Hukuman mati (foto: ELSAM) |
Pertanyaan ini simpel, tapi jawabannya tidak sesimple itu. Konon, kriminalitas telah eksis seumur dengan kehadiran manusia bola dunia ini. Literatur agama menjelaskan, ketika Qabil iri hati dan membunuh saudaranya (Habil) maka meneteslah darah pertama di bumi ini.
Seiring perkembangan manusia, difusi dan migrasi umat manusia dari satu tanah ke tanah lainnya, lahirlah berbagai cerita kriminalitas di berbagai latar budaya. Hingga abad ke-21 ini, kriminalitas tidaklah benar-benar punah, malahan terlihat semakin adaptif dengan memanfaatkan internet dan teknologi informasi.
Pada sebuah pagi (7 September 2016) saya membaca email langganan dari The Habibie Center. Sore nanti ada Seminar Publik Polemik Hukuman Mati bertajuk A Week of Celebrating Life: End Crime, Not Life bertempat di Plaza Indonesia yang menghadirkan Prof. Dr. Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah), Prof. Dr. Muladi (Mantan Menkumham), Prof. Dr. Franz Magnis Suseno (Guru Besar STF Driyarkara), M. Hafiz (Pjs Direktur Eksekutif Human Rights Working Group), dan Dwia Ria Latifa (Anggota Komisi III DPR RI). Selain seminar, acara yang diselenggarakan oleh The Habibie Center bekerjasama dengan Coalition for the Abolition of the Death Penalty in ASEAN (CADPA) juga memamerkan foto-foto tahanan yang divonis hukuman mati beserta koleksi foto alat-alat yang digunakan untuk eksekusi hukuman mati hasil jepretan Toshi Kazama.
Secara umum para pembicara membahas tentang kebijakan Pemerintah Joko Widodo terkait hukuman mati, bagaimana mengakhiri kriminalitas, soal korupsi, radikalisme, dan bagaimana menghargai kehidupan. Menurut Professor Azyumardi Azra, untuk menciptakan kehidupan yang menghargai kehidupan, paling tidak ada tiga hal yang perlu dilakukan.
Pertama, meningkatkan pencegahan kriminalitas. Saat ini gejala kekerasan, penculikan, dan pembunuhan yang dilakukan oleh penguasa lokal terhadap wartawan kembali terulang, kata Prof Azra. Hal ini tentu saja bukan kabar baik di era pers bebas seperti sekarang. Selain itu, menurut beliau, kesadaran masyarakat agar tidak bertindak kriminal juga harus ditingkatkan. Jika dulu ada ronda Siskamling, kini nyaris tidak ada. Padahal, aktivitas ronda tersebut sangat berguna untuk menjaga lingkungan.
Kedua, perlu mengaturan yang ketat dalam penggunaan senjata api. Bagi seorang pejabat pemerintah, penggunaan senjata api dimungkinkan namun tetap dibolehkan secara terbatas alias tidak untuk masyarakat umum. Strict regulation of weapons ini penting sekali untuk mencegah kejahatan. Kasus Ketua PARFI Gatot Brajamusti yang memiliki senjata api dengan peluru yang tidak sedikit menjadi tanda tanya, kenapa bisa seorang sipil memiliki alat tersebut?
Ketiga, diperlukan penegakan hukum yang ketat/keras kepada para penjahat kelas berat. Penegakan hukum yang keras itu bisa dalam bentuk pemiskinan harta para koruptor kemudian dibarengi dengan hukuman penjara 150 tahun. Dengan demikian, maka para penjahat tidak segera dicabut nyawanya, akan tetapi diberikan kesempatan untuk hidup, berkarya, dan berubah, akan tetapi dalam kondisi yang sangat terbatas interaksinya dengan orang luar.
Sementara itu, dalam seminar yang dipandu oleh Direktur Eksekutif The Habibie Center Rahiman Abdulrahim ini, Prof. Dr. Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa jika seseorang dikenakan hukuman mati (dead penalty), maka nyawanya pasti tidak bisa dikembalikan lagi. Ia mencontohkan di Amerika Serikat pernah ada tahanan yang dihukum mati oleh pengadilan, akan tetapi belakangan diketahui tahanan tersebut tidak bersalah. Dalam kasus seperti ini, tentu saja nyawa orang yang tidak bersalah itu tidak bisa lagi dikembalikan. Di tengah sistem hukum kita yang belum ideal, maka menurut Romo Magnis, begitu biasa disapa, hukum mati belum mendesak dilakukan.
