Negara-bangsa (sumber foto: allevents.in) |
Pada mulanya, negara bangsa digunakan oleh negara-negara di Eropa, yang kemudian diadopsi di Indonesia dalam bentuk negara kesatuan. Salah satu unsur yang menyatukan negara bangsa adalah faktor kesamaan budaya. Sumpah Pemuda 1928 hingga Proklamasi 1945 terlahir dari kesadaran bahwa kemajemukan (kebhinnekaan) yang ada di Indonesia perlu disatukan menjadi sebuah bangsa agar dapat memberikan kemakmuran bersama.
Ketika Indonesia dijajah kembali oleh Belanda—lewat Agresi Militer I dan II—bangsa Indonesia bersatu mengorbankan jiwa dan raga untuk mempertahankan negara bangsa dari kemungkinan penjajahan tersebut. Namun, seiring dengan perubahan dunia yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, konsep negara bangsa menjadi kajian yang semakin menarik.
Pertama, jika di masa lalu batas-batas fisik (geografis) sebuah negara sangat konkrit, kini batas-batas tersebut menjadi “abu-abu” seiring dengan perkembangan teknologi. Kedua, batas-batas wilayah itu kini menjadi semakin abu-abu seiring dengan difusi kebudayaan, bahkan diaspora yang terjadi di berbagai negara. Kedua hal ini—geografis dan difusi kebudayaan—menjadikan apa yang disebut sebagai batas-batas (boundaries) menjadi sedikit kabur dan menuntut untuk dikaji kembali.
Kekaburan tersebut misalnya terlihat dari difusi budaya melayu yang dulu tersebar di seantero dunia Melayu tapi kemudian ketika negara bangsa muncul—seiring dengan kolonialisme dan kemerdekaan—hal-hal tersebut menjadi ajang kontestasi antara satu dan lainnya. Sikap Malaysia yang menyatakan beberapa legacy seperti lagu daerah dan karya orang Melayu sebagai kebudayaan mereka sempat dikritik oleh publik Indonesia yang menyatakan bahwa lagu-lagu tersebut adalah milik Indonesia.
Ini menjadi problematika tersendiri mengingat sebelum Indonesia dan Malaysia merdeka, orang-orang Melayu telah tersebar di berbagai wilayah Melayu dan tentu saja menyebarkan kebudayaan dari daerah asal mereka.
Orang Bugis yang menetap di Malaysia tetap menggunakan budaya Bugis, walaupun terjadi variasi-variasi baru dari kebudayaan tersebut di tempat yang baru. Akan tetapi, ketika mereka tergabung dalam negara Malaysia dan mengklaim legacy tersebut sebagai kebudayaan mereka—karena telah dipraktikkan sejak lama—timbul soalan baru bahwa yang berhak pada budaya tersebut adalah Indonesia. Pada titik ini, budaya disamping menjadi hak yang ada pada tiap komunitas juga menjadi kontestasi dalam ruang negara bangsa.
Saat ini, seiring dengan perkembangan zaman, konsep negara bangsa pun mulai bergeser dari yang konkrit menjadi imajinasi dan rentan untuk berubah. Pergeseran tersebut terjadi karena faktor perkembangan teknologi dan dunia yang semakin menyempit antara satu dan lainnya. Mereka yang tinggal di perbatasan Malaysia misalnya, secara legal-formal orang Indonesia akan tetapi secara budaya dekat dengan Malaysia yang terlihat dari bahasa serta kebudayaan yang mereka gunakan.
Artinya, secara fungsional, masyarakat—kendati beridentitas Indonesia—tidak bisa menafikan faktor kedekatan dengan kebudayaan Malaysia.
Pada titik ini, ada pertanyaan: apakah penduduk Indonesia yang tinggal di periferi diwajibkan untuk menjadi orang Indonesia dengan berbahasa dan budaya Indonesia?
Ternyata faktanya tidaklah demikian, karena mereka mencukupi kehidupan hidupnya berdasarkan apa-apa yang dapat mereka lakukan. Dalam hal ini, kedekatan dengan Malaysia membuat mereka dapat melintas-batas antara negara tanpa ada perasaan harus menjaga nasionalisme. Di titik ini, faktor kultural yang memiliki irisan di Indonesia dan Malaysia mendekatkan antara satu dan lainnya untuk bermitra dan berinteraksi.
