Konflik dan Integrasi
Setidaknya, ada dua tokoh yang disebut oleh Professor Afid dalam kata pengantar buku tersebut, yaitu Professor Koentjaraningrat dan Professor Parsudi Suparlan. Prof Koen berjasa dalam memberikan pengetahuan dasar ilmu antropologi, sedangkan Prof Parsudi berjasa dalam memberikan bekal konseptual dan teoritis terkait masyarakat, kebudayaan dan agama, yang secara umum diajarkan dalam mata kuliah antropologi agama.
Cover buku Konflik dan Integrasi |
Selama ini, khas kajian antropologi adalah kajiannya kecil, akan tetapi dampaknya besar. Mengutip Dr. Toni Rudyansjah, "penelitian antropologi itu kecil tapi impact-nya luar biasa."
Ambil contoh, penelitian Antropolog Amerika Clifford Geertz di Mojokuto (sekarang Kediri, Jawa Timur) yang kecil tapi berhasil menangkap konsep keberagamaan orang Islam Jawa yang terbagi dalam kategori abangan, santri, dan priyayi. Bukunya, The Religion of Java, tak berlebihan jika disebut sebagai salah satu masterpiece dalam kajian antropologi agama, tidak hanya bagi Indonesia tapi juga bagi kajian ilmu sosial.
Selanjutnya, buku Professor Afid ini membahas terkait kebudayaan masyarakat Alabio. Pengaruh konsep kebudayaan universal (7 unsur kebudayaan) tak bisa dimungkiri berpengaruh dalam konteks ini. Pada bab II, dia menulis lima hal penting dalam kebudayaan orang Alabio, yaitu sistem kekerabatan, kepemimpinan, ekonomi, politik, dan keagamaan. Jika ditarik ke 7 unsur budaya, maka yang kurang dibahas adalah soal kesenian dan peralatan hidup dan teknologi. Adapun selain itu, memiliki "jahitan" antara satu dan lainnya alias saling berpengaruh.
Pada bab III kita mendapatkan inti dari kajian buku ini, yaitu konflik penganut Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Merujuk pada genealogi pemikiran dan aktivisme Islam di Indonesia, konflik antar faham agama paling tidak terwakili oleh dua aliran tersebut, yang dulu dilihat sebagai tradisional (NU) dan modern (Muhammadiyah). Saat ini, tradisionalisme dan modernisme sudah tidak begitu jelas antara kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut. Akan tetapi, dilihat dari basis massa, kantong-kantong kedua organisasi itu masih memperlihatkan corak kota (urban) ke Muhammadiyah dan corak pedesaan (rural) ke NU. Tapi, ini juga kategorisasi kontemporer yang masih cair dan butuh pendalaman lebih lanjut.
Di bab ketiga ini, Professor Afid muda membahas empat bagian penting, yaitu (1) kaum tua dan kaum muda, (2) Muhammadiyah di Alabio, (3) Musyawaratuttalibin, dan (4) Nahdlatul Ulama. Konsep tua-muda masih digunakan di sini. Merujuk pada konflik faham yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, tua versus muda memang menunjukkan fakta yang jelas. Misalnya, konflik yang terjadi di Sumatera Barat antara kaum padri dan kaum adat tidak terlepas pula dari perbedaan pandangan antara kalangan tua dan kalangan muda. Bahkan, dalam skala kebangsaan, menjelang proklamasi, terjadi konflik pula antara kelompok tua (sebutlah Bung Karno dan Hatta) versus kalangan muda (sebutlah Sukarni dan kawan-kawannya).
Bagian ketiga ini sesungguhnya bagian dari hasil penelitian. Apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan dari lapangan--menggunakan teknik etnografi--dituliskan dalam laporan penelitian. Umumnya, observasi-partisipasi dan wawancara menjadi pilihan paling penting untuk mendapatkan data lapangan. Tentu saja, kajian etnografi internet (netnografi) tidak dipakai saat itu karena internet belum ada, dan budaya siber masih jauh harus menunggu sekira dekade lagi. Jika sekarang ini ada penelitian lanjutan terkait konflik dan integrasi di Alabio, bisa jadi kajian akan konflik di internet (khususnya di media sosial) menjadi salah satu metode penting untuk itu.
Pada bab IV, Professor Afid membawa kita pada bagaimana membaca gejala konflik itu dalam pemikiran konseptual-teoritis. Dia memulai dari beberapa teoritisi konflik seperti Georg Simmel (1904), Lewis Coser (1956), Max Gluckman (1973, 1979), dan Clifford Geertz (1963, 1973). Walhasil, dia mencoba membuat sintesa dari pendapat Simmel dan Coser dalam beberapa simpulan sebagai berikut (hal. 64-64).
Pertama, konflik berfungsi menegakkan dan mempertahankan identitas dan batas-batas kelompok sosial dan masyarakat.
Dia menulis, "Konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain memungkinkan ditegaskannya kembali identitas kelompok satu sama lain dan mempertahankan batas-batasnya terhadap lingkungan sosial di luarnya."
Dia membedakan antara konflik, kebencian, dan antagonisme. Konflik sosial selalu terkait dengan interaksi sosial, sedangkan sikap antagonistik (atau sentimen) berkaitan dengan sarana bagi terwujudnya tindakan sosial tersebut. Tidak dijelaskan lebih detail soal "kebencian", akan tetapi terlihat bahwa kebencian merupakan unsur yang tidak bisa dilepaskan dari adanya konflik.
Kedua, konflik tidak selalu bersifat disfungsional dalam konteks hubungan di mana konflik tersebut terjadi; sebaliknya seringkali konflik diperlukan untuk mempertahankan hubungan tersebut. Dia menulis sebagai berikut, "Tanpa cara-cara menyalurkan kebencian satu sama lain, anggota-anggota kelompok cenderung sepenuhnya bereaksi keras, atau barangkali menarik diri. Oleh itu, konflik dapat berfungsi sebagai katup pengaman, sehingga sistem sosial tersebut dapat dipertahankan dalam batas-batas tertentu."
Masih ada beberapa simpulan lagi seperti bahwa konflik dapat dibagi dua, yaitu konflik realistik dan konflik non-realistik; konflik yang lebih radikal dapat terjadi dalam keadaan hubungan dekat; konflik dapat menegakkan kembali persatuan; konflik melahirkan mobilisasi energi para anggota kelompok yang bersangkutan; konflik dapat menciptakan jenis-jenis interaksi yang baru antara para pihak yang bertikai; dan konflik dapat mempersatukan orang-orang yang tadinya tidak berkonflik.
Selain itu, dia juga membahas soal faktor-faktor peredam konflik. Kalau tadi faktor-faktor yang "memisahkan", yang ini terkait dengan faktor-faktor yang "mengintegrasikan." Setidaknya, ada lima hal yang mengintegrasikan masyarakat Alabio--walaupun mereka berkonflik--yaitu karena faktor (1) kompleksitas dan modernisasi, (2) berkembangnya kebudayaan nasional, (3) perubahan organisasi, (4) kesadaran akan kesatuan kebudayaan tradisional, dan (5) adanya golongan campuran.
Terkait dengan "golongan campuran" atau "individu tipe campuran" (Geertz, 1963, 1981) sebagai salah satu faktor integrasi cukup menarik untuk dibawa dalam konteks hari ini. Jika melihat mengemukanya gejala konflik antar faham agama dewasa ini, maka solusi yang dapat mengintegrasikan antara dua kutub itu adalah orang-orang dengan tipe campuran. Dalam konteks masyarakat Alabio, orang-orang jenis ini terlihat dari seorang tokoh berinisial KH.IK yang memegang prinsip NU tapi cara berpikirnya mirip Muhammadiyah. Contoh lainnya juga adalah pada orang NU yang bergabung ke Golkar, padahal dulunya Golkar lebih banyak dimasuki orang Muhammadiyah ketimbang NU.
Kelompok campuran ini bisa jadi solusi moderat di tengah mengerasnya identitas keagamaan beberapa tahun terakhir di Indonesia. Tidak terlepas dari tumbuhnya semangat berislaman, aspirasi politik, sekaligus mobilisasi siber lewat media sosial seperti Facebook, Twitter, dan juga Whatsapp. Pengaruh dari setidaknya beberapa unsur tersebut terlihat misalnya dalam mobilisasi gerakan Aksi Bela Islam yang bercampur di dalamnya soal identitas, aspirasi politik, semangat kebergamaan, dan mobilisasi sumber daya--mengutip istilah dalam gerakan sosial--lewat media internet.
Seksualitas Remaja
Seksualitas Remaja |
Penulis kedua dalam buku ini, yaitu Dr. Irwan adalah antropolog yang sejak dulu sampai sekarang konsisten dalam kajian antropologi kesehatan dan gender. Saat ini, Dr. Irwan menjabat sebagai Ketua Program Pascasarjana Antropologi FISIP UI.
Saya pernah mengikuti kelasnya yang waktu itu ia mengajar bersama Dr. Mia Siscawati. Kelasnya menarik, menggabungkan antara teoritis dan praktis dalam beberapa kasus. Mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk turut mengutarakan pro atau kontra terhadap isu yang tengah dibahas secara demokratis. Tulisan saya "The Rise of Female Ulama in Indonesia: A Gender Perspective" yang diterbitkan di Review on Islam in Southeast Asia (RISEA) UIN Jakarta adalah salah satu hasil dari perkuliahan yang diasuh oleh Dr. Irwan dan Dr. Mia.
