Dunia kita yang berlari
Pada tahun 1440, seorang penemu logam
kelahiran Jerman, Johannes Gutenberg (1398-1468) menggagas ide revolusioner
pencetakan alkitab yang terkenal dengan nama “Alkitab Gutenberg.” Selain ahli
dalam percetakan, dia juga menciptakan
bahan sampingan percetakan seperti tinta yang terbuat dari campuran minyak,
tembaga, dan timah hitam, serta membuat juga cetakan huruf. Lahirnya mesin
cetak itu kemudian menandai “era baru” manusia yang terus berkembang sampai
sekarang.
Merujuk pada sejarah, rasanya tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa: dibutuhkan waktu berabad-abad beranjak dari
budaya berkuda ke mesin uap, hingga sampai pada akhir tahun 1700-an dan awal
1800-an terjadi industrialisasi yang disebut sebagai Revolusi Industri. Seorang
insinyur asal Skotlandia, James Watt (1736-1819), kemudian menjadi sangat
terkenal, bahkan dianggap sebagai “tokoh kunci Revolusi Industri”, yang
melakukan perbaikan demi perbaikan konsep mesin uap yang telah dimulai oleh
ilmuwan sebelumnya.
Perkembangan itu kemudian berimplikasi
sangat luas pada meningkatnya kualitas dan cara hidup manusia secara umum.
Pola-pola komunikasi kemudian berubah, dan semakin dipercepat perubahan itu
dengan ditemukannya internet, ponsel pintar, hingga munculnya varian media
sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Saat ini, kehidupan kita pun
jadi sulit dibedakan antara mana yang betul-betul maya (online) dan mana yang betul-betul nyata (offline), karena keduanya berhubungan begitu erat.
Perkembangan teknologi informasi itu
juga memudahkan manusia untuk melakukan tukar-menukar ilmu pengetahuan,
membentuk jaringan, kemitraan, hingga menjadi gerakan sosial berbasis pada
media sosial. Efek berantai “musim semi Arab” (Arab Spring) yang melanda Tunisia, Mesir, Libya, dan lain
sebagainya, tidak terlepas dari pengorganisasian massa berbasis media sosial
yang sangat efektif untuk mendorong terjadinya revolusi sosial sistemik yang
menjatuhkan rezim-rezim otoriter.
Di Indonesia, euforia media sosial juga
terjadi begitu massif. Pilkada Jakarta 2017 dan pilpres 2019 menunjukkan
derajat penggunaan media sosial yang sangat tinggi di masyarakat. Berbagai hal,
dalam dunia yang membuat manusia berlari, saling berkompetisi, dan tergesa-gesa
ini—mengutip sosiolog Inggris Anthony Giddens—melanda kehidupan kita semua. Di
media sosial, kita dipaksa untuk menelan parade kampanye negatif, kampanye
hitam, fitnah, serta hoax-hoax yang sangat artifisial, berkualitas rendah, dan
menipu. Kita pun dilanda pada kebingungan: mana yang benar, mana yang salah. “Post-truth
era,” begitu kata orang, yang berarti: “era pasca-kebenaran.” Berbagai otoritas
tradisional pun terjun bebas, digugat, bahkan direndahkan pada level asfala safilin, dan kebenaran kini
menjadi milik personal yang belakangan disebut sebagai “netizen yang maha
benar.”
Kompetensi
Global
Pertanyaan penting yang dapat diajukan
buat kita semua, adalah: perlukah kita dengan kompetensi global? Tentu saja,
perlu. Secara sederhana, kompetensi global (global
competence) diartikan sebagai “kapasitas dalam memahami dan bertindak
berkaitan dengan berbagai isu global.” Kapasitas itu dapat berbentuk kompetensi
pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), keterampilan (skills), dan juga perilaku (behavior).
Kompetensi pengetahuan (knowledge) berkaitan dengan
kompleksitas dan interdependensi berbagai kejadian dan isu di level global,
pengetahuan terhadap geografi dan kebudayaan sebuah wilayah secara
komprehensif, berbagai kekuatan yang mengendalikan dunia, dan sejarah relasi
antar-manusia di lintas negara dan geografis. Kompetensi ini tentu saja sangat
penting bagi kita semua agar bisa tambah maksimal dalam membawa nama Indonesia
di pentas global.
