Monday, November 19, 2018

[In Memoriam Achmad Fedyani Saifuddin]: Memahami Konflik dan Resistensi (11)

Karl Marx, salah seorang filsuf berpengaruh dalam teori konflik
Ada dua aliran dalam teori konflik, yaitu Non-Marxian dan Marxian. Kedua teori ini cukup penting untuk dicermati karena dianggap sebagai “jalan keluar” (atau alternatif baru) terhadap paradigma struktural-fungsionalisme yang mengalami kritikan tajam karena dianggap sangat positivistik. Ternyata, kendati hendak keluar dari nuansa positivistik, kedua teori ini juga tidak bisa melepaskan dirinya dari pemikiran yang positivistik.

Pertama, teori konflik Non-Marxian. Teori ini melihat bahwa konflik adalah gejala normal yang terjadi dalam internal masyarakat. Karena, anggapan normal tersebut, maka teori ini sesungguhnya berkaitan sekali dengan pemeliharaan sistem sosial atau nilai-nilai yang bercorak keseimbangan (ekuilibrium) pada akhirnya. Ini pada akhirnya akan positivistik seperti struktural-fungsionalisme karena dekat pada keseimbangan sistemik.

Sebab teori ini yang dibawa oleh beberapa tokoh seperti M. Gluckman, L. Coser, dan G. Simmel, dianggap sebagai teori yang melihat konflik dalam pandangan fungsional dan menyumbang bagi terpeliharannya masyarakat.

Teori yang tidak memasukkan unsur dialektika (pertentangan dualisme) dianggap sebagai teori yang statis, padahal masyarakat bersifat dinamis yang di dalamnya terkandung dialektika dalam bentuk-bentuknya yang khas.

Kedua, teori konflik Marxian. Teori ini melihat bahwa konflik adalah gejala yang wajar dan normal yang lahir dari internal masyarakat. Konflik terjadi karena adanya berbagai kelompok kepentingan yang terlibat konflik ketimbang pada sistem nilai sebagaimana kelompok Non-Marxian.

Jika konflik Non-Marxian cenderung pada ekuilibrium, maka dalam teori ini lebih berfokus pada perubahan revolusioner. Jadi, sistem tidak begitu relevan untuk dipertahankan ketimbang perubahan itu sendiri yang berbasis pada pandangan dialektika materialisme.

Karl Marx misalnya, menegaskan bahwa dalam konflik antara kelompok kepentingan borjuis dan proletar akan bermuara pada diktator proletariat yang pada akhirnya akan dimenangkan oleh kaum proletar dengan terciptanya masyarakat sosialis tanpa kelas. Pemikiran yang diambil dari dialektika Hegel dan materialisme Feurbach tersebut juga pada akhirnya tidak bisa melepaskan diri dari jerat fungsionalisme masyarakat yang baik—seperti yang ditulis Marx dalam masterpiece-nya, Das Capital.

Pada pengikut teori—baik yang mempertahankan unsur politik atau “menyunatnya” menjadi apolitis—tidak dapat melepaskan diri dari pemikiran evolusionistik, sistemik, struktual-fungsional, dan tentu saja: positivistik. Tambahan lagi, di kalangan antropolog, teori ini tidak begitu diperhatikan kecuali dimulai pada tahun 1980-an yang terlihat dari beberapa teori seperti dependensi Frank dan materialisme kebudayaan Harris.

Akan tetapi, kendati cenderung positivistik, teori ini juga berpengaruh pada tokoh lainnya seperti L. White, G. Childe, dan J. Steward. Bahkan, teori tindakan sosial dari F. Bailey yang melihat bahwa manusia adalah pelaku yang aktif, kreatif, dan manipulatif dalam berhadapan dengan lingkungan juga terpengaruh oleh teori konflik Marxian—yang jika dirunut ke belakang—Bailey juga terpengaruh oleh Durkheim dan Radcliffe-Brown yang menjadi punggawa dalam paradigma struktural-fungsionalisme.