Antropologi Kontemporer
Menurut saya, buku Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma (Prenada Media Group, 2006) adalah buku paradigma antropologi paling lengkap yang ditulis oleh antropolog Indonesia untuk tingkat pascasarjana.
Secara singkat, buku ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sebagai ilmu yang mengkaji manusia secara santifik (Birx, 2006), antropologi mengalami perkembangan teori dan paradigma yang signifikan seiring dengan perkembangan zaman. Akan tetapi, tidak banyak buku yang ditulis oleh antropolog Indonesia—terutama berkaitan dengan paradigma—yang berfungsi sebagai “jembatan” pengetahuan dasar dan lanjutan dalam antropologi. Menyadari hal itu, maka Achmad Fedyani Saifuddin terinspirasi untuk menggagas penulisan buku Antropologi Kontemporer ini pada tahun 2001 dan diselesaikan lewat Program Sabbatical tahun 2004.
Buku ini dimulai dengan prawacana “dunia yang terbagi” (bab 1) yang menjelaskan bahwa pemikiran klasik adakalanya tetap dibutuhkan di masa modern. Mengutip Stanley Barrett (1991), misalnya, Professor Afid menulis bahwa hingga awal 1990-an pemikiran Emile Durkheim “sudah dikuburkan tiga kali”, namun teorinya “dibangkitkan” kembali karena dianggap mampu menjelaskan gejala sosial. Pemikiran neo-fungsionalisme Jeffrey Alexander (1996), contoh lainnya, sedikit banyaknya terinspirasi dari paradigma fungsionalisme Talcott Parsons yang berutang pengetahuan pada Durkheim, Radcliffe-Brown dan Malinowski.
Cover Antropologi Kontemporer |
Dalam buku ini Professor Afid tidak membahas teori yang berfokus pada penjelasan kesejarahan seperti Sejarah Teori Antropologi karangan Koentjaraningrat, akan tetapi ia membahas tema-tema besar dalam antropologi yang diaanggap penting untuk dikaji. Setelah bab 1 (prawacana), ia menjelaskan tentang yaitu pengertian dasar, sejarah, orientasi, dan masa depan antropologi (bab 2), paradigma antropologi (bab 3), pasang surut evolusionisme (bab 4), sistem, struktur, dan fungsi (bab 5), strukturalisme (bab 6), materialisme kebudayaan (bab 7), interpretivisme simbolik (bab 8), dan konsensus dan konflik (bab 9). Mengakhiri buku ini, Professor Afid menambahkan kajian antropologi dan postmodernisme (bab 10) yang menjadi semacam refleksi dari berbagai teori dan paradigma yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dari sekian banyak hal menarik dalam buku ini, ada satu sub-judul yang menarik, yaitu masa depan antropologi. Menjelang akhir abad ke-20, dunia yang berubah membawa manusia pada fase baru sejarah yang mau tak mau berpengaruh pada antropologi karena “antropolog sering kali dipengaruhi oleh warga masyarakat yang ia pelajari” (hal. 43). Postmodernisme yang dianggap “kiamat yang datang perlahan-lahan”, “teka-teki yang mengganggu”, dan “budaya panik” (dalam seks, seni, identitas, tubuh, teori, dan seterusnya) menjadi tantangan tersendiri bagi antropologi. Untuk itu, menurut Professor Afid, “antropolog harus mengevaluasi kembali objek-objek konvensional kajiannya dan mengembangkan ranah dan metode pengkajian yang baru yang relevan dengan subyek-subyek yang baru dan kekuatan-kekuatan sosial yang baru, yang tumbuh di dunia modern kontemporer.” (hal. 47).
Ketika membahas paradigma intepretivisme simbolik, misalnya, Professor Afid mengingatkan pembaca bahwa sasaran sentral dari kajian sosial adalah interpretasi praktik-praktik manusia yang bermakna. Berbicara soal makna tentu tidak terlepas dari interpretasi simbol Clifford Geertz yang mendefinisikan kebudayaan sebagai,
“…suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka.” Antropolog simbolik seperti Victor Turner dan Geertz, sebagai contoh, memandang manusia sebagai pembawa dan produk, sebagai subjek sekaligus objek, dari suatu sistem tanda dan simbol yang berlalu sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan (hal. 291).
Secara praktis misalnya, kajian antropologi simbol dapat dipakai untuk melihat gerakan Aksi Bela Islam (ABI) I, II, dan III yang merupakan peristiwa sangat penting (critical events) terkait fragmentasi otoritas Islam di Indonesia. Dalam aksi tersebut, para peserta membawa berbagai simbol seperti bendera, spanduk, pamflet, dan ritual seperti salawat Nabi dengan militansi yang tinggi di Monas dengan tujuan membela Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait penistaan agama. Antropologi simbolik, dalam konteks ini, dapat mengkaji berbagai fakta di permukaan sekaligus mencari makna (meaning) di kedalaman gerakan tersebut lewat metode etnografi.
Seperti juga materi-materi perkuliahan yang dibawakan oleh Professor Achmad Fedyani Saifuddin yang sarat dengan konsep dan rujukan, buku ini diperkuat oleh 232 daftar referensi. Jika dibaca satu kali tanpa pemahaman terhadap buku-buku rujukan lainnya memang sedikit menyulitkan para pembaca. Akan tetapi, adanya 10 lembar glosari dan indeks sangatlah membantu para pembaca untuk, misalnya, sambil baca buku ini juga googling beberapa kata kunci (keywords) agar lebih mudah tersambung dengan konten yang dibahas oleh penulis buku.
Secara umum, buku teks (text-book) ini sangat membantu tidak hanya bagi mahasiswa, dosen, dan peneliti antropologi dan ilmu sosial secara umum, akan tetapi juga bagi masyarakat umum yang berminat untuk mengkaji isu-isu teoritis dan paradigmatik dalam dunia antropologi. Walau begitu, kesan bahwa buku ini terlalu banyak mengeksplorasi pemikiran sarjana barat dan kurang mengeksplorasi sarjana Indonesia memang ada dan sedikit “mengganggu.” Adanya “refleksi” fenomena lokal pada tiap akhir bab cukup baik untuk mengaitkan teori dengan praktik, akan tetapi rasanya cukup penting untuk eksplorasi itu dibahas lebih panjang agar pembaca lebih terbantu memahami teori dengan contoh-contoh keindonesiaan.
Terlepas dari itu semua, di tengah upaya kita meningkatkan marwah akademik, rasanya cukup penting buku karya Professor Afid ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan menjadi rujukan di berbagai kampus di luar negeri. Tentu saja, tambahan contoh-contoh analisis teoritik dan paradigmatik dari budaya Indonesia cukup menarik dieksplorasi agar menjadi pembeda dari buku-buku rujukan di berbagai universitas kelas dunia.
Catatan Reflektif Antropologi Sosialbudaya
Buku Catatan Reflektif Antropologi Sosialbudaya (Institut Antropologi Indonesia, 2011) adalah buku kumpulan tulisan Professor Afid yang dimaksudkan sebagai "suplemen" bagi mahasiswa yang telah melewati mata kuliah pengantar antropologi. Kumpulan tulisan ini, walau dimaksudkan sebagai sumplemen akan tetapi harus dibaca beberapa kali untuk mendapatkan makna terdalam yang dimaksud oleh penulis.
Secara pribadi, saya baca buku ini--dengan mencoret-coret pakai tinta merah biar lebih terang keywords-nya--sekaligus mencoba mengaitkan tulisan tersebut dengan tulisan lainnya. Memang, rasanya tidak cukup jika sekedar baca satu tulisan--misalnya--di situ tanpa membaca tulisan lainnya. Maka, ketika membaca buku ini, saya berusaha untuk membuka beberapa buku lainnya, atau minimal googling beberapa istilah atau gejala yang dijelaskan dalam buku tersebut. Gaya belajar sambil googling ini kayaknya bisa menjadi salah satu cara bagi mereka yang senang buka internet sekaligus senang membaca buku fisik. Jadi, dua pulau terlewati satu kali kita mendayung.
Cover buku Catatan Reflektif di FISIP UI |
Bagi mahasiswa yang pernah ikut perkuliahan Professor Afid tentu familiar dengan beberapa istilah yang pernah dibicarakan di kelas seperti: agama dari sentral ke perifer, kebudayaan kemiskinan, masyarakat jaringan, cargo cults, the hidden transcripts, atau efek Faucaldian.
Buku ini sangat penting sebagai bacaan tambahan bagi antropolog. Terkadang, ide-ide sederhana yang ada dalam sebuah tulisan itu bisa jadi inspirasi untuk menjadi tulisan panjang, menjadi buku, atau bahkan menjadi dasar dalam sebuah penelitian. Buku ini menawarkan kejernihan perspektif dari seorang antropolog dalam merawat kebinekaan yang ada di Indonesia.
Logika Antropologi
Buku ini berjudul Logika Antropologi: Suatu Percakapan (imajiner) Mengenai Dasar Paradigma (Prenada Group, 2015). Kata "imajiner" dalam buku ini diberi tanda kurung merah yang berarti bahwa percakapan (atau dialog) yang ada dalam buku bukan dialog antara dua orang--dalam arti sebenarnya--akan tetapi sekedar dialog imajiner antara dua orang.
