Kolase Film Hanum & Rangga dan Ahok
|
Saya kira tak salah jika dikatakan bahwa kedua film ini adalah film tentang pengaruh kultur terhadap manusia Indonesia, sekaligus tentang kisah orang Indonesia yang berjuang untuk idealisme dan menggapai mimpi-mimpi besar dalam hidup mereka.
Film Ahok
Film Ahok yang terinspirasi dari kisah Basuki Thahaja Purnama (52 tahun), bercerita lebih banyak tentang pola pengasuhan anak seorang keturunan Tionghoa-Indonesia dari suku Hakka (Kejia) yang tinggal di Belitung Timur, Bangka Belitung. Dalam film tersebut diperlihatkan bagaimana karakter ayahnya Ahok, Indra Thahaja Purnama (Tjoeng Kiem Nam) yang senang membantu orang, cepat empati, berani melawan orang yang tidak peduli kepada orang lemah, serta ayah yang memiliki cita-cita anak kelak empat anaknya bisa sukses.
Orang-orang Tionghoa, kendati berduit banyak, mereka biasanya terlihat sederhana. Apa yang mereka punya biasanya nggak dikonsumsi habis. Sebaliknya, mereka senang investasi untuk kepentingan jangka panjang. Semangat untuk bersungguh-sungguh dan menggapai masa depan misalnya terlihat dari filsafat Cina yang berbunyi, "Jangan berhenti sebelum sampai ke sungai Huang Ho."
Sekedar informasi, Huang Ho (atau Huang He/"Sungai Kuning") adalah sungai yang bersumber dari Pegunungan Kwen-Lun di Tibet dan mengalir melalui daerah Pegunungan Cina Utara hingga membentuk dataran rendah dan bermuara di Teluk Tsii-Li, yaitu Laut Kuning. Konon, dari lembah sungai itulah peradaban Cina dimulai. Dalam kata lain, hidup ini memang sulit, dan orang-orang sukses dibentuk oleh kehidupan yang sulit. Bagi mereka yang berdiaspora, mungkin mereka harus kembali ke daerah asalnya untuk melihat sejarah, sekaligus mendapatkan inspirasi hidup. Maka, harus sungguh-sungguh dalam bekerja.
Di usia dewasa, masing-masing adiknya Ahok itu sukses di bidangnya. Basuri Tjahaja Purnama jadi dokter PNS dan Bupati Belitung Timur (2010-2015), Fifi Lety menjadi praktisi hukum, Harry Basuki juga menjadi praktisi, konsultan pariwisata dan perhotelan. Adapun Frans, meninggal di usia remaja dalam kecelakaan motor.
Masalah kemudian muncul ketika ayahnya Ahok membantu orang lemah--yang sedang butuh uang--tapi di internal rumahnya sendiri masih kekurangan. Istrinya, Buniarti Ningsih (Boen Nen Tjauw) digambarkan pernah mengeluh soal kesenangan bantu orang orang tersebut di tengah keluarganya yang juga sedang ditimpa kesulitan. Tapi, sang ayah tetap yakin, bahwa "jika kita membantu orang, maka kita akan mendapatkan doa dari orang-orang yang kita bantu, dengan begitu maka kita akan selamat." Apa yang kita rasakan--mulai dari sehat, anak-anak yang terus bertumbuh, dan masih bisa makan (walau apa adanya)--dalam kepercayaan ayahnya Ahok adalah bagian dari doa-doa orang yang telah dibantu tersebut.
Pada titik ini, sentuhan kemanusiaan (human interest) karakter ayahnya Ahok sangat inspiratif. Selama ini, ada stereotype bahwa orang Tionghoa selalu berorientasi duit, dan kurang empati kepada masyarakat sekitar. Film ini mengubah itu. Dalam pandangan saya, karakter tersebut sebenarnya sangat manusiawi. Dari mana pun latar kultural seseorang, selalu ada yang baik ada yang buruk, tapi sebagai manusia kita harus menyadari bahwa setiap orang memiliki sisi baik yang layak untuk kita apresiasi.
Ketika Ahok--yang bernama Tionghoa Zhong Wanxue--beranjak dewasa, dia juga menunjukkan keberpihakannya kepada orang lemah. Usaha ayahnya dia kembangkan terus, dan dia berani melawan pengusaha--yang sok kuasa--dengan tanah-tanah rakyat. Keberanian ini saya kira merupakan turunan dari karakter ayahnya yang keras tapi empatik kepada orang biasa.
