnya itu keluar hanya buat ngobatin sakitnya. Artinya, mahal banget yang namanya kesehatan.

Nah, mungkin pada sehat, ayo jaga kesehatan masing-masing. Jangan kebanyakan kerja apalagi berlebihan. Yang berlebihan itu nggak baik. Jika waktunya tidur, sebaiknya tidur. Dan waktunya bangun, sebaiknya bangun. Dimulai dari bangun salat subuh...

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...