Monday, December 24, 2018

Tsunami Banten dan Kesadaran Kita

Tsunami Banten (pojoksatu.id)
Ketika  mendapatkan kabar bahwa tsunami melanda pesisir Banten dan Lampung, tiap kita pasti merasa sedih. Mungkin, ada juga yang bertanya, "kenapa bencana tak juga selesai di negeri ini?" Sebelumnya, ada tsunami di Palu, sebelumnya lagi gempa besar di Lombok.

Soal kenapa bencana itu hadir, memang tidak ada yang tahu. Akan tetapi kita diajarkan bahwa tak ada sesuatu yang sia-sia di muka bumi. Artinya, Allah menciptakan segala sesuatunya pasti dengan perhitungan dan hikmah-Nya. Maka, tak ada yang sia-sia dalam penciptaan dan kejadian yang terjadi di dalamnya.

Kita sebagai manusia biasa hanya bisa berusaha dan berdoa. Ya, berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi manusia yang baik. Kadang, kita lalai. Maka, kita pun diingatkan agar tidak lalai.

Marilah kita berusaha menjadi yang terbaik lewat berbagai peristiwa alam yang terjadi di negeri kita. Rabbana ma khalaqta hadza bathila, subhanaka faqina adzabannar.

Thursday, December 13, 2018

Berwisata ke Kota Tua

Duduk di atas udara
Salah satu destinasi penting di Jakarta adalah kota tua. Dari namanya saja kita bisa tahu bahwa kota tua adalah destinasi yang berkaitan dengan hal-hal yang tua.

Saya pernah beberapa kali jalan-jalan ke Kota Tua. Di sana saya melihat gedung-gedung tua ada gedung yang pernah dipakai untuk Pemerintah Belanda yang di lantai dasarnya itu memiliki penjara. Konon kabarnya, pahlawan dari Madura bernama Untung Suropati pernah mendekam beberapa waktu di penjara tersebut.

Selain itu, di kota tua juga kita dapat melihat kantor pos yang tua. Namanya juga Kota Tua pasti semua yang di situ tua-tua. Kantor Pos itu terlihat agak seram, cocok digunakan untuk syuting film horor.

Suatu ketika saya hendak menunaikan ibadah salat dan pergi ke mushalla. Mushalla-nya juga tua dan aroma-aroma yang ada di sana aroma-aroma tua. Semua serba tua pokoknya.

Di Kota tua juga saya melihat orang-orang naik sepeda. Sepedanya juga sepeda tua, bahkan beberapa topi yang dipakai oleh para pengunjung itu juga topi yang sudah tua. Banyak orang berfoto di sana menikmati senja bersama orang-orang tercinta.

Atau bahkan sekedar berfoto untuk mengabadikan momen-momen terindah dalam hidup mereka yang kemudian di posting di Instagram, di Facebook atau mungkin sekedar mengganti foto profil di Whatsapp.

Di Kota Tua juga kita bisa melihat salah satu hal yang unik, yaitu orang yang berdiri di atas udara. Kalau dipikir-pikir gimana ya caranya orang bisa berdiri di atas udara. Sekilas kita lihat tidak ada yang mengaitkan antara dirinya dengan tanah.

Ketika difoto maka orang itu terlihat berdiri di udara. Sepertinya orang tersebut punya ilmu tertentu. Saya pernah selidik punya selidik dan saya tanya "gimana caranya itu pak bisa sambil duduk di udara kayak melayang gitu?"

Dia mengatakan ada ilmunya. Konon kabarnya apa yang dipegang oleh laki-laki ber blangkon itu (kayu) yang sebenarnya tertancap di lantai.

Selain itu, orang yang berkunjung ke Kota Tua juga dapat berfoto bersama noni-noni muda Belanda. Kemudian mereka juga bisa menikmati kopi di Batavia Cafe atau kalau mereka yang mendapatkan makanan atau minuman mereka bisa datang juga ke toko atau swalayan terdekat.

Menikmati senja di Kota Tua merupakan salah satu destinasi penting bagi mereka yang di Jakarta atau yang sedang berkunjung ke Jakarta. Oke deh, selamat menikmati Kota Tua. Selamat bertemu dengan yang tua-tua, dan menikmati aroma harum tua di kota yang telah tua di Jakarta. *

Tulisan ini saya buat berdasarkan Google Speech. Jadi, saya bicara di depan Google Speech, trus tugas dia untuk mentranskrip ke tulisan. Yang dia nggak bisa lakukan adalah koma, titik, atau enter. Setelah bicara, saya edit lagi tulisan ini. Google Speech cukup bagus untuk mereka yang senang menulis tapi ingin bisa langsung ditranskripsi ke tulisan oleh Google Speech.