Film ini pada bagian terakhir memang terlihat "mencari aman" dengan tidak membahas soal kasus Ahok yang berimplikasi luas pada tatanan politik, budaya politik, serta pengorganisasian masyarakat--terutama massa dan komunitas Islam. Maksudnya, pernyataan Ahok soal "jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah 51" tidak tersentuh sama sekali dalam film tersebut, kecuali pada bagian awal yang menjelaskan soal Ahok di penjara.
Menurut saya, Ahok pada satu sisi adalah aset bangsa Indonesia yang penting, tapi di sisi lain ia menjadi kontradiktif karena tidak berpijak pada sisi kultural orang Indonesia yang (mungkin bisa diwakili) dari frasa Jawa, alon-alon asal kelakon yang berarti "biar lambat asal selamat."
Kepemimpinan Ahok di Jakarta, baik waktu jadi Wakil Gubernur bersama Joko Widodo maupun saat tiga tahun jadi Gubernur DKI Jakarta (19 November 2014-9 Mei 2017) bersama Djarot Saiful Hidayat terlihat sangat progresif, namun lalai dalam membaca konteks kultural masyarakat Jakarta yang sangat multikultural, dinamis, dan memiliki akar pergerakan dan aspirasi Islam yang kuat.
Ahok seharusnya tetap menyadari bahwa "bumi tempat ia berpijak" adalah bumi yang tidak sepenuhnya berkaitan dengan aturan-aturan formal, akan tetapi juga syarat dengan pranata-pranata lokal yang mau tak mau harus dihargai jika ingin mendapatkan penerimaan.
Artinya, pepatah lama yang bilang "masuk kandang kambing mengembik" itu tidak bisa sepenuhnya dilupakan, karena masih sangat kontekstual dengan masyarakat Indonesia. Orang Indonesia senang untuk diajak ngobrol dengan bahasa yang santun, senang diperlakukan setara, serta senang untuk dihargai pilihan politiknya. Sikap Ahok yang dulu, seperti biasa marah-marah, membentak, menyebut seorang ibu sebagai maling, dan lain sebagainya, perlu untuk diperbaiki ke depannya.
Saya kira, jika dulu Ahok berupaya untuk lebih santun dengan tetap tegas dalam urusan korupsi, maka penerimaan kalangan Islam--yang tidak bisa dinafikan begitu saja--akan lebih bagus. Tapi memang, soal ini sifatnya kompleks, karena di situ juga berkaitan dengan reklamasi teluk Jakarta dan soal kepemimpinan nasional yang sarat dengan kepentingan.
Memang agak tragis: Ahok dibesarkan oleh ibundanya tercinta bernama Buniarti, tapi juga dia jatuh akibat video singkat pidatonya yang diubah oleh Buni Yani. Sialnya lagi, setelah mendekam di Mako Brimob, Ahok pun harus berparak dengan istrinya, Veronika Tan yang telah mengaruniai tiga anak: Nicholas Sean Purnama, Nathania Berniece Zhong, dan Daud Albeenner Purnama.
Tapi, kita tinggalkan dulu soal itu. Intinya, kembali ke film Ahok--yang Ahok dewasanya diperankan oleh VJ Daniel Mananta (37 tahun)--saya merasa film tersebut punya nilai inspiratif untuk bangsa kita, yaitu bagaimana kepedulian orang tua kepada anak-anaknya yang mentransformasikan karakter positif kepada anak-anaknya dan visi akan masa depan.
Film Hanum Rangga
Sekarang kita bahas film Hanum Rangga. Film ini dibuat berdasarkan novel Faith & The City karangan Hanum Salsabiela Rais (36 tahun) dan Rangga Almahendra (37 tahun) yang diterbitkan oleh Gramedia. Film ini bercerita tentang pasangan muda (suami-istri) yang mengejar mimpi-mimpinya di tengah kultur urban yang serba cepat.
