Professor Achmad Fedyani Saifuddin |
Dia dikenal sebagai professor yang terbiasa tiba di kampus sekira pukul 06.00 pagi sebelum mahasiswa tiba di kampus. Tulisan-tulisannya banyak beredar, mulai dari buku-buku teks seperti Antropologi Kontemporer hingga tulisan-tulisan lepas di berbagai media. Bahkan, dia terbiasa membuat hand out untuk memudahkan mahasiswa dalam belajar.
Wafatnya Professor Afid adalah bagian dari kesedihan tersendiri tidak hanya bagi keluarga, akan tetapi juga bagi Departemen Antropologi FISIP UI. Betapa tidak, saat ini guru besar yang tersedia hanya beberapa orang, seperti Professor Yasmin Z. Shahab (pensiun pada Desember 2018), Professor Yunita T. Winarto, Professor Amri Marzali (emeritus), dan Professor Meutia Hatta (emeritus). Banyak kalangan berharap agar sepeninggal Professor Afid lahir para professor baru di Departemen Antropologi.
Keluarga Tokoh Muhammadiyah
Professor Afid lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 27 Juni 1952. Ayah dari Professor Afid adalah seorang tokoh Muhammadiyah di Alabio, Kalimantan Selatan. Namanya H. Saifuddin Birhasani. Ahmad Rizki Mardhatillah Umar menulis di timeline Facebook-nya (26/10), bahwa H. Saifuddin Birhasani adalah tokoh Muhammadiyah Alabio, pejuang, dan lama menjadi Imam di Korem Antasari. Juga lama menjadi Jamaah Masjid Al-Jihad.
Kakek beliau, H. Birhasani, adalah "assabiqunal awwalun" alias pendiri Muhammadiyah di Kalimantan Selatan, dan kemudian menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Alabio sepeninggal H. Japeri.
Dengan latar belakang keluarga Muhammadiyah tersebut maka wajar jika skripsi Professor Afid mengangkat soal "konflik dan integrasi" antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di kampungnya. Kendati telah terbit pertama kali pada pada 1986, hingga kini kajian ini masih menarik.
Ketertarikannya untuk meneliti soal Antropologi Agama ini sepertinya tidak terlepas dari pengalaman waktu berusia belasan tahun ketika ibunya menyuruhnya untuk melayat tetangga yang meninggal. Ibunya berpesan agar ia tidak berlama-lama di sana.
"Cepatlah pulang jika sendok dan piring sudah gemerincing di dapur," kata ibunya.
Belasan tahun kemudian baru ia menyadari bahwa dalam kalimat "cepatlah pulang" itu terkandung nilai-nilai penghormatan kepada tetangga yang mengalami musibah.
Dia menulis, "...Melayat tetangga yang meninggal merupakan kewajiban, tetapi ada unsur-unsur upacara kematian tertentu yang tidak boleh kami ikuti berdasarkan keyakinan kami, misalnya memakan makanan yang disajikan dalam upacara tersebut."
Gejala itu kemudian dirumuskannya sebagai suatu masalah akademik dengan mengaitkannya dengan konsep-konsep yang ia pelajari seperti perbedaan dan pertentangan golongan sosial, batas-batas golongan sosial, dan struktur sosial yang bersifat memecah-belah dan yang sekaligus juga mendorong terwujudnya integrasi. Demikian tulis Prof Afid dalam kata pengantar bukunya Konflik dan Integrasi (1986: v-vi)
Sanad Keilmuan
Professor Afid menamatkan pendidikan Sarjana Antropologi pada tahun 1982. Semasa mahasiswa, menurut ceritanya di kelas, dia pernah menjadi asisten dosen bagi Dr. Parsudi Suparlan. Bahkan, pernah dia diminta mengajar kelas Pascasarjana di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Padahal, waktu itu dia masih berstatus mahasiswa semester akhir (atau, setidak-setidaknya baru sarjana).
Sanad intelektual Professor Afid tidak terlepas dari dosen-dosennya di UI, salah satunya adalah Professor Parsudi Suparlan. Tentu saja tak terkecuali Professor Koentjaraningrat, seorang antropolog yang telah membuka jalan bagi lahir dan tumbuh-kembangnya antropologi di Indonesia.