Sepertinya, sebelum menulis buku ini, Professor Afid telah mencatat beberapa pertanyaan penting yang kerap muncul dalam antropologi dan menuntut jawaban secara teoritis.
Buku ini terdiri dari delapan bab yang babnya itu disusun berdasarkan kata kunci sebagai berikut: bricoleur-bricolage, positivis-relativis, idealis-materialis, asal usul, struktur-fungsi, simbol-struktur, konsensus-konflik, dan the last but not least yang menjadi semacam "kata penutup" bagi dialog tersebut.
Cover Logika Antropologi |
Buku ini terdiri dari delapan bab yang babnya itu disusun berdasarkan kata kunci sebagai berikut: bricoleur-bricolage, positivis-relativis, idealis-materialis, asal usul, struktur-fungsi, simbol-struktur, konsensus-konflik, dan the last but not least yang menjadi semacam "kata penutup" bagi dialog tersebut.
Secara umum, buku ini menjelaskan soal cara pandangan antropologi yang semakin berkembang dan beragam. Tampak bahwa Professor Afid cenderung untuk membuat analisa berdasarkan gejala yang tampak di masyarakat. Apa yang dulu dianggap tepat bisa jadi sekarang tidak tepat, akan tetapi sebagai antropolog kita diminta untuk tidak meninggalkan kajian terhadap apa yang lampau tersebut. Seperti, teori evolusi--yang kata Professor Afid sebagai "rukun iman" dalam antropologi--tidak bisa ditinggalkan, karena evolusi itu tidak pernah usai. Kendati evolusi fisik manusia seperti yang dibahas Charles Darwin dikeritik dari kiri-kanan akan tetapi evolusi sosial tetap merupakan tidak pernah usai untuk dikaji.
Epidemiologi dan Antropologi
Buku Epidemiologi & Antropologi: Suatu Pendekatan Integratif Mengenai Kesehatan ditulis bersama Buchari Lapau (Prenada Group, 2017). Di Indonesia, buku rujukan soal antropologi kesehatan memang masih kurang. Umumnya, buku Antropologi Kesehatan karangan Foster dan Anderson (1978) yang dipakai untuk itu. Tapi buku itu terjemahan, bukan karya yang terlahir dari "rahim" Nusantara kita. Nah, buku Professor Afid dan Professor Buchari Lapau ini turut mengisi antara dua topik tersebut.
Dalam bukunya, Foster dan Anderson (1978) mengartikan bahwa antropologi kesehatan adalah "disiplin yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosio-budya dari tingkahlaku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya disepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit pada manusia."
Artinya, obyek kajian antropologi kesehatan terkait dengan hal-hal yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit pada manusia. Menurut Foster dan Anderson, Antropologi kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit dari dua kutub yang berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya yang kata Foster dan Anderson kutubnya ada tiga, yaitu: (1) Pertumbuhan dan perkembangan manusia, (2) Peranan penyakit dalam evolusi manusia, dan (3) Paleopatologi (studi mengenai penyakit-penyakit purba).
Cover Epidemiologi & Antropologi |
Mengutip Foster dan Anderson, antropologi kesehatan kontemporer sesungguhnya dapat ditemukan pada empat sumber daya yang berbeda yaitu antropologi fisik, etnomedisin, studi personalitas dan kultural, dan kesehatan publik internasional.
Mereka juga mengatakan bahwa lingkungan biologis dan budaya (bio-cultural) yang paling baik dipelajari adalah dari sudut pandang ekologi. Sejak Perang Dunia kedua, ahli antropologi banyak yang berpindah ke studi lintas budaya sistim medis, bioekologi dan faktor-faktor sosio-budaya yang mempengaruhi timbulnya kesehatan dan penyakit.
Pendekatan ekologis merupakan dasar bagi studi tentang masalah-masalah epidemiologi, dimana tingkahlaku individu dan kelompok menentukan derajat kesehatan dan timbulnya penyakit yang berbeda-beda dalam populasi yang berbeda-beda.
Contohnya pada masyarakat yang tinggal di daerah beriklim tropis, kata Foster dan Anderson, "penyakit malaria bisa berkembang dan menyerang mereka sedangkan pada daerah beriklim dingin tidak ditemukan penyakit ini, atau di daerah di atas 1700 meter permukaan laut penyakit malaria tidak ditemukan."
Selain itu, ada perspektif bahwa semakin maju suatu bangsa, penyakit yang dideritapun berbeda dengan bangsa yang baru berkembang. Penyakit-penyakit infeksi seperti malaria, demam berdarah, TBC, dan lain sebagainya, umumnya terdapat pada negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga tadi.
Secara singkat, urusan antropologi kesehatan ini biasanya berkaitan dengan bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungannya. Bagaimana manusia belajar mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya. Interaksi ini dapat berupa sosial psikologis dan budaya yang sering memainkan peranannya dalam konsep yang namanya sakit, penyakit, dan juga sehat.
Bagaimana dengan buku Epidemiologi & Antropologi? Sebagai awam dalam antropologi kesehatan--apalagi belum baca buku ini--saya pikir akan lebih baik jika saya baca buku tersebut secara lebih serius dan membuatkan resumenya di sini.
Environasionalisme
Buku Environasionalisme: Suatu Wujud Pendidikan Konstruktivisme ditulis bersama Ridwan Bachtra (Prenada Group, 2017). Buku ini secara umum membahas soal pendidikan nasionalisme yang dirasakan penting dengan landasan antropologi. Buku ini bisa jadi rujukan yang bagus dalam antropologi pendidikan.
Secara umum, buku ini menjelaskan bahwa dalam terminologi klasik antropologi sosial, konsep bangsa (nation) digunakan untuk menggambarkan kategori besar orang atau masyarakat dengan kebudayaan yang kurang lebih seragam. Istilah bangsa (nation), mengikuti arus pendapat dominan dalam antropologi, diartikan sebagai "satuan kebudayaan."
Kini, ketika argumentasi homogenitas semakin sukar dipertahankan, maka pembedaan bangsa dan kategori etnik menjadi semakin penting karena keterkaitannya dengan negara modern. Dengan kata lain, suatu perspektif antropologi menjadi esensial bagi pemahaman secara menyeluruh mengenai nasionalisme. Prinsip politik dan sentimen identitas menekankan bahwa bangsa (nation) merupakan konstruksi ideologi untuk menemukan keterkaitan antara kelompok kebudayaan dan negara, serta menciptakan komunitas abstrak (abstract communities)--atau "komunitas imajiner" mengutip Ben Anderson--dari keteraturan yang berbeda dari negara dinasti atau komunitas berbasis kekerabatan.
Cover Environasionalisme |
Pemikiran kritis-ilmiah yang menjadi substansi isi buku ini yaitu kurikulum pendidikan yang strategis dalam memperkuat sentimen-imajinatif nasionalisme dalam kebudayaan; mendekatkan proses belajar siswa dengan kekayaan lingkungan yang nyata (negara); menekankan kreativitas siswa sebagai subjek yang mengeksplorasi dan menjelaskan lingkungannya; proses pembelajaran tersebut seyogianya akan meningkatkan kesadaran, penghargaan, serta kecintaan terhadap lingkungan dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Topik-topik yang dibahas dalam buku adalah sebagai berikut: (1) Konstruktivisme dan Pendidikan, (2) Konstruksi Nasionalisme, (3) Pendidikan Konstruktivisme, (4) Model Pendidikan Nasionalisme Berbasis Konstruktivisme: Environasionalisme, dan (5) Aplikasi Pendidikan Environasionalisme.
Di tengah berbagai pergeseran budaya di masyarakat kita, pendidikan nasionalisme ala antropologi ini menarik untuk dielaborasi lebih lanjut. Dalam bentuk yang lebih praktis, berarti kurikulum kebangsaan kita perlu disesuaikan dengan denyut nadi zaman yang sedang kita rasakan saat ini dengan tetap berpegang pada nilai-nilai utama yang terkandung dalam Pancasila, sebuah common platform yang dapat menjadi jalan tengah bagi seluruh afiliasi anak bangsa.
Menerjemahkan Buku
Suatu ketika saya pernah bertanya pada Professor Afid soal kenapa ia sangat produktif menerjemahkan buku. Dia menjawab bahwa sejak muda senang dengan bahasa Inggris, dan itu adalah salah satu caranya untuk belajar. Berarti, cara belajar yang cukup baik adalah salah satunya dengan menerjemahkan buku berbahasa Inggris. Dalam perspektif lain, mengutip Dr. Herdi Sahrasad, "cara belajar yang cukup baik adalah dengan menulis artikel berbahasa Inggris." Setidaknya, itu yang ditekuni oleh Dr. Herdi yang secara produktif menulis bersama Al Chaidar di Jakarta Post yang salah satu tulisannya terkait dengan tamkin terrorism.
Buku yang diterjemahkan oleh Professor Afid adalah Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Buku yang diedit oleh Roland Robertson ini berjudul asli Sociology of Religion. Versi Indonesia buku tersebut diterbitkan oleh Rajawali Press (Jakarta, 1988) dengan ketebalan 439 halaman. Buku ini dari dulu sampai sekarang menjadi rujukan, terutama bagi kajian sosiologi dan antropologi agama.
Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis |
Beliau juga menerbitkan buku Panduan Dasar Ilmu Sosial yang diedit oleh B. Hoselitz dari buku berjudul asli A reader in Social Sciences. Terjemahan buku tersebut diterbitkan oleh Rajawali Press Jakarta setebal 416 halaman.
Professor Afid juga menerjemahkan buku Korban-Korban Kemajuan karangan John Bodley. Buku berjudul asli Victims of Progress tersebut telah diterbitkan oleh Penerbit Obor, Jakarta setebal 250 halaman.
Selain itu, beliau juga menerjemahkan buku rujukan terutama bagi mata kuliah Teori Antropologi, berjudul Pokok dan Tokoh Antropologi karangan Adam Kuper. Buku berjudul asli Anthropology and Anthropologist diterbitkan oleh Bharata karya Aksara, Jakarta (1996) setebal 247 halaman.
Buku Kuper ini bisa menjadi salah satu rujukan dalam mempelajari para tokoh antropologi melengkapi rujukan lainnya seperti Sejarah Teori Antropologi I dan II karangan Professor Koentjaraningrat dan buku One Discipline, Four Ways: British, German, French, and American Anthropology yang ditulis secara berjema'ah oleh empat antropolog masyhur, yaitu Fredrik Barth (Boston University), Andre Gingrich (University of Vienna), Robert Parkin (Oxford University), dan Sydel Silverman (University of New York). Menurut saya, buku ini termasuk lebih ringan daripada buku High Points in Anthropology (dari judulnya saja berat: "poin-poin tinggi") yang diedit oleh Paul Bohannan dan Mark Glazer. Tapi, bukankah tugas seorang sarjana untuk membaca berbagai referensi dan menjelaskan kepada orang lain dengan cara lebih mudah? Berarti, kendati berat, harus dibaca juga sih. Hayo, siapa mahasiswa yang sudah tamat baca dan kuasai buku High Points itu? :)
Selain itu, beliau juga menerjemahkan buku Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing yang berasal dari buku etnografi bertahun-tahun karangan Anna L. Tsing di Meratus, Kalimantan Selatan. Buku berjudul asli In The Realm of the Diamond Queen: The Dayak Meratus of South Kalimantan, Indonesia tersebut diterbitkan oleh Penerbit Obor (Jakarta, 1998) setebal 385 halaman.
Secara umum, buku ini membahas tentang marjinalitas yang dialami oleh orang Meratus yang berada dalam fase "antara" ketika negara modern Indonesia telah terbentuk. Sebelum merdeka negeri kita, orang Meratus itu sudah merdeka dari berbagai cap-cap terbelakang, akan tetapi ketika Indonesia merdeka, mereka menjadi komunitas marjinal yang disebut sebagai "orang terasing" atau "orang bukit."
Buku ini menarik untuk dibaca, dan isinya masih kontekstual dengan keindonesiaan kita. Masih banyak komunitas atau masyarakat terasing/marjinal di Indonesia kita, baik yang tinggal di desa-desa maupun di kota. Marjinalitas saat ini menurut saya tidak hanya ditentukan oleh negara--yang memberikan stempel tersebut--tapi bisa juga oleh komunitas tersebut yang memang memilih untuk mengasingkan diri dari banyak orang. Menjadi komunitas ekslusif adalah bagian dari menjadi komunitas marjinal--tidak secara sistem akan tetapi berdasarkan kesadaran komunitas.
Cover Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan |
Saya mencatat beberapa kata kunci yang dielaborasi oleh Anna Tsing dalam buku ini, yaitu bagaimana suatu kebudayaan dibentuk, relasi antara komunitas dengan negara, solidaritas, logika kebudayaan lokal dengan pengaruh regional-global, konsep inti dinamik dan perifer, konstruksi kebudayaan yang berbasis pada dominasi dari perbedaan (Hall 1990, Hooks 1990, Taussig 1987), "kebudayaan yang menjadi landasan untuk mengontrol masyarakat dunia ketiga (Said, 1978), negosiasi kebudayaan, dan kecenderungan rezim Orde Baru ketika itu--penelitian ini berlangsung pada 1979-1981, dan 1986) yang mengakui keanekaragaman etnis tapi menjadikannya jinak di bawah konsep kebudayaan Jawa.
Dalam buku ini, Tsing juga membahas soal tugas antropolog. Kata Tsing, "tugas antropolog adalah mengambil label identitas lokal yang paling otentik" (p. 69). Labelisasi ini biasanya diberikan bisa awal--sebagai hipotesis/bangunan ide sementara--atau ketika seluruh prosesi penelitian lapangan selesai. Dalam buku ini, Tsing melabeli buku ini dengan kata "Ratu Intan" yang merujuk pada legenda orang Meratus bahwa pada masa silam ada perempuan yang mengungguli penguasa pria yang membawa masyarakat pada kemakmuran. Sang Ratu itu, simpul Professor Meutia Farida Swasono (Meutia Hatta), "..yang menjadi inspirasi bagi tokoh informannya, Uma Adang, dalam menjalankan bermacam-macam aktivitas di dalam kehidupan sosialnya" (p. xxv). Jadi, kajian gender juga dipakai dalam melihat relasi-relasi kompleks dalam antara komunitas dan negara, bahkan dalam dinamika komunitas tersebut.
Buku lain yang diterjemahkan oleh Professor Afid berjudul Pengantar Teori-Teori Sosial yang ditulis oleh Pip Jones, Liza Bradbury, dan Shaun Le Boutillier. Buku berjudul asli Introducing Social Theory ini diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, (Jakarta, 2016). Buku ini menjadi rujukan bagi mereka yang akan mempelajari dasar-dasar teori sosial.
Secara singkat, dalam buku ini para penulis memulai dengan pengantar teori-teori sosial mulai dari masyarakat sebagai struktur aturan, teori struktural-konsensus, teori struktural-konflik, teori tindakan (dan beberapa sub-bab lainnya), kemudian dilanjutkan dengan bahasan menarik soal tokoh dan pemikirannya masing-masing.
Dimulai dengan Marx dan Marxisme soal karya-karya utamanya, materialisme historis, peranan supra struktur, ideologi di Inggris kontemporer, konsumerisme, pembenaran ketidaksetaraan, kesadarana kelas, institusi, ideologi, perubahan sosial, Gramsci, teori kritis [aliran Frankfurt], dan Althusser.
Kemudian dibahas juga pemikiran Emile Durkheim soal karya-karya utama, struktur sosial, bentuk-bentuk solidaritas, fungsionalisme, agama dan masyarakat, dan kritik terhadap fungsionalisme. Max Weber juga dibahas di sini soal teori tindakan sosial, agama, kapitalisme dan rasionalisasi, tipe-tipe kekuasaan, masayrakat McDonaldisasi, dan persistensi tindakan sosial. Tak ketinggalan soal sosiologi interpretif berkaitan dengan teori-teori tindakan.
Cover Pengantar Teori-teori Sosial |
Kemudian dibahas juga pemikiran Emile Durkheim soal karya-karya utama, struktur sosial, bentuk-bentuk solidaritas, fungsionalisme, agama dan masyarakat, dan kritik terhadap fungsionalisme. Max Weber juga dibahas di sini soal teori tindakan sosial, agama, kapitalisme dan rasionalisasi, tipe-tipe kekuasaan, masayrakat McDonaldisasi, dan persistensi tindakan sosial. Tak ketinggalan soal sosiologi interpretif berkaitan dengan teori-teori tindakan.
Kita juga bisa menikmati dalam buku ini pemikiran dari Michel Foucault soal teori wacana dan modernitas yang berpusat pada tubuh yang meliputi bio-medisin, seksualitas perempuan, governmentality, medikalisasi kehidupan modern, dan lain sebagainya. Juga dibahas soal struktur sosial dan tindakan sosial dari Bourdieu soal habitus, teori strukturasi Anthony Giddens.
Kajian post-modernitas, post-modernisme, dan kritiknya juga tersaji soal kehidupan sosial pada abad ke-21 (abad kita sekarang), dimensi globalisasi, dan pemikiran Jurgen Habermas. Membincangkan modernitas ini memang menarik. Dibahas juga soal pemikiran "masyarakat berisiko" (Ulrich Beck), "refleksivitas pada modernitas akhir" (Giddens), "modernitas cair" (Zygmunt Bauman).
Buku ini pun diakhiri dengan kajian terhadap teori-teori feminis dan gender yang secara spesifik membahas soal feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal, teori-teori sistem-dual, teori-teori feminis, anti esensialisme, teori partiarki, dan post-strukturalisme dan politik gender.
Membahas teori-teori sosial ini memang tidak mudah karena harus dibaca betul-betul, ditandai kata-kata kunci dengan inti pemikirannya, serta mau tak mau kita harus menambah bacaan dari buku-buku lainnya untuk memperkaya perspektif atau mungkin mencari "bacaan pembanding" atau dalam bahasa yang agak populer: second opinion.
Membahas teori-teori sosial ini memang tidak mudah karena harus dibaca betul-betul, ditandai kata-kata kunci dengan inti pemikirannya, serta mau tak mau kita harus menambah bacaan dari buku-buku lainnya untuk memperkaya perspektif atau mungkin mencari "bacaan pembanding" atau dalam bahasa yang agak populer: second opinion.
Buku lain yang beliau terjemahkan adalah Demokrasi, Korupsi, dan Makhluk Halus dalam Politik Indonesia Kontemporer karya Professor Nils Bubandt dari Aarhus University, Denmark. Buku berjudul asli Democracy, Corruption and the Politics of Spirits in Contemporary Indonesia ini diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia (Jakarta, 2016).