Hanum dalam film yang diperankan oleh aktris cantik asal Minangkabau yang memulai karier sebagai gadis sampul 2004, Acha Septriasa (29 tahun) digambarkan sebagai seorang perempuan bertalenta sebagai jurnalis yang sejak lama mengidolakan Andy Cooper, seorang Indonesia yang sukses memimpin GNTV di New York. Sebagai 'fans berat' Cooper, Hanum punya cita-cita untuk menjadi jurnalis terbaik di 'jantung dunia', New York.
Maka, ketika dia mendapatkan kesempatan untuk menjadi jurnalis--mulai dari magang sampai menjadi karyawan tetap--di GNTV, dia pun tidak mau melewatkan itu begitu saja. New York, sebagai kota besar, menawarkan banyak hal kepada orang yang memiliki impian. Siapa pun yang ingin menjadi yang terbaik, maka mereka harus bisa struggle di kota tersebut. Hanum, dalam film ini ingin membuktikan bahwa dia bisa menjadi yang terbaik--bahkan lebih baik dari Andy Cooper.
Tapi masalah kemudian muncul. Ketika Hanum sibuk dengan kerjaannya, dia pun mulai berkonflik dengan suaminya, Rangga. Rangga yang digambarkan sebagai mahasiswa program doktor di Vienna (Wina, Austria), saat itu sebenarnya dikejar-kejar oleh professornya untuk bisa menuntaskan tesisnya segera. Dia ke New York adalah untuk menemani Hanum untuk menjadi jurnalis mewujudkan impian hidupnya.
Suatu ketika, Rangga mengajak Hanum makan siang. Akan tetapi, Hanum tidak bisa karena "ada rapat di kantor." Tak lama setelah itu, Rangga yang tak seberapa jauh dari kantor Hanum melihat Hanum keluar dari kantornya bersama Andy Cooper. Konflik batin terjadi di hati Rangga. Tadi katanya mau rapat di kantor, tapi kok malah keluar bersama Copper. Kecurigaan mulai muncul.
Di sisi lain, tetangga apartemen Hanum dan Rangga pernah melihat Azima--seorang janda cantik beranak satu--datang ke apartemen Hanum Rangga untuk menitipkan anaknya. Si tetangga curiga. Kenapa saat istrinya bekerja kok si suami mengizinkan seorang janda bernama Azima Hussein--yang diperankan aktris Titi Kamal--dan anaknya datang ke apartemen.
Suatu ketika, si tetangga itu memotret saat Rangga berdiri yang tak jauh dari Azima. Kemudian, foto itu tak sengaja terkirim ke ponsel Hanum. Curiga pun hadir.
"Tapi kenapa ya perempuan itu suka curigaan?" Pertanyaan ringan ini pernah saya dengar. Mungkin hanya perempuan yang bisa menjawabnya.
Hanum jadi cemburu. Apalagi, pernah juga Rangga pulang ke apartemen menggunakan kemeja yang berbeda. Bukan kemeja dia. Rangga sudah cerita bahwa dia memperbaiki ledeng yang rusak di apartemen Azima, kemudian bajunya basah. Akhirnya, dipinjamin baju mantan suami Azima. Rasa cemburu juga timbul di hati Hanum yang melihat bahwa suaminya itu dekat banget sama anak Azima. Lama-lama bukan cuma dekat sama anaknya Azima, bisa-bisa nanti sama Azimah juga: satu paket.
Di sini, kita melihat bahwa film ini bercerita soal konflik batin pasangan muda. Mereka sebenarnya saling support, akan tetapi distraksi yang muncul dalam perjalanan menggapai mimpi di tanah Amerika itu tidaklah sedikit. Apalagi, misalnya, Andy Cooper pernah bercerita bahwa kesuksesan dia dalam bisnis media--yang sangat berorientasi rating--itu terjadi setelah dia cerai dari istrinya.
Dilema yang dirasakan Hanum adalah, adanya peluang besar untuk dia sukses akan tetapi suaminya juga rupanya dekat dengan janda muda beranak satu tersebut. Walaupun Hanum dekat dengan Azima, akan tetapi betul kata orang, hati wanita tak ada yang tahu. Iya di lidah, belum tentu iya di hati. Hati wanita sangat kompleks untuk dimengerti, apalagi ditulis. Butuh waktu lama.
