Logo GARBI |
Menurut Mahfudz Siddiq, salah seorang loyalis Anis Matta, "Garbi adalah kumpulan orang yang mengorganisir diri dan aktivitasnya yang setuju, sependapat dengan ide tentang arah baru Indonesia, dan berupaya untuk memperjuangkan ide-ide melalui satu wadah yang namanya Garbi." (Tempo.co, 17/10/2018)
Lebih lanjut, kata Siddiq lagi, ide Arah Baru Indonesia (ABI) sebenarnya sudah ada sejak pemilu 2014 ketika Anis Matta masih sebagai Presiden PKS. Mereka yang terlibat dalam pembentukan ABI di antaranya adalah: Anis Matta, Mahfudz Siddiq, Fahri Hamzah, Jazuli Juwaini, Sukamnta, Taufik Ridho (alm), dan Mahfudz Abdurrahman. Rencana waktu itu adalah, gagasan ABI ini akan menjadi semacam "agenda nasional" PKS--yang waktu itu sedang naik-naiknya--untuk jadi partai papan atas, bukan papan tengah dalam politik Indonesia.
Post-PKS
Dalam berbagai organisasi yang namanya konflik dan integrasi pasti ada. Dalam literatur ilmu sosial, pembahasan soal konflik dan integrasi merupakan satu kesatuan, yang berarti bahwa dalam sebuah organisasi selalu ada hal-hal yang dapat menyatukan sekaligus hal-hal yang dapat memisahkan. Dalam beberapa tahun terakhir, peneliti umumnya membagi konflik dalam tubuh PKS dalam dua kelompok: pro-keadilan, dan pro-kesejahteraan.
Jika dibawa dalam konteks sekarang, pro-keadilan itu kelompoknya M. Sohibul Iman, sedangkan pro-kesejahteraan itu kelompoknya M. Anis Matta. Dua kubu tersebut dikenal juga sebagai kelompok "Simatupang" (DPP PKS) dan kelompok "Patra" (Anis Matta cs). Atau, lebih populer dengan nama "Osin" (Orang Sini/DPP PKS) dan "Osan" (Orang Sana/Anis Matta cs). Besar kemungkinan "Osin dan Osan" itu pertama kali lahir dari DPP PKS untuk membuat separasi antara: kita dan mereka.
Konflik dalam tubuh PKS yang terus berlarut-larut memberikan berbagai konsekuensi, seperti pemecatan loyalis Anis Matta, mundurnya berbagai caleg PKS, serta lahirnya resistensi internal dari tubuh kader-kader PKS yang tidak setuju dengan apa yang mereka sebut sebagai "kepemimpinan otoriter" yang dikomandani oleh Sohibul Iman.
Pemecatan Fahri Hamzah misalnya, sampai sekarang masih tetap hangat. Fahri, lelaki kelahiran Sumbawa yang telah terbina di PKS sejak mahasiswa adalah seorang politisi paling vokal dan paling viral dewasa ini, tidak hanya di PKS tapi juga di parlemen. Dia terus terang mengeritik Presiden Jokowi--yang dia berikan kartu merah--sekaligus membela hak-hak konstitusinya sebagai warga negara dan pejabat negara.
Singkat kata, konflik antara "oknum PKS"--Fahri menyebutnya seperti itu--dengan Fahri pada akhirnya dimenangkan oleh Fahri di persidangan, dan para "oknum tersebut"--mengutip Fahri lagi, diwajibkan untuk membayar ganti rugi sebanyak 30 miliar kepada Fahri, sebuah angka yang tidak kecil, tentu saja. Mereka yang wajib membayar ganti rugi tersebut adalah Presiden PKS M. Sohibul Iman, Wakil Ketua Majelis Tahkim Hidayat Nur Wahid, Ketua Dewan Syariah Surahman Hidayat, Anggota Majelis Tahkim Abdi Sumaithi, dan Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi Abdul Muiz Sa'adih.
Fahri sendiri kerap ditanya, "sekarang di partai mana?" Banyak yang tawarkan dia bergabung sebagai pengurus inti. Tapi dia tidak mau. Dia tetap ingin sebagai kader PKS. Kata Fahri, "Saya tidak kemana-mana." Dia tetap di PKS, cuma mungkin tidak kelihatan. "Sebagaimana aku menerimamu, terimalah juga aku apa adanya," kurang lebih itu kata Fahri Hamzah, suatu ketika dengan suara yang pelan.
Pasca kemenangan Fahri di persidangan tersebut, gagasan untuk lahirnya organ baru, pasca-PKS pun bermunculan. Beberapa waktu lalu, Anis Matta memang sempat "menghilang" dari radar berita, dan banyak orang bertanya, "kemana Anis Matta?" Tapi, kemudian dia muncul kembali di acara KA-KAMMI di salah satu hotel di Jakarta Selatan yang bercerita soal korelasi kalimat pertama yang diucapkan seorang pemimpin dengan debut kepemimpinannya, serta cara pemilih peran dan bagaimana memainkan peran secara efektif. "Saya rindu dengan taushiyah-taushiyah Ust Anis Matta," kata salah seorang kawan Facebook saya ketika membaca transkrip pidato Anis Matta yang sempat saya bagikan di medsos.