Sejak tahun 1990-an, Bubandt telah melakukan penelitian etnografi di Indonesia, terutama di wilayah Maluku Utara. Dalam buku yang berbasis pada penelitian lapangannya (antara 2001 dan 2002) di Jawa Timur dan Maluku Utara, Bubandt membahas tiga hal penting yang saling terkait satu dengan yang lainnya, yaitu: demokrasi, korupsi, dan politik jin/makhluk halus dalam masyarakat Indonesia kontemporer.
Dalam menjelaskan ketiga hal penting tersebut, Bubandt meneliti lima hal spesifik yaitu kyai, blogger, politisi, sultan, dan nabi. Penjelasannya tentang kelima hal tersebut tidak terlepas dari tiga kerangka besar penelitian ini sebagaimana telah dijelaskan di atas. Bubandt juga membahas tentang pesona demokrasi, paradoks demokrasi Indonesia, “hantu-hantu” politik dalam demokrasi seperti korupsi, elitisme, nepotisme, dan patrimonialisme (“pertemuan” antara sistem politik modern dengan budaya politik tradisional yang berakar pada kerajaan masa silam), serta tentang sekularisme. Pembahasan Bubandt tentang tema-tema menarik tersebut dibingkai dalam kerangka kajian terhadap dunia politik dan dunia jin/dunia gaib atau “alam lain.”
Pada bagian pertama tentang "The Kyai: spirits and corruption", Bubandt membahas profil Kyai Muzakkin yang mengatakan bahwa ia pernah mengirim jin dalam demonstrasi sehingga tidak terjadi pertumpahan darah. Muzakkin adalah kyai yang respek dengan demokrasi dan menghargai setiap politisi terpilih. Tapi ia tidak anarkis yang dibuktikan dengan mengirim “sekumpulan” jin untuk mengamankan demonstrasi. Dalam bagian ini, Bubandt hendak mencari apa alasan yang mendasari sehingga Kyai Muzakkin memutuskan untuk mengirim seribu jin dari pesantrennya di Jawa Timur untuk menghadiri demonstrasi anti-korupsi di Jakarta (p. 22). Menurut Muzakkin, ia memiliki kesaktian yang merupakan anugerah dari orang tuanya yang merupakan keturunan dari Jaka Tingkir, pendiri Kerajaan Pajang. Berbekal “legacy” tersebut, ia kemudian mendirikan pesantren yang tidak ada santri manusia sebagai pusat dunia jin di dunia (p. 26).
Dalam bagian kedua, "The Bloggers: spirits, embarrassment, and the battle for Islam", Bubandt membahas tentang jin, rasa malu, dan perjuangan untuk Islam di dunia maya yang dilakukan oleh blogger. Apa yang dilakukan oleh Kyai Muzakkin di atas ketika dipublikasikan di Kompas, dalam 30 jam kemudian dikomentari oleh 167 blogger yang mengejek dan merasa malu dengan hal tersebut.
Menurut salah seorang blogger, dunia jin tidak compatible dengan modernitas dan merupakan sebuah aib (malu) jika Indonesia modern harus berada di bawah dunia luar (gaib). Selain itu, ada blogger yang melihat hal itu sebagai bid’ah (heretical), dan menganggap bahwa Muzakkin telah sesat (misguided). Jika dilihat dalam Al-Qur’an, eksistensi jin merupakan bagian dari doktrin Islam akan tetapi yang menjadi kontroversi di tubuh umat Islam adalah soal penggunaan jin dalam pengobatan, pemujaan jin dalam ritual-ritual tertentu, atau dalam pengiriman jin dalam demonstrasi, yang beberapa hal tersebut telah memantik perdebatan di kalangan tradisionalis yang direpresentasi oleh Nahdlatul Ulama dan kalangan modernis lewat Muhammadiyah (p. 45).
Pada bagian ketiga, "The Politician: sorcery and decentralization", Bubandt membahas tentang sihir dan desentralisasi politik dari kasus Muhammad Ahmad di Halmahera Timur yang wafat secara misterius tidak lama setelah sakit. Ia merupakan jurnalis, politisi, dan calon anggota DPRD Maluku Utara yang juga salah seorang aktivis dalam memperjuangkan desentralisasi pemerintahan sejak 1999 khususnya bagi terbentuknya Kabupaten Halmahera Timur.
Sejak 1990, Muhammad Ahmad sering menulis di media lokal terkait korupsi dan nepotisme dalam birokrasi regional. Kematian yang terjadi atas politisi jurnalis Muhammad Ahmad dan pengerahan seribu jin oleh Kyai Muzakkin dalam demontrasi tidak terlepas dari dunia jin (p. 65), yaitu: Ahmad yang biasa menulis tentang korupsi wafat karena pengaruh jin dan Kyai Muzakkin mengamankan demontrasi anti-korupsi lewat bantuan jin. Menurut Bubandt, sihir bersifat fungsional sebagai alat politik birokrasi karena sihir—seperti juga ilmu gaib—selali sangat bersifat politis (p. 75).
Bagian keempat, "The Sultan: electons, ancestors and the law", Bubandt membahas tentang hubungan antara ruh nenek moyang dengan hukum yang dalam hal ini mengeksplorasi Sultan Ternate ke-48 Mudaffar Sjah, yang pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur Maluku Utara atas “restu” dari nenek moyang. Kematian beberapa orang dekat Thaib Armaiyn (Gubernur incumbent) dianggap sebagai katula, atau korban akibat melanggar taboo yang terkait dengan tradisi adat se atorang yang dipegang oleh Kesultanan Ternate.
Kemudian bagian kelima, "The Prophet: world renewal and the ghost of a president", ia mengeksplorasi bahwa Hajjah Nur yang mengaku sebagai nabi perempuan (female prophet) yang mendapatkan wangsit dari dunia jin (moro) untuk mengenali Sultan Jailolo yang sebenarnya.
Menurut Nur, ada satu triliun emas yang akan tumbuh secara gaib dari tanah dan menyediakan kekayaan yang tak terbatas (untold wealth) bagi seluruh dunia jika Sultan Ternate mengenali Sultan Jailolo yang sebenarnya yang dia telah identifikasi sebagai Jiko Makolano (penguasa teluk). Jika tidak, maka emas tersebut akan tenggelam kembali ke tanah yang dijaga oleh bangsa moro (jin), dan Maluku Utara akan hancur karena gelombang besar (p. 106). “Kembalinya Sultan Jailolo” dapat disebut sebagai kembalinya “Ratu Adil” (Just King) yang sepanjang abad ke-18 muncul dalam perlawanan politik di Maluku Utara.
Akan tetapi pendapat Hajjah Nur tersebut dianggap sebagai omong kosong dan dilabeli orang gila. Pertemuan Bubandt dengan Hajjah Nur mendapatkan fakta anggapan dari masyarakat bahwa Nur digerakkan oleh sebentuk kegilaan (madness) dan ilmu hitam (illicit magic), akan tetapi penampilan ibu 10 anak tersebut lebih terlihat seperti seorang perempuan yang hendak berkebun ketimbang seorang nabi.
Kepada Bubandt, Nur bercerita tentang visi besarnya terkait dunia baru yang menggabungkan antara spiritual dengan politik, dan juga tentang ayahnya (seorang imam di Kao) yang menghilang di depan 44 muridnya (dan membawa salah seorang murid) akan tetapi tidak mati, bahkan hidup di dua alam: dunia nyata dan dunia gaib. Ayahnya kemudian memberikan tugas kepada Nur untuk menemukan Sultan Jailolo yang sebenarnya (p. 110-112).
Seperti juga ayahnya, Presiden pertama Indonesia, Soekarno juga hidup dalam dua alam, dan kuburannya di Blitar sekedar “tanda mata” (a symbolic token) dan “tempat singgah” atau petilasan (a spiritual left-over) saja bagi seorang “Ratu Adil” atau kesatria (dalam mitologi Jawa) yang menggerakkan perlawanan anti-kolonial lewat cerita dirinya sebagai keturunan Raja Jayabaya.
Bagaimana menempatkan karya Bubandt ini dalam konteks etnografi? Mungkin, kita harus merujuk dulu kepada pendapat George E. Marcus (1995) dalam tulisannya "Ethnography in/of the World System: The Emergence of Multisited Ethnography", yang membahas tentang metodologi antropologi yang terkait dengan adaptasi bentuk-bentuk etnografi terhadap kehidupan manusia yang kompleks.
Selama ini menurut Marcus kajian etnografi dulu berfokus pada single-sited yang cenderung melihat kebudayaan dalam pendekatan tradisional seperti 7 unsur kebudayaan yang kemudian dinarasikan dalam bentuk deskriptif etnografis, akan tetapi saat ini memasuki sistem kapitalis yang lebih luas yang di dalamnya ada dikotomi apa yang disebut lokal dan global.
Dalam konteks penelitian multi-sited, peneliti melihat bagaimana proses pembentukan world system yang di dalamnya terkandung sirkulasi, koneksi, asosiasi, network, dan juga imajinasi yang dibangun dalam rentang sirkulasi tersebut (Gille & O Riain, 2002: 280-284). Metode ini juga melihat bagaimana budaya diproduksi yang akhirnya menjadi budaya tertentu.
