Tuesday, November 6, 2018

Antropolog (seharusnya) Menulis

Buku C.P. Kottak yang jadi rujukan pada perkuliahan di Antropologi UI
Tidak semua sarjana antropologi dapat menulis buku antropologi. Bahkan, pengajar antropologi di perguruan tinggi juga tidak semuanya dapat menuliskannya. Buktinya, banyak akademisi yang hanya bisa mengajar dengan buku-buku teks yang tidak jauh berbeda dari tahun ke tahun.

Hari ini saya membaca sebuah buku tebal berjudul Handbook of Methods in Cultural Anthropology (Altamira Press, 1998). Buku yang dieditori oleh H. Russel Bernard tersusun dari sekian banyak makalah dengan total 816 halaman. Salah satu tulisan yang menarik bagi saya adalah tulisannya Conrad Phillip Kottak berjudul "Presenting Anthropology to Diverse Audiences" (737-761).

Secara umum, tulisan ini membahas soal bagaimana caranya mempresentasikan pengetahuan antropologi kepada beragam audies, baik itu audiens yang spesifik (seperti kalangan akademik) atau audiens yang umum (masyarakat non-antropologi). Prinsipnya, tulis Kottak, "..seorang etnolog diharapkan menulis buku dan juga artikel."

***

Setidaknya, ada tiga cara yang dapat dilakukan oleh antropolog (atau etnolog) dalam mempresentasikan pengetahuan antropologisnya, yaitu lewat : (1) buku dengan orientasi pasar (trade books), (2) buku teks (textbooks), (3) buku profesional-akademik (professional [academic] books), dan (4) artikel (articles).

Dari sekian banyak antropolog, menurut Kottak, "tak ada antropolog budaya yang paling dominan dalam menulis trade books daripada Margared Mead." Mead tidak hanya menulis buku dan artikel, tapi juga aktif berbagi pengetahuannya dalam saluran populer seperti televisi.

Untuk menulis buku teks, itu juga tidak semua orang bisa. Diperlukan sistematika yang matang dalam menuliskannya. Buku Kottak berjudul Cultural Anthropology: Appreciating Cultural Diversity, adalah buku yang lahir dari sekian tahun pengajar pengantar antropologi yang diasuh Kottak di Universitas Michigan. Ada semacam trial and error dalam bukunya. Dikritik, dibela, dikritik, dibela. Yang penting lagi: direvisi. Karena, tulisan kalau tidak direvisi--asal masukan dari kolega lainnya--maka tulisan itu akan biasa-biasa saja (pelajaran paling bagus untuk ini adalah ketika seseorang menulis di jurnal).

Sedangkan buku professional-akademik (dalam bahasa saya), ini lebih khas dan spesifik lagi. Tidak semua orang bisa menulis ke jurnal, khususnya yang terindeks SCOPUS. Di Indonesia saat ini sedang ramai dosen-dosen menulis artikel SCOPUS. Demikian juga dengan persyaratan ujian doktor yang mewajibkan untuk itu. Angkatan 2016 di S3 Antropologi UI--angkatan saya--termasuk yang diwajibkan menulis artikel jurnal terindeks SCOPUS sebelum ujian akhir.

Selanjutnya, menulis artikel populer juga cukup menarik. Tapi sekali lagi, tidak semua orang bisa dan mampu. Banyak yang mampu menulis makalah tapi gagal ketika menulis artikel populer. Untuk itu, menulis di koran atau media-media populer adalah cara terbaik dalam upaya untuk melatih keterampilan menulis. *

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...