Saat ini, kendati pemerintah mensosialisasikan negara kesatuan akan tetapi banyak faktor yang dapat menciptakan perubahan. Sebagai contoh, Kesultanan Ternate yang berabad-abad sebelum Indonesia mereka telah eksis dan memiliki demokrasi di empat kesultanan lewat Konfederasi Moti: Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Ketika Bung Karno meminta kepada Sultan Ternate agar menggabungkan Ternate dengan Republik, saat itu Sultan setuju akan tetapi dengan syarat menggunakan sistem federal karena Kesultanan Ternate telah memiliki sejarah dan relasi kuasa yang panjang terutama di Kawasan Timur Indonesia.
Akan tetapi, pergeseran pun terjadi dan Ternate hanya menjadi “subordinasi” dari Provinsi Maluku yang beribukota di Ambon. Padahal, sebelumnya Ternate merupakan kesultanan besar. Pada titik ini, perubahan demi perubahan pun sangat mungkin terjadi, baik di tingkat kesultanan yang ada di Indonesia maupun negara bangsa. Dalam konteks perubahan di negara bangsa, beberapa tahun lalu ide tentang federalisme kembali dibahas di banyak tempat, akan tetapi ide negara kesatuan yang belakangan ini lebih memenangkan kontestasi.
Akan tetapi, perubahan zaman dapat membuat konsep negara bangsa kembali dipertanyakan jika beberapa hal terjadi. Pertama, menguatnya ketidakadilan yang berakibat pada tuntutan federalisme atau melepas diri dari Indonesia. Kedua, konflik yang menyebabkan Indonesia menjadi negara gagal dan olehnya itu konsep negara bangsa dianggap tidak relevan. Poin pertama memiliki potensi jika dilihat dari masih timpangnya pembangunan di Indonesia Barat dan Timur serta potensi separatisme yang belum tuntas seperti yang digerakkan oleh kelompok Organisasi Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan, GAM Aceh, atau kelompok Islam seperti Negara Islam Indonesia, atau Hizbut Tahrir yang belakangan memiliki pengikut yang cukup banyak terutama di kalangan menengah.
Kemungkinan kedua, jika korupsi dan konflik terjadi dan Indonesia menjadi negara gagal, maka konsep negara bangsa pun menjadi hilang dengan sendirinya karena masyarakat menjadi semakin realistis yang mereka butuhkan. Akhirnya, saat ini negara bangsa walaupun ada secara fisik, akan tetapi lebih banyak berada dalam pikiran orang-orang karena sifatnya yang ideal.
Hal penting dalam kajian tentang negara adalah negara dapat dilihat sebagai produk yang terlahir dari kontestasi berbagai kepentingan. Dalam konteks ini, maka tidak dapat disalahkan sepenuhnya jika ada yang menganggap bahwa negara lahir dari konflik antar kelas yang ada di masyarakat sebagaimana yang diyakini oleh Marxian. Kemerdekaan dalam perspektif Marxian dapat disebut sebagai konflik antara “borjuis” (sebutlah Jepang) melawan “proletar” (bangsa Indonesia) yang menghasilkan masyarakat bangsa yang disebut sebagai Republik Indonesia. Akan tetapi, konsep borjuis di Eropa tidak sepenuhnya kontekstual dengan fakta sosial di Indonesia, karena kelas-kelas seperti itu tidak ada di Indonesia.
Adapun tudingan sebagian ahli bahwa imajinasi negara bangsa adalah Marxian disebabkan karena imajinasi negara bangsa dilihat sebagai sebuah gejala yang wajar yang lahir dari rahim masyarakat yang berubah. Di tengah kontestasi berbagai kelompok kepentingan (interest group) maka untuk menciptakan sebuah “keseimbangan baru” maka dibutuhkan sebuah imajinasi yang berada di tiap warga bahwa negara bangsa ini merupakan imajinasi kita bersama. Pada akhirnya, imajinasi ini juga hendak mempertahankan sistem sebagaimana pandangan struktural-fungsional. Jadi, pemikiran untuk mempertahankan sistem yang terlihat lewat kontestasi berbagai kelompok pada akhirnya bertujuan untuk menjaga keseimbangan satu sama lain dalam sebuah sistem negara bangsa. *
Tulisan ini adalah bagian dari eksplorasi ide penulis sekaligus penghargaan kepada guru kami, yang telah 'membuka jalan' dan memperluas perspektif: almarhum Professor Achmad Fedyani Saifuddin.
No comments:
Post a Comment