Saturday, December 8, 2018

Beberapa Waktu Bersama Mas Adjat

Bersama Mas Adjat
Tanpa disangka, tadi siang saya bertemu seorang kawan lama di Coffee Toffee Margonda, Depok. Kurniadi Sudrajat namanya. Biasa dipanggil Adjat. Panjangnya: Adjat Al-Ghafiqi.

Saya mengenal Adjat dalam kajian yang diadakan oleh AMMA-KAZI, yaitu gabungan dua organisasi kajian di Pasar Minggu. Waktu itu, tiap bulan diadakan diskusi sekaligus kajian tentang Islam kontemporer bertempat di salah satu masjid tak seberapa jauh dari Jalan Raya Pasar Minggu.

Adjat senang hadir dalam kajian-kajian tersebut. Saking senangnya akan kajian, dia juga aktif mengembangkan apa yang disebut sebagai dakwah sekolah. Berbagai kegiatan keislaman ia buat dengan tujuan agar siswa memiliki pemahaman Islam yang lebih baik serta menjalankan Islam dalam berbagai kehidupan mereka.

Suatu ketika saya pernah diundang oleh Mas Adjat ke sekolah binaannya. Waktu itu, bertemu juga saya dengan beberapa siswa. Ada yang kembar. Adjat dekat dengan mereka. Tidak berapa lama kemudian saya mendapat kabar, katanya Adjat akan menikah dengan salah seorang di antara dua kembar tersebut.

Bisa jadi, apa yang disebut sebagai "cinta tumbuh karena frekuensi pertemuan" ada benarnya. Aktivitas Mas Adjat di sekolah tersebut bisa jadi seperti magnet yang makin hari makin kuat. Maka, pernikahan pun menjadi satu jalan untuk menghalalkan relasi tersebut.

Itu bisa menjadi tanda bahwa, mereka yang telah lama mengenal dan ada rasa untuk berlanjut ke jenjang yang serius, bagus sekali untuk menyelesaikan niat itu dalam mahligai pernikahan.

Bagi aktivis dakwah sekolah (atau kampus), bisa jadi punya rasa senang kepada kawan seperjuangannya. Mereka kemudian dihinggapi rasa suka yang mungkin sulit untuk diungkapkan. Jika tak ada keberanian di antara mereka untuk memulai mengutarakan niatnya--misalnya untuk sampai pada jenjang yang serius--maka bisa jadi hanya kenangan yang bisa mereka simpan, yaitu kenangan akan keinginan yang tertunda. Atau, bahkan batal sama sekali.

Pertemuan dengan Mas Adjat tadi juga membicarakan soal organisasi yang kita sama-sama aktif di dalamnya, bernama Center for Islamic and Global Studies. Dulu, CIGS ini bernama Kajian Zionisme Internasional (KaZI), tapi kemudian beberapa tahun lalu kita ubah menjadi CIGS agar lebih akademik dan tidak terkesan berbicara atau menulis soal konspirasi terus.

Selama ini, mereka yang mengkaji zionisme kerap dianggap menulis soal konspirasi. Memang, ada saja sisi konspiratif yang ditulis akan tetapi tidak semua. Fakta-fakta sebenarnya dari apa yang terjadi terkait politik dunia memang begitu nyatanya. Kadang, orang tertentu memang senang dengan yang masuk akal, dan melupakan yang menurut mereka tidak masuk akal. Padahal, baik yang masuk akal atau tidak, itu sama-sama dapat menjadi data untuk dianalisis.

Saya juga tadi cerita soal adanya "mata Dajjal" dalam film terbaru yang sedang diputar di bioskop. Dalam kajian tentang akhir zaman, topik terkait Dajjal--dengan segala variannya--banyak sekali dibahas. Konsep Dajjal pun menjadi sangat luas, tidak hanya terkait satu orang yang bermata satu dan memiliki berbagai kekuatan untuk memalingkan orang beriman (yang imannya lemah), akan tetapi juga berkaitan dengan berbagai sisi kehidupan seperti arsitektur, bisnis, bahkan pusat-pusat kekuasaan. Kajian tentang ini--kendati ada nuansa konspiratifnya--tetap menarik untuk dibahas karena hadis tentang akhir zaman tidak pernah lepas dari pembahasan soal datangnya Dajjal.