Terkait Professor Parsudi Suparlan (lahir di Jakarta, 3 April 1938-meninggal di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, 22 November 2007 pada umur 69 tahun), beliau adalah seorang antropolog masyhur di Indonesia yang memiliki kepakaran dalam bidang antropologi perkotaan, kemiskinan perkotaan, dan multikulturalisme.
Professor Suparlan menamatkan pendidikan sarjananya di Antropologi UI (waktu itu masih ebrada di bawah Fakultas Sastra) tahun 1964. Pada tahun 1970 ia belajar di Universitas Illinois, Amerika Serikat, dan mendapatkan gelar Master of Arts (MA) pada tahun 1972 dan Ph.D dalam bidang Antropologi pada tahun 1976.
Pada tahun 1961, Professor Suparlan diangkat sebagai asisten dosen dari Professor Harsya W. Bahtiar di Fakultas Sastra UI dan sebagai dosen tetap sejak tahun 1963. Kegiatan mengajar tetap dilakukan hingga wafatnya pada program S1, S2, S3 Antropologi FISIP UI; di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Program S2 dan S3 Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia; Program S2 Kajian Wilayah Amerika UI dan menjabat sebagai Ketua Program Kajian tersebut sejak 1998. Pada tahun 1999, Suparlan mendirikan Jurnal Polisi Indonesia dan menjadi Pimpinan Redaksinya sejak saat itu.
Sejak tahun 1964, Professor Suparlan telah menerbitkan lebih dari 200 tulisan. Beberapa di antaranya adalah: The Javanese Suriname: Ethnicity in ethnically plural society (Arizona State University, 1995); Orang Sakai di Riau: Masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia (Yayasan Obor 1995), Hubungan Antar Suku Bangsa, Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan (Penerbit YPKIK, 2004); dan Kemiskinan di Perkotaan (Penerbit Sinar Harapan & YOI, 1984).
Professor Afid mendapatkan gelar Sarjana di Universitas Indonesia dalam bidang Antropologi pada tahun 1981, kemudian gelar Master of Arts (MA) pada tahun 1985 dan Doktor of Philosophy (Ph.D.) pada tahun 1992 dari Universitas Pittsburgh, USA.
Dalam perjalanan akademisnya, beliau juga pernah mengikuti beberapa pendidikan tambahan di luar negeri seperti, Kursus singkat Intensif Bahasa Inggris di Departemen Bahasa Oregon State University di USA pada bulan Juni-Juli 1984, Kursus Singkat Pengembangan kurikulum Pendidikan Tinggi di University of Manitoba, Canada, pada April-Mei 1993, kemudian mengikuti kursus singkat tentang Kajian Pustaka dan Diskusi Konsultatif Antropologi Nutrisi di Departemen Antropologi University of Manitoba pada Mei-Juni 1993.
Professor Afid juga pernah mendapatkan tugas tambahan di luar UI sebagai Staf Ahli Bidang Sosialbudaya Menteri Pertahanan RI (2009-2012) di masa Professor Purnomo Yusgiantoro . Di Kemhan, ia juga menjadi mitra bestari Jurnal Pertahanan Indonesia (2012-2018).
Bidang khusus yang dia tekuni selama ini ada banyak. Beberapa di antaranya adalah kemiskinan di perkotaan (khususnya Indonesia dan Asia Tenggara) dan agama dan kebudayaan (khususnya konflik dan integrasi penganut agama). Kedua kajian ini juga digeluti oleh Professor Suparlan.
Sepertinya, Professor Afid hendak meneruskan legasi dari gurunya tersebut dengan mengkaji serta mengembangkan kajian tersebut. Selain itu, dia juga menekuni kekerabatan dan organisasi sosial, jaringan sosial (saat ini dikembangkan oleh Ruddy Agusyanto), masyarakat dan kebudayaan Amerika, antropologi kesehatan, paradigma antropologi, serta radikalisme.