Artinya, ketidakhadiran Anis Matta dalam public life adalah bagian dari kehilangan itu sendiri. Lelaki yang bertahun-tahun jadi Sekjen partai dakwah tersebut menjadi sangat dirindukan tidak saja karena dia dekat dengan binaannya, akan tetapi juga dia memiliki visi yang global, sekaligus dapat menjelaskan Islam dalam bahasa yang ringan dan dianggap relevan untuk menjawab tantangan zaman.
Maka, lahirlah satu-satu persatu organisasi GARBI, yang mengutip Cohen (1974) sebagai strategi adaptif (adaptive strategy) dari konflik yang terjadi di internal PKS. Sebenarnya, dalam sebuah acara KA-KAMMI di Kuningan, Jakarta Selatan (2/2/2018), Anis Matta juga sempat membahas soal "Indonesia perlu lompatan besar" agar dapat menjadi kekuatan kelima di dunia.
Saat itu, dia berbicara soal periodisasi keindonesian kita yang telah melewati tiga tahap, yaitu menjadi Indonesia, menuju dunia modern, dan menuju kekuatan ekonomi global. Dalam tahapan ketiga ini, kata Anis, kita diperhadapkan satu masalah, yaitu "langit terlalu tinggi dan kita terbang rendah." Maksud dia, kita punya kapasitas besar, tapi anehnya daya dorong kita lemah. Kelahiran ormas GARBI, yang diinisiasi oleh Anis Matta cs adalah bagian dari upaya untuk terbang tinggi di langit yang tinggi.
Gerakan Intelektual atau Proto-Parpol?
Nasib GARBI sesungguhnya sangat bergantung pada dua hal. Pertama, posisi Anis Matta di tubuh PKS. Jika Anis Matta dapat kembali menjadi presiden partai, maka ide-ide ABI itu akan dapat di-drive menuju apa yang dia cita-citakan dengan berasas pada Islam, nasionalisme, demokrasi, dan kemakmuran.
Secara internal, empat hal itu bisa diterapkan di PKS--walaupun tidak mudah--karena dialektika Islam dan demokrasi saat ini masih terus terjadi. Lelaki kelahiran Welado, Bone, Sulawesi Selatan 1968 tersebut berpandangan bahwa dialektika atau konfrontasi itu harus diakhiri. Maka, "menikmati demokrasi" dengan mengikuti aturan demokrasi harus menjadi pilihan jika ingin tiba pada kepemimpinan nasional di Indonesia yang multietnis ini.
Artinya, jika Anis Matta kembali jadi presiden partai, maka ormas GARBI akan berjalan sebagaimana adanya, menjadi "gerakan intelektual"--meminjam bahasa Mahfudz Siddiq. Praktis, GARBI tidak akan menjadi partai politik yang akan berkontestasi pada pemilu yang akan datang.
Tapi, jika posisi Anis Matta tetap status quo seperti sekarang yang tidak dapat apa-apa dan tidak bisa buat apa-apa, maka hal kedua yang cukup penting adalah: pada akhirnya nanti GARBI akan bertansformasi menjadi partai politik. Tak salah jika kita sebut saat ini GARBI adalah proto-parpol, yaitu "calon parpol" yang akan berkontestasi pada post-Jokowi versus Prabowo.
Banyak orang masih berharap agar konflik dalam tubuh partai dakwah yang lahir di reformasi tersebut bisa mereda, dan melahirkan integrasi. Para aktornya juga diharapkan bersatu, dan menemukan apa yang disebut sebagai kalimatun sawa, serta: ishlah. Akan tetapi, sepertinya harapan ini cukup berat karena secara internal, kelompok GARBI telah dianggap "duri dalam daging", dan mereka yang terafiliasi dengan GARBI pun diminta untuk keluar.
Mengutip Tifatul Sembiring, "...kalau sudah di GARBI silakan keluar dari PKS. Jangan sampai ada gerakan politik di dalam partai politik. Itu kan tidak sehat." (Tribun-Medan.com, 4/11/2018). Atau, dalam bahasa Presiden PKS Sohibul Iman bahwa "kalau sudah tidak bahagia di PKS" maka jangan membuat kegaduhan, apalagi memaksa. Ia mempersilakan kader yang "tidak bahagia" tersebut untuk hengkang dari partai.
Saya melihat, kemungkinan yang paling relevan adalah transformasi GARBI menjadi partai politik. Akan tetapi, tidak mudah untuk itu. Selama ini, mereka yang terafiliasi dengan PKS masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat, terutama seiring dengan kontestasi wacana "Islam transnasional" yang dianggap dapat merusak "Islam Indonesia", "Islam pribumi", atau "Islam lokal."