Pergulatan antara the self dan the others dalam sebuah immersion akan melahirkan pandangan emik (world of view) dari masyarakat tersebut. Konsep masyarakat/komunitas yang merupakan “place-making projects” (lokasi project) dalam multi-sited ethnography juga tidaklah statis, akan tetapi dinamis, heterogen, dan lokasi tersebut memiliki keunikan tersendiri dalam penelitian (Gille & O Riain, 2002: 277). Pentingnya riset etnografi yang multi-sited ini dalam konteks kajian multidisipliner termasuk kajian media, sains, teknologi, dan budaya.
Adalah tidak berlebihan saya kira, jika dikatakan bahwa buku ini merupakan salah satu karya etnografi yang ditulis menggunakan perspektif multi-sited ethnography sebagaimana yang ia katakan pada bagian konklusi buku dengan sub-judul "democracy from a spirit point of view" (p. 129). Dalam buku ini, Bubandt hendak melihat bagaimana demokrasi, korupsi dan politik dunia gaib dalam masyarakat Indonesia kontemporer.
Bubandt memulai tulisannya dengan fenomena keterkaitan antara dunia politik dengan alam gaib. Ketika politisi Demokrat Sutan Bathoegana mengatakan bahwa kasus Buloggate dan Bruneigate itu diakibatkan oleh Gusdur, banyak orang Jawa (khususnya Nahdlatul Ulama) yang mengecam Bathoegana dan meminta dia untuk bertaubat dan berziarah ke kuburan Gusdur.
Kalangan NU--setidaknya sebagian orang--percaya bahwa walau sudah wafat, arwah Gusdur masih memberikan pengaruh kepada pengikutnya. Penghinaan kepada arwah orang yang telah meninggal, apalagi kepada Gusdur yang dianggap selain salah satu Wali Songo, adalah sesuatu yang berat. Sutan akhirnya meminta maaf kepada keluarga Gusdur, begitu juga Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum (Bubandt, 2014: 1-4). Dalam hal ini, dunia politik ternyata tidak bisa dipisahkan dengan dunia gaib.
Selain itu, Bubandt juga meneliti pengaruh dunia gaib dalam kehidupan sehari-hari. Ia membandingkan dunia gaib di Jawa Timur, dan Maluku Utara. Di Jawa Timur misalnya, Bubant meneliti fenomena Kiyai Muzakkin yang memiliki santri dari bangsa jin. Dalam salah satu demontrasi, Muzakkin mengirimkan seribu jin untuk menjaga demonstrasi anti korupsi sehingga tidak menimbulkan pertumpahan darah yang dapat mengganggu pemerintahan Presiden Gusdur (p. 21). Sedangkan di Maluku Utara Bubandt meneliti tentang Sultan Ternate Mudaffar Sjah yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Maluku Utara.
Poin yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa penelitian Bubandt menggunakan sistem multi-sited, yaitu meneliti fenomena yang sama baik di Jawa maupun Ternate yang saling memiliki interkoneksi antara satu dan lainnya. Dalam buku ini, Bubandt mengkaji politik Indonesia yang dikaitkan dengan dunia gaib (the spirit world) yang berasal dari jin, kekuatan leluhur, santet dan sebagainya. Dalam salah satu sub-judul pada bagian pendahuluan misalnya, Bubandt hendak melihat bagaimana interkoneksi antara politik dengan dunia gaib yang dalam hal ini bagaimana perspektif dunia gaib terhadap perpolitikan Indonesia (p. 6).
Dalam kajian ini, Bubandt membuat interkoneksi antara beberapa subjek tersebut dalam ranah politik dan ilmu gaib. Bubandt juga membuat perbandingan (comparison) antara Kiyai Muzakkin, Sultan Ternate, Pak Muhammad Ahmad dalam hal politik dan ilmu gaib dengan konteks budaya lokal dimana mereka hidup. Dalam konteks ini, Bubandt mencari elemen-elemen kunci (key elements) yang ada dalam objek kajiannya kemudian ia berusaha memahami hal itu dengan motivasi dalam kebiasaan manusia (Blasco dan Wardle, 2007: 59).
Bubandt melakukan penelusuran sumber dengan menemui beberapa tokoh kunci dalam penelitiannya. Ia kemudian bertanya kepada beberapa tokoh kunci untuk mendapatkan data bagaimana pandangan dunia gaib terhadap perpolitikan Indonesia. Kepada Kyai Muzakkin ia bertanya bagaimana perspektif beliau dalam melihat dunia politik dan korupsi sehingga ia terlihat dalam pengerahan pasukan jin untuk mengamankan demonstrasi. Juga, ketika bertemu Sultan Ternate ia menelusuri hal-hal yang dianggap taboo di Kesultanan Ternate seperti “melawan” titah Sultan dengan cara menjadi rival politik Sultan saat pilkada.
Hal-hal taboo tersebut diyakini oleh sebagian masyarakat bahwa jika dilanggar akan mendatangkan kesialan (misfortune), sebagaimana juga yang diyakini oleh warga NU ketika Sutan Bathoegana mengkritik Gus Dur yang dianggap dapat mendatangkan kesialan. Dalam hal ini, terlihat bahwa ada kesamaan pandangan dari warga NU dengan warga Kesultanan Ternate yang melihat bahwa kritikan atau resistensi terhadap tokoh sakral (kyai kharismatik atau sultan) dapat mendatangkan kesialan tertentu.
Editor Buku
Professor Afid juga menjadi editor beberapa buku lainnya, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama koleganya. Pada tahun 2000, ia menjadi editor buku terbitan Kementerian Agama, berjudul Agama dan Politik Keseragaman: Suatu Refleksi Kebijakan Keagamaan Orde Baru. Buku tersebut sepertinya--karena saya belum punya naskahnya--membahas soal bagaimana menempatkan agama (dan kepercayaan yang beragam) dalam masyarakat kita dalam konteks negara.
Sejak tahun 1990-an, Bubandt telah melakukan penelitian etnografi di Indonesia, terutama di wilayah Maluku Utara. Dalam buku yang berbasis pada penelitian lapangannya (antara 2001 dan 2002) di Jawa Timur dan Maluku Utara, Bubandt membahas tiga hal penting yang saling terkait satu dengan yang lainnya, yaitu: demokrasi, korupsi, dan politik jin/makhluk halus dalam masyarakat Indonesia kontemporer.
Dalam menjelaskan ketiga hal penting tersebut, Bubandt meneliti lima hal spesifik yaitu kyai, blogger, politisi, sultan, dan nabi. Penjelasannya tentang kelima hal tersebut tidak terlepas dari tiga kerangka besar penelitian ini sebagaimana telah dijelaskan di atas. Bubandt juga membahas tentang pesona demokrasi, paradoks demokrasi Indonesia, “hantu-hantu” politik dalam demokrasi seperti korupsi, elitisme, nepotisme, dan patrimonialisme (“pertemuan” antara sistem politik modern dengan budaya politik tradisional yang berakar pada kerajaan masa silam), serta tentang sekularisme. Pembahasan Bubandt tentang tema-tema menarik tersebut dibingkai dalam kerangka kajian terhadap dunia politik dan dunia jin/dunia gaib atau “alam lain.”
Pada bagian pertama tentang "The Kyai: spirits and corruption", Bubandt membahas profil Kyai Muzakkin yang mengatakan bahwa ia pernah mengirim jin dalam demonstrasi sehingga tidak terjadi pertumpahan darah. Muzakkin adalah kyai yang respek dengan demokrasi dan menghargai setiap politisi terpilih. Tapi ia tidak anarkis yang dibuktikan dengan mengirim “sekumpulan” jin untuk mengamankan demonstrasi. Dalam bagian ini, Bubandt hendak mencari apa alasan yang mendasari sehingga Kyai Muzakkin memutuskan untuk mengirim seribu jin dari pesantrennya di Jawa Timur untuk menghadiri demonstrasi anti-korupsi di Jakarta (p. 22). Menurut Muzakkin, ia memiliki kesaktian yang merupakan anugerah dari orang tuanya yang merupakan keturunan dari Jaka Tingkir, pendiri Kerajaan Pajang. Berbekal “legacy” tersebut, ia kemudian mendirikan pesantren yang tidak ada santri manusia sebagai pusat dunia jin di dunia (p. 26).
Dalam bagian kedua, "The Bloggers: spirits, embarrassment, and the battle for Islam", Bubandt membahas tentang jin, rasa malu, dan perjuangan untuk Islam di dunia maya yang dilakukan oleh blogger. Apa yang dilakukan oleh Kyai Muzakkin di atas ketika dipublikasikan di Kompas, dalam 30 jam kemudian dikomentari oleh 167 blogger yang mengejek dan merasa malu dengan hal tersebut.
Menurut salah seorang blogger, dunia jin tidak compatible dengan modernitas dan merupakan sebuah aib (malu) jika Indonesia modern harus berada di bawah dunia luar (gaib). Selain itu, ada blogger yang melihat hal itu sebagai bid’ah (heretical), dan menganggap bahwa Muzakkin telah sesat (misguided). Jika dilihat dalam Al-Qur’an, eksistensi jin merupakan bagian dari doktrin Islam akan tetapi yang menjadi kontroversi di tubuh umat Islam adalah soal penggunaan jin dalam pengobatan, pemujaan jin dalam ritual-ritual tertentu, atau dalam pengiriman jin dalam demonstrasi, yang beberapa hal tersebut telah memantik perdebatan di kalangan tradisionalis yang direpresentasi oleh Nahdlatul Ulama dan kalangan modernis lewat Muhammadiyah (p. 45).
