Simbol-simbol religi |
Dalam melihat agama (atau religi), antropologi tidak berpatokan kepada "agama sebagai doktrin", akan tetapi melihatnya dalam kerangka "agama sebagai sistem kebudayaan."
Mengutip Professor Afid, dalam Catatan Reflektif, "..agama tidak dipandang sebagai perangkat doktrin, melainkan sebagai bagian dari kebudayaan yang digunakan dalam menghadapi kehidupan yang nyata" (p. 69).
Pendefinisian "agama sebagai kebudayaan" menurut beliau adalah dalam rangka kepentingan analisa sosial.
Kenapa harus begitu?
"Karena, apabila agama dipandang semata-mata sebagai perangkat doktrin (keyakinan) yang dogmatik maka kemungkinan analisa sosial menjadi tertutup," tulis beliau. Ini sekaligus menjadi ciri khas dari kajian antropologi dalam melihat agama.
Religi sebagai Inti Kebudayaan
Religi merupakan inti dari kebudayaan karena hanya religi yang dapat menjelaskan tiga soalan penting manusia, yaitu: (1) dari mana berasal, (2) dimana manusia berada, dan (3) hendak kemana manusia setelah kematian. Religi dalam hal ini dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental manusia yang tidak bisa dijawab oleh sistem kebudayaan lainnya. Secara singkat, manusia dengan keterbatasannya membutuhkan sesuatu yang pasti/kuat dan yang pasti/kuat itu berada pada religi.
Kenapa manusia membutuhkan yang pasti/kuat?
Karena kehidupan manusia dianggap berada dalam ketidakpastian (uncertainty), atau untuk penghiburan (solace) yang untuk itu membutuhkan pengaruh yang maha kuat dalam bentuk “kepercayaan dan ritual yang terkait dengan sesuatu yang supernatural dan memiliki kekuatan” (Wallace, dalam Kottak, 2015: 232). Kepercayaan terhadap yang supernatural tersebut akan mengurangi ketidakpastian tersebut dan mengurangi perasaan keterasingan.
Kehidupan manusia tidak hanya dianggap semata profan akan tetapi juga ada alam sakral baik semasa di dunia maupun setelah kematian. Tiap masyarakat, mengutip kata Durkheim memiliki sesuatu yang sakral yang berbeda satu sama lain (Kottak, 2015). Apa yang dianggap sakral oleh orang native Australia (Aborigin) misalnya tentang totem berbeda dengan apa yang dianggap sakral oleh orang lain di nusantara misalnya.
Akan tetapi, secara umum manusia membutuhkan yang maha kuat untuk menguatkan mereka menjalani kehidupan yang tidak pasti. Terkadang, untuk menguatkan diri itu, maka manusia juga berkolaborasi dengan ilmu gaib seperti voodoo, santet, atau kegaiban lainnya yang dipakai baik untuk pertahanan diri, strategi perang, atau sebagai mekanisme untuk menjaga keteraturan sosial. Maka dari itu, karena peranan religi yang sangat fundamental bagi kehidupan manusia maka religi dapat dianggap sebagai inti dari kebudayaan manusia.
Dalam karya R. Rappaport (1968), The Pigs for Ancestors, ia membahas tentang bagaimana ritual penyembelihan babi dianggap sebagai legitimasi bagi sistem ekologis di Suku Maring Papua Nugini. Dalam karyanya, Rappaport menunjukkan korelasi antara budaya dan ekonomi lewat bentuk ritual yang sifatnya sentral. Dalam riset itu, ia hendak menunjukkan nilai-nilai adaptif dari budaya untuk menjaga lingkungan di masa perang. Ritual penyembelihan babi tersebut bertugas sebagai mekanisme budaya agar manusia tidak memiliki hutang kepada dunia supernatural. Selain berguna agar memasok daging babi kepada masyarakat, ritual ini juga dapat berfungsi sebagai pencegahan atas degradasi lahan.