Apakah Dajjal itu datangnya dari Segitiga Bermuda? Belum tahu juga. Kata Muhammad Isa Dawud, demikian. Akan tetapi, darimana dia datang tidak ada yang tahu persis. Namun, tanda-tanda terkait datangnya Dajjal--dalam perspektif muslim--memang sudah ada. Maka, agar kajian ini tidak sekedar mengawang-awang, dibutuhkan tulisan yang lebih komprehensif tentang itu yang menggabungkan kajian tentang akhir zaman dikaitkan dengan fenomena dunia kontemporer.

Pertemuan tadi tidak banyak yang kita bicarakan. Akan tetapi, kami berencana untuk aktifkan lagi CIGS lewat penerbitan buku. Sudah lama kita tidak terbitkan buku bersama-sama. Buku adalah salah satu sarana untuk menyebarkan ide kepada masyarakat yang masih efektif sampai sekarang. *

Friday, December 7, 2018

Undangan Menulis untuk Buku KH. M. Arif Marzuki

KH. M. Arif Marzuki
Assalamu 'Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

KH. M. Arif Marzuki adalah seorang Ulama Pejuang yang memimpin Pesantren Darul Istiqamah hingga saat ini. Ulama kharismatik Sulawesi Selatan yang seorang penghafal Al Quran, pendidik dan tak henti menebarkan dakwah lewat wadah Pesantren Darul Istiqamah.

Keteladanan beliau dalam menyampaikan risalah dakwah merupakan sesuatu yang luar biasa. Sebagai generasi muda, kita wajib mengambil keteladanan dari berbagai hikmah dan pengalaman beliau baik selama berdakwah maupun dalam menjalani kehidupan dalam bingkai ajaran Islam.

Dalam upaya untuk mendokumentasikan pemikiran, nasihat, ajaran, dan keteladanan beliau, maka kami berinisiatif untuk mengundang rekan-rekan sekalian untuk menulis testimoni tentang KH. M Arif Marzuki baik dalam kapasitas sebagai sahabat, murid, simpatisan, atau peserta pengajian di Pesantren Darul Istiqamah.

Syarat tulisan minimal 2 halaman dengan melampirkan biodata singkat.

Deadline tulisan adalah 12 Desember 2018.

Tulisan dikirim ke email: yanuardisyukur@gmail.com dan ismawan@darulistiqamah.org

Atas perhatian bapak/ibu/rekan-rekan sekalian atas inisiatif ini, kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu 'Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, Desember 2018

Kurator,

Yanuardi Syukur
Ismawan Amir

* Bagi yang berminat untuk menulis dapat juga menkonfirmasi ke WA 081355028300 (Ismawan Amir)

Undangan Menulis Antologi Tribute to Prof Achmad Fedyani Saifuddin

Prof Achmad Fedyani Saifuddin
Undangan Menulis Antologi Tribute to Prof Achmad Fedyani Saifuddin

Yth. Bapak/Ibu dan rekan-rekan sekalian

Salam,

Pada Kamis 25 Oktober 2018 pukul 21.05 WIB, telah berpulang ke rahmatullah Guru Besar Antropologi FISIP UI Prof Achmad Fedyani Saifuddin di RS. Puri Cinere, Jakarta, dan dikebumikan di Sawangan, Depok.

Kepergian beliau menyisakan banyak kenangan dan juga legasi yang tersebar di antara keluarga, sahabat, kolega, mahasiswa, dan masyarakat terkhusus peminat antropologi yang pernah membaca tulisan-tulisan beliau yang dimuat di berbagai media seperti Jurnal Antropologi Indonesia, Kompas, dan lain sebagainya.

Sepanjang hidupnya, Prof Achmad Fedyani Saifuddin (1952-2018) telah menulis banyak buku, di antaranya: Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam (1986), Seksualitas Remaja (bersama Irwan M. Hidayana, 1999), Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma (2006), Catatan Reflektif Antropologi Sosialbudaya (2011), Dimensi Sosialbudaya Pertahanan : Setahun Weekly Sociocultural Insights (2011), Logika Antropologi: Suatu Percakapan (imajiner) Mengenai Dasar Paradigma (2015), Epidemiologi & Antropologi: Suatu Pendekatan Integratif Mengenai Kesehatan (bersama Buchari Lapau, 2017), dan Environasionalisme: Suatu Wujud Pendidikan Konstruktivisme (bersama Ridwan Bachtra, 2017).