Kemudian, kompetensi sikap (attitude) berkaitan dengan keterbukaan
terhadap sesuatu yang baru baik itu ide maupun inovasi yang datang dari luar,
kesadaran diri soal identitas dan kebudayaan kita, sensitivitas dan
penghormatan kepada orang lain, empati, dan berusaha “bersikap nyaman” dengan
berbagai ambiguitas dan situasi yang mungkin kita tidak familiar. Di sini,
seseorang diharapkan memiliki kemampuan adaptif yang tinggi ketika berhubungan
dengan orang lain yang berbeda kecenderungan, kultur, afiliasi, dan juga
pandangan dunia secara umum.
Dalam hal kompetensi perilaku (behavior), kita dituntut untuk bisa
mencari berbagai opini dan perspektif yang ada di masyarakat dunia, membuat
opini yang berbasis pada eksplorasi dan bukti yang meyakinkan, dan berbagi
pengetahuan serta tidak alergi dengan kemungkinan hadirnya berbagai wacana yang
berbeda satu sama lain. Sangat mungkin kita memiliki perbedaan dengan orang
lain, akan tetapi kita tetap perlu bersikap yang bijaksana tanpa harus
kehilangan identitas personal dan kultur kita sendiri.
Kompetensi keterampilan (skills), berkaitan dengan bagaimana
kita berkolaborasi/bersinergi dengan orang lain, mempunyai pemikiran kritis dan
komparatif, serta dapat berpikir yang kreatif, dan menghasilkan solusi.
Keterampilan ini sangat penting agar kita tidak jumud alias berhenti di satu
“halte pemikiran” saja, akan tetapi terus melakukan pengembaraan intelektual
hingga mencapai terminal akhir yang bernama kontribusi maksimal dan makna bagi
pribadi, masyarakat, bangsa, dan untuk kemanusiaan.
Belajar di Luar
Negeri atau Belajar dari Luar Negeri?
Kita menyebut kata “luar negeri” biasa
terkait dengan apa yang di luar negeri kita. Di sini ada disparitas antara
“kita” (dalam negeri) dan “mereka” (luar negeri). Dalam era seperti sekarang,
kompetensi itu sesungguhnya tidak lagi berada semata-mata di luar negeri.
Misalnya, untuk belajar soal kehidupan multikultural yang harmonis, Indonesia
menjadi pilihan utama. Itulah kenapa banyak peneliti asing yang tak
bosan-bosannya menjadikan Indonesia sebagai “laboratorium riset” mereka yang
secara grounded melahirkan berbagai
teori besar, sebutlah trikotomi “abangan, santri, dan priyayi” yang dikemukakan
antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz (1926-2006) sebagai novelty-nya dalam riset di sebuah desa
kecil di Kediri, Jawa Timur, bernama Pare, yang oleh Geertz disamarkan dengan
nama: Mojokuto.
Artinya, lapangan riset serta kepakaran
itu sesungguhnya tersebar di berbagai tempat di planet bumi ini. Nyaris tidak
ada satu kebudayaan pun yang tidak memiliki kepakarannya masing-masing. Belajar
tentang teknologi kapal phinisi, misalnya, tidak akan afdhal jika tidak ke Bulukumba. Begitu juga belajar soal kereta
cepat Shinkansen, seseorang harus ke Jepang. Dua contoh ini menerangkan bahwa,
kepakaran itu diilhamkan oleh Tuhan kepada manusia di mana pun berada, asal
mereka mau berpikir, mencoba, dan terus berusaha sampai bisa.
Maka, pertanyaan penting yang patut
diajukan kepada mereka yang ingin belajar di luar negeri adalah: apa yang mau
dipelajari dari luar? Jangan sampai, yang kita mau pelajari sesungguhnya
kepakarannya berada di Indonesia, tapi demi mendapatkan gengsi—mungkin sebagai
“alumni luar negeri”—kita jadi asal-alasan dengan pikiran “ah, yang penting
luar negeri.” Tentu saja, kita perlu memperjelas hal ini dalam diri kita
masing-masing agar apa yang kita pelajari—entah di dalam atau di luar—kelak
dapat berguna untuk mendorong percepatan dan kemajuan bangsa Indonesia.