Pada bagian ketiga, "The Politician: sorcery and decentralization", Bubandt membahas tentang sihir dan desentralisasi politik dari kasus Muhammad Ahmad di Halmahera Timur yang wafat secara misterius tidak lama setelah sakit. Ia merupakan jurnalis, politisi, dan calon anggota DPRD Maluku Utara yang juga salah seorang aktivis dalam memperjuangkan desentralisasi pemerintahan sejak 1999 khususnya bagi terbentuknya Kabupaten Halmahera Timur.
Sejak 1990, Muhammad Ahmad sering menulis di media lokal terkait korupsi dan nepotisme dalam birokrasi regional. Kematian yang terjadi atas politisi jurnalis Muhammad Ahmad dan pengerahan seribu jin oleh Kyai Muzakkin dalam demontrasi tidak terlepas dari dunia jin (p. 65), yaitu: Ahmad yang biasa menulis tentang korupsi wafat karena pengaruh jin dan Kyai Muzakkin mengamankan demontrasi anti-korupsi lewat bantuan jin. Menurut Bubandt, sihir bersifat fungsional sebagai alat politik birokrasi karena sihir—seperti juga ilmu gaib—selali sangat bersifat politis (p. 75).
Bagian keempat, "The Sultan: electons, ancestors and the law", Bubandt membahas tentang hubungan antara ruh nenek moyang dengan hukum yang dalam hal ini mengeksplorasi Sultan Ternate ke-48 Mudaffar Sjah, yang pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur Maluku Utara atas “restu” dari nenek moyang. Kematian beberapa orang dekat Thaib Armaiyn (Gubernur incumbent) dianggap sebagai katula, atau korban akibat melanggar taboo yang terkait dengan tradisi adat se atorang yang dipegang oleh Kesultanan Ternate.
Cover Demokrasi, Korupsi, dan Makhluk Halus |
Menurut Nur, ada satu triliun emas yang akan tumbuh secara gaib dari tanah dan menyediakan kekayaan yang tak terbatas (untold wealth) bagi seluruh dunia jika Sultan Ternate mengenali Sultan Jailolo yang sebenarnya yang dia telah identifikasi sebagai Jiko Makolano (penguasa teluk). Jika tidak, maka emas tersebut akan tenggelam kembali ke tanah yang dijaga oleh bangsa moro (jin), dan Maluku Utara akan hancur karena gelombang besar (p. 106). “Kembalinya Sultan Jailolo” dapat disebut sebagai kembalinya “Ratu Adil” (Just King) yang sepanjang abad ke-18 muncul dalam perlawanan politik di Maluku Utara.
Akan tetapi pendapat Hajjah Nur tersebut dianggap sebagai omong kosong dan dilabeli orang gila. Pertemuan Bubandt dengan Hajjah Nur mendapatkan fakta anggapan dari masyarakat bahwa Nur digerakkan oleh sebentuk kegilaan (madness) dan ilmu hitam (illicit magic), akan tetapi penampilan ibu 10 anak tersebut lebih terlihat seperti seorang perempuan yang hendak berkebun ketimbang seorang nabi.
Kepada Bubandt, Nur bercerita tentang visi besarnya terkait dunia baru yang menggabungkan antara spiritual dengan politik, dan juga tentang ayahnya (seorang imam di Kao) yang menghilang di depan 44 muridnya (dan membawa salah seorang murid) akan tetapi tidak mati, bahkan hidup di dua alam: dunia nyata dan dunia gaib. Ayahnya kemudian memberikan tugas kepada Nur untuk menemukan Sultan Jailolo yang sebenarnya (p. 110-112).
Seperti juga ayahnya, Presiden pertama Indonesia, Soekarno juga hidup dalam dua alam, dan kuburannya di Blitar sekedar “tanda mata” (a symbolic token) dan “tempat singgah” atau petilasan (a spiritual left-over) saja bagi seorang “Ratu Adil” atau kesatria (dalam mitologi Jawa) yang menggerakkan perlawanan anti-kolonial lewat cerita dirinya sebagai keturunan Raja Jayabaya.
Bagaimana menempatkan karya Bubandt ini dalam konteks etnografi? Mungkin, kita harus merujuk dulu kepada pendapat George E. Marcus (1995) dalam tulisannya "Ethnography in/of the World System: The Emergence of Multisited Ethnography", yang membahas tentang metodologi antropologi yang terkait dengan adaptasi bentuk-bentuk etnografi terhadap kehidupan manusia yang kompleks.
Selama ini menurut Marcus kajian etnografi dulu berfokus pada single-sited yang cenderung melihat kebudayaan dalam pendekatan tradisional seperti 7 unsur kebudayaan yang kemudian dinarasikan dalam bentuk deskriptif etnografis, akan tetapi saat ini memasuki sistem kapitalis yang lebih luas yang di dalamnya ada dikotomi apa yang disebut lokal dan global.
Dalam konteks penelitian multi-sited, peneliti melihat bagaimana proses pembentukan world system yang di dalamnya terkandung sirkulasi, koneksi, asosiasi, network, dan juga imajinasi yang dibangun dalam rentang sirkulasi tersebut (Gille & O Riain, 2002: 280-284). Metode ini juga melihat bagaimana budaya diproduksi yang akhirnya menjadi budaya tertentu.
Pergulatan antara the self dan the others dalam sebuah immersion akan melahirkan pandangan emik (world of view) dari masyarakat tersebut. Konsep masyarakat/komunitas yang merupakan “place-making projects” (lokasi project) dalam multi-sited ethnography juga tidaklah statis, akan tetapi dinamis, heterogen, dan lokasi tersebut memiliki keunikan tersendiri dalam penelitian (Gille & O Riain, 2002: 277). Pentingnya riset etnografi yang multi-sited ini dalam konteks kajian multidisipliner termasuk kajian media, sains, teknologi, dan budaya.
Adalah tidak berlebihan saya kira, jika dikatakan bahwa buku ini merupakan salah satu karya etnografi yang ditulis menggunakan perspektif multi-sited ethnography sebagaimana yang ia katakan pada bagian konklusi buku dengan sub-judul "democracy from a spirit point of view" (p. 129). Dalam buku ini, Bubandt hendak melihat bagaimana demokrasi, korupsi dan politik dunia gaib dalam masyarakat Indonesia kontemporer.
Bubandt memulai tulisannya dengan fenomena keterkaitan antara dunia politik dengan alam gaib. Ketika politisi Demokrat Sutan Bathoegana mengatakan bahwa kasus Buloggate dan Bruneigate itu diakibatkan oleh Gusdur, banyak orang Jawa (khususnya Nahdlatul Ulama) yang mengecam Bathoegana dan meminta dia untuk bertaubat dan berziarah ke kuburan Gusdur.
Kalangan NU--setidaknya sebagian orang--percaya bahwa walau sudah wafat, arwah Gusdur masih memberikan pengaruh kepada pengikutnya. Penghinaan kepada arwah orang yang telah meninggal, apalagi kepada Gusdur yang dianggap selain salah satu Wali Songo, adalah sesuatu yang berat. Sutan akhirnya meminta maaf kepada keluarga Gusdur, begitu juga Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum (Bubandt, 2014: 1-4). Dalam hal ini, dunia politik ternyata tidak bisa dipisahkan dengan dunia gaib.
Selain itu, Bubandt juga meneliti pengaruh dunia gaib dalam kehidupan sehari-hari. Ia membandingkan dunia gaib di Jawa Timur, dan Maluku Utara. Di Jawa Timur misalnya, Bubant meneliti fenomena Kiyai Muzakkin yang memiliki santri dari bangsa jin. Dalam salah satu demontrasi, Muzakkin mengirimkan seribu jin untuk menjaga demonstrasi anti korupsi sehingga tidak menimbulkan pertumpahan darah yang dapat mengganggu pemerintahan Presiden Gusdur (p. 21). Sedangkan di Maluku Utara Bubandt meneliti tentang Sultan Ternate Mudaffar Sjah yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Maluku Utara.
Poin yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa penelitian Bubandt menggunakan sistem multi-sited, yaitu meneliti fenomena yang sama baik di Jawa maupun Ternate yang saling memiliki interkoneksi antara satu dan lainnya. Dalam buku ini, Bubandt mengkaji politik Indonesia yang dikaitkan dengan dunia gaib (the spirit world) yang berasal dari jin, kekuatan leluhur, santet dan sebagainya. Dalam salah satu sub-judul pada bagian pendahuluan misalnya, Bubandt hendak melihat bagaimana interkoneksi antara politik dengan dunia gaib yang dalam hal ini bagaimana perspektif dunia gaib terhadap perpolitikan Indonesia (p. 6).
Dalam kajian ini, Bubandt membuat interkoneksi antara beberapa subjek tersebut dalam ranah politik dan ilmu gaib. Bubandt juga membuat perbandingan (comparison) antara Kiyai Muzakkin, Sultan Ternate, Pak Muhammad Ahmad dalam hal politik dan ilmu gaib dengan konteks budaya lokal dimana mereka hidup. Dalam konteks ini, Bubandt mencari elemen-elemen kunci (key elements) yang ada dalam objek kajiannya kemudian ia berusaha memahami hal itu dengan motivasi dalam kebiasaan manusia (Blasco dan Wardle, 2007: 59).