Seminar ini juga diperkuat dengan paparan dari aktivis HAM Muhammad Hafizh yang mengatakan bahwa di masa Presiden SBY hukuman mati pernah dihentikan (moratorium), tapi kemudian digunakan kembali pada masa Presiden Jokowi. Menurut Hafiz, paling tidak ada beberapa masalah hukum di negeri kita ini yang sangat berpengaruh ketika kita membahas tentang hukuman mati.
Pertama, kurangnya transparansi dalam penegakan hukum. Kedua, budaya KKN yang masih menjamur. Ketiga, penyiksaaan kepada tersangka dalam proses penyelidikan yang membuat seseorang tidak bersalah jadi mengaku bersalah. Namun, Hafiz tetap bersepakat bahwa hukuman mati bisa dilakukan untuk serious crime seperti yang tercantum dalam hukum pidana kita.
Prof. Dr. Muladi, mantan menteri yang juga seorang akademisi mengatakan bahwa saat ini sepertinya diperlukan ada mata kuliah “Mafia Peradilan” untuk mahasiswa Fakultas Hukum karena secara faktual para mafia ada dalam peradilan namun tidak dikaji secara khusus sampai sekarang. Kendati kehakiman adalah institusi yang terhormat dan taat pada hukum, tapi faktanya tidaklah demikian seutuhnya. “Seharusnya kehakiman menjadi lembaga yang berkuasa, bukan keuangan yang maha esa,” kata beliau.
Pada sesi diskusi, saya mengajukan dua pertanyaan kepada Prof Azra dan Prof Magnis Suseno terkait fakta bahwa tidak semua orang ingin hidup bahagia tapi ada juga yang bersegera ingin mati bahagia atau syahid dalam konteks Islam. Kemudian, dalam kasus terbunuhnya Pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso, ketika jenazahnya tiba, ada masyarakat yang menuliskan ucapan “selamat jalan syahid” bagi lelaki yang beberapa waktu lalu berikrar setia pada pimpinan ISIS Abu Bakar Al-Baghdadi.
Kenapa bisa di satu sisi Santoso dianggap penjahat tapi di sisi lain ada masyarakat yang simpati Santoso (entah secara pribadi karena ia dikenal baik dan berjuang untuk hak-hak keluarganya yang tewas dalam kerusuhan Poso, atau secara gerakan yang anti-Pemerintah).
Professor Azra menjawab bahwa perjuangan Santoso adalah perjuangan yang salah yang berdasarkan pada pemahaman keislaman yang tidak komprehensif. Gerakan bunuh diri (istimata’) sebagai contoh yang dilakukan oleh gerakan teror berbasis Islam, adalah tidak dibenarkan dalam Islam karena termasuk perbuatan putus asa dengan membunuh diri sendiri dan membunuh orang lain.
“Padahal, Islam melarang kita berputus asa,” kata beliau.
Kasus Santoso tidak bisa dilepaskan dari ideologi-politik gerakan terorisme internasional. Maka, menurutnya, gerakan deradikalisasi menjadi sesuatu yang perlu untuk terus disempurnakan. Sedangkan Romo Magnis berkomentar bahwa gerakan Santoso adalah gerakan kriminal yang bermotifkan balas dendam. “Itu tidak boleh dikagumi,” kata beliau.
Dalam kasus seorang anak muda yang hendak meledakkan diri di Gereja di Medan bisa menjadi tiruan bagi orang-orang yang pro kepada gerakan teror. Untuk itu, maka kekaguman kepada perjuangan kalangan teroris adalah sesuatu yang tidak dibolehkan di Indonesia. Dalam konteks menciptakan kehidupan yang harmonis, kata beliau, kita perlu menciptakan kesadaran umum bahwa “membunuh adalah jahat dan tidak dibenarkan.”
Terkait gerakan deradikalisasi, menurut beliau agak sulit jika dilakukan kepada orang-orang yang sangat radikal. “Yang bisa dideradikalisasi adalah pelaku teror yang tengah-tengah, yang pemikirannya masih terbuka, dan hal itu harus dimulai dari agama.”