Maksudnya, PKS yang banyak terinspirasi dan dianggap kepanjangan tangan dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, dianggap masih mendua dalam gerakannya. Ketika Dr. Muhammad Mursi, petinggi Ikhwan yang tentu saja memiliki kedekatan emosional dengan PKS, terpilih sebagai presiden Mesir misalnya, gerakan untuk menjatuhkannya pun lahir, dan disokong oleh negara-negara barat untuk itu. Akhirnya, Mursi jatuh, dan dipenjara. Bayangkan, warga negara yang secara konstitusi menjadi presiden tapi dijatuhkan oleh demonstrasi besar.
Pada titik ini, ada satu hal yang disadari oleh aktivis PKS--atau yang terafiliasi dengan PKS dan pejuang politik Islam--bahwa kendati mereka memperjuangkan isu-isu nasionalis, tetap ada saja kalangan yang masih ragu dan menganggap bahwa ada visi islamisme yang tengah dibawa oleh aktivis dakwah tersebut. Tentu saja, ini menjadi tantangan tersendiri bagi aktivis partai dakwah soal bagaimana memperjuangkan kepentingan nasional tanpa harus dianggap memiliki misi terselubung misalnya "islamisasi"--suatu istilah yang masih jadi phobia terutama di kalangan yang lahir dan dibesarkan dalam kehidupan sekuler.
Tantangan GARBI jika jadi Parpol
Kita anggap saja GARBI menjadi partai politik. Apa saja tantangannya? Pertama, mereka akan diperhadapkan pada stereotype di masyarakat--terutama dari kalangan politisi, intelektual, dan aktivis "sekular"--yang melihat bahwa GARBI adalah kumpulan orang-orang dengan misi islamisasi. Entah kenapa, di masyarakat Islam ini islamisasi menjadi sesuatu yang dikhawatirkan. Setidaknya, sejak persoalan beberapa kata dalam Piagam Jakarta yang dihapus itulah kita melihat adanya dua faksi dalam tubuh politik kita, yaitu: nasionalis dan Islam.
Anis Matta hendak menggabungkan nasionalisme Islam itu dengan narasi yang lebih up to date. Dia sepertinya hendak keluar dari mainstream gerakan Islam yang lebih banyak melihat ke dalam ke gerakan sosial yang melihat ke luar. Artinya, Islam sebagai keyakinan personal haruslah dapat menjawab berbagai tantangan masyarakat. Di sini memang ada deviasi dari pemikiran Anis Matta yang dulu, sebutlah sangat islamis menjadi cenderung nasionalis.
Bisa dikatakan bahwa transformasi pemikiran Anis Matta yang dulunya, sebutlah terlihat sangat "berorientasi syariah" (syariah-oriented) kini berubah menjadi "berorientasi bangsa" (nation-oriented). Maksudnya, bukan berarti dia tinggalkan perjuangan untuk penerapan syariah (tathbiqus syariah), akan tetapi dia membuat interpretasi baru bahwa perjuangan syariah dalam negeri yang majemuk ini sejatinya adalah perjuangan untuk kesejahteraan rakyat banyak--yang notabene juga mayoritas Islam.
Tantangan kedua bagi parpol GARBI adalah, bagaimana menjahit ide-ide Islam, nasionalisme, demokrasi, dan kemakmuran dalam bentuk aksi nyata. Misalnya, bagaimana model demokrasi yang dihendaki GARBI? Demokrasi yang berarti keterbukaan, keadilan, dan persamaan hak harus menjadi diskusi yang serius. Kepada kelompok minoritas seperti sekte Lia Aminuddin, Syiah, atau "agama lokal"--dan semacamnya--atau kelompok LGBT yang juga menuntut hak-haknya sebagai warga negara, bagaimana GARBI melihat itu? Termasuk, soal bagaimana sistem kaderisasi yang efektif bagi Gen-GARBI alias kader GARBI? Apakah lewat liqo'at, pertemuan mingguan antara murobbi dan mutarobbi yang disertai dengan evaluasi terhadap sifat-sifat muslim (muwashafat) terhadap para kader, atau seperti apa?
Belum lagi soal kerjasama dengan negara-negara besar yang saat ini hendak berdagang pengaruh seperti Amerika, Cina, dan Rusia. Kita mau ikut kemana? Atau, jika ingin menjadi poros baru, kita bersama siapa? Tentu, aktivis GARBI harus memiliki kapasitas pengetahuan yang cukup untuk melihat masalah-masalah bangsa dalam konteks kebangsaan yang lebih luas dengan tetap mempertimbangkan faktor kepentingan nasional (national interest).
Tantangan Produksi Pemikiran Alternatif
Aktivis GARBI tentu saja tidak bisa hanya berkutat pada pemikiran Anis Matta atau quotes-quotes darinya. Buku Gelombang Ketiga Indonesia (2014) karya Anis Matta dapat menjadi kajian menarik untuk diturunkan dalam sub kajian yang lebih spesifik. Buku itu, menurut Anis Matta, adalah hasil dari diskusi-diskusi yang dilakukannya bersama kolega-koleganya terutama di The Future Institute yang berkantor di Patra Kuningan.