Prof Afid dalam simposium soal terorisme, radikalisme, dan fundamentalisme di PSJ UI, Depok |
Jabatan terakhirnya di UI adalah sebagai Ketua Pusat Kajian (PUSKA) Antropologi FISIP UI. Di masa Prof Afid, PUSKA membuka cluster kajian baru, yaitu cluster Hadhrami dan cluster radikalisme agama.
Menurut pesan singkat dari Prof Yasmin Z. Shahab (16/11), beliau telah merencanakan untuk mengembangkan cluster Hadhrami tersebut namun "baru beberapa bulan berjalan, rencana kita terputus dengan kepergian beliau." Sedangkan cluster radikalisme agama, setidak-tidaknya ada Al Chaidar dan saya yang diminta untuk menjadi peneliti di cluster tersebut.
Salah satu penelitian yang sementara saya ikuti--sebagai peneliti PUSKA Antropologi FISIP UI--adalah penelitian terkait penanganan radikalisme di universitas yang dipimpin oleh Professor Iwan Gardono Sujatmiko. Sejak tahun 2017, tim peneliti telah turun ke beberapa kampus di Indonesia, memetakan, serta membuat beberapa perspektif terkait radikalisme--yang tidak melulu dilihat dalam konteks kekerasan--serta format penanganan radikalisme secara utuh di perguruan tinggi.
Terkait dengan sanad keilmuan beliau, sampai sekarang memang masih belum banyak informasi terkait siapa saja guru beliau di Universitas Pittsburgh, bagaimana pengalaman belajarnya di sana, dan siapa saja yang berpengaruh dalam konstruksi pemikirannya di kemudian hari setelah tamat PhD dari Amerika.
Dalam hal mengajar, Professor Afid mempunyai banyak pengalaman dalam bidang pengajaran. Dia pernah menjadi asisten dosen di Antropologi UI sejak tahun 1979 sampai 1983. Dia juga menjadi asisten dosen pada Program Pascasarjana Kajian Wilayah Amerika UI sejak tahun 1982-1984. Setelah 1984, sepulang dari Amerika, ia aktif mengajar sebagai dosen di Antropologi FISIP UI. Selain itu, dia juga banyak mengikuti organisasi akademik seperti menjadi Pembantu Dekan I Bidang Akademik, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat FISIP UI pada tahun 1994-1997.
Dia juga dikenal sebagai dosen berprestasi. Setidaknya pernah mendapatkan penghargaan sebagai Lulusan Terbaik II pada Penataran Prajabatan UI tahun 1986 dan mendapatkan Fulbright-Hays Scholarship Award tahun 1984. Dalam 1st International Conference on Advanced Research (ICAR) 2017 di Manama, Bahrain, tulisannya berjudul "Five Letters that "hurt": The Multicultural Indonesian in current faster change era" mendapatkan penghargaan sebagai the best paper. Di kelas, beliau sempat bercerita soal penghargaan tersebut dan membagikan artikelnya.
Awal Perkenalan
Saya mengenal Professor Afid lewat bukunya Antropologi Kontemporer yang saya beli di toko buku Amanah yang berlokasi di Pantai Falajawa, Ternate. Waktu membaca bukunya, saya jadi tertarik untuk mempelajari lebih lanjut pemikirannya, walaupun saya merasa bahasanya tidaklah sederhana. Mungkin, karena itu buku paradigma yang dibuat untuk jenjang pascasarjana. Artinya, semua yang baca buku tersebut diharapakan telah khatam membaca dan memahami buku pengantar antropologi.
Suatu ketika, Ditjen Kebudayaan Kemdikbud mengadakan diskusi soal Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Di acara tersebut, saya turut diundang sebagai tim penulis bersama para antropolog di beberapa daerah. Editor buku tersebut dipercayakan kepada Dr. Semiarto Aji Purwanto yang biasa disapa Mas Aji.