Hal menarik yang saya senang dalam film ini adalah sikap Hanum untuk tetap menjaga marwahnya sebagai perempuan muslimah. Memang, tidak mudah untuk bekerja professional sambil tetap mempertahankan karakter Islam dalam diri, apalagi bagi perempuan berhijab. Godaan demi godaan untuk misalnya menanggalkan hijab, berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram (mushafahah)--kendati itu dibolehkan oleh sebagian ulama--dan berdua-duaan dengan lawan jenis (berkhalwat), dan sebagainya sangat besar bagi perempuan bekerja.
Terkait "jangan menanggalkan hijab" (walaupun di film ini ada beberapa adegan Hanum tak berhijab saat di apartemen), saya jadi teringat ucapakan dari Duta Besar Indonesia untuk Aljazair, Hj. Safira Machrusah waktu saya minta nasihat untuk kedua putri saya setelah kami sama-sama menjadi pembicara bedah buku di Jakarta (10/11/2018). Kata beliau, "...nanti kalau ada gadget, jangan cuma dipakai buat share-share, tapi juga dipakai untuk belajar. Terus, jilbabnya nggak boleh dilepas walau sibuk kerja di mana-mana..." Nasihat ini saya kira cukup penting, termasuk bagi perempuan muslimah yang aktif bekerja di ranah publik.
Hal yang kurang dieksplorasi dalam film ini adalah soal aktivitas komunitas Islam di New York. Sebagai muslim di negeri mayoritas bukan Islam biasanya ada pengajian atau sekedar gathering yang dilakukan oleh komunitas Indonesia. Misalnya, di kota New York ada Masjid Al-Hikmah yang tak pernah sepi dari kegiatan keislaman.
Sebagai putri seorang tokoh Islam di Indonesia yang juga Guru Besar Hubungan Internasional UGM, Professor M. Amien Rais--tentu saja Hanum membutuhkan juga pengajian di kota tersebut. Tak cukup hanya internalisasi nilai yang berasal dari keluarga intinya, misalnya, saat masih tinggal satu rumah dengan orang tuanya.
Saya kira cukup bagus jika film ini juga menyorot bagaimana pengajian di Al-Hikmah, atau misalnya--ke depannya--bisa juga menyoroti Pesantren Nur Inka Nusantara Madani yang sedang dibangun oleh Imam Shamsi Ali--berkolaborasi dengan berbagai tokoh salah satunya Ustad Muzayyin Arif dari Insan Cendekia Madani di BSD, Tangerang--di kota Moodus yang tak seberapa jauh dari kota New York.
Buku-buku tentang dakwah Imam Shamsi seperti Menebar Damai di Bumi Barat (karya Julie Nava), Kuketuk Langit dari Kota Judi: Menjejak Amerika (karya Imam Shamsi dan Peggy Melati Sukma), Anak-Anak Ibrahim (kolaborasi Imam Shamsi dan Rabi Schneier), Telling Islam to the World (Imam Shamsi), dan Tujuh Tokoh Dunia yang Pernah Kami Temui dan Rahasia-Rahasia Mereka (Imam Shamsi dan Ippho Santosa) dapat menjadi rujukan yang penting untuk itu.
Secara singkat, saya mengapresiasi film Hanum Rangga ini sebagai salah satu film inspiratif bagi orang Indonesia. Jika ada film selanjutnya, saya kira menarik juga untuk mengangkat bagaimana dakwah Imam Shamsi Ali--yang telah hidup 20-an tahun--di kota New York. Cerita-ceritanya dalam berbagai buku maupun dalam tulisan populer di berbagai media sangat baik untuk diangkat. Dia misalnya terlibat aktif dalam dialog antar agama di kota tersebut, bersinergi dengan pemerintah setempat, berdemonstrasi bersama warga Amerika lainnya untuk membela hak-hak kalangan tertindas, serta membuat pesantren--sebuah institusi tradisional ala Indonesia--pertama di Amerika Serikat.
Baik film Ahok maupun film Rangga, sebagai penonton, saya merasa senang. Mereka adalah saudara-saudara kita sendiri, saudara sebangsa yang mencoba menggapai mimpi-mimpinya. Jika dalam perjalanan itu mereka ada salah, ya apa salahnya sebagai saudara kita memaafkannya. Pun, jika ada sisi baik dalam diri mereka, kenapa pula sebagai saudara kita bertarik urat untuk melakukan perundungan (bullying), memendam amarah dan benci, serta terus-terusan merawat murka? *
No comments:
Post a Comment