Kedua teori konflik di atas (Non-Marxian dan Marxian) rupanya menjadi tesis dan antitesis yang membuahkan sebuah sintesis teori baru, yaitu resistensi. Teori resistensi lahir sebagai kritikan kepada kedua poros tersebut. Jika poros Non-Marxian melihat nilai dan Marxian melihat kelompok kepentingan dalam masyarakat, maka teori ini melihat dari sudut yang berbeda yang menekankan pada hubungan sosial, nilai-nilai, dan simbol-simbol yang ada dalam masyarakat. Poros ini dianggap lebih “membumi” ketimbang kedua poros di atas karena mencoba mengangkat pandangan native (native’s viewpoint) yang terkandung di dalamnya kompleksitas hal-hal seperti relasi kuasa, nilai-nilai, dan simbol-simbol yang dipakai oleh masyarakat pemilik kebudayaan.

Pandangan yang lebih kultural ini dapat dilihat misalnya dari penelitian Lila Abu-Lughod pada masyarakat Badui. Dalam risetnya, Abu-Lughod mencoba mengangkat secara simbolik syair-syair perempuan Badui yang dinyanyikan secara internal sebagai resistensi kepada kaum laki-laki. Dalam The Romance of Resistance, Abu-Lughod (1990) memulai dengan mengatakan bahwa salah satu masalah dalam ilmu manusia adalah soal hubungan antara resistensi dengan power.

Ketika seorang perempuan hendak menikah, ibunya bersenandung secara simbolik tentang betapa berharganya perempuan tersebut di tengah pandangan bahwa perempuan adalah “makhluk kelas dua” (secondary status) yang menurut Ortner (2006) pandangan tersebut berlaku universal di berbagai kebudayaan dunia.

Berdiri pada “pundak” Bourdieu dan Gramsci, Abu-Lughod ingin menjelaskan tentang pentingnya praktik ideologi dalam kekuasaan dan perlawanan serta menggali hal-hal simbolik dalam resistensi tersebut dengan relasi-relasi yang ada dalam masyarakat. Syair-syair kritis yang dibacakan dalam situasi sosial yang tertutup dan equal tersebut adalah bentuk-bentuk resistensi simbolik yang dilakukan oleh perempuan terhadap sistem yang ada. Masalah sosial setempat seperti segregasi seksual dilawan oleh kalangan perempuan dengan memblok perkawinan putrinya meskipun ayahnya berusaha untuk mengontrol anak perempuan tersebut.

Kajian tentang resistensi yang kultural selain Abu-Lughod misalnya, dapat kita lihat dalam tulisan Arlene Elowe Macleod (1992), Hegemonic Relations and Gender Resistence, yang menulis bahwa resistensi perempuan sepanjang sejarah terlihat ibarat puzzle yang sulit. Walaupun mereka melawan akan tetapi mereka tetap terbatas dalam struktur sosial. Dalam tulisannya, Macloed mengeksplorasi puzzle perlawanan perempuan terhadap perubahan secara kultural dan bagaimana mereka menghadirkan struktur sosial yang setara dalam relasi gender.

Di Timur Tengah, ia memberikan contoh, perempuan sering menjadi korban opresi budaya yang dikaitkan dengan agama Islam. Perempuan hanya diposisikan dalam lingkaran harem (tempat yang terbatas) dan terkekang yang secara simbolis termanifestasi dalam jilbab. Di Kairo, beberapa perempuan memang mengatur keuangan rumah tangga mereka, mengatur perkawinan, mengkoordinasi jaringan sosio-ekonomi.

Dalam kajiannya terhadap perempuan bekerja dalam stratifikasi bawah dan menengah di Kairo yang muncul setelah revolusi tahun 1952 di Mesir di bawah komando Gamal Abdul Nasser, Macleod mendapatkan fakta resistensi kultural perempuan muslim dengan membuat bentuk jilbab jenis baru untuk mengganti pakaian ala Barat. Macloed melihat bahwa politik pakaian ini berpusat pada ekspresi pesan kontradiktif antara protes, resistensi, dan akomodasi terhadap perubahan budaya yang menuntut untuk menggunakaan jilbab atau turban yang secara simbolik fashionable.

Pendekatan konflik yang dilihat secara kultural tampaknya lebih menarik ketimbang sekedar melihatnya dari pandangan politik atau nilai-nilai belaka. Sistem simbol yang ada dalam kebudayaan masyarakat sesungguhnya mengandung banyak pesan yang dapat dikaji oleh antropologi simbolik untuk mendapatkan makna-makna terdalam dari konteks sosial yang terjadi dalam masyarakat tersebut.