Buku-bukunya yang lain mulai dari Model Manusia Muslim Pesona Abad ke-21 (2002), Menikmati Demokrasi (2002), Membentuk Karakter Cara Islam (2003), Mencari Pahlawan Indonesia (2004), Dari Gerakan Menuju Negara (2006), Integrasi Partai dan Politik (2007), dan Momentum Kebangkitan (kumpulan pidato sebagai Presiden PKS) (2014) adalah bagian dari trajektori sekaligus transformasi pemikiran Anis Matta. "Anis yang dulu, bukan lagi Anis yang sekarang," mungkin begitu yang tersirat. Tapi, bentar: apakah Anis Matta yang berubah atau DPP PKS yang tidak peka dengan perkembangan zaman?
Terkait dengan ini, cukup penting melihat pemikiran Anis yang pernah dia pidatokan di Rakernas KA-KAMMI tahun 2017 (lengkapnya ada di laman saya: yanuardisyukur.com/2017/01). Anis menjelaskan bahwa ekspansi Islam yang sangat luas membuat Islam bertemu dengan banyak budaya multikultur. Untuk itu maka secara intelektual, orang akan mengalami kesulitan dalam memahami teks-teks Al-Qur’an dan sunnah dalam melihat fenomena real di lapangan. Begitu banyaknya budaya baru yang bergabung dengan horizon Islam menjadi sangat besar peluang multi tafsir. Maka mereka-mereka bersepakat menyelesaikan masalah ini.
Abu Hanifah misalnya, belajar di tengah jalan, karena ia pedagang. Ketika bertemu seorang ulama, ia ditanya kenapa tidak ke masjid ilmu? Ia berkata bahwa ia lebih sering ke pasar daripada ke ulama. Tapi kata ulama tersebut, kamu punya kecerdasan dan energi. Abu Hanifah memikirkan kalimat tadi dan sejak itulah ia mengubah jalan hidupnya.
Lanjut Anis, "Imam Syafi’i lahir di Gaza, besar di Mekkah dan Madinah, keliling ke Irak dan Mesir. Umur 7 tahun hafal Al-Qur’an, 10 tahun hafal kitab Al-Muwaththa’ karangan Imam Malik. Beliau adalah imam para ahlul ra’i sedangkan Imam Malik adalah imam ahlul hadits. Beliau berkeliling ke seluruh negeri-negeri utama di jazirah tersebut."
Hasilnya kemudian menemukan bahwa diperlukan suatu metodologi baru untuk memahami teks-teks Islam yang diturunkan dalam konteks lapangan, dan lahirlah ushul fiqh. Di luar dari Khulafaur Rasyidin, 4 imam tersebut yang paling dikenal. Cara kita beragama didefinisikan oleh 4 imam mazhab tersebut. Di Teluk, Syam adalah Hanabilah. Di Afrika Utama dan hampir seluruh Afrika adalah Imam Malik. Mesir dan Asia Tenggara adalah Imam Syafi’i. Sejak awal mereka mengerti sejarah yang harus mereka lakukan. Mereka memilih perannya.
Dia berkata lagi, "Ketika Tartar menyerbu seluruh dunia dan dunia Islam, ada satu orang yang mengalahkan Tartar, berdoa dan berpikir untuk itu. Ia merupakan orang Afghanistan, pernah menjadi budak dan jadi tentara. Sultan Muzaffar Qutuz, sang pahlawan tersebut berhasil mendefinisikan perannya secara tepat sesuai dengan tuntutan sejarah."
Hingga saat ini, pemikiran GARBI memang belum banyak diproduksi atau melahirkan "metodologi baru untuk memahami teks-teks Islam yang diturunkan dalam konteks lapangan." Mungkin karena baru, dan sebutlah ABI University--salah satu media kaderisasi pemikiran Gen-GARBI--baru lahir, atau mungkin juga karena belum membudayanya perdebatan serius di kalangan internal GARBI. Publik sama tahu bahwa di internal PKS--afiliasi mayoritas mereka sebelumnya--tidak terbiasa dengan perdebatan. Lebih banyak sami'na wa atha'na. GARBI idealnya dapat menjadi "industri ide" bagi bangsa kita.
Jika aktivis GARBI hanya puas dengan kelas sami'na wa atha'na tanpa melahirkan ide-ide serius, mendalam, kreatif, dan konstruktif, maka bisa jadi mereka akan terjebak pada kejumudan dan sikap "apa kata Ust Anis ajalah." Konsep "the future of Harokah" yang pernah didesiminasikan oleh Fahri Hamzah, menarik untuk ditelusuri lebih jauh, terutama soal persebaran kekuasaan (power)--agak Foucaldian--pada level opinion leader, media, bisnis (business owner dan networking), dan volunteer (social movement leader).