Selain itu, Prof Afid--begitu biasa disapa--juga secara produktif menerjemahkan buku, antara lain: Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (1988) karya Roland Robertson, Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing (1998) karya Anna L. Tsing, dan Demokrasi, Korupsi, dan Makhluk Halus dalam Politik Indonesia Kontemporer (2016) karya Nils Bubandt.

Beliau juga menjadi editor beberapa buku lainnya--baik sendiri maupun bersama kolega--seperti: Agama dan Politik Keseragaman: Suatu Refleksi Kebijakan Keagamaan Orde Baru (2000), _Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia: Stepping into the unfamiliar (2003), Refleksi Karakter Bangsa (2008), Minahasa Wonderland: Negeri Mempersona di Bibir Pasifik (2014), dan Papua Barat: Memasuki Dekade Kedua Pembangunan (2015).

Secara umum, Prof Afid menulis berbagai topik, mulai dari paradigma antropologi, kebudayaan, kekuasaan, agama, organisasi sosial, kesehatan, kemiskinan, identitas, karakter bangsa, nasionalisme, dan negara-bangsa.

Untuk mengenang legasi pemikiran, inspirasi, dan jejak dari beliau, maka kami berinisiatif untuk mengundang para kolega, kerabat, mahasiswa, dan siapa saja yang pernah mengenal beliau--baik secara pemikiran maupun personal--untuk turut menyumbang artikel ringan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Artikel berisi kenangan/apresiasi terhadap Prof Afid dalam pemikiran, inspirasi, dan jejak keteladanan sepanjang minimal 1000 karakter, Times New Roman, spasi 1.5.
2. Artikel dapat pula disertai dengan gambar (beserta caption-nya) dan referensi (jika ada).
3. Artikel dikirim ke email: yanuardisyukur@gmail.com dengan deadline: 16 Desember 2018
4. Tulisan disertai dengan biodata penulis sepanjang 2 paragraf dan foto.

Terkait dengan penerbitan (dan rencana peluncuran buku) akan didiskusikan selanjutnya di FISIP UI, Depok.

Atas perhatian bapak/ibu, rekan-rekan, kolega, dan para kontributor sekalian, kami ucapkan terima kasih.

Depok, 16 November 2018

Salam,

Yanuardi Syukur

FGD Survey Minat Baca Masyarakat Kota Depok

Suasana FGD
Budaya membaca merupakan budaya penting yang menopang kemajuan suatu bangsa. Dalam berbagai survei, katanya minat membaca masyarakat kita masih rendah. Memang, tidak bisa dimungkiri itu ada, akan tetapi fakta menunjukkan bahwa semakin hari tingkat minat membaca kita semakin naik.

Hai ini saya mengikuti FGD Survey Minat Baca Masyarakat Kota Depok 2018 yang diselenggarakan oleh Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Depok bertempat di Fave Hotel, Depok.

Beberapa hasil penelitian kuantitatif ini adalah sebagai berikut:

Frekuensi membaca per minggu: 4 sampai 5 kali per minggu.

Durasi membaca per hari: rata-rata 1-2 jam per hari.

Jumlah buku yang dibaca per tahun: rata-rata 5-9 buku per tahun.

Tingkat kegemaran membaca: sedang.

"Tingkat kegemaran membaca di Depok jauh lebih baik daripada survey tingkat nasional," kata Ir. M. Amin, salah seorang peneliti survei tersebut. Bisa jadi, itu karena Depok merupakan penyangga ibukota sekaligus dikelilingi oleh berbagai kampus seperti UI dan lain sebagainya. *

Reuni 612 Alumni Pertukaran Tokoh Muda Muslim Australia-Indonesia


Foto barengSetelah seleksi MEP, biasanya diadakan reuni (silaturahmi) alumni. Seperti juga tahun lalu, reuni tahun ini dihadiri oleh Prof Greg Fealy, Prof Virginia Hooker, Rowan Gould, para staf Kedubes Australia, serta para alumni MEP yang berada di Jakarta dan sekitarnya.