Buku revisi tersebut adalah buku bernas karya Professor Junus Melalatoa yang sampai sekarang belum ada pakar lain menulis tentang itu. Zulyani Hidayah sempat menulis buku tentang itu dengan judul Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, terbitan YOI, dengan kata pengantar dari Dr. J. Emmed M. Prioharyono dalam versi ringkas. Berbeda dengan buku Prof Melalatoa yang berjilid-jilid, walaupun tidak semua penjelasan entri di situ panjang-panjang. Tugas kami sebagai tim revisi diminta untuk melengkapi buku tersebut. Saya kebagian entri suku bangsa di Maluku dan Maluku Utara.
Dalam acara itu, saya bertemu Professor Afid setelah acara tuntas. Ketika saya mendekat, ia menyapa dan menjawab apa yang saya tanyakan. Setelah itu kami berfoto, dan tak lama kemudian ia meminta alamat saya untuk dikirimkan bukunya yang terbaru, Logika Antropologi. Di titik ini, saya merasa beruntung mendapatkan kehormatan seperti itu.
Tentu senang rasanya dapat berkenalan sekaligus dikirimkan buku oleh guru besar Antropologi UI tersebut. Waktu itu saya sementara mencari kampus untuk tujuan S3. Setelah berkelana mencari kampus (rencana formal saya di SK LPDP adalah PhD di ANU) dan berkorespondensi dengan banyak kampus di Amerika, Eropa, Australia, dan Asia, saya akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan S3 di dalam negeri.
Di UI, saya kembali bertemu Professor Afid. Menjadi mahasiswanya, serta mendapatkan supervisi dalam penulisan disertasi. Saya juga beruntung menjadi salah seorang mahasiswa yang tergabung dalam satu tim Hibah PITTA UI bersama Siti Khoirnafiya (S3) dan Arief Wicaksono (S1). Tugas mahasiswa dan dosen dalam skema hibah ini adalah membuat artikel publikasi jurnal terindeks Scopus. Untuk itu, kami memulai dengan mengikuti konferensi internasional dengan harapan tulisan tersebut mendapatkan masukan serta bisa dapat direvisi hingga masuk ke jurnal terindeks Scopus tersebut.
Saya juga mendapatkan keberuntungan lainnya, karena diberikan kesempatan oleh Professor Afid untuk menjadi pembicara pada bedah buku karya Professor Nils Bubandt di Auditorium Komunikasi FISIP UI bersama Dr. Zulfikar Ghazali. Awalnya, kita telah menentukan jadwal kegiatan, akan tetapi beliau tunda, karena katanya "menunggu Mas Yanuardi pulang dari Perancis."
Menjadi pembedah buku karya Nils Bubandt yang diterjemahkan oleh Prof Afid. Informasi kegiatan ini juga saya sampaikan kepada Prof Nils Bubandt yang berhalangan hadir karena masih di Denmark |
Dalam kesempatan lainnya, ketika menyusun naskah buku Mosaik Kemanusiaan, yaitu sebuah kumpulan review karya etnografi yang ditulis oleh mahasiswa Pascasarjana UI (S2 dan S3), saya banyak berkonsultasi dengan Professor Afid. Bahkan, draft buku tersebut telah dibedah di FISIP UI bersama beberapa buku lainnya, yaitu Tumbuh dalam Kebudayaan (Arief Wicaksono) dan Satu Guru Tiga Ideologi (Al Chaidar dan Herdi Sahrasad). Beberapa bulan setelah bedah buku yang masih sangat sederhana tersebut, Professor Afid berharap buku tersebut dapat diteruskan sampai terbit dan beliau siap untuk memberikan kata pengantar untuk itu.
Saya menjelaskan tentang proses kreatif dan konten dalam buku Mosaik Kemanusiaan |
Revisi naskah (pra dan pasca) bedah buku terus dilakukan dengan Professor Afid. Foto: Ardi Pritadi, saya, dan Nita Trismaya (kurang Pradipa Rasyidi) |
Ketika mendengar berita wafatnya Professor Achmad Fedyani Saifuddin (25/10, pukul 21.05 WIB) di grup Whatsapp, saya langsung bergegas naik ojek online ke rumah sakit Puri Cinere, Jakarta. Tiba di IGD, saya bertemu dengan Sera Ameria Eviany Saifuddin (anak keduanya) dan istrinya, Ibu Tina. Mendekat ke jenazahnya, saya meminta izin untuk membuka wajah beliau sambil berdoa di dekat kepala almarhum. Rabbighfirlahu warhamhu wa 'afihi wa'fu 'anhu.