Hal lain yang cukup menarik—masih soal terorisme—adalah soal Bom Samarinda. Bom Samarinda termasuk bom yang menimbulkan tanda tanya: apakah kejadian itu murni dilakukan oleh teroris ataukah ada faktor X di balik itu? Pada Selasa 15 November 2016 saya bersama Al Chaidar, dan Ikhtiar Hatta ngobrol-ngobrol santai di FISIP UI tentang beberapa isu hangat di negeri ini.
Soal bom Samarinda. Kata Alchaidar, sebelum diwawancarai SCTV, aksi Juanda tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengalihan issu atas kasus Ahok. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa aksi tersebut merupakan pelaksanaan dari arahan Abu Abdullah, Pimpinan ISIS Filipina. Aksi bom Samarinda, kata Alchaidar lagi, adalah terorisme negara (state-terorism) yang dilakukan untuk mengalihkan isu Ahok. Logika sederhananya, bom tersebut meledak saat publik masih menanti pengadilan Ahok, serta rencana Aksi Bela Islam kembali pada 25 November 2016.
Kemudian, pertanyaan penting bisa dilontarkan, “mengapa Syekh Amru Wardani dari Mesir yang didatangkan untuk jadi saksi ahli kasus Ahok harus bertemu dengan presiden?” Jika diundang untuk kasus Ahok tentu saja harusnya tidak bertemu presiden. Apalagi, kedatangannya tanpa sepengetahuan Syekh Ahmad At-Thayyib yang kemudian setelah datang surat MUI ke At-Thayyib, ia segera ditarik pulang ke Kairo.
Hal yang tampaknya menarik dikaji dari sudut Antropologi adalah, “mengapa kecenderungan gerakan Islam yang dulunya hanya aktif berpengajian kemudian mengarah pada tindakan teror bom?” Dalam konteks akademik, kajian tentang gerakan Islam, atau apa yang disebut sebagai Islam Radikal, Fundamentalis, dst menarik untuk dibahas di tengah perubahan dunia yang begitu cepat.
Kita kembali pada diskusi tentang kriminalitas, hukuman mati, dan perayaan terhadap kehidupan. Rasanya kajian menarik ini memang membutuhkan waktu yang tidak sedikit karena banyak faktor yang perlu dibahas. Secara antropologis misalnya, dalam kasus korupsi, suap, dan kriminalitas perlu diteliti secara mendalam terkait konsep rezeki yang dipraktikkan oleh para koruptor.
Kata Prof. Afid, ketika seseorang dibawakan uang, maka ia pasti menolak jika uang itu dikaitkan dengan pekerjaannya. Tapi ketika uang itu diberikan dalam konteks rezeki yang sangat personal, maka seseorang bisa jadi menerimanya.
Tapi, soal penting di sini adalah: apakah ada kasus suap yang tidak terkait dengan stuktur dan peran seseorang dalam institusinya?
Nyaris tidak. Kasus suap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap seorang pejabat di Senayan (jika ini benar) juga tidak bisa dilepaskan dari posisi pejabat tersebut dan peranannya yang signifikan dalam memuluskan berbagai proyek dan kepentingan baik pribadi atau kolega tertentu. Bagaimanapun juga, menurutku, kriminalitas haruslah diakhiri kendati itu tidak gampang.
Maka, pencegahan kriminalitas menjadi sesuatu yang sangat penting. Anak-anak perlu diajarkan untuk berkata jujur, dan orangtua perlu memberikan contoh teladan kepada anak-anaknya. Sikap penghormatan kepada sesama manusia juga perlu diajarkan sedari dini.
Dalam konteks kebangsaan misalnya, sudah sejak awal bangsa ini didirikan oleh berbagai etnis dan kelompok sosial yang berbeda-beda. Maka, penghormatan kepada diversitas budaya menjadi sesuatu yang penting jika kita masih setuju pada semboyan bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tetapi satu. *
Tulisan ini adalah bagian dari eksplorasi ide penulis sekaligus penghargaan kepada guru kami, yang telah 'membuka jalan' dan memperluas perspektif: almarhum Professor Achmad Fedyani Saifuddin.
No comments:
Post a Comment