Sambutan sebagai ketua alumni
Sambutan
Beberapa Alumni

Beberapa alumni MEP

Program MEP mulai berjalan sejak 2002 dan kini telah menunjukkan berbagai inisiatif positif dan jejaring di Indonesia dan Australia. Kunjungan selama 2 minggu tsb membuka banyak cerita dan kedekatan antarmasyarakat di kedua negara.

Di internal Forum Alumni MEP, saat ini terus melakukan berbagai kolaborasi, seperti ngopi bareng yg telah diadakan di kantor Komisi Perlindungan Anak dan Perempuan (KPAI) dan Kantor Staf Presiden (KSP). Secara berjalan, ngopi bareng ini juga akan diadakan di DPR/MPR dan berbagai instansi dimana para alumni beraktivitas di dalamnya.

Saat makan siang
Ke depannya, Australia juga berencana membuka program MEP untuk ASEAN, yg akan dimulai dgn Thailand dan Filipina (Malaysia telah berjalan). Sekitar 6 orang akan dikirim dari ketiga negara tsb untuk berkunjung dan menjalin kontak dgn berbagai kolega di Australia selama 11 hari (berbeda dgn Indonesia yg 14 hari). *

Thursday, December 6, 2018

Pengalaman Pertama ke Mamuju


Poster kegiatan
Sudah lama saya berkeinginan untuk ke Mamuju. Hingga suatu hari, kawan saya waktu mahasiswa di FISIP Unhas, menelepon. Singkat cerita, M. Fauzan Basir atau yang biasa dipanggil Fauzan/Uut ingin mengundang saya menjadi salah satu pembicara--yang disebutnya "pembicara nasional"--dalam kegiatan Kemah Literasi di kota Mamuju.

Sebagai kawan yang baik, saya bersedia untuk hadir. Waktu kegiatan pun tertunda. Akhirnya, bertabrakan dengan jadwal saya membawa materi di salah satu pertemuan mahasiswa Pascasarjana UI di Kampus Depok.

Setelah kontak panitia, saya pun memutuskan untuk terbang ke Mamuju dan memberikan nama lain yang bisa menjadi pembicara di UI yang menurut saya, lebih mantab dengan pengalamannya yang luas.

*

Perjalanan ke Mamuju ditempuh dengan dua kali penerbangan. Jakarta ke Makassar dan Makassar ke Mamuju. Seperti biasa, yang saya suka dari pesawat Garuda adalah ada film-nya. Jadi, kita bisa menonton film selama dalam perjalanan, sambil juga merenung-renung, dan berzikir.

Tapi, gimana caranya ya menggabungkan tiga itu dalam satu waktu? Hmm.

Dalam perjalanan, saya nonton SPECTRE. Film ini sebenarnya sudah beberapa kali saya tonton, baik di layar lebar, maupun di Garuda. Filmnya dimulai dengan sebuah "parade setan" di Amerika Latin. Kemudian, dilanjutkan dengan adegan James Bond menembak ke musuhnya, dan kejar-kejaran dengan seorang targetnya, naik helikoter, dan akhirnya dia bisa mengambil cincin yang ada logo tertentu.

Walau sudah rada hafal dengan film itu, saya terus menontonnya. Di antara film yang tersedia, James Bond adalah salah satu film menarik bagi saya. Di situ ada strategi, ada informasi, dan juga ada lokasi baru yang mungkin kita nggak tau.

Tiba di Makassar, saya transit sebentar kemudian melanjutkan perjalanan Garuda ke Mamuju. Perjalanan tidak lama. Tidak sampai satu jam sudah tiba. Rasanya kayak perjalanan dari Jakarta ke Lampung. Baru aja kita duduk, santai-santai, nggak lama kemudian sudah ada informasi dari pilot bahwa pesawat "prepare for landing."

*

Di Mamuju, saya dijemput oleh Fauzan dan seorang panitia yang jadi driver. Dari bandara, kami menempuh perjalanan sekira 20 menit ke lokasi acara di Rumah Adat Mamuju. Setiba di sana, dua panitia bergabung dan kami memuju ke rumah makan. Sementara Fauzan sedang melanjutkan kesibukannya.

Makan pallumara ikan di Mamuju itu enak sekali. Seumur-umur kayaknya ini pallumara ikan paling enak yang pernah saya makan. Ikannya segar-segar. Mana ada beberapa potong yang tersedia di situ. Saya makan dan berbagi dengan kawan lainnya. Tapi, saya paling makan banyak habisin ikan itu.

