Politik identitas (sumber foto: Men's voice Ireland) |
Frase ini dikenal secara umum dalam khazanah antropologi politik sejak paruh kedua abad ke-20 dengan tumbuhnya berbagai gerakan sosial dari berbagai latar belakang seperti gerakan perempuan, gerakan civil rights orang Afro-Amerika, gerakan gay dan lesbian, dan tentu saja gerakan nasionalisme di berbagai negara. Dalam konteks ini, antropologi melihat bagaimana kajian politik identitas berkelindan dengan politik perbedaan (politics of difference).
Berbicara tentang politik identitas dalam antropologi maka tak bisa kita lepaskan dari kajian antropologi politik terhadap soalan politik identitas pada paruh kedua abad ke-20. Saat itu, mengutip J.L.E Victoria dalam Anthropology of Power: Beyond State-Centric Politics (2016), antropologi politik mulai bergerak dari kacamata “politik yang berpusat pada negara” (state-centric politics) seperti bentuk-bentuk negara, orang-orang yang tanpa negara, anti-negara atau gerakan yang sifatnya alter-state atau ingin mengganti negara menuju pada kajian yang lebih luas terkait konfigurasi kekuatan dan bagaimana cara-cara kekuasaan bekerja dari hari ke hari.
Dalam melihat kecenderungan kekuasaan yang tersebar lebih luas itu, maka antropologi membutuhkan kajian etnografis dalam hal diferensiasi, kontradiksi, dan perjuangan dalam organisasi sosial atau politik yang semakin hari semakin berkembang dan kekuasaan tersebar tidak hanya pada level paling tinggi secara struktural.
Politik identitas dalam dikaji dalam antropologi kekuasaan dengan argumentasi sebagai berikut.
Pertama, politik identitas merupakan bagian dari dinamika perkembangan manusia dalam menyiasati kehidupan sosial politik. Dalam demokrasi, kemunculan politik identitas adalah suatu yang wajar saja karena diversitas masyarakat yang ingin menyuarakan kepentingannya. Sebagai contoh, kehadiran partai berbasis agama (sebutlah Parkindo atau Partai Damai Sejahtera dan Masyumi serta Partai Keadilan Sejahtera) adalah bagian dari upaya untuk membawa ideologi agama untuk memberikan pengaruh pada kebijakan politik.
Pada kasus pilkada DKI Jakarta 2017 misalnya, politik identitas itu dimanfaatkan terutama oleh kalangan Islam dengan menyebarkan berbagai terminologi keagamaan—seperti kewajiban memilih pemimpin muslim, larangan memilih pemimpin kafir—agar men-downgrade Basuki Tjahaja Purnama sekaligus untuk mengangkat dua “representasi Islam” yaitu Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono. Dinamika ini tidak bisa dilepaskan dari perasaan kalangan Islam—yang merupakan mayoritas—tapi mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam kebijakan serta terpinggirkan oleh relasi birokrasi dengan konglomerasi yang menggurita terutama di ibukota.
Kedua, politik identitas dapat dilihat oleh antropologi kekuasaan sebagai kontestasi wacana yang dimainkan oleh para aktor (baik itu politik dan agama) untuk mendapatkan perhatian dan dapat memenangkan kontestasi tersebut dalam bentuk diadopsinya pemikiran mereka dalam kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, kontestasi wacana tersebut dimainkan dalam berbagai media yang saat ini berkembang dan tersebar lebih cepat seperti media sosial yang memiliki efek viral sangat cepat dalam hitungan detik.
Kekuasaan yang ada juga rupanya tidak dominan 100 persen berada di tangan tokoh tertentu, akan tetapi kekuasaan itu tersebar, terdistribusi dalam berbagai aktor dengan efek pengaruh yang sangat beragam. Sebagai contoh, para buzzer media sosial sesungguhnya memiliki peran yang signifikan dalam membentuk opini publik yang menyerang atau mendukung kebijakan pemerintah. Mereka memainkan peranannya dalam konstruksi wacana, framing, dan membuat representasi guna mendapatkan dukungan yang lebih luas dari publik.
Selain itu, dalam ranah kajian antropologi kekuasaan, politik identitas juga dapat dilihat dalam perspektif resistensi untuk mendapatkan keuntungan material. Secara umum, manusia hendak memenuhi keinginan materialnya dalam berbagai bentuk dan berbagai cara. Maka, perjuangan menggunakan politik identitas digunakan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan material terutama untuk kelompok politik.
Dalam perspektif resistensi, politik identitas dapat dilihat sebagai salah satu bentuk ekspresi kebudayaan dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam konteks Aksi Bela Islam, politik identitas dapat dilihat dalam berbagai bentuk mobilisasi massa dengan obsesi utama untuk mendapatkan pemimpin muslim di Jakarta (selain Ahok yang Kristen) sekaligus sebagai resistensi terhadap Ahok (yang direpresentasi sebagai “orang luar”, “bukan kita” [laisa minna], “kapitalis”, dan “perwakilan pengusaha”).
Dalam hal ini, gagasan pemimpin muslim untuk Jakarta (politik identitas) dibuat sedemikian rupa agar menarik dan dapat diterima terutama oleh para pemilih. Pendapat Bourdieau (2000) yang mengatakan bahwa “politik adalah suatu perjuangan demi gagasan-gagasan” sesungguhnya dipraktikkan oleh gerakan 411, 212, dan seterusnya.
Hal ini tentu saja sangat menarik dikaji dalam perspektif antropologi kekuasaan yang melihat bagaimana manusia berpikir, mengorganisasikan diri, serta menyiasati perkembangan politik di ibukota yang sangat dinamis dalam konteks pilkada DKI Jakarta. *
Tulisan ini adalah bagian dari eksplorasi ide penulis sekaligus penghargaan kepada guru kami, yang telah 'membuka jalan' dan memperluas perspektif: almarhum Professor Achmad Fedyani Saifuddin.
No comments:
Post a Comment