Sampai kini saya termasuk yang senang mendokumentasikan kegiatan--bahkan berfoto dengan para professor--dengan tujuan untuk mendapatkan inspirasi pemikiran dari mereka. Kadang, yang ada hanya sekedar foto, tapi foto itu sesungguhnya dapat menjadi "pengikat" bagi bacaan selanjutnya.
Bersama Professor James J. Fox |
Ketika berfoto dengan Professor James J. Fox (ANU) setelah nonton bareng (nobar) film etnografi terkait kebudayaan Jawa dan Rote di FISIP UI, saya memperkenalkan diri sebagai mahasiswa doktoral yang sedang meneliti tentang radikalisme-moderat--sebuah judul sementara untuk disertasi saya. Prof Fox bertanya, "apakah radikalisme ini terkait dengan organisasi seperti Hizbut Tahrir, atau bagaimana?" Saya jawab, "saya mencoba meneliti soal aktivisme Islam kelompok INSISTS di Indonesia yang memiliki jejaring di berbagai kota di Indonesia, bahkan luar negeri.
Terminologi "radikal" yang saya pakai--untuk sementara--merujuk para pemikiran yang menghendaki perubahan secara mendasar (fundamental reform). Dalam konteks INSISTS, saya melihat bahwa mereka melakukan fundamental reform dalam bentuk gerakan pemikiran dengan melahirkan berbagai jejaring kerjasama untuk itu.
Selama ini, kalau orang bicara radikal selalu konotasinya buruk. Padahal, radikal itu tidak selalu buruk. Radikalisme pemikiran itu bahkan bisa baik. Sejarah ilmu pengetahuan juga telah membuktikan bagaimana para ilmuwan melakukan penelitian yang radikal yang kemudian mengubah jagad pengetahuan. Tapi memang, "radikalisme pemikiran" tersebut terkadang tidak mendapatkan penerimaan dengan kekuasaan. Yang terjadi, kadang radikalisme tanpa kekerasan itu mendapatkan penentan yang signifikan dari penguasa. Konflik antara ilmuwan dengan gereja di masa lalu menjadi bukti bahwa ilmu bisa berhadapan vis a vis dengan power. Parahnya lagi, power acapkali menipulasi segala sesuatu untuk melanggengkan kekuasaan yang mereka pegang erat.
"Radikalisme moderat", sebuah konsep yang bersama supervisor disertasi saya, Professor Achmad Fedyani Saifuddin kita rumuskan hendak melihat bahwa dalam konteks Indonesia ini, kelompok yang dianggap radikal dan moderat sangat tergantung pada kekuasaan. Siapa yang berkuasa, dia yang akan menentukan mana kiri mana kanan, mana benar mana salah. Salah satu contoh sederhana, Hizbut Tahrir Indonesia di masa Presiden Yudhoyono tidak dianggap radikal--bahkan mereka diterima secara legal--tapi di masa Presiden Jokowi mereka dibubarkan karena dianggap bertentangan dengan ideologi negara. Ini berarti bahwa terminologi itu sangat berkaitan dengan power, dan power itu sangat ditentukan oleh penguasa.
Saya teringat saat bertemu professor antropologi lainnya, yaitu Professor Robert W. Hefner (Boston University) dalam pertemuan World Peace Forum di Jakarta. Ketika itu, saya mengatakan bahwa saya hendak meneliti soal radikalisme. Prof Hefner mengomentari bahwa dia tidak begitu suka menggunakan kata "radikalisme". Bisa jadi karena kata tersebut memang cenderung untuk melihat orang lain dengan perspektif yang negatif, seperti di masa lalu ketika para etnografer melihat orang di luar Eropa sebagai makhluk yang liar, barbar, bahkan "setengah setan."
Bersama Professor Robert W. Hefner |
Mungkin, penolakan Prof Hefner untuk menggunakan kata "radikalisme" tersebut sangat berkaitan dengan upaya untuk menghindar dari sifat prejudice kepada orang lain. Artinya, semangat keberislaman di Indonesia yang terlihat dari berbagai simbol-simbol keislaman mungkin bisa dilihat sebagai fakta keberagamaan (religiosity) yang merupakan kelanjutan dari masuknya Islam ke negeri yang multietnis dan golongan ini. Kasus Aksi Bela Islam 212--dan turunan gerakannya, misalnya--tidak bisa dengan mudah dicap sebagai radikal, akan tetapi itu bagian dari semangat keberislaman yang tidak ingin adanya penodaan terhadap agama. Cuma memang, karena aksi itu berbarengan dengan gerakan yang menginginkan "Gubernur Muslim untuk Jakarta" sekaligus penolakan terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, maka aksinya pun jadi semakin besar.
Ketika berfoto dengan Prof Hefner, saya memang belum banyak mengenal pemikirannya. Namun, saya jadi bersemangat untuk membaca kembali beberapa tulisannya yang sudah saya unduh dari internet. Termasuk, membeli bukunya Civil Islam yang menyoroti relasi antara umat Islam dengan demokrasi di Indonesia. Islam Sipil itu berarti Islam yang mengakomodasi demokrasi sebagai sarana untuk menciptakan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi masyarakat banyak.
Saat ini, bagaimana potret Islam Sipil tersebut? Kalau dilihat di lapangan, sesungguhnya saat ini sedang terjadi gelombong keberislaman yang lebih massif dari tahun-tahun sebelumnya dan bersifat moderat. Moderat dalam artian menerima Pancasila, anti-kekerasan, serta berupaya untuk membuat sintesa atas berbagai pengetahuan keislaman (dan juga lokalitas) dengan konsep-konsep dari barat seperti nasionalisme, demokrasi, keterbukaan, korupsi, dan lain sebagainya. Konsep-konsep barat itu saat ini mengalami "pribumisasi" dalam artian disesuaikan dengan konteks Indonesia.
(Pada kesempatan lain, saya akan coba menjelaskan lebih lanjut tentang pemikiran professor-professor yang pernah saya temui. Tulisan ini sekedar sebagai pemantik semangat untuk menulis saja).
No comments:
Post a Comment