Ketika masyarakat ambil bagian dalam ritual tersebut, maka hal tersebut akan memperkuat kontrak sosial mereka sebagai sebuah kesatuan. Ritual tersebut berfungsi juga untuk mendapatkan kesucian secara personal dan komunal dan juga untuk keseimbangan lingkungan.
Hasil kajian Rappaport tersebut menegaskan bahwa religi merupakan inti dari kebudayaan manusia karena di tengah ketidakpastian hidup, manusia Maring membutuhkan penguat agar terjadi keseimbangan dalam diri mereka. Sesembahan yang mereka buat merupakan bagian dari ritual sakral untuk mendapatkan keseimbangan dan keamanan hidup.
Ritual tersebut tidak terlepas dari tiga fase ritual dari Victor Turner, yaitu: separation, liminality, dan incorporation. Masa separation berarti bahwa masyarakat memisahkan diri dari masyarakat lainnya, kemudian liminality berkaitan dengan kondisi masyarakat yang berada dalam “masa antara” (meninggalkan satu fase tapi belum masuk pada fase baru), dan yang ketiga masa incorporation terlihat dari selesainya ritual dan kembali pada masyarakat semula (Kottak, 2015: 236). Dalam hal ini, masyarakat Maring menjadikan religi sebagai inti dari kebudayaan mereka agar tercipta kedamaian dan keamanan dalam hidup.
Dalam kajian antropologi, masyarakat percaya bahwa dalam setiap aktivitas manusia tidak lepas dari pengaruh lelulur atau hal-hal gaib. Sir Edward Burnett Tylor percaya bahwa para leluhur terkait sekali dalam peristiwa kematian, mimpi, dan peristiwa kemasukan ruh (Kottak, 2011: 287). Karena itu, maka ilmu gaib berkembang dalam masyarakat dan berpengaruh dalam banyak sisi kehidupan masyarakat. Ilmu gaib (magic) terkait dengan teknik-teknik supernatural untuk mencapai tujuan-tujuan yang ada. Teknik ini termasuk di dalamnya mantera-mantera/jampi-jampi ditujukan kepada para dewa atau untuk kekuatan personal.
Sir James Frazer dalam bukunya Totemism and Exogamy (1910) dan The Golden Bough (1913) menulis bahwa dalam memecahkan persoalan hidup manusia menyandarkan dirinya pada akal, namun untuk hal-hal yang tak dapat dijangkau akal mereka menggunakan ilmu gaib (magic). Menurut Frazer, magic adalah semua tindakan manusia untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam. Seorang praktisi magic mengontrol cuaca seperti hujan, matahari, dan angin (Frazer, 1922).
Jika magic terkait dengan upaya manusia untuk menguasai dan menggunakan kekuatan ilmu gaib yang ada di alam, maka religi diartikan secara berbeda dalam konteks bahwa religi merupakan tingkah laku manusia dengan menyandarkan pada kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh, dewa-dewa, yang berada di alam (Koentjaraningrat, 1987).
Antropologi Setan
Terkait magic dan makhluk halus, ada buku bagus, judulnya The Anthropology of Evil. Buku ini adalah salah satu buku langka di Indonesia. Buku ini diterbitkan oleh Basil Blackwell pada tahun 1985 yang diedit oleh David Parkin. Dalam buku ini Parkin sendiri menulis satu bab berjudul “Entitling evil: Muslims and Non-Muslims in coastal Kenya” selain menulis bagian introduction. Selain Parkin, para penulis lain juga menjadi kontributor seperti Donald Taylor, David Pocock, Alan Macfarlane, David Rheubottom, Brian Moeran, Lionel Caplan, Martin Southwold, Ronald Inden, Mark Hobart, John Bousfield, Roy Willis, dan Joanna Overing.
