Monday, November 19, 2018

[In Memoriam Achmad Fedyani Saifuddin]: Relevansi 'the Tragedy of the Commons' bagi Antropologi (7)

Garret Hardin
Pada tahun 1968, ahli ekologi dan filsuf Amerika Garret Hardin (1915-2003) menulis sebuah sebuah artikel berjudul “The Tragedy of the Commons” di majalah Science. Dalam tulisan tersebut, Hardin menulis terkait "kerusakan yang dilakukan oleh individu terhadap lingkungan."

Artikel Hardin ini merupakan salah satu bagian dari materi perkuliahan yang diasuh Professor Afid.

Garret Hardin menulis bahwa setiap intrusi ("perembesan terhadap alam"/sikap kita terhadap alam) memiliki banyak efek yang tidak bisa diprediksi. Dia juga menulis bahwa populasi yang berlebihan akan mendorong terjadinya eksploitasi sumber daya alam berlebih yang mengakibatkan kemerosotan sumber daya alam dan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sumber daya yang dimiliki bersama seperti laut, sungai, udara dan hutan rentan untuk mengalami degradasi massif. Hal ini disebabkan karena bebasnya hak akses untuk mengambil sumber daya alam.

Untuk menghindari adanya bencana tersebut, maka Hardin memberikan usulan sebagai berikut. Pertama, kepemilikan bersama (the commons) harus diprivatisasi atau dipelihara sebagai kepemilikan publik dimana hak untuk akses dan menggunakan sumber daya itu dapat dialokasikan. Kedua, degradasi sumber daya tidak terelakkan kecuali kepemilikan bersama (common property) itu dikonversi menjadi kepemilikan private atau sosialisme (kontrol oleh pemerintah).

Selama hampir 50 tahun kemudian, statement Hardin tersebut menemukan relevansinya yang dapat dilihat dari beberapa faktor. Pertama, kontrol atas sumber seperti laut oleh pengguna hampir tidak mungkin karena sumber daya seperti ikan dan hewan laut lainnya berpindah-pindah. Akan tetapi, kendati sumber daya tersebut berpindah-pindah, laut saat ini menjadi ajang perebutan (tidak lagi bebas akses) yang maksimal oleh negara-negara terkait, seperti kasus Laut Cina Selatan dimana negara-negara sekitar berlomba-lomba untuk mempertahankan wilayah tersebut karena dianggap memiliki nilai strategis untuk kepentingan nasional (national interest) mereka. Kalaupun kontrol terhadap sumber daya laut tidak bisa karena berpindah-pindah, akan tetapi kecenderungan politik negara-negara tertentu melihat bahwa penguasaan territorial laut sangat strategis bagi kepentingan nasional mereka.

Kedua, kontrol terhadap sumber daya non-benda hampir tidak mungkin, seperti terhadap atmosfer global, frekuensi radio, dan komunikasi nirkabel. Pada faktanya hari ini kontrol terhadap sumber daya non-benda tersebut memang masih sulit dilakukan. Sebagai contoh, komunikasi nirkabel dalam bentuk sosial media saat ini berkembang begitu cepat dan sangat kaya dengan data yang begitu sulit untuk dikontrol. Sebagai contoh, ketika Pemerintah Indonesia memblokir sekian banyak situs porno dan situs yang dianggap radikal. Pada saat yang tidak lama kemudian muncul kembali situs-situs tersebut lebih banyak. Hal ini menjadi tanda bahwa memang kontrol terhadap fenomena nirkabel yang sangat cepat dan dinamis ini menjadi sulit dewasa ini.

Bagi Indonesia, tragedy of the commons memiliki untung dan rugi sebagai berikut.

Satu, Indonesia adalah negeri maritim terbesar di dunia, namun perhatian terhadap masyarakat maritim baru dimulai pada sekitar satu dekade terakhir. Seharusnya Indonesia yang mengakui dalam sebuah lagu terkenal “nenek moyangku seorang pelaut” mengembangkan potensi laut untuk kemakmuran bersama. Selama Orde Baru, pembangunan kita memang lebih berorientasi pada daratan dan barat ketimbang lautan dan timur atau luar Jawa. Padahal, potensi laut dan alam di luar Jawa begitu besar yang dapat digali untuk kepentingan bangsa.

Dua, lingkungan air (lautan, sungai, danau, bawah laut) masih dianggap bagian dari kajian mengenai masyarakat desa sehingga kompleksitas kehidupan masyarakat maritim kerapkali dianggap sebagai variasi dari kajian pedesaan. Program pemerintah memang belum begitu menyentuh pada hajat hidup orang banyak. Masih lebih banyak sekedar jadi agar proyek berjalan. Sebagai contoh, di Tobelo (Halmahera Utara) ada Puskesmas Terapung yang dianggarkan oleh APBN untuk kebutuhan masyarakat pesisir, akan tetapi ketika kapal tersebut rusak, langsung ditinggalkan karena tidak ada anggaran yang dialokasikan jika kapal tersebut rusak. Selain tidak ada anggaran, jika spare part yang dibutuhkan untuk memperbaiki kapal tersebut tidak mudah dicari dan biayanya dianggap terlalu mahal. Akhirnya, proyek pemerintah untuk peningkatan kualitas masyarakat nelayan pesisir tersebut tidak berjalan, kendati di atas kertas kegiatannya telah terlaksana.