Luar biasa. Mungkin saking laparnya kali ya sampe beberapa potong itu dihabisin semua. Cuma sayang, kuahnya saya nggak habisin. Harusnya sih dihabisin juga. Kan biar nggak mubazzir juga. :)

Dari situ, kami menuju ke Hotel Pantai Indah yang lokasi berdekatan dengan tempat acara. Pas dengar kata "pantai indah" saya jadi teringat nama hotel yang tak jauh dari rumah saya di Tobelo. Namanya juga sama. Mungkin, nama pantai indah sudah jadi semacam nama unik yang ada di benak orang yang mau buat hotel. Setelah itu, saya istirahat di hotel.

Sorenya, S Gegge Mappangewa datang. Dia berkamar di samping saya persis. Lelaki berhati lembut itu memang termasuk penulis idola yang cerpen-cerpennya sering menghiasi media remaja seperti Aneka Yess. Sampai kini, dia masih terus produktif menulis buku, dan juga ikut berbagai lomba dengan hadiah mulai dari 5 juta sampai 30-an juta. Luar biasa!

*

Selama di Mamuju, saya menjadi pembicara terkait budaya literasi. Saya menjelaskan tentang budaya literasi yang sangat penting untuk kemajuan bangsa. Saya juga memotivasi agar para peserta produktif menulis artikel, cerpen, novel, dan buku.

Peserta Kemah Literasi
Sekarang ini mungkin manfaatnya tidak banyak, tapi ke depannya akan banyak sekali manfaatnya. Saya pribadi bersedia untuk membantu para peserta dalam menerbitkan tulisan mereka.


Saya beri contoh soal viral-nya gambar Nur "istri sahnya Iqbal". Harusnya viralnya lebih bermakna, tidak sekedar sensasi.

Di sesi tanya-jawab, banyak sekali yang bertanya. Peserta siswa dan mahasiswa se-Mamuju itu sangat antusias. Ada yang bertanya soal bagaimana mengatasi mood, bagaimana menerbitkan buku yang ada ISBN, hingga apa saja kesulitan dalam menulis.

Jika potensi bagus seperti ini bisa dikelola maka saya yakin akan lahir banyak penulis dari Mamuju.

*

Saya juga bertemu dengan beberapa kawan yang juga pembicara seperti Adi Arwan Alimin yang sekarang aktif sebagai anggota KPU Sulbar. Sebelumnya, penulis novel Daeng Riose itu adalah ketua FLP Sulbar tapi kemudian mundur ketika mau ikut seleksi KPU. Sebelumnya lagi, dia adalah ketua KPU Sulbar. Jadi, ini periode kedua di KPU.

Saya senang mendengarkan puisi karya Adi Arwan yang dia bacakan saat malam penutupan. Dia menceritakan soal kepribadian Nabi Muhammad saw yang saya lihat agak jarang dari penulis sekarang yang mampu membuat sebaik itu.

Jika ada acara pembacaan puisi di Jakarta, sebutlah di TIM, saya kira Adi Arwan sangat layak untuk menjadi salah seorang pengisi acara.

Kemudian saya juga bertemu dengan Mira Pasolong. Sudah lama saya kenal dengannya. Kalau nggak salah lewat FB. Waktu itu saya mengusulkannya untuk membentuk FLP Sulbar setelah saya selesai menjabat sebagai Ketua FLP Sulsel dan berencana bentuk FLP Malut.

Jadi juri lomba baca puisi
Beliau adalah guru yang inspiratif dan motivatif bagi muridnya. Berbagai jabatan pernah diembannya, salahnya satu adalah timsel KPU Sulbar. Suaminya adalah Ketua Ombudsman Sulbar. Banyak jejaringnya tidak hanya di Sulbar dan Sulsel tapi juga di luar. Berbagai penghargaan juga pernah diraihnya. Bagus untuk jadi salah seorang muslimah teladan di Indonesia.

Saya juga bertemu Syafri Arifuddin Massri. Dia bagus menulis puisi dan bagus juga dalam membaca puisi. Jika potensi bagusnya itu dikelola terus, maka ke depannya dia akan menjadi sastrawan penting di negeri ini. Sebelum berangkat ke Makassar dan Jakarta, saya juga sempat ngobrol dengan Syafri dan Fauzan di bandara.