Tak lama kemudian kemudian saya mengajak Al Chaidar dan Adri Febrianto--dua kawan saya di S3 Antropologi UI--untuk turut hadir ke rumah sakit dan sama-sama mengantar jenazah beliau ke rumah beliau di Sawangan. Di mobil jenazah, saya bersama Adri Febrianto dan Fikri Ramdhani Saifuddin (anak ketiga beliau yang sedang kuliah di Universitas Brawijaya) bercerita soal almarhum sekaligus menguatkan Fikri untuk bersabar serta menjadi yang terbaik seperti almarhum.
Kepergian Prof Afid pastinya menyisakan banyak kenangan dan juga legasi yang tersebar di antara keluarga, sahabat, kolega, mahasiswa, dan masyarakat terkhusus peminat antropologi yang pernah membaca tulisan-tulisan beliau yang dimuat di berbagai media.
Prof Afid telah pergi dengan meninggalkan berbagai legasinya. Banyak orang masih berharap dapat mendapatkan pengetahuan serta perspektif dari beliau. Akan tetapi, waktu kita memang terbatas. Terbatas oleh ruang dan yang namanya waktu.
Ada banyak kesan dalam hati mereka yang mengenalnya.
Cecep Rukendi menulis, "...Selamat jalan Prof Afid, pembimbing saya yang baik hati."
M. Ardi Pritadi menulis, "...Selamat jalan dear Prof Afid, terima kasih motivasi beratnya agar saya terus dapat memang virtual gemeinschaft."
Pradipa Rasyidi menulis, "...Prof Afid, pengajar paling baik dan sabar yang pernah saya temui."
Mahbib Khairan menulis, "...terakhir chatting via WA dengan Pak Afid senin kemarin, beliau minta maaf karena tak bisa ke kampus dengan alasan tidak enak badan. Dalam keadaan sakit beliau masih mau membalas email perkembangan penelitian saya, lalu berjanji akan segera mengatur jadwal pertemuan. Tak disangka, itulah obrolah terakhir dengan guruku yang supersabar, rendah hati, dan kaya ilmu."
Hal-hal baik perlu diteruskan, khususnya dalam upaya untuk mengembangkan antropologi di Indonesia. Karya-karya Professor Afid telah banyak membantu para peminat antropologi untuk mendapatkan perspektif tentang antropologi lebih dekat.
Di rumah duka. Foto bersama Adri Febrianto, Prof Meutia Hatta, Prof Yasmin Z. Shahab, Dr. Ernalem Bangun, dan Mas Mulyawan Karim
|
Tempat peristirahatan terakhir Professor Achmad Fedyani Saifuddin |
Saat menulis bagian ini, saya teringat ketika berada di pemakaman beliau. Tak lama setelah papan nisannya tertancap, hujan pun turun. Tidak deras. Hanya rintik beberapa waktu, kemudian berhenti. Saya jadi teringat ketika menghadiri pemakaman salah seorang jenderal terbaik di Indonesia, yaitu Jenderal M. Jusuf di Makassar. Tak lama setelah ia dimakamkan, hujan pun turun. Namanya diabadikan dalam sebuah masjid besar di kota Makassar: Masjid Al-Markaz Al-Islami Jenderal M. Jusuf.
Kini, setelah Prof Afid pergi, rasanya nama beliau tidak hanya akan tercatat dalam catatan-catatan mahasiswa, atau buku-buku yang ditulisnya, akan tetapi juga menjadi inspirasi tentang bagaimana semangat seorang ilmuwan Indonesia dalam mengembangkan ilmu, mencetak para peneliti antropologi, serta menjadi teladan di hati banyak orang. *
Tulisan ini adalah bagian dari eksplorasi ide penulis sekaligus penghargaan kepada guru kami, yang telah 'membuka jalan' dan memperluas perspektif: almarhum Professor Achmad Fedyani Saifuddin.
No comments:
Post a Comment