Ada harapan jangan sampai "gerakan intelektual" GARBI sekedar pemanis bibir saja dari keinginan untuk mendirikan partai dengan cikal-bakal perluasan jaringan di berbagai daerah. Kemudian, ketika partai sudah jadi, berlalu pula gerakan intelektual itu. Tapi entah kenapa saya agak yakin GARBI ini akan jadi partai jika Anis Matta tidak mendapatkan posisi kunci di PKS dalam beberapa waktu ke depan. Karena, sangat sulit untuk memajukan Indonesia tanpa perahu partai politik.
Post-PKS
Dalam berbagai organisasi yang namanya konflik dan integrasi pasti ada. Dalam literatur ilmu sosial, pembahasan soal konflik dan integrasi merupakan satu kesatuan, yang berarti bahwa dalam sebuah organisasi selalu ada hal-hal yang dapat menyatukan sekaligus hal-hal yang dapat memisahkan. Dalam beberapa tahun terakhir, peneliti umumnya membagi konflik dalam tubuh PKS dalam dua kelompok: pro-keadilan, dan pro-kesejahteraan.
Jika dibawa dalam konteks sekarang, pro-keadilan itu kelompoknya M. Sohibul Iman, sedangkan pro-kesejahteraan itu kelompoknya M. Anis Matta. Dua kubu tersebut dikenal juga sebagai kelompok "Simatupang" (DPP PKS) dan kelompok "Patra" (Anis Matta cs). Atau, lebih populer dengan nama "Osin" (Orang Sini/DPP PKS) dan "Osan" (Orang Sana/Anis Matta cs). Besar kemungkinan "Osin dan Osan" itu pertama kali lahir dari DPP PKS untuk membuat separasi antara: kita dan mereka.
Konflik dalam tubuh PKS yang terus berlarut-larut memberikan berbagai konsekuensi, seperti pemecatan loyalis Anis Matta, mundurnya berbagai caleg PKS, serta lahirnya resistensi internal dari tubuh kader-kader PKS yang tidak setuju dengan apa yang mereka sebut sebagai "kepemimpinan otoriter" yang dikomandani oleh Sohibul Iman.
Pemecatan Fahri Hamzah misalnya, sampai sekarang masih tetap hangat. Fahri, lelaki kelahiran Sumbawa yang telah terbina di PKS sejak mahasiswa adalah seorang politisi paling vokal dan paling viral dewasa ini, tidak hanya di PKS tapi juga di parlemen. Dia terus terang mengeritik Presiden Jokowi--yang dia berikan kartu merah--sekaligus membela hak-hak konstitusinya sebagai warga negara dan pejabat negara.
Singkat kata, konflik antara "oknum PKS"--Fahri menyebutnya seperti itu--dengan Fahri pada akhirnya dimenangkan oleh Fahri di persidangan, dan para "oknum tersebut"--mengutip Fahri lagi, diwajibkan untuk membayar ganti rugi sebanyak 30 miliar kepada Fahri, sebuah angka yang tidak kecil, tentu saja. Mereka yang wajib membayar ganti rugi tersebut adalah Presiden PKS M. Sohibul Iman, Wakil Ketua Majelis Tahkim Hidayat Nur Wahid, Ketua Dewan Syariah Surahman Hidayat, Anggota Majelis Tahkim Abdi Sumaithi, dan Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi Abdul Muiz Sa'adih.
Fahri sendiri kerap ditanya, "sekarang di partai mana?" Banyak yang tawarkan dia bergabung sebagai pengurus inti. Tapi dia tidak mau. Dia tetap ingin sebagai kader PKS. Kata Fahri, "Saya tidak kemana-mana." Dia tetap di PKS, cuma mungkin tidak kelihatan. "Sebagaimana aku menerimamu, terimalah juga aku apa adanya," kurang lebih itu kata Fahri Hamzah, suatu ketika dengan suara yang pelan.
Pasca kemenangan Fahri di persidangan tersebut, gagasan untuk lahirnya organ baru, pasca-PKS pun bermunculan. Beberapa waktu lalu, Anis Matta memang sempat "menghilang" dari radar berita, dan banyak orang bertanya, "kemana Anis Matta?" Tapi, kemudian dia muncul kembali di acara KA-KAMMI di salah satu hotel di Jakarta Selatan yang bercerita soal korelasi kalimat pertama yang diucapkan seorang pemimpin dengan debut kepemimpinannya, serta cara pemilih peran dan bagaimana memainkan peran secara efektif. "Saya rindu dengan taushiyah-taushiyah Ust Anis Matta," kata salah seorang kawan Facebook saya ketika membaca transkrip pidato Anis Matta yang sempat saya bagikan di medsos.
Artinya, ketidakhadiran Anis Matta dalam public life adalah bagian dari kehilangan itu sendiri. Lelaki yang bertahun-tahun jadi Sekjen partai dakwah tersebut menjadi sangat dirindukan tidak saja karena dia dekat dengan binaannya, akan tetapi juga dia memiliki visi yang global, sekaligus dapat menjelaskan Islam dalam bahasa yang ringan dan dianggap relevan untuk menjawab tantangan zaman.