Apa relevansinya bagi antropologi?

Relevansi tragedy of the commons bagi antropologi tentu saja begitu besar. Pertama, para Antropolog perlu mengkaji lebih lanjut apa sebab terjadinya perubahan iklim berbasis pada human behavior. Efek rumah kaca, pengrusakan hutan, kemiskinan, polusi dan lain sebagainya terjadi karena “ulah manusia”, atau dalam kata lain terjadi karena aktivitas manusia.

Penebangan hutan tanpa reboisasi misalnya menyebabkan terjadinya banjir yang sangat besar, seperti yang pernah terjadi di Wasior, Papua Barat. Kemudian, kemudahan dalam izin HPH oleh kementerian (di masa lalu) membuat banyak kontraktor yang dengan mudah menebang hutan tapi tidak peduli lagi kepada ekosistem. Terjadinya polusi udara dan air laut yang melanda beberapa tempat di Indonesia akibat AMDAL yang tidak tidak diakibatkan karena sifat manusia yang cenderung mengeksploitasi tanpa memikirkan efek kerusakan dari eksploitasi tersebut. Dalam konteks ini, Antropolog dapat meneliti tema-tema tersebut dan memberikan semacam fakta lapangan sekaligus rekomendasi untuk para pengambil kebijakan dan stakeholders.

Kedua, Antropologi dapat menyumbangkan pemikiran bahwa overpopulasi yang melanda planet kita memang pada faktanya menyebabkan terjadinya eksploitasi besar-besar atas sumber daya alam sebagaimana yang ditulis oleh Garrett Hardin. Dalam hal ini, pendapat Hardin dapat diteruskan dengan kajian lebih kontemporer atas berbagai perusahaan multinasional yang ada di Indonesia (Freeport, EXXON, dst) dan berbagai perusahaan swasta lainnya yang melakukan eksploitasi demi keuntungan private atau perusahaan ketimbang keuntungan masyarakat umum.

Ketiga, gejala transnasional (ide-ide dan pengaruh global ke daerah) telah mengakibatkan terjadinya liberalisasi ekonomi yang pada gilirannya menjadikan para nelayan (sebagai contoh) ditentukan oleh kekuatan pasar atau oleh aktor-aktor bukan nelayan. Di Pantai Tobelo misalnya, ketika nelayan tiba di jembatan untuk menurunkan hasil tangkapannya pada saat itu harga telah berubah dari harga nelayan ke harga orang kedua (penadah) yang kemudian akan beralih menjadi harga orang ketiga ketika tiba di pasar.

Efeknya kemudian adalah: nelayan hanya mendapatkan keuntungan yang tidak seberapa, sementara harga yang di jual di pasar begitu tinggi. Memang, dalam hal ini ada jaringan ekonomi yang sambung-menyambung, akan tetapi nelayan menjadi dirugikan karena tidak mendapatkan hasil yang maksimal atas usahanya. Sebaliknya yang mendapat hasil maksimal adalah penadah atau penjual dengan skala lebih besar seperti penjual teripang yang kemudian mengekspor teripang ke negara luar seperti Taiwan. Untuk itu maka peranan Antropolog sangat baik untuk menangkap apa saja fakta lapangan yang terjadi terkait dunia nelayan, bagaimana peranan mereka sebagai aktor dalam jaringan ekonomi tersebut. 

Kemerosotan sumber daya akibat eksploitasi tersebut pada akhirnya berimplikasi pada tatatan sosial dan politik. Di salah satu daerah di Indonesia Timur misalnya, ada perusahaan tambang emas yang besaran keuntungan mereka tidak memberikan efek pertumbuhan serius bagi masyarakat lingkar tambang yang berimplikasi pada demonstrasi secara berkala yang dilakukan masyarakat. Dana CSR yang disalurkan via yayasan tertentu juga disinyalir telah dibagi-bagi kepada elite-elite lokal tertentu yang mengakibatkan masyarakat tidak mendapatkan “berkah” dari adanya perusahaan tambang tersebut secara massif.

Hal ini tentu saja menjadi tragedy dimana sumber daya alam (tanah, common property) yang seharusnya menumbuhkan derajat manusia menjadi ajang perebutan dan masyarakat sekitar tanah tersebut tidak mendapatkan hak yang maksimal karena telah dieksploitasi oleh perusahaan yang membawa aturan-aturan tertentu untuk kepentingan perusahaan. *

Tulisan ini adalah bagian dari eksplorasi ide penulis sekaligus penghargaan kepada guru kami, yang telah 'membuka jalan' dan memperluas perspektif: almarhum Professor Achmad Fedyani Saifuddin. 

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...