Saturday, November 17, 2018

[In Memoriam Achmad Fedyani Saifuddin]: Pokok-Pokok Antropologi Kekuasaan (5)

Mata kuliah Antropologi Kekuasaan adalah salah satu mata kuliah yang diminati oleh banyak mahasiswa. Dalam perkuliahan tersebut, Professor Afid biasa memulai dari teori kemudian fenomena di lapangan, atau kadang sebaliknya. Kajian Antropologi Kekuasaan masih jarang di Indonesia, dan menarik untuk dikembangkan.

Beberapa topik yang dibahas dibahas dalam perkuliahan ini mulai dari Pengantar Antropologi Kekuasaan; Kekuasaan sebagai Perspektif; Dari Oposisi Bipolar ke Multipolar, Dari Positivisme ke Konstruktivisme, Representasi sebagai Isu Kekuasaan; Power, Empowerment, Disempowerment; Weberian vs Foucauldian; Tawar-menawar Kekuasaan; Kontestasi Kekuasaan, dan Etnografi Kekuasaan.

Prof Afid dalam salah satu kegiatan PUSKA Antropologi FISIP UI

Mengapa Isu Kekuasaan Menjadi Penting?

Perkembangan kehidupan yang semakin kompleks mengakibatkan terjadinya perubahan dalam masyarakat. Perubahan tersebut menjadi isu yang diperdebatkan di berbagai disiplin ilmu pengetahuan termasuk dalam antropologi. Dalam konteks antropologi, kekuasaan dilihat dari fenomena perubahan yang terjadi pada masyarakat dunia.

Fenomena Perubahan

Perubahan kehidupan manusia saat ini berlangsung sangat cepat dari sebelumnya terpisah-pisah menuju kesatuan yang saling beririsan antara satu dan lainnya. Sebagai contoh, jika dulu dalam suatu masyarakat ada kepala suku yang mengontrol kekuasaannya secara vertikal, kini telah berubah.

Pada masyarakat kesukuan, power berada pada kepala suku atau raja-raja sedangkan rakyat hanya menjadi obyek. Sedangkan dalam masyarakat yang berubah, power dianggap imanen, “ada dimana-mana”, “tidak dimiliki tapi dapat digunakan” yang dapat digunakan dalam kajian tentang power. Dalam masyarakat kompleks, saling berstrategi dapat dilihat sebagai power relations.

Kompleksitas yang ada dalam masyarakat yang saling beririsan tersebut tidak dilepaskan dari kajian tentang hubungan kekuasaan (power relations).

Gejala Trans

Perubahan masyarakat dapat dilihat dari gejala trans baik yang bersifat trans territorial, trans kultural, trans etnik, trans geografi, dan seterusnya. Jika dulu masyarakat sederhana bersifat homogen, kini telah berubah menjadi heterogen atau yang kita kenal sebagai masyarakat multikultural. Pun demikian dengan difusi kebudayaan yang memasuki berbagai kebudayaan melewati berbagai batas-batas geografi.

Perkembangan Teknologi Komunikasi

Perubahan kebudayaan ini juga disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih. Dulu manusia berkomunikasi dengan surat akan tetapi seiring dengan perkembangan teknologi handphone, manusia pun melakukannya dengan teknologi terbaru seperti handphone maupun internet. Perubahan komunikasi ini menjadikan manusia terhubung sangat cepat dari tempat yang jauh. Jarak pun menjadi sangat dekat antara satu dan lainnya.

Pergeseran dari Obyek ke Subyek

Kajian kekuasaan juga menjadi penting mengingat dewasa ini terjadi pergeseran dalam pandangan manusia sebagai obyek menjadi subyek. Jika dulu manusia dianggap sebagai unit kajian, dewasa ini manusia menjadi subyek atau sentral (bahkan agen) dalam kehidupannya. Akibatnya kemudian adalah, manusia pun mengangkat kembali kesadaran diri (self-identity) mereka di tengah berbagai keragaman yang ada dalam etnik, ras, agama, golongan dan lain sebagainya.

Krisis Representasi Budaya

Pada masyarakat kompleks terjadi krisis representasi budaya. Semakin berhadapan dengan heterogenitas menunjukkan semakin pentingnya isu representasi. Semakin heterogen semakin meningkat isu power dibicarakan (Saifudin, 2017). Apakah semua konflik yang terjadi karena faktor power? Ya, karena semua pengelolaan konflik terkait sekali dengan power.

Shifting dari Kultural ke Sosial

Masyarakat juga berubah dari kultural ke sosial. Masyarakat memiliki kebudayaan dengan representasi. Ketika ada representasi, maka di situlah ada kebudayaan. Pada masyarakat kompleks, terjadi krisis dalam representasi masyarakat. Kesulitan dalam representasi kebudayaan tertentu kemudian mengarah pada sosial yang terkait dengan relasi kekuasaan. Relasi itu dilihat dalam konteks gerak, interaksi, gerak-gerik yang dapat dilihat dalam panca indera.

Kenapa bersambut ke sosial? Itu karena untuk “menghindari” dari faktor kultural yang gamang. Dalam dunia antropologi masih banyak yang mengkaji tentang kultur dalam ruang ideal kajian kognitivisme, misalnya. Pada titik ini, kita mengalami kesulitan dalam inferensi budaya.
Arahan ke sosial lebih konkrit ketimbang hanya berbicara kultur. Tindakan sosial dapat lebih real ketimbang hanya kultur.

Tidak ada manusia yang bisa hidup sendirian. Manusia juga butuh akan order (keteraturan) dalam menghadapi “dunia luar”. Power tidak lagi berada di level puncak piramida, akan tetapi ada dimana-mana. Bahkan, pengemis yang “memanipulasi symbol” untuk mendapatkan sesuatu. Kekuasaan dalam arti sederhana adalah kapasitas yang dimiliki orang yang mendorong orang lain untuk melakukan yang ia inginkan. Dalam organisasi heterogen, anggota masyarakat ada yang ketat dan longgar.

Efek Foucauldian

Menurut Professor Afid, kekuasaan itu sifatnya tersebar, tidak dimiliki tapi dijalankan. Jika Parsons mengatakan bahwa ascribed status itu kuat, akan tetapi di sini semakin berkurang karena dekat dengan “achieved” dalam pengertian yang lebih longgar. Orang juga bekerja dalam ruang relasi yang longgar. 

Power relations berkaitan dengan biopolitik (menggunakan “apparatus” dari yang kecil sampai yang besar) dan politik bahasa. Waktu George W.H Bush (Bush Sr) mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika melawan Michael Dukakis pada 1988, Bush Sr dengan gayanya yang menggunakan “tangan terbuka untuk semua” menang. Kendati Dukakis yang dari Partai Demokrat berpengetahuan luas sebagai professor dan mantan Gubernur Masschussets, tapi ia kalah dari Bush yang dari Partai Republik. Ini berarti power relations terkait dengan banyak hal. Pidato dalam hal ini menjadi sangat penting berpengaruh dalam power relations dalam pemilihan. Terkait hal ini, Foucault juga membahas tentang kontestasi. *

Tulisan ini adalah bagian dari eksplorasi ide penulis sekaligus penghargaan kepada guru kami, yang telah 'membuka jalan' dan memperluas perspektif: almarhum Professor Achmad Fedyani Saifuddin. 

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...