Maka, lahirlah satu-satu persatu organisasi GARBI, yang mengutip Cohen (1974) sebagai strategi adaptif (adaptive strategy) dari konflik yang terjadi di internal PKS. Sebenarnya, dalam sebuah acara KA-KAMMI di Kuningan, Jakarta Selatan (2/2/2018), Anis Matta juga sempat membahas soal "Indonesia perlu lompatan besar" agar dapat menjadi kekuatan kelima di dunia.
Saat itu, dia berbicara soal periodisasi keindonesian kita yang telah melewati tiga tahap, yaitu menjadi Indonesia, menuju dunia modern, dan menuju kekuatan ekonomi global. Dalam tahapan ketiga ini, kata Anis, kita diperhadapkan satu masalah, yaitu "langit terlalu tinggi dan kita terbang rendah." Maksud dia, kita punya kapasitas besar, tapi anehnya daya dorong kita lemah. Kelahiran ormas GARBI, yang diinisiasi oleh Anis Matta cs adalah bagian dari upaya untuk terbang tinggi di langit yang tinggi.
Gerakan Intelektual atau Proto-Parpol?
Nasib GARBI sesungguhnya sangat bergantung pada dua hal. Pertama, posisi Anis Matta di tubuh PKS. Jika Anis Matta dapat kembali menjadi presiden partai, maka ide-ide ABI itu akan dapat di-drive menuju apa yang dia cita-citakan dengan berasas pada Islam, nasionalisme, demokrasi, dan kemakmuran.
Secara internal, empat hal itu bisa diterapkan di PKS--walaupun tidak mudah--karena dialektika Islam dan demokrasi saat ini masih terus terjadi. Lelaki kelahiran Welado, Bone, Sulawesi Selatan 1968 tersebut berpandangan bahwa dialektika atau konfrontasi itu harus diakhiri. Maka, "menikmati demokrasi" dengan mengikuti aturan demokrasi harus menjadi pilihan jika ingin tiba pada kepemimpinan nasional di Indonesia yang multietnis ini.
Artinya, jika Anis Matta kembali jadi presiden partai, maka ormas GARBI akan berjalan sebagaimana adanya, menjadi "gerakan intelektual"--meminjam bahasa Mahfudz Siddiq. Praktis, GARBI tidak akan menjadi partai politik yang akan berkontestasi pada pemilu yang akan datang.
Tapi, jika posisi Anis Matta tetap status quo seperti sekarang yang tidak dapat apa-apa dan tidak bisa buat apa-apa, maka hal kedua yang cukup penting adalah: pada akhirnya nanti GARBI akan bertansformasi menjadi partai politik. Tak salah jika kita sebut saat ini GARBI adalah proto-parpol, yaitu "calon parpol" yang akan berkontestasi pada post-Jokowi versus Prabowo.
Banyak orang masih berharap agar konflik dalam tubuh partai dakwah yang lahir di reformasi tersebut bisa mereda, dan melahirkan integrasi. Para aktornya juga diharapkan bersatu, dan menemukan apa yang disebut sebagai kalimatun sawa, serta: ishlah. Akan tetapi, sepertinya harapan ini cukup berat karena secara internal, kelompok GARBI telah dianggap "duri dalam daging", dan mereka yang terafiliasi dengan GARBI pun diminta untuk keluar.
Mengutip Tifatul Sembiring, "...kalau sudah di GARBI silakan keluar dari PKS. Jangan sampai ada gerakan politik di dalam partai politik. Itu kan tidak sehat." (Tribun-Medan.com, 4/11/2018). Atau, dalam bahasa Presiden PKS Sohibul Iman bahwa "kalau sudah tidak bahagia di PKS" maka jangan membuat kegaduhan, apalagi memaksa. Ia mempersilakan kader yang "tidak bahagia" tersebut untuk hengkang dari partai.
Saya melihat, kemungkinan yang paling relevan adalah transformasi GARBI menjadi partai politik. Akan tetapi, tidak mudah untuk itu. Selama ini, mereka yang terafiliasi dengan PKS masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat, terutama seiring dengan kontestasi wacana "Islam transnasional" yang dianggap dapat merusak "Islam Indonesia", "Islam pribumi", atau "Islam lokal."
Maksudnya, PKS yang banyak terinspirasi dan dianggap kepanjangan tangan dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, dianggap masih mendua dalam gerakannya. Ketika Dr. Muhammad Mursi, petinggi Ikhwan yang tentu saja memiliki kedekatan emosional dengan PKS, terpilih sebagai presiden Mesir misalnya, gerakan untuk menjatuhkannya pun lahir, dan disokong oleh negara-negara barat untuk itu. Akhirnya, Mursi jatuh, dan dipenjara. Bayangkan, warga negara yang secara konstitusi menjadi presiden tapi dijatuhkan oleh demonstrasi besar.