Nasrullah, saya, Gegge, dan Irfani
Adapun Fauzan Basir atau Fauzan Oddang, adalah kawan saya ketika mahasiswa. Waktu saya menikah di Maccopa, sepertinya Fauzan juga ikut mengantar di mobil Rimbawan. Waktu mahasiswa, dia pernah menerbitkan buku bersama Supran Sultan berjudul Kala Cinta Datang Menggoda oleh Pustaka Mahabbah yang saya dirikan. Kini, Fauzan menjadi salah seorang pejabat di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Mamuju.

Ada banyak lagi yang saya ketemu di sana, seperti kawan lama saya sesama aktivis KAMMI Unhas, drg Irfani, Nasrullah Mannulusi, dan juga yunior saya di Antropologi Unhas, Nuraeni Nur. Pertemuan kembali itu merupakan pertemuan yang penting sekali karena kita jadi ingat masa lalu bagaimana kita masih kurus-kurus dan masih berjuang untuk bisa eksis di kampus :)

Juga saya bertemu dengan Yolanda yang dipanggil Ola. Dia alumni HI salah satu kampus di Jawa yang berencana untuk lanjut S2 di Swedia. Saya mengusulkan kepada Ola untuk mulai aktif belajar IELTS secara pribadi, atau ikut kursus. Setidaknya, dapat IELTS 6 sudah bisa untuk lanjut master di luar, atau kalau mau lebih bagus dapat 6.5. Semoga sukses buat Ola!

*

Lewat tulisan ini saya ingin ucapkan terima kasih banyak buat Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Mamuju dan semua pihak yang tidak sempat ditulis satu persatu. Semoga di lain waktu saya bisa menulis yang lebih panjang dan lengkap terkait perjalanan ke Mamuju yang sangat berkesan tersebut. Buat para peserta Kemah Literasi: terus belajar, dan produktif!

Sopir Online yang Selalu Membawa Map di Motornya

Saat tiba di Semanggi
Dalam perjalanan dari Stasiun Manggarai ke Kemendikbud kemarin (5/12/2018), saya sempat bercerita dengan seorang sopir Grab Bike.

Dia bercerita bahwa sering dia mengajukan lamaran kerja di kantor, tapi selalu tidak ada panggilan. Dia melamar sebagai Office Boy (OB).

Orang yang di kantor bertanya, "Bapak ada yang bawa nggak?"

Maksudnya, ada "orang dalam" tidak di sini. Jawab bapak itu, "nggak ada mbak."

"Kalau begitu, nanti tunggu dipanggil aja ya pak," kata orang kantor.

Berkali-kali si bapak memasukkan lamaran sebagai OB, tapi tak kunjung juga ada panggilan.

Sementara itu, dia punya dua tanggungan. Anaknya sudah mau masuk TK. Bayaran sudah mulai ada. Kemudian, dia juga harus bayar kontrakan. Istrinya tidak bekerja.

Mendengar cerita itu, saya jadi empati.

"Ini juga saya bawa map terus, pak," kata dia lagi.

Saya lihat di depan kakinya ada map yang agak usang. Mungkin karena sudah lama dibawa-bawa dan bercampur debu dan panas sehingga bentuknya tidak begitu bagus lagi.

Fenomena pencari kerja di Jakarta yang menunggu panggilan kayaknya bukan cuma bapak itu. Masih banyak lagi masyarakat kita yang memasukkan lamaran, kemudian menunggu sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kapan dipanggilnya? Itu juga tidak jelas. Sementara, bayaran kontrakan tetap harus jalan.

Motor yang dia pakai terlihat sudah butut. Helm-nya juga begitu. Agak rusak di beberapa bagian. Saya ingin komplain, tapi nggak tega. Saya ingin beri masukan, tapi nggak enak.

Semua orang pasti punya masalahnya sendiri-sendiri. Mulai dari masalah keuangan hingga masalah personal lainnya yang mungkin hanya dia yang tahu.

Hidup di ibukota ini memang harus kuat. Kalau nggak kuat, cepat sekali akan dilindas. Orang bilang, Jakarta memang kejam. Tidak sepenuhnya salah, tapi tidak sepenuhnya benar juga. Karena ada juga orang yang mendapatkan peluang dari Jakarta.

Terlepas dari soal rezeki, kata saya, tiap kita harus berusaha keras. Jangan putus asa. Itu kuncinya. Selama kita mau berusaha, insya Allah selalu ada saja yang akan terbuka.