Bubandt melakukan penelusuran sumber dengan menemui beberapa tokoh kunci dalam penelitiannya. Ia kemudian bertanya kepada beberapa tokoh kunci untuk mendapatkan data bagaimana pandangan dunia gaib terhadap perpolitikan Indonesia. Kepada Kyai Muzakkin ia bertanya bagaimana perspektif beliau dalam melihat dunia politik dan korupsi sehingga ia terlihat dalam pengerahan pasukan jin untuk mengamankan demonstrasi. Juga, ketika bertemu Sultan Ternate ia menelusuri hal-hal yang dianggap taboo di Kesultanan Ternate seperti “melawan” titah Sultan dengan cara menjadi rival politik Sultan saat pilkada.
Hal-hal taboo tersebut diyakini oleh sebagian masyarakat bahwa jika dilanggar akan mendatangkan kesialan (misfortune), sebagaimana juga yang diyakini oleh warga NU ketika Sutan Bathoegana mengkritik Gus Dur yang dianggap dapat mendatangkan kesialan. Dalam hal ini, terlihat bahwa ada kesamaan pandangan dari warga NU dengan warga Kesultanan Ternate yang melihat bahwa kritikan atau resistensi terhadap tokoh sakral (kyai kharismatik atau sultan) dapat mendatangkan kesialan tertentu.
Editor Buku
Professor Afid juga menjadi editor beberapa buku lainnya, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama koleganya. Pada tahun 2000, ia menjadi editor buku terbitan Kementerian Agama, berjudul Agama dan Politik Keseragaman: Suatu Refleksi Kebijakan Keagamaan Orde Baru. Buku tersebut sepertinya--karena saya belum punya naskahnya--membahas soal bagaimana menempatkan agama (dan kepercayaan yang beragam) dalam masyarakat kita dalam konteks negara.
Agama dalam Politik Keseragaman |
Cover Multicultural Education |
Para penulis mencoba untuk menelisik pendidikan multikultural tersebut di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara. Sampai sekarang--dan ke depan saya kira--pendidikan multikultural akan menjadi topik yang tetap hangat seiring dengan kesadaran rekognisi terhadap perbedaan. Artinya, manusia dengan perbedaan dalam banyak aspek menuntut untuk ditemukan satu pula pendidikan yang dapat digunakan untuk semuanya.
Mengutip kalimat dari The Musketeer, "one for all, all for one." Maksudnya, kita perlu mencari formula pendidikan yang aplikatif untuk semua orang--dari berbagai latar belakang--yang semuanya itu bertujuan untuk integrasi bangsa.
Refleksi Karakter Bangsa |
Buku lain yang diedit Professor Afid adalah Minahasa Wonderland: Negeri Mempesona di Bibir Pasifik (2014).
Tidak banyak yang tahu--setidaknya saya--terkait buku ini. Di Perpustakaan Antropologi FISIP UI juga saya belum mendapatkan bukunya. Ini bisa jadi buku yang menarik saya kira bagi kajian antropologi pariwisata.
Buku Minahasa ini tidak banyak dibicarakan oleh Professor Afid--setidaknya di kelas dan pertemuan-pertemuan kami. Mungkin luput. Tapi, arahan dari Dr. Toni Rudyansjah agar saya membaca semua buku Professor Afid--waktu saya ujian proposal disertasi--ternyata bermakna bahwa saya harus mendapatkan berbagai tulisannya, termasuk yang jarang dibahas orang seperti buku yang dieditorinya ini.
Cover Minahasa Wonderland |
Buku lainnya yang diedit oleh beliau berjudul Papua Barat: Memasuki Dekade Kedua Pembangunan (2015). Di FISIP UI ada semacam kluster kajian khusus tentang Papua. Buku ini sepertinya adalah hasil dalam kajian tim tersebut. Bahkan, mereka juga datang ke Papua untuk melihat negara besar tersebut dari dekat. Belajar dari dekat cukup penting untuk menangkap esensi dari apa yang hendak ditulis. Papua Barat dari berbagai informasi telah menunjukkan dinamika perkembangan yang signifikan sampai sekarang ini. Bagaimana "kepapuaan" (identitas) tersebut berinteraksi dengan masyarakat pendatang serta ide-ide modernitas menjadi penting untuk dibahas.
Papua Barat |
Selain beberapa tulisan di atas, Professor Afid juga tercatat menulis beberapa buku lainnya (atau mungkin laporan penelitian). Tapi, sayang hingga saat ini saya belum mendapatkan naskahnya.
Beberapa buku tersebut, yaitu Perilaku Seksual Remaja di Kota dan di Desa: South Kalimantan Case (Jakarta: Laboratorium Antropologi UI, 102 halaman); Stability and Change: A Study of Social Networks and Household Flexibility among the Javanese Poor of Jakarta, Indonesia (Pittsburgh: University of Pitsburgh Press, sekitar 250 halaman); Struktural-Fungsionalisme: Analisa Jaringan Sosial (Jakarta: Fonatana Presindo, sekitar 200 halaman).
Beliau juga menulis Qualitative Methods in National Research (Jakarta: Southeast Asian Ministers of Education Organization, sekitar 150 halaman) yang ditulis bersama Joseph M. Kaufert and Gustaaf P Sevenhuysen. Juga, beliau juga menulis A Cultural-Historical Account on Urban Poverty of Jakarta, Indonesia” yang dimuat dalam buku Culture and Urbanization in Southeast Asia (Moh. Thaib Osman,ed.) yang diterbitkan oleh University Kebangsaan Press, Kuala Lumpur.
Selain itu, buku Dimensi Sosialbudaya Pertahanan: Setahun Weekly Sociocultural Insights (2011) juga ditulis oleh Professor Afid dalam kapasitasnya sebagai Staf Ahli Menhan RI. Saya belum mendapatkan buku ini, akan tetapi jika dilihat, beberapa "bangunan ide"-nya sesungguhnya memiliki irisan dengan tulisannya yang dimuat di Catatan Reflektif Antropologi Sosialbudaya (2011).
Beliau juga menulis beberapa artikel akademik seperti Bilbiografi Beranotasi Mengenai Sistem-sistem Kepercayaan di Indonesia: Suatu Kajian Pendahulan yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang: Kemendikbud), setebal 105 halaman yang ditulis bersama Professor Parsudi Suparlan.
Juga ada tulisan beliau berjudul Indonesia: the Islands of Festival, Perspective yang diterbitkan oleh The Official Bulletin of the XIVth International Youth Conference, Hongsun, South Korea, pp. 14–19.
Terkait kajian skripsinya di Alabio, beliau juga menulis artikel Konflik-konflik antara Penganut Muhamadiyah dan Nahdatul Ulama di Alabio Kalimantan Selatan yang diterbitkan di Dialogue, Vol.3, March, pp. 20–42 serta artikel Nilai dan Norma Agama Pada Masyarakat Tradisional, Dampak Modernisasi terhadap Kehidupan Beragama di Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Agama, pp. 11–16 (ditulis bersama Prof Parsudi Suparlan).
Professor Afid juga menulis Antara Margaret Mead dan Derek Freeman: Masalah Keabsahan Penelitian Antropologi di Berita Antropologi, Vol. XII, no.39, September-December, Pp.. 48 52 dan Keluarga Luas: Modifikasi pada Masyarakat Miskin di Jakarta pada Jurnal Penelitian Sosial, No.11, April, pp. 25–47.
Ia juga menulis Ciri Bioformitas pada Masyarakat Amerika di Buletin Permias Pittsburgh, No.2, April, pp. 1–5. Masih di Permias, ia juga menulis Agama di Amerika Serikat di Buletin Permias Pittsburgh, No. 5, September, pp 1–5.
Juga, ia menulis catatan untuk Geertz berjudul Some Notes on Clifford Geertz Interpretative Anthropology di Antropologi Indonesia, Vol. XVI, No. 49 January-March, pp. 1–16 dan artikel Memperkuat Institusi Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan, Peran serta Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia (Jakarta: Pascasarjana Departemen Kehutanan UI).
Terkait keluarga, ia menulis Family, Education, and the Arts: An Open Ended Agenda (the Introductory remarks to the Indonesian Section) dalam buku Cultures in ASEAN and the 21st Century (Edwin Thumboo, ed.) yang diterbitkan oleh National University of Singapore Press.
Jaringan Sosial karya Ruddy Agusyanto |
Sampai pada titik ini, saya melihat bahwa Professor Afid menulis berbagai topik, mulai dari paradigma antropologi, kebudayaan, kekuasaan, agama, organisasi sosial, kesehatan, kemiskinan, identitas, karakter bangsa, nasionalisme, dan negara-bangsa. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media, dan menarik untuk memetakannya dalam peta pemikiran antropologi Indonesia.*
Tulisan ini adalah bagian dari eksplorasi ide penulis sekaligus penghargaan kepada guru kami, yang telah 'membuka jalan' dan memperluas perspektif: almarhum Professor Achmad Fedyani Saifuddin.
Tulisan ini adalah bagian dari eksplorasi ide penulis sekaligus penghargaan kepada guru kami, yang telah 'membuka jalan' dan memperluas perspektif: almarhum Professor Achmad Fedyani Saifuddin.
No comments:
Post a Comment