Pada titik ini, ada satu hal yang disadari oleh aktivis PKS--atau yang terafiliasi dengan PKS dan pejuang politik Islam--bahwa kendati mereka memperjuangkan isu-isu nasionalis, tetap ada saja kalangan yang masih ragu dan menganggap bahwa ada visi islamisme yang tengah dibawa oleh aktivis dakwah tersebut. Tentu saja, ini menjadi tantangan tersendiri bagi aktivis partai dakwah soal bagaimana memperjuangkan kepentingan nasional tanpa harus dianggap memiliki misi terselubung misalnya "islamisasi"--suatu istilah yang masih jadi phobia terutama di kalangan yang lahir dan dibesarkan dalam kehidupan sekuler.
Tantangan GARBI jika jadi Parpol
Kita anggap saja GARBI menjadi partai politik. Apa saja tantangannya? Pertama, mereka akan diperhadapkan pada stereotype di masyarakat--terutama dari kalangan politisi, intelektual, dan aktivis "sekular"--yang melihat bahwa GARBI adalah kumpulan orang-orang dengan misi islamisasi. Entah kenapa, di masyarakat Islam ini islamisasi menjadi sesuatu yang dikhawatirkan. Setidaknya, sejak persoalan beberapa kata dalam Piagam Jakarta yang dihapus itulah kita melihat adanya dua faksi dalam tubuh politik kita, yaitu: nasionalis dan Islam.
Anis Matta hendak menggabungkan nasionalisme Islam itu dengan narasi yang lebih up to date. Dia sepertinya hendak keluar dari mainstream gerakan Islam yang lebih banyak melihat ke dalam ke gerakan sosial yang melihat ke luar. Artinya, Islam sebagai keyakinan personal haruslah dapat menjawab berbagai tantangan masyarakat. Di sini memang ada deviasi dari pemikiran Anis Matta yang dulu, sebutlah sangat islamis menjadi cenderung nasionalis.
Bisa dikatakan bahwa transformasi pemikiran Anis Matta yang dulunya, sebutlah terlihat sangat "berorientasi syariah" (syariah-oriented) kini berubah menjadi "berorientasi bangsa" (nation-oriented). Maksudnya, bukan berarti dia tinggalkan perjuangan untuk penerapan syariah (tathbiqus syariah), akan tetapi dia membuat interpretasi baru bahwa perjuangan syariah dalam negeri yang majemuk ini sejatinya adalah perjuangan untuk kesejahteraan rakyat banyak--yang notabene juga mayoritas Islam.
Tantangan kedua bagi parpol GARBI adalah, bagaimana menjahit ide-ide Islam, nasionalisme, demokrasi, dan kemakmuran dalam bentuk aksi nyata. Misalnya, bagaimana model demokrasi yang dihendaki GARBI? Demokrasi yang berarti keterbukaan, keadilan, dan persamaan hak harus menjadi diskusi yang serius. Kepada kelompok minoritas seperti sekte Lia Aminuddin, Syiah, atau "agama lokal"--dan semacamnya--atau kelompok LGBT yang juga menuntut hak-haknya sebagai warga negara, bagaimana GARBI melihat itu? Termasuk, soal bagaimana sistem kaderisasi yang efektif bagi Gen-GARBI alias kader GARBI? Apakah lewat liqo'at, pertemuan mingguan antara murobbi dan mutarobbi yang disertai dengan evaluasi terhadap sifat-sifat muslim (muwashafat) terhadap para kader, atau seperti apa?
Belum lagi soal kerjasama dengan negara-negara besar yang saat ini hendak berdagang pengaruh seperti Amerika, Cina, dan Rusia. Kita mau ikut kemana? Atau, jika ingin menjadi poros baru, kita bersama siapa? Tentu, aktivis GARBI harus memiliki kapasitas pengetahuan yang cukup untuk melihat masalah-masalah bangsa dalam konteks kebangsaan yang lebih luas dengan tetap mempertimbangkan faktor kepentingan nasional (national interest).
Tantangan Produksi Pemikiran Alternatif
Aktivis GARBI tentu saja tidak bisa hanya berkutat pada pemikiran Anis Matta atau quotes-quotes darinya. Buku Gelombang Ketiga Indonesia (2014) karya Anis Matta dapat menjadi kajian menarik untuk diturunkan dalam sub kajian yang lebih spesifik. Buku itu, menurut Anis Matta, adalah hasil dari diskusi-diskusi yang dilakukannya bersama kolega-koleganya terutama di The Future Institute yang berkantor di Patra Kuningan.
Buku-bukunya yang lain mulai dari Model Manusia Muslim Pesona Abad ke-21 (2002), Menikmati Demokrasi (2002), Membentuk Karakter Cara Islam (2003), Mencari Pahlawan Indonesia (2004), Dari Gerakan Menuju Negara (2006), Integrasi Partai dan Politik (2007), dan Momentum Kebangkitan (kumpulan pidato sebagai Presiden PKS) (2014) adalah bagian dari trajektori sekaligus transformasi pemikiran Anis Matta. "Anis yang dulu, bukan lagi Anis yang sekarang," mungkin begitu yang tersirat. Tapi, bentar: apakah Anis Matta yang berubah atau DPP PKS yang tidak peka dengan perkembangan zaman?