Dalam konteks Indonesia misalnya, teori resistensi kultural dapat dilihat misalnya dari perlawanan yang dipimpin oleh para ulama Jakarta yang menolak calon gubernur dari Non-Muslim karena anggapan kultural bahwa Jakarta dibebaskan oleh Fatahillah sebagai salah satu “benteng” umat Islam di tanah Jawa di tengah perlawanan terhadap kolonialisme Eropa. Walaupun kolonialisme telah tiada, akan tetapi resistensi para ulama dengan mengangkat nilai-nilai kultural simbolik masih tetap digunakan untuk tujuan kekuasaan yang dikendalikan oleh umat Islam.

Selanjutnya, masuk pula pemikiran Foucault dalam kajian teori konflik dalam antropologi membuat kajian konflik yang terkait dengan solidaritas (Durkheim), ekonomi kapitalis (Marx), dan tindakan rasional (Weber) semakin “bergairah” dengan adanya perspektif baru dalam melihat konflik.

Foucault datang kepada kita dengan membawa teori wacana yang “nasab” pemikirannya tidak lepas dari stukturalis Levi-Strauss (1908-2009) yang berguru pada pemikiran Durkheim. Foucault memulai kajian wacananya dengan melihat bahwa semua pemikiran manusia bekerja dengan bahasa yang diorganisir dengan cara yang sama. Dari bahasa, kemudian Foucault membahas tentang pengaturan tubuh manusia dalam bentuk aturan seksualitas yang ia sebut sebagai politik-anatamo. Pengaturan atas tubuh tersebut ia sebut juga dengan nama bio-politik.

Menurut Foucault, yang paling signifikan dalam kehidupan manusia modern adalah bukan pada fakta bahwa mereka berdasar pada ekonomi kapitalis seperti kata Marx atau bentuk baru dari solidaritas seperti kata Durkheim atau ejawantah tindakan rasional ala Weber, akan tetapi bagaimana pengetahuan-pengetahuan baru muncul (wacana) dan mendefinisikan kehidupan manusia modern (Jones, Bradbury, dan Le Boutillier, 2016: 179).

Wacana yang tersebar dalam manusia modern itu tersebar dalam berbagai bentuk seperti definisi tentang mana yang normal dan abnormal. Dalam medis misalnya kita melihat wacana itu hadir dalam media pendidikan (seperti pendisiplinan tubuh, jenjang pendidikan), bidang hukum (seperti penjara untuk mendisiplinkan “tubuh-tubuh jahat” dengan para aktor seperti polisi, jaksa, hakim, dan sipir), serta dalam bidang kesehatan (seperti medikalisasi kelahiran, perkawinan dan keluarga, atau kematian). Manusia modern, kata Foucault tunduk pada kekuasaan definisi tentang yang normal dan yang menyimpang.

Dalam konteks antropologi kekuasaan, Foucault memberikan sumbangsih pada pemikiran bahwa kekuasaan itu dapat dilihat dalam berbagai bentuk kekuasaan wacana (discourse power) yang tersebar di berbagai tempat dalam konteks masyarakat maupun individu. Dengan adanya kekuasaan wacana tersebut, masyarakat kemudian mengorganisir dirinya dalam berbagai bentuk kelompok sosial dan melakukan resistensi kepada struktur sosial yang ada untuk memenangkan kontestasi. Artinya, bahasa atau wacana dapat dipahami sebagai sebentuk upaya untuk menciptakan dan menstrukturkan dunia berdasarkan kebudayaan tertentu karena bahasa dapat dianggap sebagai isi kebudayaan.

Dalam bahasa lain, Foucault memberikan kita pengaruh pada gagasan yang dia sebut sebagai governmentality, yaitu gagasan bahwa kekuasaan pada masyarakat kontemporer bekerja pada individu yang memberi efek pada aspek-aspek spesifik kelakuan manusia. Persebaran wacana ini memungkinkan untuk melihat bahwa sebab-sebab konflik itu tidak semata karena faktor kapitalisme, solidaritas atau tindakan rasional, akan tetapi karena pengaruh persebaran kekuasaan wacana dalam berbagai sisi kehidupan manusia. *

Tulisan ini adalah bagian dari eksplorasi ide penulis sekaligus penghargaan kepada guru kami, yang telah 'membuka jalan' dan memperluas perspektif: almarhum Professor Achmad Fedyani Saifuddin. 

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...