Bersama Mas Adjat |
Saya mengenal Adjat dalam kajian yang diadakan oleh AMMA-KAZI, yaitu gabungan dua organisasi kajian di Pasar Minggu. Waktu itu, tiap bulan diadakan diskusi sekaligus kajian tentang Islam kontemporer bertempat di salah satu masjid tak seberapa jauh dari Jalan Raya Pasar Minggu.
Adjat senang hadir dalam kajian-kajian tersebut. Saking senangnya akan kajian, dia juga aktif mengembangkan apa yang disebut sebagai dakwah sekolah. Berbagai kegiatan keislaman ia buat dengan tujuan agar siswa memiliki pemahaman Islam yang lebih baik serta menjalankan Islam dalam berbagai kehidupan mereka.
Suatu ketika saya pernah diundang oleh Mas Adjat ke sekolah binaannya. Waktu itu, bertemu juga saya dengan beberapa siswa. Ada yang kembar. Adjat dekat dengan mereka. Tidak berapa lama kemudian saya mendapat kabar, katanya Adjat akan menikah dengan salah seorang di antara dua kembar tersebut.
Bisa jadi, apa yang disebut sebagai "cinta tumbuh karena frekuensi pertemuan" ada benarnya. Aktivitas Mas Adjat di sekolah tersebut bisa jadi seperti magnet yang makin hari makin kuat. Maka, pernikahan pun menjadi satu jalan untuk menghalalkan relasi tersebut.
Itu bisa menjadi tanda bahwa, mereka yang telah lama mengenal dan ada rasa untuk berlanjut ke jenjang yang serius, bagus sekali untuk menyelesaikan niat itu dalam mahligai pernikahan.
Bagi aktivis dakwah sekolah (atau kampus), bisa jadi punya rasa senang kepada kawan seperjuangannya. Mereka kemudian dihinggapi rasa suka yang mungkin sulit untuk diungkapkan. Jika tak ada keberanian di antara mereka untuk memulai mengutarakan niatnya--misalnya untuk sampai pada jenjang yang serius--maka bisa jadi hanya kenangan yang bisa mereka simpan, yaitu kenangan akan keinginan yang tertunda. Atau, bahkan batal sama sekali.
Pertemuan dengan Mas Adjat tadi juga membicarakan soal organisasi yang kita sama-sama aktif di dalamnya, bernama Center for Islamic and Global Studies. Dulu, CIGS ini bernama Kajian Zionisme Internasional (KaZI), tapi kemudian beberapa tahun lalu kita ubah menjadi CIGS agar lebih akademik dan tidak terkesan berbicara atau menulis soal konspirasi terus.
Selama ini, mereka yang mengkaji zionisme kerap dianggap menulis soal konspirasi. Memang, ada saja sisi konspiratif yang ditulis akan tetapi tidak semua. Fakta-fakta sebenarnya dari apa yang terjadi terkait politik dunia memang begitu nyatanya. Kadang, orang tertentu memang senang dengan yang masuk akal, dan melupakan yang menurut mereka tidak masuk akal. Padahal, baik yang masuk akal atau tidak, itu sama-sama dapat menjadi data untuk dianalisis.
Saya juga tadi cerita soal adanya "mata Dajjal" dalam film terbaru yang sedang diputar di bioskop. Dalam kajian tentang akhir zaman, topik terkait Dajjal--dengan segala variannya--banyak sekali dibahas. Konsep Dajjal pun menjadi sangat luas, tidak hanya terkait satu orang yang bermata satu dan memiliki berbagai kekuatan untuk memalingkan orang beriman (yang imannya lemah), akan tetapi juga berkaitan dengan berbagai sisi kehidupan seperti arsitektur, bisnis, bahkan pusat-pusat kekuasaan. Kajian tentang ini--kendati ada nuansa konspiratifnya--tetap menarik untuk dibahas karena hadis tentang akhir zaman tidak pernah lepas dari pembahasan soal datangnya Dajjal.
Apakah Dajjal itu datangnya dari Segitiga Bermuda? Belum tahu juga. Kata Muhammad Isa Dawud, demikian. Akan tetapi, darimana dia datang tidak ada yang tahu persis. Namun, tanda-tanda terkait datangnya Dajjal--dalam perspektif muslim--memang sudah ada. Maka, agar kajian ini tidak sekedar mengawang-awang, dibutuhkan tulisan yang lebih komprehensif tentang itu yang menggabungkan kajian tentang akhir zaman dikaitkan dengan fenomena dunia kontemporer.
Pertemuan tadi tidak banyak yang kita bicarakan. Akan tetapi, kami berencana untuk aktifkan lagi CIGS lewat penerbitan buku. Sudah lama kita tidak terbitkan buku bersama-sama. Buku adalah salah satu sarana untuk menyebarkan ide kepada masyarakat yang masih efektif sampai sekarang. *
No comments:
Post a Comment