Lantas, mana yang lebih penting: belajar
di luar negeri atau belajar dari luar negeri? Belajar di luar negeri berarti
secara fisik kita berada di luar negeri dengan merasakan berbagai “kemewahan”
yang ada, baik itu kultur, alam, dan juga lingkungan global. Sedangkan belajar
dari luar negeri bisa jadi kita hanya tinggal di Indonesia tapi kita memiliki
keterampilan untuk mengakses lewat internet berbagai ilmu pengetahuan yang
dipelajari di luar negeri. Kedua ini menurut saya sifatnya opsional. Artinya,
kita bisa memilih mau belajar sambil tinggal di luar negeri, atau belajar di
dalam negeri tapi dengan perspektif kompetensi global.
Jadilah pribadi
tangguh
Jika kita jeli membaca berbagai kisah
kesuksesan, maka kita akan menemukan sebuah kalimat yang tersirat: jadilah
pribadi tangguh! Orang sukses adalah orang yang tangguh. Tidak mudah jatuh
kendati berbagai tantangan menyerangnya, menderanya, bahkan secara konsisten
dan sistematis ingin menjatuhkannya ke tubir kehidupan.
Para pejuang kemerdekaan kita adalah
contoh umum dari pribadi-pribadi tangguh. Mereka punya visi yang panjang untuk
menjadi bangsa yang berdaulat dan mandiri, yang olehnya itu mereka harus
memekikkan takbir-takbir resistensi terhadap kekuatan pongah yang mengangkangi
dunia mereka. Semua petarung kehidupan itu berjuang dengan visi yang tangguh
yang lahir dari kepribadian yang tidak mudah patah.
“Sekali layar terkembang, pantang biduk
surut ke pantai!” begitu kata pepatah masyarakat maritime Bugis-Makassar yang
terkandung di dalamnya kearifan, keberanian, dan perhitungan yang matang. Keberanian
adalah suatu keutamaan, tapi keutamaan itu tetap saja membutuhkan kearifan
dalam pikiran. Tidak asal berani. Juga, tidak asal pergi. Semua ada
hitungannya. Ketika tekad telah bulat, pantang bagi mereka untuk surut ke
belakang.
Dalam konteks “pemburu beasiswa”,
orang-orang seperti itu memiliki semangat, “ketika saya memutuskan apply beasiswa, maka saya akan berusaha all out, mati-matian, untuk mendapatkan
itu.” Trus, gimana kalau sudah mati-matian kemudian beasiswa tak kunjung
didapat? Tentu saja, kaidah lainnya dapat dipakai, yaitu: kompromi.
Salahkah hidup dengan
kompromi? Tentu tidak salah. Seorang senior saya pernah mengatakan, “rahasia
hidup adalah kompromi.” Terkadang, kita harus keras-kerasan, kuat-kuatan dengan
cita-cita. Akan tetapi, tidak selamanya kuat-kuatan itu relevan dan cocok dengan
kehidupan kita. Adakalanya, kita harus berkompromi agar mendapatkan hasil yang
menang-menang: semuanya menang.
Kompromi itu tidaklah
berarti menyerah, pasrah, dan terima nasib. Sebaliknya, kompromi itu berarti
menyusun kembali strategi-strategi hidup yang bisa jadi kita harus mundur ke
belakang, seperti panah yang rela untuk ditarik ke belakang untuk kemudian pada
saatnya nanti melesat lebih jauh ke depan. Sukses itu hanya soal waktu; yang
penting, tetap jaga semangat, tetap di garis perjuangan! *
[1] Artikel ini dibawakan pada Talkshow Beasiswa “Global Scholarship for your future” yang
diadakan oleh BHLN PP KAMMI, PK KAMMI UNJ dan BEM FIS UNJ, Jakarta, 15 April
2019.