Terkait dengan ini, cukup penting melihat pemikiran Anis yang pernah dia pidatokan di Rakernas KA-KAMMI tahun 2017 (lengkapnya ada di laman saya: yanuardisyukur.com/2017/01). Anis menjelaskan bahwa ekspansi Islam yang sangat luas membuat Islam bertemu dengan banyak budaya multikultur. Untuk itu maka secara intelektual, orang akan mengalami kesulitan dalam memahami teks-teks Al-Qur’an dan sunnah dalam melihat fenomena real di lapangan. Begitu banyaknya budaya baru yang bergabung dengan horizon Islam menjadi sangat besar peluang multi tafsir. Maka mereka-mereka bersepakat menyelesaikan masalah ini.
Abu Hanifah misalnya, belajar di tengah jalan, karena ia pedagang. Ketika bertemu seorang ulama, ia ditanya kenapa tidak ke masjid ilmu? Ia berkata bahwa ia lebih sering ke pasar daripada ke ulama. Tapi kata ulama tersebut, kamu punya kecerdasan dan energi. Abu Hanifah memikirkan kalimat tadi dan sejak itulah ia mengubah jalan hidupnya.
Lanjut Anis, "Imam Syafi’i lahir di Gaza, besar di Mekkah dan Madinah, keliling ke Irak dan Mesir. Umur 7 tahun hafal Al-Qur’an, 10 tahun hafal kitab Al-Muwaththa’ karangan Imam Malik. Beliau adalah imam para ahlul ra’i sedangkan Imam Malik adalah imam ahlul hadits. Beliau berkeliling ke seluruh negeri-negeri utama di jazirah tersebut."
Hasilnya kemudian menemukan bahwa diperlukan suatu metodologi baru untuk memahami teks-teks Islam yang diturunkan dalam konteks lapangan, dan lahirlah ushul fiqh. Di luar dari Khulafaur Rasyidin, 4 imam tersebut yang paling dikenal. Cara kita beragama didefinisikan oleh 4 imam mazhab tersebut. Di Teluk, Syam adalah Hanabilah. Di Afrika Utama dan hampir seluruh Afrika adalah Imam Malik. Mesir dan Asia Tenggara adalah Imam Syafi’i. Sejak awal mereka mengerti sejarah yang harus mereka lakukan. Mereka memilih perannya.
Dia berkata lagi, "Ketika Tartar menyerbu seluruh dunia dan dunia Islam, ada satu orang yang mengalahkan Tartar, berdoa dan berpikir untuk itu. Ia merupakan orang Afghanistan, pernah menjadi budak dan jadi tentara. Sultan Muzaffar Qutuz, sang pahlawan tersebut berhasil mendefinisikan perannya secara tepat sesuai dengan tuntutan sejarah."
Hingga saat ini, pemikiran GARBI memang belum banyak diproduksi atau melahirkan "metodologi baru untuk memahami teks-teks Islam yang diturunkan dalam konteks lapangan." Mungkin karena baru, dan sebutlah ABI University--salah satu media kaderisasi pemikiran Gen-GARBI--baru lahir, atau mungkin juga karena belum membudayanya perdebatan serius di kalangan internal GARBI. Publik sama tahu bahwa di internal PKS--afiliasi mayoritas mereka sebelumnya--tidak terbiasa dengan perdebatan. Lebih banyak sami'na wa atha'na. GARBI idealnya dapat menjadi "industri ide" bagi bangsa kita.
Jika aktivis GARBI hanya puas dengan kelas sami'na wa atha'na tanpa melahirkan ide-ide serius, mendalam, kreatif, dan konstruktif, maka bisa jadi mereka akan terjebak pada kejumudan dan sikap "apa kata Ust Anis ajalah." Konsep "the future of Harokah" yang pernah didesiminasikan oleh Fahri Hamzah, menarik untuk ditelusuri lebih jauh, terutama soal persebaran kekuasaan (power)--agak Foucaldian--pada level opinion leader, media, bisnis (business owner dan networking), dan volunteer (social movement leader).
Ada harapan jangan sampai "gerakan intelektual" GARBI sekedar pemanis bibir saja dari keinginan untuk mendirikan partai dengan cikal-bakal perluasan jaringan di berbagai daerah. Kemudian, ketika partai sudah jadi, berlalu pula gerakan intelektual itu. Tapi entah kenapa saya agak yakin GARBI ini akan jadi partai jika Anis Matta tidak mendapatkan posisi kunci di PKS dalam beberapa waktu ke depan. Karena, sangat sulit untuk memajukan Indonesia tanpa perahu partai politik.
No comments:
Post a Comment