Pada bagian pengantar, David Parkin menulis bahwa ketika menjelaskan tentang suku Azande di Afrika Tengah, Evans-Pritchard merujuk kepada ilmu sihir sebagai prototype mereka terhadap semua setan. Orang Azande juga menyamakan beberapa hewan dengan sihir. Kecerdasan hewan-hewan ini bisa membuat kagum sekaligus membuat takut.
Sebagai contoh, kucing liar yang memiliki kedekatan dengan perempuan dan ketika seorang lelaki melihat kucing tersebut maka lelaki itu akan mati. Orang Azande juga menyamakan kucing-kucing dengan lesbianisme. Ini adalah bentuk ‘evil’ dalam menarik untuk dikaji. Kata ‘evil’ dalam bahasa Inggris menjadi sangat penting bagi seorang antropolog sosial karena dapat merujuk kepada ketakutan yang sangat ekstrim, kematian dan kehancuran, serta yang terkait dengan kemalangan (misfortunes).
Donald Taylor menulis tentang pemikiran teologis tentang setan dalam tradisi Yahudi lama, Kristen awal, dan Protestan dan Katolik. Sedangkan Alan Macfarlane menulis tentang “The root of all evil” atau akar dari semua setan. Menurut Macfarlane, esensi dari setan adalah dapat dilihat pada kombinasi berbagai hal seperti sesuatu yang bersifat bayang-bayang, misterius, tersembunyi, samar, dan tidak sepenuhnya dipahami. Setan juga mencoba untuk menghancurkan integritas, kebahagiaan, dan kesejahteraan ‘normal society’ atau masyarakat normal (p. 57).
Kata dia lagi, adanya setan di dunia adalah karena adanya kerahasiaan. Orang yang senyum misalnya, bisa jadi dalam hati tumbuh benci, begitu juga orang yang terlihat bersahabat padahal sesungguhnya ia ingin menjatuhkan temannya.
John Bousfield dalam buku ini membahas tentang refleksi kaum sufi dalam hal kebaikan, setan, dan kekuatan spiritual. Mengutip dari Hamzah Fansuri, sufi terbesar Melayu, Bousfield mengatakan bahwa pengajaran ekstrem kaum sufi adalah dalam hal pertemuan spiritual dengan Tuhan sebagai titik tertinggi dalam dunia sufi. Kaum sufi percaya bahwa ide penyatuan dengan Tuhan (wahdatul wujud) adalah yang kontroversial karena bersifat panteisme. Tuhan dan alam ini adalah satu. Lebih dari itu, Tuhan meliputi segalanya. Kaum sufi mengatakan bahwa, “Tidak ada yang saya lihat selain Tuhan, yakinlah saya adalah Tuhan.” Hal ini berbeda dengan pandangan umum bahwa ada antara Tuhan dan manusia, antara tuan dan hamba.
Beberapa saripati buku "antropologi setan" tersebut merupakan hasil seminar yang diadakan oleh School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London pada 1983 yang direvisi. Secara umum, pada bagian pertama buku ini membahas tentang setan berdasarkan pendekatan teologis dan filsafat terutama dalam filsafat Yahudi-Kristen, kemudian dilanjutkan dengan analisis konsep setan dalam perspektif orang Eropa terutama di masa pra-industri di Inggris dan Macedonia modern. Dan, pada bagian terakhir, buku ini juga membahas tentang beberapa contoh etnografi agama dunia termasuk agama Islam.
Sebegitu luasnya kajian antropologi. Mulai dari yang tampak sampai yang tidak tampak, termasuk soal setan yang tidak kelihatan (apa ada setan yang kelihatan?) dapat juga diantropologikan. Luar biasa, bukan? *
Tulisan ini adalah bagian dari eksplorasi ide penulis sekaligus penghargaan kepada guru kami, yang telah 'membuka jalan' dan memperluas perspektif: almarhum Professor Achmad Fedyani Saifuddin.
No comments:
Post a Comment