Mungkin saat ini rezeki dalam bentuk materi memang belum dibuka oleh-Nya, akan tetapi rezeki dalam bentuk lain bisa jadi sudah ada. Misalnya, rezeki kesehatan. Punya istri yang sehat, dan punya anak-anak yang sehat serta lucu juga bagian dari rezeki.

Lihatlah, banyak orang yang punya rezeki materi berlebih tapi mereka tidak bahagia dengan pasangannya. Lihatlah banyak orang yang punya anak yang pintar, tapi mereka tidak bahagia juga. Tak jarang kita baca dan dengar di berita bahwa banyak orang kota yang sudah makmur menjadi stress, kemudian konsumsi narkoba, kemudian terlibat dalam berbagai kejahatan. Mereka sudah berpunya, tapi jiwanya kosong dan akhirnya kekosongan itu menjadi mereka menjauh dari kedamaian.

Saya mendengar sambil merenung kalimat-kalimat yang keluar dari bapak tersebut. Terasa begitu sulit. "Kadang saya dapatnya 50 ribu sehari, Pak," kata dia. Sekarang ini, driver semakin banyak. Dulu, mungkin banyak pemasukan tapi kini jadi jarang.

Saya juga pernah dengar cerita dari seorang sopir lainnya di dekat Universitas Pancasila. Namanya Maul. Lengkapnya Asmaul Husna. Dia bercerita bahwa dalam beberapa jam ini dia belum juga dapat orderan. Entah kenapa. Dia bingung. Saya bilang begini, "mungkin harus coba cari daerah lain mas yang bisa jadi lebih cepat dapat orderan."

Memang betul sih. Kata dia, di daerah tertentu ada yang agak susah dapat orderan, tapi ada juga yang mudah. Dia lihat beberapa temannya sering dapat, tapi dia agak susah dapatnya.

Saya bertanya, "Mas, itu namanya bagus banget ya."

Kata dia, "Iya, mas. Waktu ibu saya hamil 4 bulan, bapak saya udah niatin kasi nama Asmaul Husna."

"Oh, gitu ya."

"Kalo yang lahir perempuan, panggilannya Husna. Kalo laki-laki, panggilannya Maul," kata dia saat kami melewati sebuah pekuburan di belakang kampus.

Oalah, begitu to ceritanya. Oke deh, sukses Mas Maul!

Di sisi lain saya juga sering dapat sopir yang udah dapat orderan, tapi dia batalkan. Alasannya, karena lokasi yang saya tuju itu jauh. Jadi, soal jauh ini jadi alasan untuk menolak rezeki. Padahal, sejauh perjalanan saya naik grab biasanya tidak jauh-jauh amat. Paling jauh mungkin 20 kilometer. Artinya, masih bisa dijalani.

Ada juga yang menolak dengan alasan capek, atau lagi makan. Kalau soal capek memang sih baiknya istirahat. Atau ketika makan. Sebaiknya, para sopir ojek online mematikan aplikasinya saat dia tidak bisa antar, karena bisa jadi saat mereka makan kemudian masuk pesanan. Karena mereka nggak bisa, maka kita pun membatalkan. Tapi entah kenapa kadang ketika membatalkan itu--karena driver-nya tidak mau ambil, misalnya--pulsa OVO kita jadi berkurang. Kita nggak naik, tapi pulsa kita terpotong.

Yah, begitulah. Banyak macam orang di Jakarta yang mencari rezeki. Ada yang berkali-kali melamar tapi tidak dapat, tapi ada juga yang sudah dapat penumpang tapi tak juga diambilnya. Untuk yang kedua ini, ada baiknya untuk mereka mengingat pesan seorang driver yang pernah saya dengar. Dia bilang begini, "saya itu mas, kalau ada penumpang, walau dekat tetap saya ambil, karena saya yakin itu rezeki juga." Luar biasa, driver tersebut.

Menjelang turun dari ojek online tadi, saya kemudian berinisiatif untuk memberikan sesuatu kepada anak-anaknya bapak driver tadi. "Buat anaknya, pak," kata saya. Perasaan senang pun hadir dalam diri saya, ketika saya bisa berbagi kepada orang lain, walau tidak seberapa.

Ya Allah, condongkanlah hati kami selalu kepada kebaikan, selalu kepada kebaikan.
*

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...